Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH FILSAFAT ILMU

PERSPEKTIF KEBENARAN DALAM ILMU PENGETAHUAN


MANUSIA

Dosen Pengampu : Dr.Zainal Habib, M.Hum

Oleh:

Muhammad Johan Firmansyah (16410193)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2016
KATA PENGANTAR

Pertama-tama mari kita panjatkan puja dan puji syukur kepada sang
Pencipta kita, Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, serta
hidayah-Nya kepada kita semua sampai saat ini. Dengan rahmat, taufik, dan
hidaayah-Nya pula, pembuat dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat
pada waktunya.

Yang kedua kalinya mari kita ucapkan sholawat dan salam agar tetap
tercurahkan kepada junjungan nabi besar kita Muhammad SAW, yang telah
membawa kita dari dari zaman jailiyah menuju zaman yang terang
benderang, yakni agama Islam. Karenanyalah kita sampai saat ini masih
mempercayai adanya Allah SWT, surga, dan neraka. Nabi yang telah
menolong kita dari jalan yang sesat menuju jalan yang lurus.

Tidak lupa pembuat mengucapkan banyak terima kasih kepada


dosen pembimbing tugas ini, yakni Dr. Zainal Habib, M.Hum, yang telah
membimbing sampai akhirnya tugas ini dapat terselesaikan.Yang terakhir
pembuat banyak mengucapkan terima kasih kepada kakak tingkat fakultas
psikologi yang telah memberi kelancaran dalam menyelesaikan makalah
ini.

Pembuat makalah ini jauh dari kesempurnaan, tetapi pembuat


mencoba untuk membuat semaksimal mungkin. Pembuat menyadari bahwa
apa yang tertuang dalam makalah ini masih terdapat kekurangan-
kekurangan. Oleh sebab itu, pembuat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun untuk kemajuan pembuatan makalah selanjutnya, dan semoga
pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dan khususnya
bermanfaat bagi pembuat sendiri
Malang,
Desember 2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh


untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para
rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang
diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional,
kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan
harus dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan
yang tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu
pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena alam atau
simplifikasi atas fenomena tersebut.

Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal


menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut
menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan
struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi
adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap
kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur,
khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan
ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Pada tingkat
pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar
terstruktur dengan jelas.

Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya
dengan ilmu pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa
dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern,
realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi dan kuantitatif. Ini tidak
terlepas dari pandangan yang materialistik-sekularistik. Kuantifikasi objek ilmu
pengetahuan berari bahwa aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif menjadi
diabaikan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan.
Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan
adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme.
Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan,
mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.

Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek


ontologi, epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang
dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain, dilaksanakan secara
konsekuen dan penuh disiplin. misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun
rumus-rumus filsafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka
muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal
dan masyarakat pengenal. Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna:
kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral
menjadi bahasa, etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan
dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi,
logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas
objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan
dengan akal budi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang
ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal budi yang menyatakannya.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang telah di paparkan diatas dapat ditarik
rumusan masalah sebagai berikut :

1) Apa yang dimaksut kebenaran ?


2) Apa saja teori tentang kebenaran ?
3) Apa hakekat dari sumber pengetahuan ?
4) Apa hubungan kebenaran dengan pengetahuan ?
5)
C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1) Untuk mengetahui apa yang di maksut kebenaran.


2) Untuk mengetahui apa saja teori tentang kebenaran.
3) Untuk mengetahui apa yang dimaksut dengan hakekat dari sumber
pengetahuan.
4) Untuk mengetahui hubungan kebenaran dengan pengetahuan.
.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengetian Kebenaran

Kebenaran adalah suatu nilai utama di dalam kehidupan manusia. Sebagai


nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau
martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha memeluk suatu
kebenaran.Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna
dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh
manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-
tahap metode ilmiah.

Kriteria dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas
yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi
ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah
perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia
dalam dunianya. Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut
ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi
fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai
masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi
strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-
komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau
dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu,
sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan system.

Dalam bahasan, makna "kebenaran" dibatasi pada kekhususan makna


"kebenaran keilmuan (ilmiah)". Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun
langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya
merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu
efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran
merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu
secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga
ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah
semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.

Selaras dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian antara


pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan
itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah
pengetahuan obyektif.

Meskipun demikian, apa yang sekarang ini kita pegang sebagai kebenaran
mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang
lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan
keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian
dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk
mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu
terdapat diluar jangkauan manusia.

Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral,


kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan
etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita
rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia
merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran
metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akalbudi, karena
yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari
kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya.

