Oleh:
Pertama-tama mari kita panjatkan puja dan puji syukur kepada sang
Pencipta kita, Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, serta
hidayah-Nya kepada kita semua sampai saat ini. Dengan rahmat, taufik, dan
hidaayah-Nya pula, pembuat dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat
pada waktunya.
Yang kedua kalinya mari kita ucapkan sholawat dan salam agar tetap
tercurahkan kepada junjungan nabi besar kita Muhammad SAW, yang telah
membawa kita dari dari zaman jailiyah menuju zaman yang terang
benderang, yakni agama Islam. Karenanyalah kita sampai saat ini masih
mempercayai adanya Allah SWT, surga, dan neraka. Nabi yang telah
menolong kita dari jalan yang sesat menuju jalan yang lurus.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya
dengan ilmu pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa
dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern,
realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi dan kuantitatif. Ini tidak
terlepas dari pandangan yang materialistik-sekularistik. Kuantifikasi objek ilmu
pengetahuan berari bahwa aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif menjadi
diabaikan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan.
Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan
adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme.
Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan,
mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.
Berdasarkan dari latar belakang yang telah di paparkan diatas dapat ditarik
rumusan masalah sebagai berikut :
PEMBAHASAN
A. Pengetian Kebenaran
Kriteria dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas
yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi
ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah
perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia
dalam dunianya. Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut
ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi
fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai
masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi
strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-
komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau
dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu,
sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan system.
Meskipun demikian, apa yang sekarang ini kita pegang sebagai kebenaran
mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang
lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan
keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian
dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk
mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu
terdapat diluar jangkauan manusia.
(Muhammad Adip,2010.Hal.65-69)
B. Teori Kebenaran
1. Kebenaran Koherensi
2. Kebenaran Korespondensi
3. Kebenaran Pragmatis
4. Kebenaran Perfirmatif
5. Kebenaran Proposisi
Contohnya; Setiap manusia pasti akan mati. Johan adalah seorang manusia. Jadi,
Johan pasti akan mati.
Perintis teori ini adalah Charles S. Pierce yang dikembangkan lebih lanjut
oleh William James dan John Dewey. Menurut James yang benar adalah yang
konkrit, yang individual, dan yang spesifik. Sementara menurut Dewey kebenaran
pragmatis itu kebenaran yang mempunyai kegunaan praktis.
Menurut teori ini, suatu pernyataan kebenaran bukanlah kualitas atau sifat
sesuatu, tatapi sebuah tindakan (performatif). Untuk menyatakan sesuatu itu
benar, maka cukup melakukan tindakan konsesi (setuju/menerima/ membenarkan)
terhadap gagasan yang telah dinyatakan.
Teori ini dianut oleh filsuf Frank Ramsey, John Austin dan Peter
Strawson. Para filsuf ini hendak menentang teori klasik bahwa “benar” dan
“salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu. Proposisi yang benar
berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang memang dianggap benar.
Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan
realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan
realitas, tetapi justeru dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana yang
diungkapkan dalam pernyataan itu.
5).Kebenaran Proposisi
Proposisi adalah kalimat deklaratif yang bernilai benar (true) atau salah
(false), tetapi tidak dapat sekaligus keduanya. Kebenaran atau kesalahan dari
sebuah kalimat disebut nilai kebenarannya (truth value).
Contoh : 4+4 = 8
(A.Susanto.2011.Hal.86-89)
C. Pengertian dari Hakekat Ilmu
Definisi Kakekat ilmu terdiri dari dua kata yang berbeda. Masing-masing
memiliki makna kata yang berbeda. Kata hakekat secara etimologis berarti terang,
yakin, dan sebenarnya. Dalam filsafat, hakikat diartikan inti dari sesuatu, yang
meskipun sifat-sifat yang melekat padanya dapat berubah-ubah, namun inti
tersebut tetap lestari.
Menurut The Liang Gie (1996:88), ilmu sebagai pengetahuan, aktivitas, atau
metode merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan. Ilmu merupakan
rangkaian aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang
akhirnya metodis itu menghasilkan pengetahuan ilmiah. Menurut W. Atmojo
(1998:324) ilmu ialah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (Pengetahuan) itu.
4. Metode Keilmuan
Pada dasarnya, ditinjau dari sejarah cara berpikir manusia, terdapat dua
pola dalam memperoleh pengetahuan. Pertama adalah berpikir secara rasional.
