TEORI KEBENARAN
Program Studi Magister Ekonomi Syariah-S2
DiSusun Oleh
Herry Ardiyansyah, S.Pd
A. LATAR BELAKANG
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berusaha untuk mencari kebenaran dalam
hidupnya agar dirinya dapat diterima di lingkungan tempat mereka melakukan kegiatan
sosial. Ada berbagai cara untuk memperoleh kebenaran diantaranya adalah dengan
menggunakan rasio seperti para rasionalis, atau bahkan melalui pengalaman hidup mereka.
Kemudian rasio yang mayoritas akan ditunjuk sebagai teori kebenaran di jaman dahulu.
Pengalaman-pengalaman yang telah dialami oleh manusia menciptakan sebuah prinsip yang
kadang melebihi nalar pada umumnya sehingga kejadian yang telah dialami tersebut dapat
diartikan berbeda bagi setiap individu. Tingkat pengetahuan setiap individu akan
menghasilkan tingkat kebenaran yang berbeda bagi individu yang satu dengan yang lainnya.
Dalam mengetahui kebenaran indera merupakan struktur terendah, dan pengetahuan serta
intuitif adalah merupakan struktur tertingginya. Saat mencapai tingkat pengetahuan rasional
ilmiah, manusia dapat melakukan penataan pada ilmu pengetahuannya agar lebih terstruktur
dengan baik.
1. Pengertian kebenaran.
2. Hubungan metode dengan kebenaran ilmu pengetahuan
3. Teori-teori kebenaran filsafat ilmu.
4. Sifat dan tingkatan kebenaran ilmu.
C.TUJUAN
Ada pun tujuan pembuatan makalah ini adalah :
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN KEBENARAN
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai
yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan
(human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Berbicara tentang kebenaran
ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat
digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya
haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.
Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas
yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun
yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya
pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya.
Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan
dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan
menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada
dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-
komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan
tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil
temuannya diletakkan dalam satu kesatuan system.
Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah telah
mengakibatkan pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi
kehidupan manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak
atau menerima suatu produk pemikiran manusia.Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari
kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada
waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu
adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya
(dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidak benaran (keburukan).
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak
mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah. Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui
penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian maka diperoleh suatu
pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada kontradiksi di
dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan
fakta.Bangunan suatu pengetahuan secara epistemologis bertumpu pada suatu asumsi
metafisis tertentu, dari asumsi metafisis ini kemudian menuntut suatu cara atau metode yang
sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan merupakan
konsekuensi logis dari watak objek. Oleh karena itu pemaksaan standard tunggal pengetahuan
dengan paradigma (metode, dan kebenaran) tertentu merupakan kesalahan, apapun alasannya,
apakah itu demi kepastian maupun objektivitas suatu pengetahuan. Secara epistemologis
kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklai sebagai diketahui dengan kenyataan yang
sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara
subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya.Setiap
tradisi epistemologi beranggapan bahwa kebenaran suatu pengetahuan dapat diperoleh berkat
metode yang dipergunakannya, adapun metode-meode tersebut adalah sebagai berikut:
1.Empirisme
Empirisme sangat menghargai pengamatan empiris dan cara kerja Empirisme bertitik tolak
dari adanya dualitas antara pengenal dan apa yang dikenal. Mereka menginginkan agar apa
yang terdapat dalam pengetahuan pengenal bersesuaian dengan kenyataan yang ada di
luarnya. Mereka memberi peran yang besar pada objek yang mau dikenal, sedang pengenal
bersifat pasif. Teori Kebenaran Korespondensi adalah sarana bagi mereka untuk menguji
hasil pengetahuan, menurut teori ini suatu pernyataan dikatakan benar bila sesuai dengan
fakta empiri yang menjadi objeknya. Menurut Abbas, teori kebenaran korespondensi adalah
teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran
tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran
pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.Kelemahan teori kebenaran
korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan, atau
indera tidak normal lagi. Disamping itu teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada
objek/bidang nonempiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah
kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan
dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.
2.Rasionalisme
Spinoza dan Hegel amat menekankan pada pengenal dibanding dengan apa yang dikenal
sebagai suatu kenyataan, mereka adalah tokoh yang menekankan dibangunnya pengetahuan
yang bersifat a priori sebagaimana ilmu falak dan mekanika. Ilmu falak dan mekanika tidak
bisa memakai kenyataan objektif untuk mendukung pernyataan-pernyataan teoritisnya,
karena menurutnya ilmu cukup bertumpu pada kerangka teoritis yang bersifat a priori.
