Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FILSAFAT ILMU

TEORI KEBENARAN
Program Studi Magister Ekonomi Syariah-S2

DiSusun Oleh
Herry Ardiyansyah, S.Pd

INSTITUT AGAMA ISLAM


SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDDIN
2021/2022
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berusaha untuk mencari kebenaran dalam
hidupnya agar dirinya dapat diterima di lingkungan tempat mereka melakukan kegiatan
sosial. Ada berbagai cara untuk memperoleh kebenaran diantaranya adalah dengan
menggunakan rasio seperti para rasionalis, atau bahkan melalui pengalaman hidup mereka.
Kemudian rasio yang mayoritas akan ditunjuk sebagai teori kebenaran di jaman dahulu.
Pengalaman-pengalaman yang telah dialami oleh manusia menciptakan sebuah prinsip yang
kadang melebihi nalar pada umumnya sehingga kejadian yang telah dialami tersebut dapat
diartikan berbeda bagi setiap individu. Tingkat pengetahuan setiap individu akan
menghasilkan tingkat kebenaran yang berbeda bagi individu yang satu dengan yang lainnya.
Dalam mengetahui kebenaran indera merupakan struktur terendah, dan pengetahuan serta
intuitif adalah merupakan struktur tertingginya. Saat mencapai tingkat pengetahuan rasional
ilmiah, manusia dapat melakukan penataan pada ilmu pengetahuannya agar lebih terstruktur
dengan baik.

Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk


memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan
melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia
membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku
di alam itu dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan harus dibedakan dari fenomena alam.
Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan
fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena
alam atau simplifikasi atas fenomena tersebut.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal
menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan
tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan struktur terendah dalam
struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan
intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak
terstruktur, dan pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri.
Oleh sebab itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar
terstruktur dengan jelas.
Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan,
filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan.
Dalam ilmu pengetahuan modern, realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi
dan kuantitatif. Ini tidak terlepas dari pandangan yang materialistik-sekularistik. Kuantifikasi
objek ilmu pengetahuan berari bahwa aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif menjadi
diabaikan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu
pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah
dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan
diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.
B.RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini ada beberapa masalah yang akan dibahas, agar pembahasan dalam
makalah ini tidak lari dari judulnya ada baiknya kita rumuskan masalah-masalah yang akan di
bahas, antara lain :

1. Pengertian kebenaran.
2. Hubungan metode dengan kebenaran ilmu pengetahuan
3. Teori-teori kebenaran filsafat ilmu.
4. Sifat dan tingkatan kebenaran ilmu.

C.TUJUAN
Ada pun tujuan pembuatan makalah ini adalah :

1. Agar mahasiswa mampu mengetahui pengertian dan tingkatan-tingkatan kebenaran


ilmu pengetahuan.
2. Agar mahasiswa dapat menjelaskan apa saja hubungan metode dengan kebenaran
ilmu pengetahuan.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang teori-teori kebenaran ilmu pengetahuan.
4. Mahasiswa mampu menjabarkan apa saja tingkatan-tingkatan dan sifat-sifat
kebenaran ilmu pengetahuan.
BAB II

PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN KEBENARAN
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai
yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan
(human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Berbicara tentang kebenaran
ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat
digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya
haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.
Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas
yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun
yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya
pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya.
Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan
dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan
menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada
dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-
komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan
tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil
temuannya diletakkan dalam satu kesatuan system.
Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah telah
mengakibatkan pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi
kehidupan manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak
atau menerima suatu produk pemikiran manusia.Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari
kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada
waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu
adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya
(dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidak benaran (keburukan).