Berdasarkan faham rasionalisme ini, idea tentang kebenaran sudah ada. Pikiran
manusia dapat mengetahui idea tersebut, namun tidak menciptakannya dan tidak
pula mempelajarinya lewat pengalaman. Idea tentang kebenaran yang menajdi
dasar pengetahuannya, diperoleh lewat berpikir secara rasional, terlepas dari
pengalaman manusia. Lalu pertanyaannya bagaimana kalau seandainya kebenaran
yang disepakati berdasarkan berpikir secara rasional tersebut tidak sesuai dengan
pengalaman hidup? Maka metode berpikir seperti ini dianggap masih lemah untuk
menyimpulkan kebenaran dengan kesepakatan bersama
.
Maka dari itu, muncullah kemudian cara berpikir lain, yang disebut
dengan pola berpikir empiris. Cara berpikir ini sama sekali berlawanan dengan
cara berpikir di atas (rasional). Cara berpikir empiris menganjurkan bahwa kita
harus kembali ke alam untuk mendapatkan kebenaran. Menurut mereka bahwa
pengetahuan itu tidak ada secara apriorik di benak kita, melainkan harus diperoleh
dari pengalaman.
Berpikir secara empiris juga ternyata belum bisa membawa ktia kepada
sebuah kebenaran, sebab, gejala yang terdapat dalam pengalaman kita harus
mempunyai arti kalau kita memberikan tafsiran terhadap mereka. Disamping itu,
bila kita hanya mengumpulkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang kita
temui dalam pengalaman, lalu apakah gunanya semua kumpulan itu bagi kita?
Pengetahuan yang diperoleh dengan cara ini hanyalah merupakan kumpulan
pengetahuan yang beranekaragam yang tidak berarti. Ternyata bahwa pendekatan
empiris juga gagal mengantarkan kita memperoleh pengetahuan yang benar.
Namun demikian, kenyataan ini tidak boleh menutup mata kita terhadap
berbagai kekurangan ilmu. Kekurangan-kekurangan ini bersumber pada asumsi
landasan epistemologi ilmu, yang menyatakan bahwa kita mampu memperoleh
pengetahuan yang bertumpu pada persepsi, ingatan, dan penalaran.
Panca indera kita buka saja terbatas pada kemampuannya tetapi terkadang
menyesatkan menyesatkan hasilnya. contohnya Bumi dalam teori ilmiah
sebenarnya mengelilingi matahari, tetapi seolah-olah matahari yang mengelilingi
bumi. Contoh seperti ini telah membawa manusia sampai pada kesimpulan yang
salah mengenai perputaran planet-planet dalam teori tata surya. Sedangkan disatu
sisi manusia mengandalkan indera tersebut untuk mendapatkan pengetahuan yang
merupakan produk kegiatan berpikirnya.
Namun demikian harus kita sadari bahwa contoh logam di atas tidak
berlaku jika dihadapkan dengan kondisi sosial. Mengapa demikian? karena logam
merupakan benda mati dan bersifat statis, lain halnya dengan gejala-gejala sosial
yang sangat banyak dan kompleks, serta interaksi antara faktor-faktor tersebut
bersifat dinamis dan dapat berubah setiap waktu.
A. Pengertian Psikologi
Menurut asal katanya psikologi bersal dari bahasa yunani yaitu psyche
yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti
ilmu jiwa tetapi pernyataan tersebut masih kurang teapt karena banyak perdebatan
diantaranya yan menyatakan bahwa jiwa itu tidak terlihat jadi jiwa tidak bias di
pelajari sehingga pernyataan baru muncul yaitu psikologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang gejala kejiwaan.
1). Ontologis
Ontologi adalah teori dari cabang filsafat yang membahas tentang realitas.
Realitas ialah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran.
Bedanya realitas dalam ontologi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan : apakah
sesungguhnya hakikat dari realitas yang ada ini; apakah realitas yang ada ini
sesuatu realita materi saja; adakah sesuatu di balik realita itu; apakah realita ini
monoisme, dualisme, atau pluralisme. Menurut Bramel, interprestasi tentang suatu
realita itu dapat bervariasi.
3). Aksiologi
Jika dilihat dari objek formal atau metodenya, filsafat dan psikologi
memiliki perbedaan. Filsafat memperlajari manusia tidak terbatas pada gejala
empiris semata, melainkan bentuk dan gejala apapun tentang manusia. Meliputi
aspek-aspek, dimensi-dimensi, atau nilai-nilai yang bersifat metafisis, spiritual
dan universal dari manusia yang tidak dapat diobservasi dan diukur oleh metode-
metode keilmuan. Sedangkan psikologi menangkap dan menyelidiki gejala-
gejala empiris dan bersifat objektif dari manusia. Dimana hal ini dapat diukur
dengan menggunakan metode observasional dan eksperimental.
BAB IV
KESIMPIULAN
http://chantryintelex.blogspot.co.id/2015/01/hakikat-dan-teori-kebenaran-
dalam.html