Anda di halaman 1dari 25

KAJIAN HISTORIS TERHADAP TOKOH-TOKOH PENDIDIK

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kajian Pedagogik

Dosen pengampu:

Prof. Dr. H. Juntika Nurihsan, M.Pd.

Bestari Kirana Putri 1907023

Vina Fauziah Fitriani 1906592

ENGLISH LANGUAGE EDUCATION STUDY PROGRAM

SCHOOL OF POSTGRADUATE STUDIES

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2020

KATA PENGANTAR

i
Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
kesehatan jasmani dan rohani sehingga kami bisa menyelesaikan makalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Kajian Pedagogik.

Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Kajian Pedagogik di program studi
Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Indonesia. Selanjutnya penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Juntika Nuriksan selaku dosen
pengampu mata kuliah Kajian Pedagogik dan kepada semua pihak yang telah memberikan
bimbingan dan arahan selama penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka
dari itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca akan sangat bermanfaat bagi
penulis untuk kesempurnaan makalah ini.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar isi ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan Makalah 2
D. Manfaat Penulisan Makalah 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Mengenal Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia dari Aspek Konsep Ontologi, Epistemologi,
dan Aksiologinya 3
B. Implikasi Konsep Pendidikan dari Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia dan Alirannya
Terhadap Sistem dan Praktek Pendidikan di Indonesia 8
C. Periode Sejarah Pendidikan Indonesia 11
D. Tokoh Pendidik Nasional Indonesia dan Implikasinya Terhadap Sistem dan Praktek
Dewasa Ini 14

BAB III KESIMPULAN 21


DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa ini, berbagai negara di dunia menghadapi tantangan pendidikan untuk
mewujudkan keunggulan daya saing negaranya. Sistem yang canggih dan berbagai
pengembangan strategi pendidikan terus ditingkatkan demi mencapai tujuan pendidikan
yang telah disepakati bersama. Bagi Indonesia, tujuan pendidikan dirumuskan dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3, yaitu

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak


serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdakan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.
Standar nasional pendidikan diciptakan untuk membatasi kriteria minimum tentang
sistem pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Terciptanya mekanisme ini tidak lepas
dari perjalanan pendidikan Indonesia yang dipengaruhi oleh berbagai kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah. Bagian ini mengarah pada historis pendidikan Indonesia yang
menganut berbagai paham, aliran, dan konsep-konsep pendidikan dari berbagai tokoh
dunia dan juga tokoh-tokoh Indonesia sendiri.
Sejak abad 19, sistem pendidikan di Indonesia mengalami perubahan terus menerus,
sejalan dengan program pembangunan di bidang pendidikan yang mulai dilaksanakan
secara terprogram sejak 40 tahun yang lalu (Suryadi, 2014). Berbagai rintisan program
dalam pelayanan pendidikan tercermin dalam kurikulum yang dinamis dan
menggambarkan periodisasi pendidikan. Perubahan zaman yang dialami menuntut
peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan dari proses pendidikan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, penulis
merumuskan masalah yang sekaligus akan menjadi batasan dalam pembahasan makalah ini.

1
Adapun rumusan masalah yang dimaksud, yaitu:
1. Bagaimana pemikiran tokoh pendidikan dunia jika ditinjau dari aspek ontologi,
epistimologi, aksiologi, serta implikasinya untuk Pendidikan di Indonesia?
2. Bagaimana periodisasi dari historis pendidikan yang terjadi di dunia dan di Indonesia?
3. Bagaimana pemikiran tokoh pendidikan Indonesia jika ditinjau dari aspek ontologi,
epistimologi, aksiologi, serta implikasinya untuk Pendidikan dewasa ini?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui tokoh-tokoh pendidikan dunia yang berkontribusi dalam perkembangan
dunia pendidikan serta implikasinya terhadap pendidikan di Indonesia
2. Mengetahui periodisasi historis pendidikan dunia dan Indonesia sebagai bahan
tambahan wawasan dalam meningkatkan pemahaman pendidikan
3. Mengetahui tokoh-tokoh pendidikan Indonesia yang berkontribusi dalam
perkembangan dunia pendidikan serta implikasinya terhadap pendidikan di Indonesia

D. Manfaat Penulisan Makalah


Disamping tujuan penulisan makalah, penulis juga menginginkan
kebermanfaatan dari penulisan makalah ini. Adapun manfaat yang dimaksud, yaitu:

1. Penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan dan pemahaman terhadap materi


yang dibahas, terutama pendalaman mengenai filsafat pendidikan para tokoh-tokoh
pendidikan di Indonesia dan di dunia.
2. Pembaca, sebagai media informasi tentang tokoh-tokoh pendidikan serta materi
perkembangan pendidikan secara khusus yang terjadi di Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Mengenal Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia dari Aspek Konsep Ontologi,


Epistemologi, dan Aksiologinya

1. Plato

Plato lahir sekitar tahun 427 SM dari keluarga terkemuka di Athena, Yunani.
Orang tuanya bernama Aristone dan Peiktione. Plato merupakan filsuf yang
berpegaruh pada zamannya. Dia merupakan murid dari Socrates dan guru dari
Aristoteles. Plato menganut aliran pendidikan parenialisme.

a. Ontologis

Pendidikan merupakan usaha pembebasan dari ketidaktahuan. Dengan adanya


pendidikan, orang akan dapat membedakan yang antara yang benar dan yang salah,
yang baik dan yang jahat, yang pantas dan tidak pantas. Dapat disimpulkan bahwa
pendidikan menurut Plato adalah membebaskan dan memperbaharui.

b. Epistemologis

Semua individu harus mendapatkan pendidikan yang sama baik laki-laki atau
perempuan. Erawati (2012) menguraikan kerangka pendidikan menurut Plato,
diantaranya:

 Sejak lahir sampai usia 7 tahun, anak-anak harus mendapatkan pendidikan


yang terbaik dari orang tua nya maupun dari orang-orang di sekitarnya karena
di usia tersebut, sel-sel otak anak sedang mengalami perkembangan yang
pesat. Anak akan memiliki daya tangkap yang cepat. Oleh karena itu orang tua
hendaknya memperhatikan segala hal yang akan diberikan pada anak mulai
dari jenis mainan dan buku cerita.
 Pada usia 7-13 tahun, anak mulai dapat melakukan aktifitas intelektual dan
fisik secara bersamaan
 Di usia 20 tahun, pendidikan khusus seperti oendidikan keterampilan mulai
dilakukan dengan seleksi yang ketat.