Dalam bahasan, makna “kebenaran” dibatasi pada kehususan makna “kebenaran


keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan
bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan. Kebenaran
intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-
bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian
maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran
sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya
harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.Selaras dengan Poedjawiyatna
yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut
kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi
pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.Meskipun demikian, apa yang dewasa ini
kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari
suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan
dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian
dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai
kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan
manusia.Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral, kebenaran
logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan
hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi
bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan
dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan
dengan akalbudi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada
merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya.
B. Hubungan antara metode dengan kebenaran

Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak
mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah. Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui
penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian maka diperoleh suatu
pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada kontradiksi di
dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan
fakta.Bangunan suatu pengetahuan secara epistemologis bertumpu pada suatu asumsi
metafisis tertentu, dari asumsi metafisis ini kemudian menuntut suatu cara atau metode yang
sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan merupakan
konsekuensi logis dari watak objek. Oleh karena itu pemaksaan standard tunggal pengetahuan
dengan paradigma (metode, dan kebenaran) tertentu merupakan kesalahan, apapun alasannya,
apakah itu demi kepastian maupun objektivitas suatu pengetahuan. Secara epistemologis
kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklai sebagai diketahui dengan kenyataan yang
sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara
subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya.Setiap
tradisi epistemologi beranggapan bahwa kebenaran suatu pengetahuan dapat diperoleh berkat
metode yang dipergunakannya, adapun metode-meode tersebut adalah sebagai berikut:

1.Empirisme
Empirisme sangat menghargai pengamatan empiris dan cara kerja Empirisme bertitik tolak
dari adanya dualitas antara pengenal dan apa yang dikenal. Mereka menginginkan agar apa
yang terdapat dalam pengetahuan pengenal bersesuaian dengan kenyataan yang ada di
luarnya. Mereka memberi  peran yang besar pada objek yang mau dikenal, sedang pengenal
bersifat pasif. Teori Kebenaran Korespondensi adalah sarana bagi mereka untuk menguji
hasil pengetahuan, menurut teori ini suatu pernyataan dikatakan benar bila sesuai dengan
fakta empiri yang menjadi objeknya. Menurut Abbas, teori kebenaran korespondensi adalah
teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran
tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran
pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.Kelemahan teori kebenaran
korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan, atau
indera tidak normal lagi. Disamping itu teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada
objek/bidang nonempiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah
kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan
dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.

2.Rasionalisme
Spinoza dan Hegel amat menekankan pada pengenal dibanding dengan apa yang dikenal
sebagai suatu kenyataan, mereka adalah tokoh yang menekankan dibangunnya pengetahuan
yang bersifat a priori sebagaimana ilmu falak dan mekanika. Ilmu falak dan mekanika tidak
bisa memakai kenyataan objektif untuk mendukung pernyataan-pernyataan teoritisnya,
karena menurutnya ilmu cukup bertumpu pada kerangka teoritis yang bersifat a priori.
Mereka menggunakan Teori Kebenaran Koherensi dalam menguji produk pengetahuannya.
Teori Kebenaran Koherensi berpandangan bahwa suatu pernyataan dikatakan benar bila
terdapat kesesuaian antara pernyatan satu dengan pernyataan terdahulu atau lainnya dalam
suatu sistem pengetahuan yang dianggap benar.

Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu sistem yang unsur-unsurnya berhubungan secara
logis. Teori kebenaran koherensi tergolong dalam teori kebenaran yang tradisional. Selain
melalui hubungan gagasaan-gagasan secara logis-sistemik, ada beberapa cara pembuktian
dalam berpikir rasional, yaitu melalui hukum-hukum logika dan perhitungan matematis.
Kebenaran koherensi mempunyai kelemahan mendasar, yaitu terjebak pada penekanan
validitas, teorinya dijaga agar selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar
dalam dirinya sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan
lain di luar sistemnya. Hal ini bisa mengarah pada relativisme pengetahuan. Misal pada
jaman Pertengahan ilmu bertumpu pada mitos dan cerita rakyat, kebenaran argumen tidak
pernah bertumpu pada pengalaman dunia luar.

3. Induktivisme
Induktivisme berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari observasi, dan observasi
memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah di atasnya, sedangkan
pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang diperoleh
melalui induksi. Hal itu berarti bahwa pengetahuan ilmiah bukanlah pengetahuan yang telah
dibuktikan, melainkan pengetahuan yang probabel benar. Makin besar jumlah observasi yang
membentuk dasar suatu induksi, dan makin besar variasi kondisi di mana observasi
dilakukan, maka makin besarlah pula probabilitas hasil generalisasi itu benar. Namun
kebenaran ilmu akan mundur menuju kearah probabilitas. Kebenaran yang bertumpu pada
pola induksi adalah selalu dalam kemungkinan, dengan kata lain produk ilmu bersifat tentatif,
ia benar sejauh belum ada data yang menunjukkan pengingkaran terhadap teori.