(Muhammad Adip,2010.Hal.65-69)
B. Teori Kebenaran

Menurut Michael Williams ada lima teori tentang kebenaran yaitu :

1. Kebenaran Koherensi
2. Kebenaran Korespondensi
3. Kebenaran Pragmatis
4. Kebenaran Perfirmatif
5. Kebenaran Proposisi

1). Kebenaran koherensi

Teori ini disebut juga dengan konsistensi, karena mendasarkan diri


pada kriteria konsistensi suatu argumentasi. Makin konsisten suatu ide atau
pernyataan yang dikemukakan beberapa subjuk maka semakin benarlah ide
atau pernyataan tersebut. Paham koherensi tentang kebenaran biasanya dianut
oleh para pendukung idealisme, seperti filusuf Britania F. H. Bradley (1846-
1924).

Teori ini menyatakan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu


pengetahuan, pendapat kejadian, atau informasi) akan diakui sahih atau dianggap
benar apabila memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi
sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan logika. Sederhannya, pernyataan itu dianggap benar jika
sesuai (koheren/konsisten) dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.

Contohnya; Setiap manusia pasti akan mati. Johan adalah seorang manusia. Jadi,
Johan pasti akan mati.

2). Kebenaran Korespondensi

Kebenaran korespondesi adalah kebenaran yang bertumpu pada relitas


objektif.Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan
kebenaran dan kepastian indrawi. Sesuatu dianggap benar apabila yang
diungkapkan (pendapat, kejadian, informasi) sesuai dengan fakta (kesan, ide-ide)
di lapangan.

Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi


ini. Teori kebenaran menurut corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat
sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-
pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh
nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di
dalam tingkah lakunya.

Contohnya: ada seseorang yang mengatakan bahwa Provinsi Yogyakarta itu


berada di Pulau Jawa. Pernyataan itu benar karena sesuai dengan kenyataan atau
realita yang ada. Tidak mungkin Provinsi Yogyakarta di Pulau Kalimantan atau
bahkan Papua.

3). Kebenaran Pragmais

Perintis teori ini adalah Charles S. Pierce yang dikembangkan lebih lanjut
oleh William James dan John Dewey. Menurut James yang benar adalah yang
konkrit, yang individual, dan yang spesifik. Sementara menurut Dewey kebenaran
pragmatis itu kebenaran yang mempunyai kegunaan praktis.

Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra


pendidik sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam
pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu
memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan
pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan
kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di
dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian
dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
4). Kebenaran Performatif

Menurut teori ini, suatu pernyataan kebenaran bukanlah kualitas atau sifat
sesuatu, tatapi sebuah tindakan (performatif). Untuk menyatakan sesuatu itu
benar, maka cukup melakukan tindakan konsesi (setuju/menerima/ membenarkan)
terhadap gagasan yang telah dinyatakan.

Teori ini dianut oleh filsuf Frank Ramsey, John Austin dan Peter
Strawson. Para filsuf ini hendak menentang teori klasik bahwa “benar” dan
“salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu. Proposisi yang benar
berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang memang dianggap benar.
Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan
realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan
realitas, tetapi justeru dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana yang
diungkapkan dalam pernyataan itu.

5).Kebenaran Proposisi

Menurut Aristoteles, proposisi (pernyataan) dikatakan benar apabila sesuai


dengan persyaratan formal suatu proposisi. Menurut teori ini, suatu pernyataan
disebut benar apabila sesuai dengan persyaratan materilnya suatu proposisi, bukan
pada syarat formal proposisi. Kebenaran ini akan sangat tergantung pada situasi
dan kondisi yang melatarinya, pengalaman, kemampuan, dan usia mempengarauhi
kepemilikan epistimo tentang kebenaran.

Proposisi adalah kalimat deklaratif yang bernilai benar (true) atau salah
(false), tetapi tidak dapat sekaligus keduanya. Kebenaran atau kesalahan dari
sebuah kalimat disebut nilai kebenarannya (truth value).

Contoh : 4+4 = 8

(A.Susanto.2011.Hal.86-89)
C. Pengertian dari Hakekat Ilmu

Definisi Kakekat ilmu terdiri dari dua kata yang berbeda. Masing-masing
memiliki makna kata yang berbeda. Kata hakekat secara etimologis berarti terang,
yakin, dan sebenarnya. Dalam filsafat, hakikat diartikan inti dari sesuatu, yang
meskipun sifat-sifat yang melekat padanya dapat berubah-ubah, namun inti
tersebut tetap lestari.

Adapun kata ilmu (science) diartikan sebagai pengetahuan yang didapat


secara ilmiah, atau bisa di sebutkan bagian dari pengetahuan. Jadi, makna kata
hakekat ilmu dapat diartikan sebagai sesuatu yang mendasari atau yang menjadi
dasar dari arti atau makna dari ilmu tersebut. Hakekat Ilmu dapat juga diartikan
inti-sari dari ilmu tersebut. Untuk lebih jelasnya tentang pengertian ilmu, dibawah
ini akan kemukakan oleh beberapa ahli filsafat ilmu.

Menurut The Liang Gie (1996:88), ilmu sebagai pengetahuan, aktivitas, atau
metode merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan. Ilmu merupakan
rangkaian aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang
akhirnya metodis itu menghasilkan pengetahuan ilmiah. Menurut W. Atmojo
(1998:324) ilmu ialah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (Pengetahuan) itu.