3
Pendidikan menurut Plato merupakan suatu kewajiban karena anak merupakan aset
yang sangat berharga. Plato lebih menekankan pengembangan intelektual daripada
jasmaniah.

c. Aksiologis

Tujuan pendidikan diantaranya:

 membentuk manusia yang utuh, yakni yang berhasil menggapai segala keutamaan
moralitas jiwa yang mengantarkan pada nilai ynag tinggi yaitu kebajikan dan
keadilan
 mengembangkan kemampuan ilmiah setiap individu dan melatihnya sehingga
menjadi warga negara yang baik dalam suatu masyarakat yang harmonis,
melaksanakan tugasnya seara efisien menurut kelasnya.

2. Maria Montessori

Maria Montessori merupakan tokoh filsafat yang lahir di Italia pada tahun
1870 di Chiaravalle. Maria memiliki minat dan bakat yang besar terhadap matematika
sehingga orangtuanya mengirim Maria ke roma untuk mempelajari matematika. Ia
tertarik dengan mesin, biologi dan kedokteran. Setelah lulus dari sekolahnya, ia
bekerja di klinik psikiater. Dalam pekerjaannya, ia mengatasi masalah aat mental
sehingga mengantarkannya pada ide tentang pendidikan.

Tahun 1909, ia menerbitkan Sientific Pedagogy as Applied to Child Education


in the Children Houses. Semasa hidupnya, Maria yakin ahwa pendidikan dimulai
sejak bayi lahir. Tahun-tahun awal kehidupan merupakan masa formatif yang penting
baik fisik maupun mental anak.

a. Ontologis

Manusia menurut Maria Montessori adalah makhluk yang aktif, pintar,


memiliki kemampuan berbahasa, kreatif, berjiwa sosial, emosional, religius dan
moralis. Dari hasil penyelidikannya, ia percaya bahwa anak-anak memiliki sifat
dan karakter yang unik dan pendidikan harus mampu mengembangkan karakter
anak ke arah yang lebih baik.

4
b. Epistemologis

Maria Montessori menilai bahwa pendidikan harus berfokus pada aktivitas


pengembangan pengetahuan anak dengan pengamatan dari guru. Anak harus
diberikan stimulus untuk mempelajari sesuatu yang baru. Guru harus menyediakan
lingkungan belajar yang nyaman dan efektif sehingga anak termotivasi untuk
belajar secara mandiri.

c. Aksiologis

Maria Montessori berpendapat ahwa tujuan pendidikan ada dalam jiwa


setiap manusia. Manusia harus senantiasa mengembangkan kemampuannya dengan
menempuh pendidikan sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat
menjalankan perannya di masyarakat.

3. B.F. Skinner

B.F. Skinner adalah seorang psikolog Amerika yang dikenal dengan teori
behaviorisme. Skinner menempuh pendidikan di bidang bahasa Inggris di Hamilton
College. Beliau kemudian meneruskan pendidikan di bidang psikologi di Harvard
University.

a. Ontologis

Menurut Skinner, setiap manusia bereaksi karena mendapat rangsangan dari


lingkungannya. Sisten terseut dinamakan operant onditioning atau teori
pembiasaan. Setiap makhluk hidup pasti selalu berada dalam proses yang
bersinggungan dengan lingkungannya. Pada proses itu, Makhluk hidup menerima
rangsangan tertentu sehingga melakukan suatu tindakan.

b. Epistemologis

Skinner membagi metode guru dalam melakukan pengajaran ke dalam dua


bagian yaitu: Manajemen Kontingensi, yaitu 1) penguatan positif secara mental
ataupun pemberian motivasi kepada siswa seara langsung dalam bentuk
penghargaan, dan; 2) pengajaran terprogram yang mengarahkan siswa pada apa
yang harus dilakukan dan apa yang baik untuk mereka. Skinner menyebutkan
macam-macam penguatan positif mulai dari sistem point sampai dengan pujian

5
yang diberikan oleh guru. Agar berjalan dengan efektif, metode ini harus
dijalankan secara konsisten.

c. Aksiologis

Tujuan dari ilmu pengetahuan tentang manusia menurut Skinner adalah


memprediksi dan mengendalikan tingkah laku manusia. Pengendalian harus
dilakukan tidak hanya kepada manusia, tetapi juga pada lingkungannya. Penguahan
kondisi lingkungan akan memerikan rangsangan kepada tingkah laku manusia
untuk eruah menjadi lebih baik lagi.