C. Teoti-Teori Kebenaran

  Ilmu pengetahuan terkait erat dengan pencarian kebenaran, yakni kebenaran ilmiah.
Ada banyak yang termasuk pengetahuan manusia, namun tidak semua hal itu langsung kita
golongkan sebagai ilmu pengetahuan. Hanya pengetahuan tertentu, yang diperoleh dari
kegiatan ilmiah, dengan metode yang sistematis, melalui penelitian, analisis dan pengujian
data secara ilmiah, yang dapat kit sebut sebagai ilmu pengetahuan. Dalam sejarah filsafat,
terdapat beberapa teori tentang kebenaran, antara lain :

1. Teori Kebenaran Korespondensi (Teori persesuaian)


Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara
luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita
obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan
tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang
pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat
dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.

Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu
pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut. Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau
Jawa” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat
faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau Jawa. Sekiranya orang
lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra” maka pernnyataan
itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut.
Dalam hal ini maka secara faktual “kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra
melainkan di pulau Jawa”.

Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan
langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung
kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan
fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.
Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran sebagai persesuaian
bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Jadi
suatau pernyataan dianggap benar jika apa yang dinyatakan memiliki keterkaitan
(correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan dalam pernyataan itu.
Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai
diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya
apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau dapat pula dikatakan bahwa
kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek
dan realitas sebagaimana adanya. Kebenaran sebagai persesuaian juga disebut sebagai
kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan proposisi, atau teori, ditentukan oleh
apakah pernyataan, proposisi atau teori didukung fakta atau tidak.
Suatu ide, konsep, atau teori yang benar, harus mengungkapkan relaitas yang sebenarnya.
Kebenaran terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh
kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pengetahuan itu. Oleh karena itu, bagi
teori ini, mengungkapkan realitas adalah hal yang pokok bagi kegiatan ilmiah. Dalam
mengungkapkan realitas itu, kebenaran akan muncul dengan sendirinya ketika apa yang
dinyatakan sebagai benar memang sesuai dengan kenyataan.

Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi,
fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau
kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu
benar. Teori korespodensi (corespondence theory of truth), menerangkan bahwa kebenaran
atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud
suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau
pendapat tersebut. Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran
dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu
yaitu :

 Statemaent (pernyataan)

 Persesuaian (agreemant)

 Situasi (situation)
 Kenyataan (realitas)

 Putusan (judgements)

Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori
ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan lebih lanjut
oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad
moderen.

2. Teori Kebenaran Konsistensi/Koherensi (teori keteguhan)


Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren
atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Artinya
pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain
yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika. Misalnya, bila kita
menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar,
maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah
benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini adalah bahwa karena kebenaran
suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya dengan pernyataan lain, timbul
pertanyaan bagaimana dengan kebenaran pernyataan tadi? Jawabannya, kebenarannya
ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan tersebut sesuai dan sejalan dengan
pernyataan yang lain. Hal ini akan berlangsung terus sehingga akan terjadi gerak mundur
tanpa henti (infinite regress) atau akan terjadi gerak putar tanpa henti.Karena itu, kendati
tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai keteguhan ini penting, dalam kenyataan
perlu digabungkan dengan teori kebenaran sebagai kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi
tertentu kita tidak selalu perlu mengecek apakah suatu pernyataan adalah benar, dengan
merujuknya pada realitas. Kita cukup mengandaikannya sebagai benar secara apriori, tetapi,
dalam situasi lainnya, kita tetap perlu merujuk pada realitas untuk bisa menguji kebenaran
pernyataan tersebut. Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti
Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan
begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial
bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan
tersebut. Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi
faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.
3. Teori Pragmatik
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang
terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika
yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini
di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart
Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.

Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi


mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau
akibat yang memuaskan, Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran
yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar
dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis
adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam
kehidupan manusia.

Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah
dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar
suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka
ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka
pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian,
disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka
pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung
menekankan satu atau lebih dati tiga pendekatan , yaitu :

 Yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita,

 Yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen,

 Yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.

Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih
bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat
digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang
setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti
adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah
pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang
kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.

Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan
adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan
praktis bagi kehidupan manusia”. Dalam pendidikan, misalnya di IAIN, prinsip kepraktisan
(practicality) telah mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing fakultas. Tarbiyah
lebih disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai
kebenaran tentang “Adanya Tuhan” para penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan
apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether really or ideally).

William James mengembangkan teori pragmatisnya dengan berangkat dari pemikirannya


tentang “berpikir”. Menurutnya, fungsi dari berpikir bukan untuk menangkap kenyataan
tertentu, melainkan untuk membentuk ide tertentu demi memuaskan kebutuhan atau
kepentingan manusia. Oleh karena itu, pernyataan penting bagi James adalah jika suatu ide
diangap benar, apa perbedaan praktis yang akan timbul dari ide ini dibandingkan dengan ide
yang tidak benar. Apa konsekuensi praktis yang berbeda dari ide yang benar dibandingkan
dengan ide yang keliru. Menurut William James, ide atau teori yang benar adalah ide atau
teori yang berguna dan berfungsi memenuhi tuntutan dan kebutuhan kita. Sebaliknya, ide
yang salah, adalah ide yang tidak berguna atau tidak berfungsi membanu kita memenuhi
kebutuhan kita.

Dewey dan kaum pragmatis lainnya juga menekankan pentingnya ide yang benar bagi
kegiatan ilmiah. Menurut Dewey, penelitian ilmiah selalu diilhami oleh suatu keraguan awal,
suatu ketidakpastian, suatu kesangsian akan sesuatu. Kesangsian menimbulkan ide tertentu.
Ide ini benar jika ia berhasil membantu ilmuwan tersebut untuk sampai pada jawaban tertentu
yangmemuaskan dan dapat diterima. Misalnya, orang yang tersesat di sebuah hutan kemudian
menemukan sebuah jalan kecil. Timbul ide, jangan-jangan jalan ini akan membawanya keluar
dari hutan tersebut untuk sampai pada pemukiman penduduk. Ide tersebut benar jika pada
akhirnya dengan dituntun oleh ide tadi ia akhirnya sampai pada pemukiman manusia.
Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan.
Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah
adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian kebenaran adalah
kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau pengaruhnya yang
memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang
tetap atau mutlak kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat/ hasil yang
memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :

 Sesuai dengan keinginan dan tujuan

 Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen

 Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada).

Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh
referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori
tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk
kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis.

D. Standarisasi Ilmu
Beberapa pandangan tentang kebenaran tak terelakkan mengarah kepada relativisme,
Filsafat adalah merupakan contoh dari suatu sistem yang mempertahankan kebenaran hingga
mengarah ke bentuk solip. Lingkungan dari berbagai budaya sepertinya mengadopsi
kebenaran yang berbeda satu dengan lainnya karena di sana tidak ada jalan untuk
membandingkan secara transkultural. Popper mengatakan: kita terkurung dalam kerangka
teori kita, ekspektasi kita, pengalaman lampau kita, dan bahasa kita. Dalam perjalanan sejarah
Ilmu, ilmu modern (Positivisme) berusaha melakukan standarisasi metode dan kebenaran
pengetahuan. Faham Positivisme menginginkan satu standar bagi pengetahuan dan keyakinan
manusia yaitu ilmu. Menurutnya ilmu lebih unggul baik dalam metode maupun kebenaran
dibanding pengetahuan dan keyakinan lainnya.