Sedangkan menurut Sumarna (2006: 153), ilmu dihasilkan dari pengetahuan


ilmiah, yang berangkat dari perpaduan proses berpikir deduktif (rasional) dan
induktif (empiris). Jadi proses berpikir inilah yang membedakan antara ilmu dan
pengetahuan. Menurut J.S. Badudu (1996:528), ilmu adalah: pertama, diartikan
sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis; contoh:
ilmu agama, pengetahuan tentang agama, ilmu bahasa pengetahuan tentang hal
ikhwal bahasa. Kedua, ilmu diartikan sebagai “kepandaian” atau “kesaktian”.
(A.Susanto.2011.Hal.76-78)
Jadi, ilmu (science) merupakan pengetahuan dari proses yang telah
memenuhi persyaratan-persyaratan keilmiahan. Ilmu dalam pengertian di atas
adalah pengertian ilmu dalam konteks ilmu pengetahuan ilmiah. Mengenai
Hakekat Ilmu Pengetahuan, untuk lebih jelasnya akan di bahas berikut ini:

1. Ilmu dan Falsafah


Pengertian falsafah dalam tujuan pembahasan ini diartikan sebagai suatu
cara berpikir yang menyeluruh, untuk mengupas sesuatu dengan sedalam-
dalamnya.

Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu


yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan yang lainnya. Ciri-ciri
keilmuan ini didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap ketiga
pertanyaan pokok seperti yang kita sebutkan terdahulu. Falsafah mempelajari
masalah ini sedalam-dalamnya dan hasil kajiannya merupakan dasar bagi
eksistensi ilmu. Seperti kita ketahui pertanyaan pokok itu mencakup masalah
tentang apa yang ingin kita ketahui (ontologi), bagaimana cara kita
memperolehnya pengetahuan tersebut (epistemologi), dan apa kegunaannya untuk
kita (axiologi). Setiap bentuk pemikiran manusia dapat dikembalikan pada dasar-
dasar ontologi, epistemologi, dan axiologi dari pemikiran yang bersangkutan.
Analisis kefalsafahan ditinjau dari tiga landasan ini akan membawa kita kepada
hakekat buah pemikiran tersebut. Demikian juga kita akan mempelajari ilmu
ditinjau dari titik tolak yang sama untuk mendapatkan gambaran yang sedalam-
dalamnya.

2. Dasar Ontologi Ilmu


Untuk mengetahui dasar ontologi ilmu ini, sebagai pertanyaan awal adalah
apakah yang ingin diketahui ilmu? Atau dengan kata lain apakah yang menjadi
bidang telaah ilmu?. Dalam konteks pembahasan ini, Ilmu membatasi diri pada
hal-hal yang dapat dijangkau oleh pengalaman panca indera manusia atau dengan
perkataan lain hal-hal yang bersifat empiris.
Berlainan dengan agama, atau bentuk-bentuk pengetahuan lainnya, maka
ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat empiris dan rasional.
Objek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh
panca indera manusia. Dalam batas-batas tersebut, maka ilmu mempelajari objek-
objek empiris seperti batu-batuan, binatang, tumbuhan, hewan atau manusia itu
sendiri. Inilah yang merupakan salah satu ciri ilmu yakni orientasi terhadap dunia
empiris.

3. Dasar Epistemologi Ilmu


Teori untuk memperoleh pengetahuan atau yang disebut dengan
epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam
usaha kita untuk memperoleh pengetahuan dengan metode keilmuan. Metode
keilmuan inilah yang membedakan antara ilmu dengan buah pemikiran yang
lainnya. Karena ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan
yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan
keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar kita tidak terjadi kekacauan antara pengertian
“ilmu” (science) dan “pengetahuan” (knowledge), maka mempergunakan istilah
“ilmu” untuk “ilmu pengetahuan” Suriasumantri (2006:9).

Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun, selama itu terbatas


pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan
metode keilmuan, adalah syah untuk disebut keilmuan. Orang bisa membahas
suatu kejadian sehari-hari secara keilmuan, asalkan dalam proses pengkajian
masalah tersebut dia memenuhi persyaratan yang telah digariskan. Sebaliknya
tidak semua yang diasosiasikan dengan eksistensi ilmu adalah keilmuan.

4. Metode Keilmuan
Pada dasarnya, ditinjau dari sejarah cara berpikir manusia, terdapat dua
pola dalam memperoleh pengetahuan. Pertama adalah berpikir secara rasional.
Berdasarkan faham rasionalisme ini, idea tentang kebenaran sudah ada. Pikiran
manusia dapat mengetahui idea tersebut, namun tidak menciptakannya dan tidak
pula mempelajarinya lewat pengalaman. Idea tentang kebenaran yang menajdi
dasar pengetahuannya, diperoleh lewat berpikir secara rasional, terlepas dari
pengalaman manusia. Lalu pertanyaannya bagaimana kalau seandainya kebenaran
yang disepakati berdasarkan berpikir secara rasional tersebut tidak sesuai dengan
pengalaman hidup? Maka metode berpikir seperti ini dianggap masih lemah untuk
menyimpulkan kebenaran dengan kesepakatan bersama
.
Maka dari itu, muncullah kemudian cara berpikir lain, yang disebut
dengan pola berpikir empiris. Cara berpikir ini sama sekali berlawanan dengan
cara berpikir di atas (rasional). Cara berpikir empiris menganjurkan bahwa kita
harus kembali ke alam untuk mendapatkan kebenaran. Menurut mereka bahwa
pengetahuan itu tidak ada secara apriorik di benak kita, melainkan harus diperoleh
dari pengalaman.