4. Jean Piaget

Jean Piaget merupakan seorang psikolog berkebangsaan Swiss yang tertarik


pada dunia pendidikan karena ingin melakukan penelitian tentang teori pendidikan
yang sudah ada. Peranan Piaget di dunia pendidikan semakin diperhitungkan sejak ia
menjabat sebagai Direktur International Bureau of Education (IBE) pada tahun 1929.

a. Ontologis

Pendidikan merupakan penghubung dua sisi, disatu sisi individu sedang


tumbuh dan disisi lain nilai sosial, intelektual, dan moral yang menjadi tanggung
jawab pendidik untuk mendorong individu tersebut. Individu berkembang sejak lahir
dan terus berkembang, perkembangan ini bersifat kausal (sebab akibat). Namun
terdapat komponen normatif, juga karena pendidik menuntut nilai. Nilai ini adalah
norma yang berfungsi sebagai penunjuk dalam mengindentifikasi apa yang
diwajibkan, diperbolehkan, dan dilarang. Jadi, pendidikan adalah hubungan normatif
antara individu dan nilai.
b. Epistimologis
Peran guru adalah mengaktualkan yang masih kuncup dan mengembangkan
lebih lanjut apa yang sedikit atau baru sebagian teraktualisasi, semaksimal mungkin
sesuai dengan kondisi yang ada. Jean Piaget, merumuskan konsep pendidikan dasar
yaitu pendidikan yang menghasilkan, mencipta, sekalipun tidak banyak, meskipun
suatu penciptaan dibatasi oleh pembandingan dengan penciptaan yang lain.

6
c. Aksiologis
Pendidikan secara umum berfungsi membantu siswa dalam pengembangan
dirinya, yaitu pengembangan semua potensi, kecakapan, serta karakteristik pribadinya
ke arah yang positif, baik bagi dirinya maupun lingkungannya. Pendidikan bukan
sekedar memberikan pengetahuan atau nilai atau pelatihan ketrampilan. Pendidikan
berfungsi mengembangkan apa yang secara potensi dan aktual telah dimiliki siswa,
sebab siswa bukanlah gelas kosong yang harus diisi dari luar. 

5. Benjamin S. Bloom
Benjamin S. Bloom lahir pada 21 Februari di Lansford Pennsylvania dan
meninggal pada 13 September 1999. Ia adalah seorang guru, penasihat pendidikan dan
ahli psikologi pendidikan. Pekerjaan pertamanya sebagai instruktur di Departemen
Pendidikan di University of Chicago pada 1944 dan menjadi Professor pada 1970
kemudian menjabat sebagai penasihat pendidikan pemerintah Israel, India, dan banyak
negara lain. Pada tahun 2001 Bloom bekerjasama dengan David Krathwohl dan
menulis A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing.

a. Ontologis
Manusia memiliki potensi sesuai dengan ranah atau kawasan yang ada
padanya. Kemampuan belajar tersebut dapat diasah berdasarkan ranah atau kawasan
tersebut.

b. Epistimologis
Pendidikan menurut teori Benjamin S Bloom terbagi menjadi 3 yaitu Ranah
Kongnitif, Afektif dan Psikomotorik. Teori Benjamin S Bloom dijadikan acuan untuk
mengetahui tercapainya tujuan pendidikan berupa adanya perubahan pengetahuan,
sikap dan gerak pada setiap peserta didik.

c. Aksiologis
Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
1) Cognitive Domain (Ranah Kognitif), mengasah perilaku-perilaku yang
menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan
berpikir.

7
2) Affective Domain (Ranah Afektif) membentuk perilaku-perilaku yang
menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara
penyesuaian diri.
3) Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) melatih perilaku-perilaku yang
menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik,
berenang, dan mengoperasikan mesin.

B. Implikasi Konsep Pendidikan dari Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia dan Alirannya


Terhadap Sistem dan Praktek Pendidikan di Indonesia

1. Plato

Plato, terpengaruh oleh Pythagoras, berpendapat bahwa matematika diperlukan


dalam membentuk logika yang akan dibutuhkan untuk memimpin. Pelajaran seni dan
musik juga diberikan. Seni dan musik, kalau sekarang, diartikan sebagai kebudayaan.
Dengan seni dan musik para filsuf sebagai pemimpin Negara akan mengapresiasi
budaya yang berkembang di Athena, seperti drama atau komedi, seni theater yang
sedang populer waktu itu. Memahami seni dan budaya, diharapkan oleh Plato, akan
tumbuh para pemimpin yang baik, yang berperilaku baik, santun dan elegan, manusia
"gentleman" yang paham akan keadilan dan kebenaran (Russel, 2007:153).
Di dunia fikiran, gagasan Plato yang terpenting adalah teorinya tentang idee/idea.
Menurut Plato, pengetahuan berasal dari akal manusia. Penjelasannya adalah, bahwa
setiap manusia memiliki dunia intelek dan dunia indrawi. Dunia intelek terdiri dari dua
bagian, yakni akal dan pemahaman. Akal menduduki kedudukan yang lebih tinggi
karena akal berkaitan dengan idee-idee mumi (innate ideas), dan metodenya ialah
dialektika. Sedang pemahaman adalah jenis intelek yang dipakai dalam matematika,
kedudukannya lebih rendah karena pemahaman menggunakan hipotesis-hipotesis yang
tidak dapat diuji. Contohnya : "ABC adalah segitiga yang sisi-sisinya lurus", tidak
lazim kita menanyakan apakah segitiga ABC sisisisinya benar-benar lures. Plato
meragukan bahwa pengetahuan adalah hasil visi indrawi. Plato menjelaskan
keraguannya itu mengingat, bahwa indra penglihatan, misalnya menuntut adanya mata
dan obyek yang dilihat. Obyek baru bisa dilihat apabila kena cahaya. Kita dapat melihat
dengan jelas apabila obyek kena cahaya matahari. Dalam keadaan gelap kita tidak bisa
melihat obyek sama sekali. Dunia ide adalah ketika kita melihat obyek diterangi

8
matahari, sedangkan dunia yang tidak abadi adalah dunia yang suram dengan cahaya
yang taram temaram. Plato memandang mata sebanding dengan jiwa, dan matahari
yang sumber cahaya sebanding dengan kebenaran atau kebaikan (Russel, 2007: 168-
171).

