BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Filsafat ilmu itu sangat luas, oleh karena itu penulis membatasi rumusan masalah
dengan batasan sebagai berikut:
1. Apa hakikat dari sebuah pendidikan?
2. Bagaimana ilmu pengetahuan itu diperoleh?
3. Apa pentingnya ilmu dan pengetahuan dalam kehidupan?
4. Bagaimana pendidikan di dalam ilmu pengetahuan (ontologism, epistemology, dan
aksiologi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui hakikat dari sebuah pendidikan.
2. Untuk mengetahui bagaimana ilmu pengetahuan itu diperoleh manusia.
3. Untuk mengetahui pentingnya ilmu dan pengetahuan dalam kehidupan.
4. Untuk mengetahui bagaimana pendidikan di dalam ilmu pengetahuan
(ontologism, epistemology, dan aksiologi?
D. Metode penulisan
Penulis menggunakan metode penulisan kajian literature, pustaka, dengan pendekatan
kualitatif deskriptif. Sehingga akan lebih mudah untuk memaparkan dan menjelaskan
materi ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Pendidikan
Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia bila telah memiliki nilai (sifat)
kemanusiaan itu sendiri. Itu menunjukan bahwa tidaklah mudah menjadi manusia.
Karena itulah sejak dahulu banyak manusia gagal menjadi manusia. Jadi tujuan
mendidik ialah memanusiakan manusia. Tafsir (2008: 35).
Filsafat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika
orang-orang mulai berpikir-pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan
lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya
mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu
seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak
seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual
orang lebih bebas. Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah Thales
dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filosof-filosof Yunani yang
terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato
sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa
sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini
menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah perkembangan filsafat
hingga saat ini.
Semua orang mengambil bagian bila yang dibicarakan adalah pendidikan, itu mudah
dipahami karena semua orang berkepentingan dengan pendidikan. Orang yang ingin
memperbaiki seseorang, sekelompok orang, suatu negara dan bahkan dunia, pasti
akan melakukannya langsung atau tidak langsung melalui pendidikan.
Alasannya Pertama, fitrah setiap orang menginginkan yang lebih baik. Ia
menginginkan pendidikan yang lebih baik seklaipun belum tentu ia tahu mana
pendidikan yang lebih baik . Kedua, karena teori pendidikan dan teori pada umumnya
selalu ketinggalan oleh kebutuhan masyarakat pada tempat dan waktu tertentu.
Menurut Tafsir (2008: 42) bahkan perubahan tempat dan waktu itu ikut pula
mengubah sifat manusia. Karena adanya perubahan maka masyarakat merasa tidak
puasa dengan teori pendidikan yang ada. Ketiga, karena pengaruh pandangan hidup,
pada suatu waktu mungkin seseorang telah puas dengan keadaan pendidikan di
tempatnya karena sudah sesuai dengan pandangan hidupnya, seuatu ketika ia
terpengaruhi oleh pandangan hidup yang lain. Akibatnya berubah pula pendapatnya
tentang pendidikan yang tadinya sudah memuaskan.
3. Perumusan hipotesis;
Yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadapa penyataan yang diajukan
yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
4. Pengujian hipotesis;
Yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang
diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung
hipotesis tersebut atau tidak.
5. Penarikan kesimpulan;
Yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau
diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang
mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya, sekiranya dalam proses
pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis, maka hipotesis itu
ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian
dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni
mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah
sebelumnya serta telah teruji kebenarannya.
Metode ilmiah adalah penting bukan saja dalam proses penemuan pengetahuan umum
namun lebih-lebih lagi dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah tersebut kepada
masyarakat ilmuwan. Perbedaan utama metode ilmiah bila dibandingkan dengan
metode-metode lainnya menurut Creswell (2009: 352) adalah hakikat metode ilmiah
yang bersifat sistematik dan eksplisit. Sikap eksplisit ini memungkinkan terjadinya
komunikasi yang intensif dalam kalangan masyarakat ilmuwan. Ilmu ditemukan
secara individual namun dimanfaatkan secara social. Dalam proses tersebut
berlangsung logika berpikir secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan khusus dari
yang umum.
D. Kajian Aksiologis terhadap Fungsi dan Peranan Pedagogik terhadap Praktek
Pendidikan.
Pengertian aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa yunani "axios" yang berarti
bermanfaat dan “logos” berarti ilmu pengetahuan atau ajaran (Budimansyah, 2008:
53). Secara istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai
yang ditinjau dari sudut kefilsafatan (Tafsir, 2008: 37). Sedangkan Danim (2012: 22)
menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti
dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran). Dengan demikian aksiologi
adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata
lain, apakah yang baik atau bagus itu. Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi
adalah suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut
dalam kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam kepribadian
peserta didik (Syarifudin, 2006: 69). Dengan demikian aksiologi adalah salah satu
cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai atau norma-norma terhadap suatu
ilmu.
Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai
kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode
dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah,
meliputi langkah-langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang
berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan
ketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait
dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh. Dari
penjabaran di atas dapat di gambarkan tahapan-tahapan berfikir filsafat secara
Ontologi, Epistimologi dan Axiologi sebagai berikut:
Tahapan Uraian
· Obyek apa yang telah ditelaah ilmu?
· Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
· Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya
Ontologi tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera)
(hakikat ilmu) yang membuahkan pengetahuan?
· Bagaimana prosesyang memungkinkan ditimbanya
pengetahuan yang berupa ilmu?
· Bagaimana prosedurnya?
Epistimologi · Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya
(cara pengetahuan yang berupa ilmu?
mendapatkan · Bagaimana prosedurnya?
pengetahuan) · Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan dengan benar?
· Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?
· Apa kriterianya?
· Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
· Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?
· Bagaiman kaitan antara cara penggunaan tersebut
Axiologi dengan kaidah-kaidah moral?
(guna atau · Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah
manfaat berdasarkan pilihan-pilihan moral?
pengetahuan) · Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-
norma moral/profesional?
Sumber: Suriasumantri, 1993
Teori pengetahuan yang bersifat subjektif akan memberikan jawaban ”TIDAK”, kita
tidak akan mungkin mengetahui, menemukan hal-hal yang ada di balik pengaman dan
ide kita. Sedangkan teori pengetahuan yang bersifat obyektif akan memberikan
jawaban ”YA”. Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang
otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi
pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu
nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk
seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar
kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang
negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Implikasinya
ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu perilaku kepada ilmu-ilmu
sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat
unifikasi satu-satunya metode ilmiah (Creswell, 2008: 203).
Dalam pengembangan, ilmu pendidikan memiliki dua tujuan yang ingin dicapai yaitu
untuk pengembangan suatu ilmu, yang berorientasi pada kebenaran suatu ilmu itu
sendiri. Dengan cara ini akan menghasilkan ilmu teoritis murni yang tidak
menghiraukan kegunaannya dalam praktik. Di samping tujuan tersebut ilmu
pendidikan mengembangkan ilmu yang selanjutnya dapat digunakan dalam praktik
pendidikan sehari-hari. Hal yang demikian ini sering disebut dengan ilmu bersifat
praktis. Artinya teori yang ditemukan harus berorientasi pada praktik, atau dapat
dipraktikan.
Pedagogik tidak hanya berkutat pada ilmu dan seni mengajar, melainkan ada
hubungannya dengan pembentukan generasi baru, yaitu pengaruh pendidikan sebagai
sistem yang bermuara pada pengembangan individu atau peserta didik. Pedagogik
juga bermakna ilmu pendidikan atau ilmu pengajaran. Kata sifat untuk istilah
pedagogi adalah pedagogis. Pedagogis bermakna berrsifat pedagogis atau bersifat
mendidik. Makna lebih luas dari pedagogis adalah sadar terhadap arah tujuan dan cirri
dasar dari proses pedagogis.
Prayitno (2013: 54) mendefinisikan istilah pedagogis sebagai proses interaksi terus
menerus dan saling berasimilasi antara pengetahuan ilmiah dan pengembangan siswa.
Asimilasi pengetahuan oleh siswa berkaitan dengan antusiasme mereka untuk
mengetahui dalam proses kerja yang intensif dan aktif. Proses pedagogis juga
menggamit prinsip bahwa domain kognitif dan afektif tidak bisa berada dalam
suasana yang kering. Ini menyiratkan bahwa proses pedagogis harus terstruktur
berdasarkan kesatuan dan hubungan antara kondisi manusia; kemungkinan
mengetahui sekitarnya dan dunianya sendiri, serta pada saat yang sama perasaan dan
tindakan kemungkinan menjadi terpengaruh oleh dunia itu.
Prinsip terakhir dari proses pedagogis adalah bahwa masing-masing subsistem
aktivitas, komunikasi dan kepribadian saling tekait satu sama lain. Misalnya, aspek
kepribadian dibentuk dan dikembangkan atas aktivitas dan melalui proses
komunikasi. Sepanjang seluruh hidupnya, siswa menjalankan sejumlah besar kegiatan
dan berkomunikasi terus menerus. Elemen-elemen ini pada dasarnya merupakan
proses pendidikan kepribadian.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu pengetahuan harus ada objeknya, adapun objek ilmu pengetahuan adalah obyek
material dan formal. Obyek material adalah bahan yang menjadi sasaran suatu ilmu
pengetahuan sedangkan obyek formal adalah sudut pembahasan suatu ilmu
pengetahuan, misal: ilmu jiwa dan ilmu manusia yang kedua macam ilmu
pengetahuan itu mempunyai obek material sama (manusia), akan tetapi obyek
formalnya berbeda. Oleh karena itu obyek material ilmu pengetahuan dapat sama
sedang obyek formalnya berbeda. Ilmu pengetahuan harus metodis : ilmu
pengetahuan dalam mengadakan pembahasan serta penyelidikan untuk suatu ilmu
pengetahuan harus menggunakan metode yang ilmiah. Ilmu pengetahuan harus
sistematis
Harus mempunyai dinamika: ilmu pengetahuan harus tumbuh dan berkembang untuk
mempunyai kesempurnaan. Suatu ilmu pengetahuan harus memenuhi tiga persyaratan
pokok dan beberapa persyaratan tambahan, diantaranya: Persyaratan Pokok Suatu
ilmu harus mempunyai objek tertentu. Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan
metode-metode yang sesuai
Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan sitematika tertentu.
Ilmu pendidikan itu selalu berurusan dengan soal siapakah “manusia” itu.
Pembahasan mengenai siapakah manusia itu biasanya termasuk bidang filsafat, yaitu
filsafat antropologi. Pandangan filsafat tentang manusia sangat besar pengaruhnya
terhadap konsep serta praktik-praktik pendidikan. Karena pandangan filsafat itu
menentukan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh seorang pendidik atau suatu
bangsa yang melakukan pendidikan.
Nilai yang dijunjung tinggi ini dijadikan norma untuk menentukan ciri-ciri manusia
yang ingin dicapai melalui praktik pendidikan. Nilai-nilai tidak diperoleh hanya dari
praktik dan pengalaman mendidik, tetapi secara normative bersumber dari norma
masyarakat, norma filsafat dan pandangan hidup, malah dari keyakinan keagamaan
yang dianut oleh seseorang.
Karena Ilmu Pendidikan bersifat normatif berarti pula bersifat praktis karena ilmu
pendidikan sebagai bahan ajar yang patut diterapkan sehingga pendidik bertugas
menanamkan sistem-sistem norma bertingkah laku manusia yang dibanggakan,
dihormati, dan dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa
yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan. Objek material
adalah objek yang di jadikan sasaran menyelidiki oleh suatu ilmu, atau objek yang
dipelajari oleh ilmu itu. Objek material filsafat illmu adalah pengetahuan itu sendiri,
yakni pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) pengetahuan yang telah di susun
secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat di pertanggung
jawabkan kebenarannya secara umum.
Jika di tilik kembali pada tahapan berfikir filsafat mulai dari tahap, Ontologi (hakikat
ilmu), Epistimologi (cara memperoleh pengetahuan) dan hingga akhirnya sampai pada
tahap Axiologi (kemanfaatan pengetahuan) tersebut bagi kemaslahatan umat, maka
runtutan cara berfikir filsafat hendaknya harus senantiasa dilakukan untuk
mengimbangi kemampuan penalaran individu secara rasional dalam memecahkan
sebuah permasalahan kehidupan yang semakin kompleks ini.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang
sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang
bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka
dihasilkanlah sistem filsafat ilmu. Jadi, dapat dikatakan bahwa Objek formal adalah
sudut pandang dari mana sang subjek menelaah objek materialnya. Yang menyangkut
asal usul, struktur, metode, dan validitas ilmu[1]. Objek formal filsafat ilmu adalah
hakikat (esensi) ilmu pengetahuan artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian
terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu pengetahuan,
bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah dan apa fungsi ilmu itu bagi manusia.
Ilmu pendidikan sebagai ilmu pengetahuan memiliki metode penelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode tersebut mencakup metode untuk
mengumpulkan data maupun metode untuk mengolah data. Metode pengumpulan data
dapat dilakukan melalui observasi, tes, interview, angket dan lain-lain. Metode untuk
menganalisis data dapat menggunakan data analisis statistik maupun non statistik.
Metode berfikir yang digunakan menganalisis dapat menggunakan metode induktif
ataupun deduktif.
Dalam pengembangan ilmu pendidikan memiliki dua tujuan yang ingin dicapai yaitu
untuk pengembangan suatu ilmu, yang berorientasi pada kebenaran suatu ilmu itu
sendiri. Dengan cara ini akan menghasilkan ilmu teoritis murni yang tidak
menghiraukan kegunaannya dalam praktik. Di samping tujuan tersebut ilmu
pendidikan mengembangkan ilmu yang selanjutnya dapat digunakan dalam praktik
pendidikan sehari-hari. Hal yang demikian ini sering disebut dengan ilmu bersifat
praktis. Artinya teori yang ditemukan harus berorientasi pada praktik, atau dapat
dipraktikan.
Dengan menempatkan kedudukan ilmu pendidikan di dalam sistematika ilmu
pengetahuan, maka uraian selanjutnya adalah ilmu pendidikan sebagai Ilmu Normatif
dan Ilmu pendidikan sebagai Ilmu Teoritis dan Praktis.
DAFTAR PUSTAKA
http://ilmu1set.blogspot.com/2010/06/ilmu-pendidikan-sebagai-ilmu.html
http://www.gudangmateri.com/2010/07/pendidikan-sebagai-ilmu-pengetahuan.html
http://www.scribd.com/doc/51630982/1/Ilmu-Pendidikan-Bersifat-Normatif?
query=normatif