Berpikir secara empiris juga ternyata belum bisa membawa ktia kepada
sebuah kebenaran, sebab, gejala yang terdapat dalam pengalaman kita harus
mempunyai arti kalau kita memberikan tafsiran terhadap mereka. Disamping itu,
bila kita hanya mengumpulkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang kita
temui dalam pengalaman, lalu apakah gunanya semua kumpulan itu bagi kita?
Pengetahuan yang diperoleh dengan cara ini hanyalah merupakan kumpulan
pengetahuan yang beranekaragam yang tidak berarti. Ternyata bahwa pendekatan
empiris juga gagal mengantarkan kita memperoleh pengetahuan yang benar.

Menyadari Kedua metode tersebut yaitu rasionalisme dan empirisme


memiliki kelebihan dan kekurangannnya masing-masing, akhirnya timbullah
gagasan untuk menggabungkan kedua pendekatan tersebut untuk menyusun
metode yang lebih dapat diandalkan dalam menentukan pengetahuan yang benar.
Gabungan pendekatan rasional dan empiris ini dinamakan metode keilmuan.
Rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis.
Sedangkan empirisme menjelaskan kerangka pengujian dalam memastikan suatu
kebenaran.

5. Kelebihan dan Kekuarangan Berpikir Secara Keilmuan


Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa kelebihan ilmu terletak
pada pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan logis serta telah teruji
kebenarannya. Faktor pengujian ini memberikan karakteristik yang unik kepada
proses kegiatan keilmuan, karena dengan demikian khasanah teoritis ilmu harus
selalu dinilai berdasarkan pengujian empiris. Dengan sifatnya yang terbuka dan
tersurat yang dikomunikasikan kepada semua pihak menyebabkan Ilmu
mengalami penilaian yang amat dalam dan luas. Setiap orang bisa mengajukan
sanggahan, atau memperliahatkan temuan-temuan barunya yang mendukung atau
menggugurka teori-teori tertentu.
Uraian di atas dapat memberikan kita gambaran antara lain: pertama,
betapa kerasnya proses penilaian dan kontrol yang diberikan masyarakat ilmuwan
terhadap suatu produk keilmuan. Kedua, tingkat kontrol kualitasnya tinggi dapat
memberikan kepercayaan yang tinggi pula bagi masyarakat. Ketiga, karena
tingkat kepercayaan masyarakar yang tinggi, memungkinkan ilmu untuk
memecahkan suatu masalah dalam bentuk suatu konsesus yang disetujui bersama,
setidak-tidaknya untuk sementara, sampai ditemukannya pemecahan lain yang
lebih diandalkan.

Namun demikian, kenyataan ini tidak boleh menutup mata kita terhadap
berbagai kekurangan ilmu. Kekurangan-kekurangan ini bersumber pada asumsi
landasan epistemologi ilmu, yang menyatakan bahwa kita mampu memperoleh
pengetahuan yang bertumpu pada persepsi, ingatan, dan penalaran.

Panca indera kita buka saja terbatas pada kemampuannya tetapi terkadang
menyesatkan menyesatkan hasilnya. contohnya Bumi dalam teori ilmiah
sebenarnya mengelilingi matahari, tetapi seolah-olah matahari yang mengelilingi
bumi. Contoh seperti ini telah membawa manusia sampai pada kesimpulan yang
salah mengenai perputaran planet-planet dalam teori tata surya. Sedangkan disatu
sisi manusia mengandalkan indera tersebut untuk mendapatkan pengetahuan yang
merupakan produk kegiatan berpikirnya.

6. Beberapa Konsep dalam Ilmu


Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang dapat diandalkan dan
berguna bagi kita dalam menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol gejala-gejala
alam. Hal ini masih mengundang tanda tanya, yaitu dalam hal yang bagaimanakah
ilmu itu disusun agar mencapai tujuan tersebut? Untuk menjawab pertanyaan itu,
pertama kali bahwa penetahuan keilmuan itu harus bersifat umum, sebab suatu
pernyataan yang bersifat umum akan mempunyai ruang lingkup yang luas, dan
dengan demikian hal itu akan memudahkan kita. Seperti contoh: semua logam
kalau dipanaskan akan memuai. Menyebabkan kita mampu menjelaskan,
meramalkan, dan mengontrol semua gejala seperti ini yang terjadi pada berbagai
jenis logam.