2. Maria Montessori
Maria Montessori seorang pendidik bekebangsaan Italia mengemukakan teori
tentang hukum masa peka pada hukum perkembangan manusia Menurutnya masa peka
merupakan masa pertumbuhan ketika suatu fungsi jiwa mudah sekali dipengaruhi dan
dikembangkan (Desmita, 2011: 17). Beliau mengemukakan teori tentang anak, yaitu:
“Jika pendidikan mengenali nilai intrinsik dari kepribadian seorang anak, maka
memberikan nuansa yang tepat bagi pertumbuhan spiritualnya, kita menyingkapkan
anak yang sama sekali baru, dimana karakternya yang memukau pada akhirnya dapat
menyumbang kepada dunia yang lebih baik”.
Teori ini menjelaskan mengenai eksistensi anak sebagai suatu masa yang sangat
esensial bagi keseluruhan hidupnya. Beliau juga menegaskan tentang konsep Child’s
Self-Construction yang menyatakan bahwa anak membangun sendiri perkembangan
jiwanya. Sensitive period menyatakan usia anak dini adalah masa peka, absorbent mind
serta pada masa anak usia dini memiliki jiwa penyerap berbagai pengetahuan dan
pengalaman hidupnya. Teorinya berkontribusi terutama dalam pendidikan anak usia
dini.

3. B.F. Skinner

Dalam pandangan Skinner pemberian penghargaan hendaknya dilakukan untuk


memberikan penguatan terhadap siswa. Beliau bertahan pada pendapatnya bahwa
belajar adalah performance. Program pengajaran merinci belajar ke dalam langkah-
langkah kecil, sementara gerakan tujuan tingkah laku mempunyai target proses
pengajaran pada penampilan skala kecil.
Pada eksperimennya Skinner menggunakan seekor tikus sehingga menghasillkan
teori Stimulus Respon (S-R) dan operant conditioning. Kelemahan dalam teori Skinner
adalah proses belajar itu dipandang sebagai sesuatu yang dapat diamati, padahal belajar
adalah kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagai suatu

9
gejala. Disamping itu proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan
sangat tidak diterima mengingat mencoloknya fisik dan psikis.

4. Jean Piaget

Piaget berpendapat bahwa memaksa merupakan metode mengajar yang paling


buruk, karena tanpa paksaan siswa akan merekontruksi apa yang dipelajarinya
(inquiry). Kemudian Piaget membagi tahap perkembangan kognitif manusia menjadi
4 tahap, yaitu
1. Tahap sensori-motorik (sejak lahir sampai usia 2 tahun)
(refleks instinktif, pemikiran simbolis, pengoordinasian pengalaman)
2. Tahap pra-operasional (usia 2 sampai 7 tahun)
(mempresentasikan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar)
3. Tahap konkret-operasional (usia 7 sampai 11 tahun)
(berpikir secara logis tentang peristiwa konkret dan pengklasifikasian benda)
4. Tahap operasional-formal (usia 11 tahun ke atas)
(berpikir abstrak, logis, dan lebih idealistik)
(Desmita, 2011: 101)

Piaget sebenarnya tidak banyak menulis tentang pendidikan dan secara


langsung tidak bermaksud memberikan semacam sugesti kepada guru serta penerapan
teori-teorinya di dalam ruangan kelas. Meskipun demikian dalam perkembangan
selanjutnya teori Piaget ternyata memberikan pengaruh yang sangat besar serta acuan
penting dalam pelaksanaan proses pendidikan di sekolah. Banyak guru mendapatkan
inspirasi dari teori Piaget dalam mendesain kurikulum dan memilih strategi
pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didiknya.
Teresa M.McDevitt dan Jeanne Ellis Ormod (dalam Desmita, 2011: 112)
menyebutkan beberapa implikasi teori Piaget bagi guru-guru sekolah, yaitu
1. Memberikan kesempatan kepada peserta didik melakukan eksperimen terhadap
objek-objek fisik dan fenomena-fenomena alam
2. Mengeksplorasi kemampuan penalaran siswa dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan atau pemberian tugas-tugas pemecahan masalah
3. Tahap-tahap perkembangan kognitif Piaget menjadi acuan dalam
menginterpretasikan tingkah laku siswa dan mengembangkan rencana pelajaran
4. Tahap-tahap perkembangan kognitif Piaget juga memberikan petunjuk bagi para
guru dalam memilih strategi pembelajaran yang lebih efektif pada tingkat kelas
yang berbeda
5. Merancang aktivitas kelompok di mana siswa berbagi pandangan dan
kepercayaan dengan siswa lain

10
Menurut Piaget interaksi dengan teman sebaya sangat membantu anak
memahami bahwa orang lain memiliki pandangan dunia yang berbeda dengan
pandangannya sendiri dan ide-ide mereka tidak selalu akurat dan logis. Dalam artian
interaksi dengan teman sebaya akan memungkinkan siswa menguji pemikirannya,
merasa tertantang, menerima umpan balik, dan melihat bagaimana orang lain
mengatasi masalah.
5. Benjamin S. Bloom

Konsep taksonomi Bloom memang sudah mengemuka di dunia pendidikan.


Teori tersebut dikembangkan dalam rangka mengklasifikasikan tujuan pendidikan
dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Konsep tersebut mengalami
perbaikan seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman serta teknologi. Revisi
yang dilakukan oleh Lorin Anderson pada 1990 terkait perubahan kata kunci, pada
kategori kata benda menjadi kata kerja.