Gadamer menginginkan standard metode yang berbeda untuk ilmu humaniora, karena
menurutnya historia adalah sumber kebenaran yang sepenuhnya berbeda dengan alasan
teoritis. Demikian juga Dilthey dan Weber menginginkan pendekatan yang berbeda untuk
dunia sosial, mereka menetapkan teori kritis tentang masyarakat. Kata “benar” yang
dipergunakan dalam ilmu, agama, spiritualitas, estetika adalah sama, namun semuanya tidak
dapat diukur dengan standard yang sama (inkommensurabel), tidak ada satupun yang benar-
benar menunjuk pada klaim bahwa suatu pernyataan adalah benar dalam suatu makna kata
namun bermakna salah pada lainnya. Misal: kata “ilmu penciptaan” sebagai pemilik
kebenaran menjadi bermakna keteraturan (kosmos) diterima sebagai ilmiah namun tujuannya
tidak ilmiah dan dua jenis kebenaran tersebut tidak sama.

Adalah sulit untuk menyatakan ”benar” tentang keyakinan ataupun visi dari suatu masyarakat
atau budaya. Karena itu sulit untuk menilai tingkat kebenaran misalnya antara filsafat Barat
dan filsafat Cina, sebab masing-masing punya cakupan, , kompleksitas dan variasi yang
berbeda.

E. Sifat kebenaran ilmu

  Kebenaran mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati secara
terpilah dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Popper memandang teori adalah
sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada persetujuan antara konsekuensi
dan fakta observasi.
1. Evolusionisme
Suatu teori adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling bagus hanya
berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan bahwa kemajuan ilmu tidaklah
bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang. Sejalan dengan itu Pranarka melihat
ilmu selalu dalam proses evolusi apakah berkembang ke arah kemajuan ataukah kemunduran,
karena ilmu merupakan hasil aktivitas manusia yang selalu berkembang dari jaman ke jaman.

Kebenaran ilmu walau diperoleh secara konsensus namun memiliki sifat universal sejauh
kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Sifat keuniversalan ilmu masih dapat dibatasi oleh
penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang hasilnya menggugurkan penemuan
terdahulu atau bertentangan sama sekali, sehingga memerlukan penelitian lebih mendalam .
Jika hasilnya berbeda dari kebenaran lama maka maka harus diganti oleh penemuan baru atau
kedua-duanya berjalan bersama dengan kekuatannya atas kebenaran masing-masing.
Ilmu sekarang lebih mendekati kebenaran daripada ilmu pada jaman Pertengahan, dan ilmu
pada abad duapuluh akan lebih mendekati kebenaran daripada abad sebelumnya. Hal tersebut
tidak seperti ilmu pada jaman Babilonia yang dulunya benar namun sekarang salah, ilmu kita
(kealaman) benar untuk sekarang dan akan salah untuk seribu tahun kemudian, tapi kita
mendekati kebenaran lebih dekat.
2. Falsifikasionis
Popper dalam memecahkan tujuan ilmu sebagai pencarian kebenaran ia berpendapat bahwa
ilmu tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu hanya berusaha mendekat ke
kebenaran (verisimilitude). Menurutnya teori-teori lama yang telah diganti adalah salah bila
dilihat dari teori-teori yang berlaku sekarang atau mungkin kedua-duanya salah, sedangkan
kita tidak pernah mengetahui apakah teori sekarang itu benar. Yang ada hanyalah teori
sekarang lebih superior dibanding dengan teori yang telah digantinya. Namun verisimilitude
tidak sama dengan probabilitas, karena probabilitas merupakan konsep tentang menedekati
kepastian lewat suatu pengurangan gradual isi informatif. Sebaliknya, verisimilitude
merupakan konsep tentang mendekati kebenaran yang komprehensif. Jadi verisimilitude
menggabungkan kebenaran dengan isi, sementara probabilitas menggabungkan kebenaran
dengan kekurangan isi.

Tesis utama Popper ialah bahwa kita tidak pernah bisa membenarkan (justify) suatu teori.
Tetapi terkadang kita bisa “membenarkan”(dalam arti lain) pemilihan kita atas suatu teori,
dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa teori tersebut sampai kini bisa bertahan
terhadap kritik lebih tangguh daripada teori saingannya Taryadi, 1989: 75).
3. Relativisme
Relativisme berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relative dilihat dari penilaian
individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend memandang ilmu sebagai sarana
suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria kebenaran ilmu antar
masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya kebebasan untuk menentukan
kriteria kebenarannya.