Namun demikian harus kita sadari bahwa contoh logam di atas tidak
berlaku jika dihadapkan dengan kondisi sosial. Mengapa demikian? karena logam
merupakan benda mati dan bersifat statis, lain halnya dengan gejala-gejala sosial
yang sangat banyak dan kompleks, serta interaksi antara faktor-faktor tersebut
bersifat dinamis dan dapat berubah setiap waktu.

Sekalipun terdapat perbedaan antara teknik-teknik pengembangan objek


yang ditelaah dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, namun teknik-teknik
tersebut dikembangkan dalam rangka melaksanakan metode keilmuan yang sama.
Jujun Suriasumantri (2006:19) mengatakan bahwa bila dikembalikan pada
hakekat ilmu yang sebenarnya, maka tak terdapat alasan apapun untuk
membedakan metode keilmuan ilmu-ilmu alam dari metode untuk ilmu-ilmu
sosial. Jadi masalah ini menurut Jujun Suruasumantri adalah kekacauan dalam
mempergunakan istilah metode dan teknik.

Kembali kepada persoalan di atas adalah bagaimana cara kita mengambil


kesimpulan yang bersifat umum tersebut? Untuk menjawab pertanyaan di atas,
maka kita mengenal istilah induksi adalah suatu cara pengambilan keputusan dari
kasus-kasus yang bersifat individu menjadi kesimpulan yang umum.

Untuk menarik sebuah kesimpulan yang bersifat umum dan dapat


diandalkan, tentu saja tidak cukup dengan pengamatan sepintas saja karena ada
factor-faktor kebetulan juga yang sangat penting dan yang harus diperhitungkan.
Maka masuklah statistika yang dapat membantu kita untuk menarik kesimpulan
umum yang dapat diandalkan. Statistika merupakan alat atau metode yang terlibat
dalam proses induktif dari kegiatan keilmuan. Jujun Suriasumantri (2006:20),
megnatakan bahwa tanpa statistik, sukar dibayangkan, betapa kita akan sampai
pada suatu kesimpulan umum yang dapat diandalkan. Tak ada penelitian yang
benar-benar bersifat keilmuan dilakukan tanpa statistik. Betapa statistik
membantu kita secara kuantitatif dalam kegiatan penelitian keilmuan, suatu
contoh misalnya, pernyataan keimuan: bila padi diberi pupuk maka tinggi padi
mempunyai peluang untuk bertambah. Dalam hal ini maka statistik membantu
kita dalam menghitung besar peluang tersebut secara kuantitatif.

Pernyataan keilmuan yang bersifat umum dapat membantu kita


memecahkan masalah praktis sehari-hari, atau masalah yang serupa. Namun disisi
lain masalah praktif yang kita hadapi sehari-hari bersifat individual dan spesifik.
kita tidak menemui masalah praktis yang menyeluruh seperti yang tercakup dalam
hukuk-hukum ilmu. Untuk menjawab permasalahan ini, maka sampailah kita
kepada konsep kegiatan keilmuan yang dinamakan deduktif. Metode deduktif
merupakan proses penarikan kesimpulan dari yang bersifat umum ke kesimpulan
yang bersifat pribadi. Metode ini biasa disebut dengan lawan dari metode induktif
di atas. Proses penarikan kesimpulan dedukdi inilah maka logika memegang
peranan yang sanga penting.
Contoh penarikan kesimpulan deduktif: bila semua logam dipanaskan akan
memuai, dan bila X adalah logam, maka X bila dipanaskan akan memuai.
Pernyataan, “semua logam bila dipanaskan akan memuai” disebut premis mayor,
pernyataan “X adalah sebatang logam” disebut premis minor, dan pernyataan “X
bila dipanaskan akan memuai” adalah kesimpulan. Jadi kesimpulan bahwa “X bila
dipanaskan akan memuai” merupakan konsekuensi logis dari dua buah premis di
atas.

7. Kegiatan Keilmuan Sebagai Proses


Kegiatan keilmuan mengenal dua bentuk masalah. Pertama, merupakan
masalah yang belum pernah diselidiki sebelumnya, sehingga jawaban atas
permasalahan tersebut merupakan pengetahuan baru atau yang disebut dengan
penelitian murni. Kedua adalah kegiatan mempelajari masalah yang berupa
konsekuensi praktis dari pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya atau yang
disebut dengan penelitian terapan.

Didalam kegaitan keilmuan pertama yang harus dilakukan adalah


perumusan masalah. Perumusan masalah yang baik merupakan titik tolak dari
seluruh rangkaain kegiatan keilmuan yang lain. Masalah pada hakekatnya
merupakan sebuah pertanyaan yang mengundang jawaban. Oleh sebab itu, jika
pertanyaan tidak jelas maka kemungkinan besar jawaban yang didapat juga tidak
jelas. Harus kita ingat bahwa tujuan penelahaan keilmuan adalah mencari
pengetahuan yang bersifat umum, oleh karena itu jawaban yang diberikan atas
permasalahan haruslah dapat diterima oleh masyarakat yang akan
mempergunakan pengetahuan tersebut dalam kehidupan mereka. Maka dari,
penafsiran yang sama terhadap masalah yang sedang dihadapi sehingga
memungkinkan suatu jawaban yang dapat diterima oleh semua pihak.