Mereka menggunakan Teori Kebenaran Koherensi dalam menguji produk pengetahuannya.
Teori Kebenaran Koherensi berpandangan bahwa suatu pernyataan dikatakan benar bila
terdapat kesesuaian antara pernyatan satu dengan pernyataan terdahulu atau lainnya dalam
suatu sistem pengetahuan yang dianggap benar.
Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu sistem yang unsur-unsurnya berhubungan secara
logis. Teori kebenaran koherensi tergolong dalam teori kebenaran yang tradisional. Selain
melalui hubungan gagasaan-gagasan secara logis-sistemik, ada beberapa cara pembuktian
dalam berpikir rasional, yaitu melalui hukum-hukum logika dan perhitungan matematis.
Kebenaran koherensi mempunyai kelemahan mendasar, yaitu terjebak pada penekanan
validitas, teorinya dijaga agar selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar
dalam dirinya sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan
lain di luar sistemnya. Hal ini bisa mengarah pada relativisme pengetahuan. Misal pada
jaman Pertengahan ilmu bertumpu pada mitos dan cerita rakyat, kebenaran argumen tidak
pernah bertumpu pada pengalaman dunia luar.
3. Induktivisme
Induktivisme berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari observasi, dan observasi
memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah di atasnya, sedangkan
pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang diperoleh
melalui induksi. Hal itu berarti bahwa pengetahuan ilmiah bukanlah pengetahuan yang telah
dibuktikan, melainkan pengetahuan yang probabel benar. Makin besar jumlah observasi yang
membentuk dasar suatu induksi, dan makin besar variasi kondisi di mana observasi
dilakukan, maka makin besarlah pula probabilitas hasil generalisasi itu benar. Namun
kebenaran ilmu akan mundur menuju kearah probabilitas. Kebenaran yang bertumpu pada
pola induksi adalah selalu dalam kemungkinan, dengan kata lain produk ilmu bersifat tentatif,
ia benar sejauh belum ada data yang menunjukkan pengingkaran terhadap teori.
C. Teoti-Teori Kebenaran
Ilmu pengetahuan terkait erat dengan pencarian kebenaran, yakni kebenaran ilmiah.
Ada banyak yang termasuk pengetahuan manusia, namun tidak semua hal itu langsung kita
golongkan sebagai ilmu pengetahuan. Hanya pengetahuan tertentu, yang diperoleh dari
kegiatan ilmiah, dengan metode yang sistematis, melalui penelitian, analisis dan pengujian
data secara ilmiah, yang dapat kit sebut sebagai ilmu pengetahuan. Dalam sejarah filsafat,
terdapat beberapa teori tentang kebenaran, antara lain :
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu
pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut. Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau
Jawa” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat
faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau Jawa. Sekiranya orang
lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra” maka pernnyataan
itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut.
Dalam hal ini maka secara faktual “kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra
melainkan di pulau Jawa”.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan
langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung
kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan
fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.
Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran sebagai persesuaian
bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Jadi
suatau pernyataan dianggap benar jika apa yang dinyatakan memiliki keterkaitan
(correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan dalam pernyataan itu.
Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai
diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya
apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau dapat pula dikatakan bahwa
kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek
dan realitas sebagaimana adanya. Kebenaran sebagai persesuaian juga disebut sebagai
kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan proposisi, atau teori, ditentukan oleh
apakah pernyataan, proposisi atau teori didukung fakta atau tidak.
Suatu ide, konsep, atau teori yang benar, harus mengungkapkan relaitas yang sebenarnya.
Kebenaran terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh
kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pengetahuan itu. Oleh karena itu, bagi
teori ini, mengungkapkan realitas adalah hal yang pokok bagi kegiatan ilmiah. Dalam
mengungkapkan realitas itu, kebenaran akan muncul dengan sendirinya ketika apa yang
dinyatakan sebagai benar memang sesuai dengan kenyataan.
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi,
fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau
kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu
benar. Teori korespodensi (corespondence theory of truth), menerangkan bahwa kebenaran
atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud
suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau
pendapat tersebut. Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran
dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu
yaitu :
Statemaent (pernyataan)
Persesuaian (agreemant)
Situasi (situation)
Kenyataan (realitas)
Putusan (judgements)
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori
ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan lebih lanjut
oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad
moderen.
Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah
dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar
suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka
ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka
pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian,
disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka
pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung
menekankan satu atau lebih dati tiga pendekatan , yaitu :
Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih
bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat
digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang
setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti
adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah
pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang
kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.
Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan
adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan
praktis bagi kehidupan manusia”. Dalam pendidikan, misalnya di IAIN, prinsip kepraktisan
(practicality) telah mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing fakultas. Tarbiyah
lebih disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai
kebenaran tentang “Adanya Tuhan” para penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan
apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether really or ideally).
Dewey dan kaum pragmatis lainnya juga menekankan pentingnya ide yang benar bagi
kegiatan ilmiah. Menurut Dewey, penelitian ilmiah selalu diilhami oleh suatu keraguan awal,
suatu ketidakpastian, suatu kesangsian akan sesuatu. Kesangsian menimbulkan ide tertentu.
Ide ini benar jika ia berhasil membantu ilmuwan tersebut untuk sampai pada jawaban tertentu
yangmemuaskan dan dapat diterima. Misalnya, orang yang tersesat di sebuah hutan kemudian
menemukan sebuah jalan kecil. Timbul ide, jangan-jangan jalan ini akan membawanya keluar
dari hutan tersebut untuk sampai pada pemukiman penduduk. Ide tersebut benar jika pada
akhirnya dengan dituntun oleh ide tadi ia akhirnya sampai pada pemukiman manusia.
Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan.
Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah
adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian kebenaran adalah
kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau pengaruhnya yang
memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang
tetap atau mutlak kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat/ hasil yang
memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh
referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori
tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk
kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis.
D. Standarisasi Ilmu
Beberapa pandangan tentang kebenaran tak terelakkan mengarah kepada relativisme,
Filsafat adalah merupakan contoh dari suatu sistem yang mempertahankan kebenaran hingga
mengarah ke bentuk solip. Lingkungan dari berbagai budaya sepertinya mengadopsi
kebenaran yang berbeda satu dengan lainnya karena di sana tidak ada jalan untuk
membandingkan secara transkultural. Popper mengatakan: kita terkurung dalam kerangka
teori kita, ekspektasi kita, pengalaman lampau kita, dan bahasa kita. Dalam perjalanan sejarah
Ilmu, ilmu modern (Positivisme) berusaha melakukan standarisasi metode dan kebenaran
pengetahuan. Faham Positivisme menginginkan satu standar bagi pengetahuan dan keyakinan
manusia yaitu ilmu. Menurutnya ilmu lebih unggul baik dalam metode maupun kebenaran
dibanding pengetahuan dan keyakinan lainnya.
Gadamer menginginkan standard metode yang berbeda untuk ilmu humaniora, karena
menurutnya historia adalah sumber kebenaran yang sepenuhnya berbeda dengan alasan
teoritis. Demikian juga Dilthey dan Weber menginginkan pendekatan yang berbeda untuk
dunia sosial, mereka menetapkan teori kritis tentang masyarakat. Kata “benar” yang
dipergunakan dalam ilmu, agama, spiritualitas, estetika adalah sama, namun semuanya tidak
dapat diukur dengan standard yang sama (inkommensurabel), tidak ada satupun yang benar-
benar menunjuk pada klaim bahwa suatu pernyataan adalah benar dalam suatu makna kata
namun bermakna salah pada lainnya. Misal: kata “ilmu penciptaan” sebagai pemilik
kebenaran menjadi bermakna keteraturan (kosmos) diterima sebagai ilmiah namun tujuannya
tidak ilmiah dan dua jenis kebenaran tersebut tidak sama.
Adalah sulit untuk menyatakan ”benar” tentang keyakinan ataupun visi dari suatu masyarakat
atau budaya. Karena itu sulit untuk menilai tingkat kebenaran misalnya antara filsafat Barat
dan filsafat Cina, sebab masing-masing punya cakupan, , kompleksitas dan variasi yang
berbeda.
Kebenaran mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati secara
terpilah dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Popper memandang teori adalah
sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada persetujuan antara konsekuensi
dan fakta observasi.
1. Evolusionisme
Suatu teori adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling bagus hanya
berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan bahwa kemajuan ilmu tidaklah
bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang. Sejalan dengan itu Pranarka melihat
ilmu selalu dalam proses evolusi apakah berkembang ke arah kemajuan ataukah kemunduran,
karena ilmu merupakan hasil aktivitas manusia yang selalu berkembang dari jaman ke jaman.
Kebenaran ilmu walau diperoleh secara konsensus namun memiliki sifat universal sejauh
kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Sifat keuniversalan ilmu masih dapat dibatasi oleh
penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang hasilnya menggugurkan penemuan
terdahulu atau bertentangan sama sekali, sehingga memerlukan penelitian lebih mendalam .
Jika hasilnya berbeda dari kebenaran lama maka maka harus diganti oleh penemuan baru atau
kedua-duanya berjalan bersama dengan kekuatannya atas kebenaran masing-masing.
Ilmu sekarang lebih mendekati kebenaran daripada ilmu pada jaman Pertengahan, dan ilmu
pada abad duapuluh akan lebih mendekati kebenaran daripada abad sebelumnya. Hal tersebut
tidak seperti ilmu pada jaman Babilonia yang dulunya benar namun sekarang salah, ilmu kita
(kealaman) benar untuk sekarang dan akan salah untuk seribu tahun kemudian, tapi kita
mendekati kebenaran lebih dekat.
2. Falsifikasionis
Popper dalam memecahkan tujuan ilmu sebagai pencarian kebenaran ia berpendapat bahwa
ilmu tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu hanya berusaha mendekat ke
kebenaran (verisimilitude). Menurutnya teori-teori lama yang telah diganti adalah salah bila
dilihat dari teori-teori yang berlaku sekarang atau mungkin kedua-duanya salah, sedangkan
kita tidak pernah mengetahui apakah teori sekarang itu benar. Yang ada hanyalah teori
sekarang lebih superior dibanding dengan teori yang telah digantinya. Namun verisimilitude
tidak sama dengan probabilitas, karena probabilitas merupakan konsep tentang menedekati
kepastian lewat suatu pengurangan gradual isi informatif. Sebaliknya, verisimilitude
merupakan konsep tentang mendekati kebenaran yang komprehensif. Jadi verisimilitude
menggabungkan kebenaran dengan isi, sementara probabilitas menggabungkan kebenaran
dengan kekurangan isi.
Tesis utama Popper ialah bahwa kita tidak pernah bisa membenarkan (justify) suatu teori.
Tetapi terkadang kita bisa “membenarkan”(dalam arti lain) pemilihan kita atas suatu teori,
dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa teori tersebut sampai kini bisa bertahan
terhadap kritik lebih tangguh daripada teori saingannya Taryadi, 1989: 75).
3. Relativisme
Relativisme berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relative dilihat dari penilaian
individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend memandang ilmu sebagai sarana
suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria kebenaran ilmu antar
masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya kebebasan untuk menentukan
kriteria kebenarannya.
4. Objektivisme
Apa yang diartikan sebagai “benar” ketika kita mengklain suatu pernyataan adalah
sebagaimana yang Aristoteles artikan yaitu ”sesuai dengan keadaan“: pernyataan benar
adalah “representasi atas objek” atau cermin atas itu ). Tarski menekankan teori kebenaran
korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu teori dituntut untuk
memenuhi kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori kebenaran yang diselamatkan
Tarski merupakan suatu teori yang memandang kebenaran bersifat “objektif”, karena
pernyataan yang benar melebihi dari sekedar pengalaman yang bersifat subjektif. Ia juga
“absolut” karena tidak relatif terhadap suatu anggapan atau kepercayaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata.
Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia Uraian dan ulasan
mengenai berbagai teori kebenaran di atas telah menunjukkan kelebihan dan kekurangan dari
berbagai teori kebenaran. Teori Kebenaran mempunyai Kelebihan Kekurangan
Korespondensi sesuai dengan fakta dan empiris kumpulan fakta-fakta Koherensi bersifat
rasional dan Positivistik Mengabaikan hal-hal non fisik Pragmatis fungsional-praktis tidak
ada kebenaran mutlak Performatif Bila pemegang otoritas benar, pengikutnya selamat Tidak
kreatif, inovatif dan kurang inisiatif Konsensus Didukung teori yang kuat dan masyarakat
ilmiah Perlu waktu lama untuk menemukan kebenaran.
Teori konsistensi melepaskan hubungan antara putusan dengan fakta dan realitas, tetapi
mencari kaitan antara satu putusan dengan putusan yang lainnya, yang telah ada lebih dulu
dan diakui kebenarannya. Kebenaran menurut teori konsistensi bukan dibuktikan dengan
fakta/realitas, tetapi dengan membandingkannya dengan putusan yang telah ada sebelumnya
dan dianggap benar. Bila sebuah putusan mengatakan bahwa Mahatma adalah ayah Rajiv,
dan putusan kedua mengatakan bahwa Rajiv memiliki anak bernama Sonia, maka sebuah
putusan baru yang mengatakan Sonia adalah cucu Mahatma dapat dikatakan benar, dan
putusan tersebut adalah sebuah kebenaran.
Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah ada.
Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai
kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA
https://raafsyamjani.wordpress.com/2013/04/25/maklalah-teori-kebenaran-filspat-ilmu/