Pragmatisme tergolong dalam pandangan relativis karena menganggap kebenaran merupakan


proses penyesuaian manusia terhadap lingkungan. Karena setiap kebenaran bersifat praktis
maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri,
sebab pengalaman berjalan terus dan segala sesuatu yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh
pengalaman berikutnya.

4. Objektivisme
Apa yang diartikan sebagai “benar” ketika kita mengklain suatu pernyataan adalah
sebagaimana yang Aristoteles artikan yaitu ”sesuai dengan keadaan“: pernyataan benar
adalah “representasi atas objek” atau cermin atas itu ). Tarski menekankan teori kebenaran
korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu teori dituntut untuk
memenuhi kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori kebenaran yang diselamatkan
Tarski merupakan suatu teori yang memandang kebenaran bersifat “objektif”, karena
pernyataan yang benar melebihi dari sekedar pengalaman yang bersifat subjektif. Ia juga
“absolut” karena tidak relatif terhadap suatu anggapan atau kepercayaan.

Objektivisme menyingkirkan individu-individu dan penilaian para individu yang memegang


peranan penting di dalam analisa-analisa tentang pengetahuan, objektivisme lebih bertumpu
pada objek daripada subjek dalam mengembangkan ilmu. Bila teori ilmiah benar dalam arti
sesungguhnya, yaitu bersesuaian secara pasti dengan keadaan, maka tidak ada tempat bagi
interpretasi ketidaksetujuan, beberapa ilmuwan percaya bahwa teori-teori mewakili gunung
kebenaran. Roger berpendapat bahwa teori-teori selalu merupakan imajinasi dari konstruksi
mental, dikuatkan oleh persetujuan antara fakta observasi dan peramalan atas implikasi.
Kelemahan kebenaran merupakan kesesuaian dengan keadaan adalah mereka merupakan
penyederhanaan dan pengabstraksian dari hubungan antara fakta-faktadan kejadian-
kejadianyang digabungkan dengan unsur persetujuan.

 
BAB III

PENUTUP

A.        Kesimpulan

  Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata.
Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia Uraian dan ulasan
mengenai berbagai teori kebenaran di atas telah menunjukkan kelebihan dan kekurangan dari
berbagai teori kebenaran. Teori Kebenaran mempunyai Kelebihan Kekurangan
Korespondensi sesuai dengan fakta dan empiris kumpulan fakta-fakta Koherensi bersifat
rasional dan Positivistik Mengabaikan hal-hal non fisik Pragmatis fungsional-praktis tidak
ada kebenaran mutlak Performatif Bila pemegang otoritas benar, pengikutnya selamat Tidak
kreatif, inovatif dan kurang inisiatif Konsensus Didukung teori yang kuat dan masyarakat
ilmiah Perlu waktu lama untuk menemukan kebenaran.

Berdasarkan teori korespondensi, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan


membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan dengan
preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (korespondence), maka
preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran/keadaan benar.

Teori konsistensi melepaskan hubungan antara putusan dengan fakta dan realitas, tetapi
mencari kaitan antara satu putusan dengan putusan yang lainnya, yang telah ada lebih dulu
dan diakui kebenarannya. Kebenaran menurut teori konsistensi bukan dibuktikan dengan
fakta/realitas, tetapi dengan membandingkannya dengan putusan yang telah ada sebelumnya
dan dianggap benar. Bila sebuah putusan mengatakan bahwa Mahatma adalah ayah Rajiv,
dan putusan kedua mengatakan bahwa Rajiv memiliki anak bernama Sonia, maka sebuah
putusan baru yang mengatakan Sonia adalah cucu Mahatma dapat dikatakan benar, dan
putusan tersebut adalah sebuah kebenaran.
Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah ada.
Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai
kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA

 Lorens, Bagus, Kamus Filsafat,  Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,2002.

 Sonny Keraf, Ilmu pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis , Yogyakarta :


Kanisius, 2001.

 Abbas, Hamami, Kebenaran Ilmiah dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar


Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Intan Pariwara, 1997.

 Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata :


Pustaka Sinar harapan, 1990

 https://raafsyamjani.wordpress.com/2013/04/25/maklalah-teori-kebenaran-filspat-ilmu/

Anda mungkin juga menyukai