Kegiatan keilmuan yang kedua adalah penyusunan hipotesis. Hipotesis


merupakan dugaan mengenai hubungan antara faktor-faktor yang terlibat dalam
suatu masalah tersebut. Dugaan itu memungkinkan kita untuk menjelaskan
hakekat suatu gejala tersebut. Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa masalah
merupakan suatu pertanyaan yang harus dijawab. Untuk bisa menjawab suatu
masalah adalah kita harus mengetahui dengan jelas hubungan-hugungan logis
antara faktor yang terlibat dalam masalah tersebut. Sebagai contoh penyusunan
hipotesi dalam kegiatan keilmuan misalnya: bulan mengalami gerhana karena
ditelan matahari. Hipotesis seperti ini tidak dapat diterima oleh pemikiran
keilmuan karena salah satu ciri utama pemikiran keilmuan adalah sifatnya masuk
akal. Jadi kegiatan keilmuan pada hakekatnya adalah mempersoalkan hubungan
logis dari berbagai faktor. Misalnya, masalah mengenai “mengapa si A yang IQ-
nya rendah tidak naik kelas?” sebenarnya mempersoalkan faktor “IQ” dan faktor
“tidak naik kelas” atau faktor-faktor lain yang berhubungan dengan gejala “tidak
naik kelas”. Kalau kita mengetahui hubungan logis berbagai faktor tersebut, maka
dengan mudah kita dapat menjawab pertanyaan yang dikemukakan itu. Masalah
di atas menjadi mudah dilakukan dengan kegiatan keilmuan, umpamanya “kalau
IQ makin rendah maka makin rendah pula prestasi belajar”. Konsistensi malasah
akan menjadi jelas. Sehingga kita dapat memasukan kegiatan keilmuan yang
selanjutnya yaitu menyusun pemikiran deduktif. Sebagai contoh pernyataan di atas
dapat dibuat pemikiran deduktif sebagai berikut: makin rendah IQ maka makin
rendah pula prestasi belajarnya, maka si X yang IQ-nya rendah akan rendah pula
prestasi belajarnya, dan karena prestasi belajarnya yang rendah maka si A tidak
naik kelas. Penyusunan seperti ini bisa menjawab pertanyaan yang diajukan.
Tetapi dengan sikap keilmuan yang skeptis tidak mau menerima begitu saja
kesimpulan yang ditarik ini. Menurut aturan keilmuan, suatu pernyataan adalah
syah atau benar secara keilmuan kalau pernyataan tersebut didukung oleh fakta.

Di dalam persoalan di atas, pernyataan bahwa si A tidak naik kelas karena


prestasi belajarnya rendah adalah benar, kalau didukung oleh fakta. Dan fakta
yang mendukung adalah bahwa benar-benar si A tidak naik kelas karena prestasi
belajarnya rendah. Fakta terserbut dapat diturunkan secara desuktif sehingga
menghasilkan konsekuensi logis dari pernyataan yang diajukan. Misalnya kalau si
A prestasi belajarnya rendah maka dia tidak akan bisa menjawab dengan baik
pertanyaan yang seyogyanya dapat dijawab oleh teman-teman sekelasnya yang
prestasi baik. Pemikiran keilmuan yang demikian mencakup dua ruang lingkup
kegiatan, yakni penyusunan teori dan yang kedua sebagai kegiatan keilmuan yang
ke empat adalah pengujian teori. Teori disusun sebagai kerangka pemikiran yang
menjelaskan struktur hubungan antar faktor-faktor yang terlibat dalam suatu
masalah. Teori yang diajukan itu, seperti halnya juga dengan sebuah hipotesis,
kemudian harus di uji secara empiris agar dapat disyahkan kebenarannya secara
keilmuan. Pengujian ini dilakukan dengan mendeduksikan konsekuensi dari
hipotesis dan kemudian memeriksa apakah konsekuensi ini memang terdapat atau
tidak.
8. Dasar Aksiologi
Ilmu bersifat netral, ilmu tidak mengenal baik dan buruk, dan si pemiliki
pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap. Jalan mana yang akan ditempuh
dalam memanfaatkan kekuasaan yang besar itu terletak pada sistem nilai pemilik
pengetahuan tersebut. Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologisnya
saja: jika hitam katakana hitam dan jika ternyata putih maka katakana putih;
tanpa berpihak kepada siapapun juga selain kepada kebenaran yang nyata. Secara
ontologis dan axiologis, ilmuwan harus mampu menilai antara yang baik dan yang
buruk, sehingga pada hakekatnya mengharuskan dia menentukan sikap.
Kekuasaan ilmu yang besar ini mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai
landasan moral yang kuat.
(A.Susanto.2011.Hal.90-119)