Taksonomi Bloom mengenai sasaran pendidikan ranah kognitif merupakan


model yang sederhana untuk diterapkan dalam kerangka kurikulum, termasuk di
Indonesia. Siswa dapat mengembangkan dan menggunakan keterampilan berpikir
mereka dan guru dapat bersikap adil dengan tidak memisahkan anak berbakat dari
anak yang lain. Guru hanya perlu menyesuaikan jumlah waktu untuk setiap tingkat
taksonomi dengan tingkat kemampuan anak

C. Periode Sejarah Pendidikan Indonesia


Sejarah pendidikan bangsa Indonesia dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode
sebelum bangsa Eropa (sebelum tahun 1500), periode setelah datang bangsa Eropa dan
Jepang (1500-1942), dan periode Indonesia Merdeka. Periode sebelum bangsa Eropa
datang merupakan periode pendidikan secara agamis. Mudyahardjo & Nasution (2008)
menguraikan masing-masing zaman tersebut, yaitu:

a) Zaman Hindu Budha


Tujuan pendidikan pada zaman ini sama dengan tujuan kedua agama tersebut.
Pendidikan dilaksanakan dalam rangka penyebaran dan pembinaan kehidupan
beragama Hindu dan Budha
b) Zaman Pengaruh Islam

11
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejalan dengan perkembangan
penyebaran Islam di nusantara, baik sebagai agama maupun sebagai arus kebudayaan.
Pendidikan Islam ini tidak diselenggarakan secara terpusat, namun banyak
diupayakan secara perorangan.
c) Zaman Pengaruh Nasrani (Katolik dan Kristen)
Orde ini mempunyai organisasi pendidikan yang seragam, sama di mana pun, dan
bebas untuk semua. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh
untuk penyebaran agama (Nasution, 2008: 4).

Berikut ini pemaparan singkat mengenai periode pendidikan bangsa Eropa dan Jepang
berdasarkan Sukardjo (2012):

a) Periode Portugis (1500-1600)


Bangsa Portugis datang ke Indonesia pada awal abad ke-16 dan menetap di Indonesia
bagian timur. Kedatangan mereka disertai dengan misionaris untuk mengajak
penduduk memeluk Katolik. Pada periode ini, Ordo Jesuit dibawah pimpinan
Fransiskus Xaverius merupakan sebuah kesuksesan besar. Xaverius memandang
pendidikan merupakan alat yang sangat sempurna untuk menyebar agama

b) Periode Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) (1600-1800)


Kegiatan pendidikan oleh VOC terpusat di timur Indonesia. Mereka mendirikan
sekolah pertama pada tahun 1607 di Ambon untuk anak-anak Indonesia. Tujuan
utama pendidikan pada periode VOC adalah untuk menyebarkan agama Protestan,
Calvinisme, menggantikan agama Katolik. Lalu tahun 1630 mereka mendirikan
sekolah pertama di Jakarta khusus untuk anak-anak Jawa dan Belanda agar kelak bisa
menjadi pekerja VOC yang kompeten.

Kurikulum sekolah selama periode VOC berkaitan erat dengan gereja. Berdasarkan
peraturan guru pada tahun 1643, tugas guru meliputi memupuk rasa takut pada
Tuhan, mengajarkan dasar-dasar agama Kristen, mengajar anak berdoa, bernyayi,
pergi ke gereja, mematuhi orang tua, penguasa, dan guru-guru. Pengajaran dilakukan
dengan sistem individual. Murid-murid maju seorang demi seorang ke meja guru
untuk mendapatkan bimbingan individual.

c) Periode Penjajahan Belanda (1800-1942)


Sekolah bagi anak Belanda pertama kali dibuka tahun 1817 di Jakarta. Dari
tahun ke tahun jumlahnya selalu meningkat. Pada tahun 1875, sudah ada 57 sekolah

12
tersebar di kota-kota lain di Jawa. Berdasarkan prinsip yang tercantum di Statuta
1818, sekolah-sekolah harus dibuka di setiap tempat bila diperlukan oleh penduduk
Belanda, dan atau diizinkan oleh keadaan apabila jumlah murid 20 orang untuk Jawa
dan 15 siswa untuk luar Jawa. Pada akhir abad 19, taraf pendidikan universal bagi
anak-anak Belanda di Indonesia sudah hampir tercapai, mulai dari Europese Lagere
School (ELS), Hogere Burgerschool (HBS), dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO).

Pada jaman Belanda, didirikan juga sekolah untuk pribumi, disebut dengan
Pendidikan bagi Warga Bumi Putera. Berawal dari sistem Culture Stelsel atau Tanam
Paksa memaksa pemerintah Belanda memperkerjakan pribumi dalam jumlah besar
untuk memastikan perusahaan mereka tetap berjalan. Karena itulah, akhirnya
penduduk pribumi bisa mengenyam pendidikan yang layak karena orang
kepercayaan Belanda harus yang berpendidikan. Sekolah bagi warga pribumi ada
beberapa macam, ada Sekolah Kelas Satu, Sekolah Kelas Dua, Sekolah Desa,
Holland Inlande School (HIS), dan Algemene Middelbare School (AMS).

d) Periode Penjajahan Jepang


Pendidikan pada masa Jepang sangatlah berbeda dengan periode Belanda. Pada
periode Jepang, tujuan utama pendidikan adalah membantu Jepang memenangkan
perang. Selain untuk memenangkan perang, pendidikan juga ditujukan untuk
menciptakan tenaga kasar dan prajurit secara cuma-cuma, yang dikenal dengan nama
Keibondan.

Sistem pendidikan masa Jepang terdiri dari Sekolah Rakyat, Pendidikan Lanjutan
yang terdiri dari Shoto Chu Gakko (setara SMP), dan Khoto Chu Gakko (setara
SMA), Pendidikan Kejuruan, dan Pendidikan Tinggi. Dalam masa ini juga sekolah-
sekolah berbahasa Belanda ditutup oleh pemerintah Jepang, melarang materi yang
berkaitan dengan Belanda, dan bahasa-bahasa Eropa lainnya.

Setelah periode penjajahan Jepang, Indonesia memasuki pendidikan era


kemerdekaan. Berikut ini merupakan penggambaran singkat dari periode
Kemerdekaan:

a) Zaman Kemerdekaan
Pada masa ini, tujuan pendidikan belum dirumuskan dalam suatu undang-undang
yang mengatur pendidikan.

13
b) Zaman Orde Lama
Pendidikan Nasional periode ‘Orde Lama’ adalah pendidikan yang dapat
membangun bangsa agar mandiri sehingga dapat menyelesaikan revolusinya baik di
dalam maupun di luar.

c) Zaman Orde Baru


Menurut Orde Baru, pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan di dalam sekolah dan di luar sekolah dan berlangsung
seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumahtangga, sekolah dan
masyarakat
d) Zaman Reformasi
Pada masa ini, terjadi perubahan dikarenakan munculnya Undang-Undang
Pendidikan. Sistem pendidikan dirubah dari sentralisasi menjadi desentralisasi.
Selain perubahan sistem, kesejahteraan tenaga pendidikan juga ditingkatkan dengan
perlahan, hal ini memicu kualitas profesional para tenaga pendidik.

D. Tokoh Pendidik Nasional Indonesia dan Implikasinya Terhadap Sistem dan Praktek
Dewasa Ini
Sebelum Indonesia merdeka, banyak sekali tokoh-tokoh luar biasa yang memiliki
pemikiran maju dalam bidang pendidikan. Tokoh-tokoh berikut ini merupakan insan
bermartabat yang memperjuangkan kemajuan pendidikan Indonesia sekaligus perjuang
kemerdekaan Indonesia:
1. Ki Hajar Dewantara
1.1. Biografi
Tokoh yang lahir pada 2 Mei 1889 ini memiliki pandangan “memajukan
bangsa tanpa membedakan RAS, budaya, dan bangsa”. Ki Hajar Dewantara
mendirikan sekolah yang dikenal dengan nama Taman Siswa. Sekolah ini memiliki
sifat, sistem, dan metode pendidikan yang dibagi dalam empat asas, yaitu: Asas
Taman Siswa, Panca Dharma, Adat Istiadat, dan Semboyan atau Perlambang.
Sebagai hasil pemikiran Ki Hajar Dewantara, berikut ini adalah penerapan
pendidikan berdasarkan asas dan tujuan Taman Siswa:
a. Setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendri dengan terbitnya
persatuan dalam peri kehidupan umum.

14
b. Pengajaran harus memberi pegetahuan yang berfaedah yang dalam arti lahir dan
batin dapat memerdekakan diri.
c. Pengajaran harus berdasarkan kebudayaan dan kebangsaan sendiri.
d. Pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau seluruh rakyat.
e. Seagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri, maka mutlak harus
membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan.
f. Dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir dan batin untuk
mengorbankan segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan
anak-anak.
g. Kemudian, ditambahkan dengan asas kemerdekaan, asas kodrat alam, asas
kebudayaan, asas kebangsaan, dan asas kemanusiaan.
Secara segi epistemologis, Ki Hajar Dewantara menetapkan beberapa poin
dari tujuan Taman Siswa, di antaranya:
a. Sebagai badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat tertib
dan damai.
b. Membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir dan batin, luhur
akal budinya, serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang
berguna dan bertanggung jawab atas keserasian bangsa, tanah air, serta manusia
pada umumnya.
Secara aksiologis tujuan didirikan Taman Siswa adalah :

1. Didikan dalam bentuk perguruan dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi baik
yang bersifat umum maupun yang bersifat kejuruaan, serta memberi pendidikan
yang baik dan berguna untuk keperluan hidup dan penghidupan masyarakat sesuai
dengan asas, dasar dan tujuan pendidikan. Taman siswa dengan selalu mengingat
atau menyesuaikan kecerdasan zaman dan kemajuan dunia.

2. Mengikuti mempelajari perkembangan dunia di luar Taman Siswa yang ada


hubungannya dengan bidang-bidang kegiatan kegiatan taman siswa untuk diambil
faidah sebaik-baiknya.

3. Menumbuhkan dan memasakkan lingkungan hidup keluarga Tamansiswa


sehingga dapat terwujud masyarakat taman siswa yang dicita-citakan,

15
4. Meluaskan kehidupan Taman Siswa di luar lingkungan masyarakat perguruan
sehingga dapat terbentuk wadah yang nyata bagi jiwa taman siswa agar dengan
demikian ada pengaruh timbal balik antara keluarga dan masyarakat sekitarnya.
1.2. Implikasi Terhadap Sistem dan Praktek Dewasa Ini
Ki Hajar Dewantara memiliki satu slogan yang masih sangat relevan dengan
pendidikan masa kini. Ajaran Ki Hajar Dewantara sampai saat ini, amsih dipakai
oleh Departmen Pendidikan Nasional Indonesia, yaitu: Ing Ngarso Sung Tulado, Ing
Madya Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Arti dari masing-masing falsafah
bisa dijabarkan sebagai berikut, Ing Ngarso Sung Tulado seorang guru harus
memberi teladan yang baik bagi peserta didiknya, Ing Madya Mangun Karso berarti
seorang guru harus terus berinovasi dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik,
dan Tut Wuri Handayani berarti seorang guru harus bisa memberikan motivasi bagi
muridnya untuk terus maju, berkarya, dan berprestasi. Falsafah hasil pemikiran
original Ki Hajar Dewantara merupakan acuan bagi seorang tenaga pendidik di
Indonesia, demi dunia pendidikan yang lebih baik untuk seluruh peserta didik
Indonesia.

2. Mohammad Syafei
2.1. Biografi
Mohammad Syafei lahir di Kalimantan pada tahun 1899. Perjuangan beliau
juga di titik beratkanpada bidang pendidikan. Beliau berjasa besar dalam mendirikan
sejolah yang diberi nama “Indonesische Nederlandsche School” atau dikenal INS.
Tujuan Mohammad Syafei mendirikan NIS adalah untuk mendidik anak-anak agar
dapat berdiri sendiri atas usaha sendiri dengan jiwa yang merdeka. Dengan ini, ia
menentang sekolah Hindia-Belanda yang hanya bertujuan agar anak-anak Indonesia
dapat menjadi pegawai Hindia-Belanda saja.
Secara ontologis dasar pendidikan yang dikembangkannya adalah
kemasyarakatan, keaktifan, kepraktisan, serta berpikir logis dan rasional sehingga
sisi yang dikembangkan adalah mengembangkan perasaan, pikiran dan
keterampilan.
Secara epistimologis INS menitikberatkan pada dunia kerja. INS
menyelenggarakan pendidikan pada jenjang berikut :
1. Ruang Bawah, yaitu setara dengan Sekolah Dasar dengan lama pendidikan
selama 7 tahun.

16
2. Ruang Atas, yaitu setara dengan sekolah menengah dengan lama pendidikan 6
tahun.
Secara aksiologis tujuan pendidikan menurut Mohamad Syafei adalah :

1. Mendidik anak-anak agar dapat berpikir rasional;


2. Mendidik anak-anak agar mampu bekerja secara teratur dan bersungguh-
sungguh;
3. Mendidik anak-anak agar dapat menjadi manusia yang berwatak baik;
4. Menanamkan rasa persatuan
2.2. Implikasi Terhadap Sistem dan Praktek Dewasa Ini
Pada zaman kemerdekaan tahun 1952, sebagai penghargaan terhadap usaha
Mohamad Syafei dibukalah Sekolah Bagi Guru disebut SGB yang dapat
meneruskan dan menyebarkan cita-citanya. SGB ini yang menjadi acuan bagi
program pendidikan untuk mencetak guru yang kompeten pada masa kini.

Mohamad Syafei pernah diangkat menjadi Mentri Pengajaran Pendidikan


dan Kebudayaan pada Kabinet Syahrir. Mohammad Syafei menerapkan sistem
menggunakan kebudayaan nasional sebanyak mungkin ketika mengajar. Beliau juga
menetapkan sistem menjadikan guru sebagai objek, dan siswa sebagai subjek
belajar. Namun, jika tidak memungkinkan, peran tersebut dapat dibalik. Guru
memberikan banyak contoh dalam proses belajar-mengajar.

3. K.H. Ahmad Dahlan


3.1. Biografi
K. H. Ahmad Dahlan adalah tokoh pendidikan Indonesia sekaligus pendiri
Muhammadiyah. Muhammadiyah berdiri pada 18 November 1912. Dasar tujuan
pendidikan Muhammadiyah, yaitu ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran dan
Sunnah Rasul. Berikut ini adalah latar belakang didirikannya Muhammadyah oleh
K.H. Ahmad Dahlan:
1. Umat Islam tidak memegang tuntunan Al-Quran dan Hadits Nabi, sehingga
menyebabkan perbuatan syirik, bid’ah, dan khurafat makin merajalela serta
mencemarkan kemurnian agama Islam.
2. Keadaan umat Islam sangat menyedihkan pasca penjajahan.
3. Kegagalan institusi pendidikan Islam untuk memenuhi kemajuan zaman, sebagai
akibat dari mengisolasi diri.

17
4. Persatuan dan kesatuan umat Islam menurun, sebagai akibat dari lemahnya
organisasi Islam yang ada.
5. Munculnya tantangan dari misi Zending yang dianggap mengancam masa depan
umat Islam.
Di dalam pendidikan dan pengajaran agama islam K.H. Ahmad Dahlan
menanamkan keyakinan dan faham tentang Islam yang utuh. Penerapan gagasan
modernisasi pendidikannya telah membawa hasil yang tak ternilai. Sumbangan
pemikirnnnya yaitu dengan usaha-usaha yang direalisasikan melalui:

a. Memasukkan pelajaran agama Islam ke dalam lembaga pendidikan milik


kolonial Belanda
b. Penerapan sistem dan mengadopsi metode pendidikan Barat dalam lembaga
pendidikan Islam
c. Memadukan antara pelajaran agama dengan pelajaran umum (Pribadi, 2010).
3.2. Implikasi Terhadap Sistem dan Praktek Dewasa Ini
Muhammadiyah tidak tertarik untuk mendirikan pesantren, karena pada saat
itu pesantren cenderung mengisolasi diri. Sekolah-sekolah yang diselenggarakan
Muhammadiyah ada yang bercorak sekolah umum seperti sekolah yang
diselenggarakan pemerintah Belanda, dan ada sekolah-sekolah khusus keislaman.
Sekolah-sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah ialah pada 1921, yaitu Al-
Islamul Arqo, kemudian diubah menjadi Hooger Muhammadiyah School, dimana
pada 1923 menjadi Kweekschool Islam. Pada tahun 1924 sekolah tersebut
dipisahkan antara murid laki-laki dan perempuan, yang akhirnya pada tahun 1932
menjadi Muallimien Muhammadiyah (Sekolah Guru Islam Putra), dan Muallimat
Muhammadiyah (Sekolah Guru Muhammadiyah Putri).

Taman kanak-kanak Muhammadiyah (Bustanul Athfal) didirikan pada tahun


1926, HIS met de Quran pertama kali didirikan pada tahun 1923 di Jakarta, tahun
1926 di Kudus, dan tahun 1928 di Aceh. Selanjutnya Muhammadiyah juga
mendirikan sekolah-sekolah seperti HIS, Volschool, Verpolgschool, Schakelschool.
Jadi pada dasarnya Muhammadiyah mendirikan sekolah sesuai dan sama dengan
sekolah-sekolah Belanda.

4. R. A. Kartini
4.1. Biografi

18
Raden Ajeng (R.A) Kartini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1789.
Sampai saat ini hari kelahirannya seering diperingati sebagai Hari Kartini. Beliau
adalah salah satu tokoh pendidikan Indonesia yang dengan gigih memperjuangkan
pendidikan bagi wanita kala itu.

Secara ontologis RA kartini memperjuangkan emansipasi wanita dalam hal


pendidikan dengan mendirikan sekolah khusus wanita. Kartini telah membawa
banyak perubahan dan kemajuan dalam pendidikan Indonesia.

Secara epistimologis Kartini mengajarkan bahwa seorang wanita harus


mempunyai pemikiran jauh ke depan. Di mata Kartini pendidikan adalah hal penting
yang mampu mengangkat derajat dan martabat bangsa. Kartini senantiasa konsisten
mengemukakan pentingnya pendidikan yang mengasah budi pekerti, atau yang kita
kenal sebagai pendidikan karakter pada masa sekarang. Adapun jenis sekolah yang
didirikan dan dirintis oleh R.A Kartini adalah Sekolah Gadis di Jepara dan Sekolah
Gadis di Lembang.

Seacara aksiologis tujuan pendidikan R.A.Kartini adalah mendidik


perempuan yang merupakan merupakan kunci peradaban, karena perempuan yang
akan mendidik anak-anak (generasi muda). Beliau juga memiliki pemikiran tentang
kebijakan pendidikan, dimana pemerintah berkewajiban meningkatkan kesadaran
budi perempuan, mendidik perempuan, memberi pelajaran perempuan, dan
menjadikan perempuan sebagai ibu dan pendidik yang cakap dan cerdas.Namun
Kartini juga tidak lantas membatasi pendidikan yang normatif, beliau memberi
kebebasan kepada siswa untuk berpikir dan mengutarakan pendapat.Bahan bacaan
menjadi gagasan kartini juga, karena bahan bacaan atau yang sekarang ini kita
artikan sebagai sumber belajar merupakan alat pendidikan yang diharapkan banyak
mendatangkan kebajikan.Anak-anak hendaknya diberi bahan bacaan yang
mengasyikkan, bukan karangan kering yang semata-mata ilmiah.
4.2. Implikasi Terhadap Sistem dan Praktek Dewasa Ini
Peran R.A Kartini dalam memajukan pendidikan di Indonesia merupakan
salah satu contoh kontribusi wanita dalam sejarah. Kartini mendobrak kondisi yang
memprihatinkan tersebut dengan membangun sekolah khusus wanita. Selain itu
beliau juga mendirikan perpustakaan bagi anak-anak. Kartini dalam memajukan

19
pendidikan Indonesia tertuang dalam karya nya “Door Duisternis Tot Licht”, yang
diartikan sebagai ‘habis gelap terbitlah terang’.

Kartini telah membawa banyak perubahan dan kemajuan dalam pendidikan


Indonesia. Kartini mengajarkan bahwa seorang wanita harus mempunyai pemikiran
jauh ke depan. Di mata Kartini pendidikan adalah hal penting. Pendidikan akan
mampu mengangkat derajat dan martabat bangsa. Kartini konsisten mengemukakan
pentingnya pendidikan yang mengasah budi pekerti, atau yang kita kenal sebagai
pendidikan karakter pada masa sekarang.

Kartini mengatakan bahwa pendidikan ittu janganlah hanya akal saja yang
dipertajam, tetapi budi pekerti pun harus dipertinggi. Sekolah diperlukan dalam
memajukan pendidikan. Pendidikan di sekolah juga harus dibarengi dengan
pendidikan di keluarga. Untuk para guru di sekolah, kartini berharap guru tidak
hanya mengajar semata, tetapi juga harus menjadi pendidik.

Bagi Kartini mendidik perempuan merupakan kunci peradaban, karena


perempuan yang akan mendidik anak-anak (generasi muda). Beliau juga memiliki
pemikiran tentang kebijakan pendidikan, dimana pemerintah berkewajiban
meningkatkan kesadaran budi perempuan, mendidik perempuan, memberi pelajaran
perempuan, dan menjadikan perempuan sebagai ibu dan pendidik yang cakap dan
cerdas. Namun Kartini juga tidak lantas membatasi pendidikan yang normatif,
beliau memberi kebebasan kepada siswa untuk berpikir dan mengutarakan pendapat.
Bahan bacaan menjadi gagasan kartini juga, karena bahan bacaan atau yang
sekarang ini kita artikan sebagai sumber belajar merupakan alat pendidikan yang
diharapkan banyak mendatangkan kebajikan.

20
BAB III
KESIMPULAN

Sejarah pendidikan merupakan hal yang penting terkait dengan perkembangan


pendidikan di dunia maupun di Indonesia. Kontriusi keilmuan dari para tokoh filsuf
dalam bidang pendidikan baik dalam segi ontologi, aksiologi maupun epistemologi
menjadi dasar dari filsafat pendidikan yang diaplikasikan dan dikembangkan oleh
para praktisi edukasi. Mereka mengadopsi filsafat dari tokoh-tokoh tertentu dalam
praktek pengajarannya.

Tokoh-tokoh pendidikan dunia maupun Indonesia memiliki pemikiran-


pemikiran yang telah mempengaruhi pendidikan masa kini. Tanpa pemikiran para
tokoh terdahulu pendidikan Indonesia masa kini tentu belum tentu menjadi seperti ini.
Setiap tokoh pendidikan baik tokoh dunia maupun tokoh Indonesia memiliki
pemikiran-pemikiran yang unik yang ternyata beberapa masih bisa diaplikasikan
dalam pendidikan masa kini dengan beberapa perbaikan.

21
REFERENSI

Hasbullah. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Pendidkan: Umum dan Agama Islam. Jakarta: PT Raja
Gafindo Persada.
Sukarjo M. 2009. Landasan Pendidikan Konsep & Aplikasinya. Jakarta: Rajawali Pers.
Pribadi, S.A.T (2010). Kiprah K.H. Ahmad Dahlan dalam Modernisasi Pendidikan Islam di
Indonesia. Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Jakarta: Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah

Sadulloh, U & Setiasih, O. (2009). Landasan Historis Pendidikan. Dalam Sub Koordinator
MKDP Landasan Pendidikan (hlm 143-203) Bandung: UPI

Anda mungkin juga menyukai