D. Hubungan Kebenaran Dengan Pengetahuan

Cara untuk menemukan kebenaran berbeda-beda tetapi semuanya tak luput


dengan Ilmu sehingga semua kebenaran hanya dapat di peroleh dengan
menggunakan ilmu untuk membuat suatu kebenaran. Dari berbagai cara untuk
menemukan kebenaran dapat dilihat cara yang ilmiah dan yang nonilmiah. Cara
untuk menemukan kebenaran sebagaimana diuraikan oleh Hartono Kasmadi, dkk.,
Sebagai berikut :

1. Penemuan secara Kebetulan


Penemuan kebenaran secara kebetulan adalah penemuan yang berlangsung
tanpa disengaja. Cara ini tidak dapat diterima dalam metode keilmuan untuk
menggali pengetahuan atau ilmu.
2. Penemuan ‘Coba dan Ralat’ (Trial and Eror)
Penemuan coba dan ralat terjadi tanpa adanya kepastian akan berhasil atau
tidak berhasil kebenaran yang dicari. Penemuan ini mengandung unsur spekulatif
atau ‘untung-untungan’. Cara coba dan ralat ini pun tidak dapat diterima sebagai
cara ilmiah dalam usaha untuk mengungkapkan kebenaran
.
3. Penemuan Melalui Otoritas atau Kewibawaan
Pendapat orang-orang yang memiliki kewibawaan, misalnya orang-orang
yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan sering diterima sebagai kebenaran
meskipun pendapat itu tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah.

4. Penemuan Kebenaran Lewat Cara Berpikir Kritis dan Rasional


Dalam menghadapi masalah, manusia berusaha menganalisisnya
berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki untuk sampai pada
pemecahan yang tepat.

5. Penemuan Kebenaran melalui Penelitian Ilimah


Cara mencari kebenaran yang dipandang ilmiah ialah yang dilakukan
melalui penelitian. Penelitian adalah penyaluran hasrat ingin tahu pada manusia
dalam taraf keilmuan.
BAB III

HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN PSIKOLOGI

A. Pengertian Psikologi
Menurut asal katanya psikologi bersal dari bahasa yunani yaitu psyche
yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti
ilmu jiwa tetapi pernyataan tersebut masih kurang teapt karena banyak perdebatan
diantaranya yan menyatakan bahwa jiwa itu tidak terlihat jadi jiwa tidak bias di
pelajari sehingga pernyataan baru muncul yaitu psikologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang gejala kejiwaan.

B. Sistematika Filsafat Ilmu


Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang menjawab beberapa
pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti :

1). Ontologis

Ontologi adalah teori dari cabang filsafat yang membahas tentang realitas.
Realitas ialah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran.
Bedanya realitas dalam ontologi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan : apakah
sesungguhnya hakikat dari realitas yang ada ini; apakah realitas yang ada ini
sesuatu realita materi saja; adakah sesuatu di balik realita itu; apakah realita ini
monoisme, dualisme, atau pluralisme. Menurut Bramel, interprestasi tentang suatu
realita itu dapat bervariasi.

Ontologi sering diindetikan dengan metafisika yang juga disebut proto-


filsafia atau filsafat yang pertama, atau filsafat ketuhanan yang bahasanya adalah
hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab akibat, realita, atau Tuhan dengan
segala sifatnya
2). Epistomologi

Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari benar atau tidaknya


suatu pengetahuan. Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi mempunyai banyak
sekali pemaknaan atau pengertian yang kadang sulit untuk dipahami. Dalam
memberikan pemaknaan terhadap epistemologi, para ahli memiliki sudut pandang
yang berbeda, sehingga memberikan pemaknaan yang berbeda ketika
mngungkapkannya.

Akan tetapi, untuk lebih mudah dalam memahami pengertian


epistemologi, maka perlu diketahui pengertian dasarnya terlebih dahulu.
Epistemologi berdasarkan akar katanya episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu
yang sistematis, teori).

Secara terminologi, epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan


tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan
dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan
itu.

3). Aksiologi

Aksiologi adalah suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai. Aksiologi


membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari kata axio dan
logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal, teori,
axiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status
metafisik dari nilai.

C. Hubungan psikologi dengan filsafat

Filsafat secara umum adalah kegiatan berpikir secara sistematis, runtut,


metodis dan dapat dipertanggung jawabkan tentang segala sesuatu yang ada
(bahkan yang mungkin ada). Sedangkan psikologi adalah ilmu yang
mempelajari gejala kejiwaan manusia dan tingkah lakunya.
Pada dasarnya filsafat dan psikologi memiliki hubungan yang erat.
Adakalanya saling berhubungan dan ada kalanya pula saling melengkapi satu
sama lain. Filsafat dijadikan sebagai dasar ilmu pengetahuan karena pada
dasarnya munculnya berbagi ilmu pengetahuan karena adanya filsafat itu.
Dapat diilustrasikan bahwa pada saat seseorang memikirkan tentang apa
manusia itu? Dari mana asalnya? serta berbagai pertanyaan tentang manusia,
maka dapat dijawab dari berbagai segi. Jika titik beratnya ditekankan kepada
susunan tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang manusia dilihat
dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya
manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat
dari kebudayaannya atau antropologi budaya.

Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan


manusia yang lainnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari
hubungan sosialnya atau antropologi sosial. Jika pada keadaan jiwa dan
tingkah lakunya maka psikologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang jiwa
dan tingkah laku manusia. Sebagai dasar ilmu pengetahuan, disiplin ilmu
pasikologi menggunakan teori-teori filsafat untuk mengembangkan teori-teori
psikologi. Terutama bahasan-bahasan filsafat tentang manusia (filsafat
manusia). Hal ini dijadikan dasar mengembangkan teori-teori psikologi yang
memang objek pembahsannya adalah manusia. Disamping itu, hal ini bisa
menjadi salah satu persamaan antrara filsafat dan psikologi, yaitu jika dilihat
dari segi objek materialnya filsafat (terutama filsafat manusia) dan psikologi
sama-sama mempelajari bagaimana gejala-gejala manusia. Dalam hal ini
keduanya sama-sama bertujuan menyelidiki, menginterpretasi dan memahami
manusia.

Bentuk saling melengkapi filsafat dan psikologi dapat dilihat dari


fungsi keduanya. Jika psikologi mampu menjelaskan secara cermat tentang
gejala psikis dan psikologis seorang manusia sehingga dinamika dan
kemungkinan perilakunya dapat dijelaskan secara lengkap. Maka filsafat
menyoroti aspek-aspek pada manusia secara keseluruhan seperti kerohanian
dan kejasmanisan, kebebasan dan determinisme, keilahian dan keduniawian
serta dimensi-dimensi seperti sosialitas dan individualitas, kesejarahan dan
kebudayaan, kebahasaan dan simbolisme adalah kesatuan gejala dan kejadian
manusia yang selanjutnya disoroti sebagai suatu yang integral. Sehingga
fungsi dari keduanya ini dan semakin melengkapi kebutuhan akan ilmu
pengetahuan akan manusia.

Jika dilihat dari objek formal atau metodenya, filsafat dan psikologi
memiliki perbedaan. Filsafat memperlajari manusia tidak terbatas pada gejala
empiris semata, melainkan bentuk dan gejala apapun tentang manusia. Meliputi
aspek-aspek, dimensi-dimensi, atau nilai-nilai yang bersifat metafisis, spiritual
dan universal dari manusia yang tidak dapat diobservasi dan diukur oleh metode-
metode keilmuan. Sedangkan psikologi menangkap dan menyelidiki gejala-
gejala empiris dan bersifat objektif dari manusia. Dimana hal ini dapat diukur
dengan menggunakan metode observasional dan eksperimental.
BAB IV

KESIMPIULAN

Dalam pemahaman psiokologi yang telah kita pelajari bisa disebutkan


psikologi dalam mengkaji ilmunya yaitu menggunakan Jiwa, pikiran,dan fisik
sebagai objek kajianya. Dimana semua pembahasan tentang psikologi tak luput
dari ilmu filsafat karena kedua ilmu tersebut pada dasarnya yaitu ilmu yang
abstrak.

Dalam psikologi para psikolog di haruskan memiliki pemikiran-pemikiran


yang kritis sehingga dalam menentukan kebenaran bisa menghasilkan sesuatu
yang valid. Para psikolog dalam menentukan suatu hasil harus menggunakan
keilmuan-keilmuan seperti Ontologi,Episomologi,dan Aksiolog, dikarenakan
keilmuan tersebut adalah standart kebenaran dari suatu perkara.

Banyak hal-hal yang dibutuhkan oleh psikolog untuk memprediksi gejala-


geala kejiwaan atau hal-hal yang berhubungan dengan jiwa seperti berpikir
kritis,radikal,empiris,serta mengubungkan pengalaman-pengalaman dalam
penilaian suatu kebenaran.
Daftar Pustaka

Suriasumantri, Jujun S.2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.


Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

http://chantryintelex.blogspot.co.id/2015/01/hakikat-dan-teori-kebenaran-
dalam.html

Adib, Muhammad.2010 "FILSAFAT ILMU: Ontologi, Epistimologi,


Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan". Yogyakarta: Puataka
Pelajar.

Ahmad, Seabani Bani.2009 "FILSAFAT ILMU: Kontemplasi Filosofis


tentang Seluk-beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan". Bandung:
Pustaka Setia.

Susanto. A.2011.Filsafat Ilmu Seuatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,


Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.

Sarwono,W. 2010. Pengantar Psikologi Umum Cetakan Ketiga. Jakarta :


Rajawali Pers.

Gie, Liang. 2010. Pengantar Filsafat Ilmu Cetakan Kedelapan.Yogyakarta


: Liberty

Bakhtiar, Amsal. 2016. Filsafat Ilmu Cetakan Keempat Belas. Jakarta :


Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai