Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH SEMINAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“HALAL DAN HARAM”


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Seminar Pendidikan
Agama Islam
Dosen Pengampu :

Dr. H. Burhanuddin T.R., M.Pd.

Disusun Oleh:

Kelompok 3 6D PGSD

Dheva Irmayati Narsja 1705153


Elisya Rahmawati 1706177
Hanifah Eka Nuryani 1703453
Muhammad Rifki Mauludin 1706182
Wida Utari 1703923

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

KAMPUS PURWAKARTA

2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Halal dan haram sudah lama dikenal oleh tiap-tiap ummat,
sekalipun
masing-masing berbeda dalam ukurannya, macamnya dan sebab-sebabnya.
Kebanyakan dikaitkan dengan kepercayaan primitif, khurafat dan
dongeng-dongeng.
Kemudian datanglah agama-agama Samawi yang besar-besar
dengan membawa berbagai peraturan dan rekomendasi tentang halal dan
haram yang mengangkat martabat manusia dari tingkatan khurafat,
dongengdongeng, dan hidup primitif, menjadi manusia yang mulia dan
terhormat.
Akan tetapi sebagian yang halal dan haram itu disesuaikan dengan
keadaan dan kondisi, serta berkembang menurut perkembangan manusia
itu sendiri serta mengikuti perkembangan situasi dan kondisi.
"(Bahwa aku) membenarkan kitab yang sebelumnya yaitu Taurat,
dan supaya aku menghalalkan kepadamu sebagian yang pernah
diharamkan atas kamu." (ali-Imran: 50)
Setelah Islam datang, keadaan ummat manusia sudah makin
meluncur, maka sudah tepat pada waktunya Allah menurunkan agamaNya
yang terakhir itu. Hukum yang berlaku di kalangan ummat manusia ini
ditutupnya dengan syariat Islam yang komplit, menyeluruh dan abadi
(universal). Dalam hal ini dapat kita baca firman Allah yang berhubungan
dengan masalah haramnya makanan-makanan sebagai tersebut dalam
surah Al-Maidah, yaitu sebagai berikut:
"Pada hari ini Aku telah sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah
Aku sempurnakan atas kamu nikmatKu, dan Aku telah rela untukmu Islam
sebagai agama." (al-Maidah: 3)

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah


1. Pengertian halal dan haram

1
2. Prinsip-prinsip Islam tentang halal dan haram
3. Penerapan halal dan haram dalam kehidupan
C. Tujuan Kajian
1. Untuk memahami halal dan haram
2. Untuk mengetahui Prinsip-prinsip Islam tentang halal dan haram
3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan halal dan haram dalam
kehidupan
D. Manfaat Kajian
Manfaat yang ingin di capai dalam penulisan makalah ini yaitu
agar mahasiswa memahami hakikat halal dan haram serta dapat
membedakan hal-hal apa saja yang dapat dikatakan haram ataupun halal
yang bersumber langsung dari Al-Qur’an. Makalah ini juga dapat
membantu mahasiswa sebagai bacaan mengenai seputar halal dan haram.
Sehingga tujuan dari materi ini tersampaikan dengan baik dan dapat
diterapkan dalam kehidupan.
E. Sistematika Bahasan
Makalah inoi terdiri dari daftar isi, BAB I yaitu pendahuluan, BAB
II isi dan BAB III penutup. Pendahuluan terdiri dari 5 hal yaitu latar
belakang masalah, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan kajian,
manfaat kajian, serta sistematika bahasan. Isi atau bahasan dari materi ini
meliputi pengertian halal dan haram, prinsip-prinsip Islam tentang halal
dan haram, serta konsep kepemilikan harta dalam Islam. Dan yang terakhir
yaitu penutup terdiri dari 1 aspek yaitu kesimpulan. Serta makalah ini
tidak lupa dicantumkan daftar rujukannya.

2
BAB II
ISI HALAL DAN HARAM
A. Pengertian Halal dan Haram
Al-Jurjani, tt:92 dalam tullisan Pengertian Kata Halal Menurut
Agama Islam Halal oleh Eka Winda (2016) halal adalah segala sesuatu
yang apabila tidak akan dikenakan sangsi dan apa saja yang dibolehkan
oleh syariat untuk dilakukan. Hal ini dipertegas Yusuf Qardhawi (2000:31)
bahwa halal adalah sesuatu yang dengannya terurailah hal yang
membahayakan dan Allah memperbolehkan untuk mengerjakannya.
Haram lawan dari halal. Al-Ashfahani dalam tullisan Pengertian
Kata Halal Menurut Agama Islam Halal oleh Eka Winda (2016)
mengatakan bahwa haram adalah sesuatu yang dilarang, baik oleh
kekuasaan Ilahi, manusia, atau larangan penguasa. Larangan ini baik dari
aspek akal, syar’I, ataupun dari orang yang ditaati.
Kata halal, berasal dari bahasa arab berakar dari kata halla yang
artinya "lepas" atau "tidak terikat", secara Etimologi kata halal berarti hal-
hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan
ketentuan yang melarangnya, atau bisa juga diartikan sebagai segala
sesuatu yang bebas dari bahaya dunia dan akhirat. Dalam konteks pangan,
makanan halal adalah makanan yang boleh dikomsumsi, diproduksi dan
dikomersialkan.
Haram adalah sebuah status hukum terhadap suatu aktivitas atau
keadaan suatu benda (misalnya makanan). Aktivitas yang berstatus hukum
haram atau makanan yang dianggap haram adalah dilarang secara keras.
Orang yang melakukan tindakan haram atau makan binatang haram ini
akan mendapatkan konsekuensi berupa dosa.
Dari Abu ‘Abdillah Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhuma
berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun
telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada perkara syubhat (samar-
samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)-Nya.
Barangsiapa yang menghindari perkara syubhat (samar-samar), maka ia

3
telah membersihkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang jatuh
ke dalam perkara yang samar-samar, maka ia telah jatuh ke dalam perkara
yang haram. Seperti penggembala yang berada di dekat pagar larangan
(milik orang) dan dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah,
bahwa setiap raja memiliki larangan (undangundang). Ingatlah bahwa
larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, bahwa di
dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baik
pula seluruh jasadnya; dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya.
Ketahuilah, bahwa segumpal daging itu adalah hati. [Diriwayatkan oleh al
Bukhari dan Muslim, dan ini adalah lafazh Muslim].

B. Prinsip-prinsip Islan tentang halal dan haram


Yusuf Qardhawi (Burhanuddin TR dan Asep Sopian : 2017)
memaparkan bahwa terdapat beberapa prinsip dalam Islam perkara halal
dan haram, yaitu:
1. Asal status hukum tiap – tiap sesuatu adalah mubah (harus)
Ini merupakan satu kaidah fiqih yaitu ‫يَاء اَأْل ِ بَا َحة‬S‫ ُل فِي اأْل َ ْش‬S‫ص‬
ْ َ ‫ اَأْل‬.
Asal setiap sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah.
Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nash yang sah dan
tegas dari syar’i. Sekiranya tidak ada nash yang sah, seperti hadits
yang dinilai da’if (lemah), ataupun yang jelas (sarih) yang
menunjukkan haram, maka perkara tersebut dianggap sebagai harus,
karena hukum asalnya adalah mubah.
Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi dalam Jurnal Prinsip-
Prinsip Halal Dan Haram Menurut Yusuf Al-Qaradawi
mengemukakan bahwa prinsip ini adalah berdasarkan firman Allah
S.W.T.:

ِ ْ‫ق لَ ُكم َّمافِي اأْل َر‬


‫ض َج ِميعًا‬ َ َ‫هُ َو الَّ ِذى َخل‬

“Dialah zat yang menjadikan untuk kamu segala sesuatu yang


ada di muka bumi ini semuanya” (Al-Baqarah : 29). Ayat ini menjadi
hujah kepada mereka yang berpendapat bahwa asal setiap sesuatu
yang bisa diambil manfaat daripadanya adalah mubah, begitu juga

4
ayat di dalam surah Al-Jasiyah: 13, dan surah Luqman: 20. Juga
berdasarkan hadits Nabi S.A.W.: “Apa saja yang Allah halalkan di
dalam kitab-Nya, maka dia adalah halal, dan apa saja yang Ia
haramkan, maka dia adalah haram, sedang apa yang Ia diamkan, maka
pekara itu adalah dimaafkan (dibolehkan). Oleh kerana itu, terimalah
kemaafan dari Allah itu sebab sesungguhnya Allah tidak akan lupa.-
Kemudian Rasulullah membaca ayat surah Maryam : 64” (Riwayat al-
Hakim dan Bazzar).

2. Menentukan halal-haram semata-mata hak Allah Ta’ala


Kekuasaan untuk menentukan halal dan haram adalah hak
Allah S.W.T., manusia tidak kira siapapun, ulama, pendeta, raja, atau
presiden tidak berhark atas hal tersebut. Barang siapa bersikap
demikian, berarti telah melanggar batas dan menentang hak Allah
S.W.T. Kemudian barang siapa menerima dan mengikuti sikap
tersebut, maka dia telah menjadikan mereka itu sebagai sekutu Allah,
sejalan dengan firman-Nya, yaitu: “Apakah mereka itu mempunyai
sekutu yang mensyariatkan agama untuk mereka, dengan sesuatu yang
tidak diizinkan Allah? .......” (Surah Asy-Syura : 21).
Para ahli fiqih pun tidak berwenang menetapkan hukum, karena
mereka takut jatuh pada kesalahan dalam menghalalkan apa yang
haram dan mengharamkan apa yang halal.
3. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sama dengan
syirik
Dalam hadis Qudsi, Allah berfirman:
“Aku ciptakan hamba-hamba-Ku ini dengan sikap yang lurus
(hanif), tetapi kemudian datanglah setan kepada mereka. Setan ini
membelokkan mereka dari agama mereka, dan mengharamkan atas
mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta
mempengaruhi supaya mereka menyekutukan Aku dengan sesuatu
yang tidak Aku turunkan keterangan padanya” (HR. Muslim).
Di Madinah sempat muncul orang-orang yang cenderung
berlebih-lebihan dan mengharamkan dirinya dalam hal-hal yang baik.

5
Untuk itulah, Allah S.W.T. menurunkan ayat-ayat hukum untuk
menegakkan mereka dalam batas-batas ketentuan Allah yaitu QS. Al-
Maidah: 87-88.
Al-Qaradawi dalam Jurnal Prinsip-Prinsip Halal Dan Haram
Menurut Yusuf Al-Qaradawi juga mengatakan orang-orang yang
mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram termasuk
golongan yang berlebih-lebihan (al-mutanatti’un), yang mana telah
diancam oleh Nabi Muhammad S.A.W dalam sabdanya yaitu
“ingatlah! Mudah-mudahan binasalah orang-orang yang berlebihan itu
– sebanyak 3 kali” (HR. Muslim dan Abu Daud).
4. Mengharamkan yang halal akan berakibat timbulnya kejahatan dan
bahaya
Allah S.W.T. menentukan halal dan haram adalah justru karena
beberapa alasan yang ma’qul (rasional) demi kemaslahatan manusia itu
sendiri. Allah tidak akan menghalalkan sesuatu kecuali yang baik dan
tidak pula mengharamkan sesuatu kecuali yang jelek. Dengan
demikian, mengharamkan sesuatu yang halal itu dapat membawa satu
keburukan dan bahaya. Sedang seluruh bentuk bahaya adalah haram.
(Yusuf Qardhawi: 1993) mengatakan Kalau suatu persoalan
bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, maka hal tersebut
hukumnya haram. Sebaliknya, kalau manfaatnya lebih besar, maka
hukumnya menjadi halal. Kaidah ini diperjelas sendiri oleh al-Quran,
misalnya tentang arak, Allah berfirman: "Mereka menanyakan
kepadamu (Muhammad) tentang hukumnya arak dan berjudi, maka
jawablah: bahwa keduanya itu ada suatu dosa yang besar, di samping
dia juga bermanfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada
manfaatnya." (Al-Baqarah: 219).
5. Setiap yang halal tidak memerlukan yang haram
Setiap perkara yang diharamkan Allah pasti ada gantinya
kepada sesuatu yang lebih baik, itulah salah satu bentuk rahmat dan
kelembutan agama Islam.

6
Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah dalam Jurnal Prinsip-Prinsip Halal
Dan Haram Menurut Yusuf Al-Qaradawi mengatakan, “Sekiranya
Allah mengharamkan sesuatu kepada mereka (manusia) Ia akan
menggantikannya dengan apa yang lebih baik dan bermanfaat untuk
mereka. Dan mengharuskan untuk mereka apa yang dapat memenuhi
keperluan mereka (dengan jalan yang halal) agar memudahkan mereka
meninggalkan perkara yang haram. (Contohnya) Allah mengharamkan
kepada mereka jual beli (dengan bertukar) rutab (kurma basah /
berkualiti) dengan tamar (kurma kering) (yang dimaksudkan adalah
jual beli riba) dan menggantikannya dengan mengharuskan (untuk
mendapatkan tamar / rutab) dengan sistem pinjaman, sebagaimana
mengharamkan ke atas mereka melihat kepada ajnabi, tetapi
dibolehkan dalam melihat tunang, dalam bermuamalah dan doktor,
dan mengharamkan mendapatkan harta dengan cara bertanding yang
batil dengan menggunakan dadu atau catur (yakni berjudi) dan
mengharuskan mendapatkan harta dengan pertandingan yang
bermanfaat seperti berlomba pacuan kuda…”.
6. Apa saja yang membawa kepada yang haram adalah haram
Jika Islam telah mengharamkan sesuatu, maka sarana dan cara
apapun yang dapat membawa kepada perbuatan haram, hukumnya
adalah haram. Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi dalam Halal dan
Haram dalam Islam (Alih Bahasa oleh H. Mu’ammal Hamidy) tahun
1993 memberikan contoh sebagai berikut, ketika Islam mengharamkan
zina misalnya, maka semua pendahuluannya dan apa saja yang dapat
membawa kepada perbuatan itu, adalah diharamkan juga. Misalnya,
dengan menunjukkan perhiasan, berduaduaan (free love), bercampur
dengan bebas, foto-foto telanjang (cabul), kesopanan yang tidak teratur
(immoral), nyanyian-nyanyian yang kegila-gilaan dan lain-lain.
Dosa perbuatan haram tidak terbatas pada pribadi si pelakunya
itu sendiri secara langsung, tetapi meliputi daerah yang sangat luas,
termasuk semua orang yang bersekutu dengan dia baik melalui harta
ataupun sikap. Masing-masing mendapat dosa sesuai dengan

7
keterlibatannya. Semua orang yang membantu kepada orang yang
berbuat haram, maka dia akan terlibat dalam dosanya juga.
7. Bersiasat terhadap hal yang haram, hukumnya adalah haram
Ibnu Khatir dalam Jurnal Prinsip-Prinsip Halal Dan Haram
Menurut Yusuf Al-Qaradawi memberikan contoh yang terjadi pada
orang-orang Yahudi. Dahulu orang-orang Yahudi diharamkan oleh
Allah untuk menangkap ikan pada hari Sabtu, lalu mereka melakukan
cara dengan memasang perangkap (jala) pada hari Jum’at, lalu pada
hari Sabtu ikan tersangkut pada jala, dan mereka mengutipnya pada
hari ahad, maka Allah telah mengubah rupa mereka seperti beruk,
seperti yang digambarkan oleh Allah S.W.T dalam surah Al-Baqarah :
65.
Rasulullah pernah mencela perbuatan orang-orang Yahudi
tersebut, beliau bersabda:
“Jangan kamu berbuat seperti perbuatan Yahudi, dan jangan
kamu menganggap halal terhadap larangan-larangan Allah walaupun
dengan siasat yang paling kecil”. Termasuk bersiasat yaitu,
menamakan sesuatu yang haram dengan nama lain, dan mengubah
bentuk, padahal intinya itu juga.
Untuk itulah, maka dalam sebuah hadits Nabi disebutkan:
"Sungguh akan ada satu golongan dari ummatku yang
menganggap halal minum arak dengan memberikan nama lain." (HR.
Ahmad)
8. Niat baik tidak dapat melepaskan yang haram
Niat yang baik itu dapat menggunakan seluruh yang mubah dan
adat untuk berbakti dan taqarrub kepada Allah S.W.T. Adapun
masalah haram, tetap dinilai haram, betapapun baik dan mulianya niat
dan tujuan itu.
Secara detail, Al-Qaradawi dalam Jurnal Prinsip-Prinsip Halal
Dan Haram Menurut Yusuf Al-Qaradawi juga mengatakan bahwa
perkara yang haram akan tetap keharamannya walaupun diiringi
dengan niat yang baik. Islam tidak pernah memberi peluang jika

8
keharaman dijadikan alat untuk mencapai tujuan yang terpuji.
Seterusnya beliau membawa contoh, seperti orang yang
mengumpulkan harta daripada hasil riba, judi, dan selainnya untuk
tujuan membina masjid, maka niatnya itu tidak menghapuskan dosa
pelaku tersebut dan tidak akan menjadi pembantu di akhirat kelak.
Seperti dalam sebuah hadits, Rasulullah S.A.W. bersabda:
“Barangsiapa yang mengumpul harta dari barang yang haram,
kemudian dia sedekahkan, tidak ada ganjaran untuknya atas sedekah
itu dan dosanya (dari pekerjaannya itu) adalah menjadi
tanggungjawabnya” (HR. Al-Hakim).
9. Menjauhkan diri dari syubhat karena takut terlibat dalam haram
Syubhat adalah suatu persoalan yang tidak begitu jelas antara
halal dan haramnya bagi manusia. Hal ini bisa terjadi mungkin karena
tidak jelasnya dalil dan mungkin karena tidak jelasnya jalan untuk
menerapkan dalil yang ada terhadap suatu peristiwa. Terhadap
persoalan ini, Islam memberikan suatu garis yang disebut wara’ (suatu
sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Dimana dengan sifat itu
seorang Muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah yang
masih syubhat, sehingga dengan demikian dia tidak akan terseret untuk
berbuat kepada yang haram.
Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi dalam Halal dan Haram
dalam Islam (Alih Bahasa oleh H. Mu’ammal Hamidy) tahun 1993
mengatakan cara semacam ini termasuk menutup jalan berbuat maksiat
(saddudz dzara'i). Disamping itu cara tersebut merupakan salah satu
macam pendidikan untuk memandang lebih jauh serta penyelidikan
terhadap hidup dan manusia itu sendiri. Dasar pokok daripada prinsip
ini ialah sabda Nabi yang mengatakan:
"Yang halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas, di
antara keduanya itu ada beberapa perkara yang belum jelas (syubhat),
banyak orang yang tidak tahu: apakah dia itu masuk bagian yang halal
ataukah yang haram? Maka barangsiapa yang menjauhinya karena
hendak membersihkan agama dan kehormatannya, maka dia akan

9
selamat,. dan barangsiapa mengerjakan sedikitpun daripadanya
hampir-hampir ia akan iatuh ke dalam haram, sebagaimana orang yang
menggembala kambing di sekitar daerah larangan, dia hampir-hampir
akan jatuh kepadanya. Ingatlah! Bahwa tiap-tiap raja mempunyai
daerah larangan. Ingat pula, bahwa daerah larangan Allah itu ialah
semua yang diharamkan." (HR. Bukhari, Muslim dan Tarmizi, dan
riwayat ini adalah lafal Tarmizi).
10. Sesuatu yang haram berlaku untuk semua orang
Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi dalam Halal dan Haram
dalam Islam (Alih Bahasa oleh H. Mu’ammal Hamidy) tahun 1993
mengatakan, Haram dalam pandangan syariat Islam mempunyai ciri
menyeluruh dan mengusir. Tidak seorang muslim pun yang
mempunyai keistimewaan khusus yang dapat menetapkan sesuatu
hukum haram untuk orang lain, tetapi halal untuk dirinya sendiri.
Misalnya mencuri, hukumnya adalah haram, baik si pelakunya
itu Muslim atau bukan. Hukumnya pun berlaku untuk setiap pencuri.
Demikianlah yang dilakukan Rasulullah dan yang dikumandangkannya
dalam sebuah pengumuman:
"Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang
mencuri, pasti akan kupotong tangannya." (HR. Bukhari)
11. Keadaan terpaksa membolehkan yang terlarang
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa haram dalam
islam memiliki ciri menyeluruh dan mengusir, namun Islam juga tidak
lupa terhadap kepentingan hidup manusia serta kelemahan manusia
dalam menghadapi kepentingannya itu. Seorang muslim dalam
keadaaan yang sangat memaksa, diperkenankan melakukan yang
haram karena dorongan keadaan sekadar menjaga diri dari kebinasaan.
Seperti firman Allah S.W.T. yaitu:
"Barangsiapa dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan
tidak melewati batas, maka tiada berdosa atasnya, karena
sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih." (QS
Al-Baqarah: 173)

10
Tetapi tetap ada pembatasan terhadap si pelakunya yaitu
dengan kata-kata tidak sengaja (tidak sengaja untuk mencari kelezatan)
dan tidak melewati batas. Dari ikatan ini, para ulama ahli fiqih
menetapkan suatu prinsip yaitu manusia sekalipun boleh tunduk
kepada keadaan darurat, tetapi dia tidak boleh menyerah begitu saja
dan menjatuhkan dirinya kepada keadaan darurat tersebut dengan
kendali nafsunya. Tetapi dia harus tetap mengikatkan diri kepada
pangkal halal dengan terus berusaha mencarinya.

C. Penerapan Halal dan Haram


1. Dalam makanan dan minuman
Dasar pokok pengharamana makanan dan minuman.
a. Al-Qur’an
 Hal-hal yang bersifat khabits hukumnya haram da yang
bersifat thayyibat (enak, bergizi, tidak menimbulkan
penyakit,tidak kotor) hukumnya halal (Q.S 7:157).
 Diharamkan memakan bangkai, darah, daging babi, daging
binatang, yang disembelih bukan karena Allah SWT,
binatangnya mati (karena tercekik, dipukul, diterkam
binatang buas, ditanduk, jatuh, dan binatang sembelihan
untuk berhala).(Q.S 5:3).
 Haram minum khamer dan jenis minuman lainnya yang
mengganggu jalannya pikiran, judi, berkurban untuk
berhala, dan mengadu nasib. (Q.S. 5:90). Telaah pula (Q.S.
6:145 dan 5:5)
b. Sunnah
 Setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap burung
yang bercakar, memakannya adalah haram. (H.R. Muslim)
 Setiap yang memabukkan adalah khamr. Setiap yang
memabukkan itu haram. Dan setiap yang memabukkan,
baik sedikit maupun banyak hukumnya haram. (H.R.
Muslim)

11
 Rasulullah SAW, melarang membunuh empat binatang
melata seperti semut, lebah, burung hud-hud, dan burung
suradi.(H.R. Ahmad, abu Daud, dishahihkan oleh Ibnu
Hibban)
2. Dalam pekerjaan
Sistem ekonomi dalam islam ditegakkan pada asa memerangi
riba dan menganggapnya sebagai dosa besar yang dapat
menghapuskan berkah dari individu dan masyarakat, bahkan dapat
mendatangkan bencana di dunia dan di akhirat. Hal ini telah disinyalir
di dalam Al-Quran dan sunnah serta telah disepakati oleh umat.
(Burhanuddin TR, 2017: 76)
Allah Ta’ala berfirman : “Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang
tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa” [QS. Al-Bagarah :
276]
Rasullah saw bersabda,
“apabila zina dan riba telah merajalela di suatu negeri, berarti
mereka telah menyediakan diri mereka telah menyediakan diri mereka
untuk disiksa oleh Allah.” [HR Hakim]
Dalam peraturan dan tuntutannya islam menyuruh umatnya
agar memerangi kemaksiatan. Apabila tidak sanggup, minimal ia harus
menahan diri agar perkataan maupun perbuatannya tidak terlibat dalam
kemaksiatan itu. Karena itu islam mengharamkan semua bentuk kerja
sama atas dosa dan permusuhan, dan menganggap setiap orang yang
membantu kemaksiatan bersekutu dalam dosanya bersama pelakunya,
baik pertolongan itu dalam bentuk moril maupun materil, perbuatan
ataupun perkataan. (Burhanuddin TR, 2017: 76-77)
Rasullah saw bersabda mengenai kejahatan pembunuhan.
“Kalau penduduk langit dan penduduk bumi bersekutu dalam
membunuh seorang mukmin, niscaya Allah akan membenamkan
mereka dalam neraka” [HR Tirmizi]

12
Demikian juga terhadap praktik suap menyuap. “Rasullah saw
melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang
menjadi perantaranya.” [HR Ibnu Hibban dan Hakim].
Kemudian mengenai riba, Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan
“Rasullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil
riba, dua orang yang menjadi saksinya “ dan beliau bersabda: “Mereka
itu sama.” [HR Muslim]
Selain riba ,berikut beberapa profesi yang diperangi Islam :
a. Protitusi
Islam sangat menentang keras profesi ini. Ia tidak
memperbolehkan seorang muslimah pun, baik yang merdeka
maupun budak, memperoleh mata pencaharian dengan menjual
kehormatan dirinya. Ibnu Abbas ra. Meriwayatkan bahwa
Abdullah bin Ubah, dedengkot kaum munafik, menghadap
Rasulullah Saw. Bersama seorang gadis cantik bernama Mu'adzah.
Ia mengatakan, "Wahai Rasulullah, anak gadis ini adalah salah satu
anak-anak yatim si Fulan. Tidakkah engkau menyuruhnya berzina
sehingga mereka memperoleh sebagian manfaatnya?" "Tidak!"
Jawab Rasulullah saw. Dengan begitu Rasulullah saw, telah
melarang profesi yang sangat kotor itu, apa pun motivasinya.
(Yusuf Qardhawi, 2007: 194-195)
b. Tarian dan Seni Tubuh
Islam juga menolak dengan keras tarian erotis dan
merangsang. Demikian pula segala pekerjaan yang merangsang
gairah seksual. Misalnya lagu-lagu cina, film-film porno, dan
segala pekerjaan iseng dari jenis ini, meskipun sebagian orang
menamakan sebagai seni, gaya hidup modern, atau apa pun istilah
yang menyesatkan.(Yusuf Qardhawi, 2007: 195)
c. Kerajinan Patung, Salib, dan Sejenisnya
Rasulullah bersabda. " Barangsiapa membuat patung, maka
sesungguhnya Allah menyiksanya hingga ia meniupkan ruh
kedalamnya, padahal ia tidak akan mampu meniupnya sama

13
sekali". Demikian pula berlaku untuk pembuatan patung, salib, dan
sejenisnya. (Yusuf Qardhawi, 2007: 195-196)
d. Industri Minuman Keras dan Ganja
Telah kita ketahui di muka bumi bahwa Islam
mengharamkan segala bentuk partisipasi pengedaran arak. Baik
usaha produksi, distribusi, maupun konsumsinya. Obat obat bius
dan candu, baik berupa ganja, opium, dan lainnya, sama dengan
arak. Produksi, distribusi, ataupun konsumsinya haram. Islam juga
tidak mengizinkan seorang muslim bekerja pada industri yang
membangun di atas sesuatu yang haram, atau usaha
menyebarkannya.(Yusuf Qardhawi, 2007: 196-197)

Nabi saw. Menghapuskan pemikiran yang merendahkan


sebagian orang karena profesi dan pekerjaan tertentu. Beliau
mengajarkan para sahabatnya bahwa kehormatan, bahkan segala
kehormatan, ada pada pekerjaan, pekerjaan apa pun. Kehinaan dan
kelemahan ada pada ketergantungan kepada bantuan orang lain.
(Yusuf Qardhawi, 2007: 183)
Nabi saw. Bersabda. "Jika seseorang diantara kalian
mengambil tali kemudian ia membawa kayu bakar dengan talinya
itu di punggungnya lalu dijual Allah menjaga kehormatannya
dengan itu. Dan itu lebih baik daripada meminta-minta kepada
orang lain, Baim mereka memberi atau tidak." [HR. Bukhari dan
Muslim]
Seorang muslim boleh berusaha, di ladang pertanian,
berdagang, membangun industri, kerajinan, atau berbagai profesi
dan pekerjaan, selama tidak yang haram , tidak dibangun di atas
yang haram, membantu, atau berkaitan dengan sesuatu yang
haram. (Yusuf Qardhawi, 2007: 184)

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata halal, berasal dari bahasa arab berakar dari kata halla yang
artinya "lepas" atau "tidak terikat", secara Etimologi kata halal berarti hal-
hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan
ketentuan yang melarangnya, atau bisa juga diartikan sebagai segala
sesuatu yang bebas dari bahaya dunia dan akhirat. Sedangkan Haram
lawan dari halal. Al-Ashfahani (muhaddith.org) mengatakan bahwa haram
adalah sesuatu yang dilarang, baik oleh kekuasaan ilahi (QS. Al-
Qashas:12), manusia, atau larangan penguasa. Larangan ini baik dari aspek
akal, syar’I, ataupun dari orang yang ditaati.
Prinsip-prinsip Islan tentang halal dan haram ada 11, yaitu:
o Asal status hukum tiap – tiap sesuatu adalah mubah (harus)
o Menentukan halal-haram semata-mata hak Allah Ta’ala
o Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sama
dengan syirik
o Mengharamkan yang halal akan berakibat timbulnya kejahatan dan
bahaya
o Setiap yang halal tidak memerlukan yang haram
o Apa saja yang membawa kepada yang haram adalah haram
o Bersiasat terhadap hal yang haram, hukumnya adalah haram
o Niat baik tidak dapat melepaskan yang haram
o Menjauhkan diri dari syubhat karena takut terlibat dalam haram
o Sesuatu yang haram berlaku untuk semua orang
o Keadaan terpaksa membolehkan yang terlarang
Penerapan Halal dan Haram
o Dalam makanan dan minuman
o Dalam pekerjaan

15
16
DAFTAR RUJUKAN

Al-Qur’an.
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir. (2019). Halal dan Haram Sudah Jelas.
Tersedia online. https://almanhaj.or.id/12129-halal-dan-haram-sudah-
jelas.html (Diakses pada tanggal 25 Februari 2020 pukul 18.35)
Burhanuddin, TR. Sopian, A. (2017). Islam My Way of Life. Subang: Royyan
Press.
Winda, Eka. (2016). Pengertian Kata Halal Menurut Agama Islam. Tersedia
Online. https://ekawindablog.wordpress.com/2016/11/12/126/ (Diakses
pada tanggal 25 Februari 2020 pukul 20. 36)
Qardhawi, Muhammad Yusuf. (1993). Halal dan Haram dalam Islam (Alih
Bahasa oleh: H. Mu’ammal Hamidy). Jakarta: PT. Bina Ilmu.
Rosele, M. Ikhlas. Syed Jaafar, Syed Mohd Jeffri. Ramli, Mohd Annuar. Prinsip-
Prinsip Halal dan Haram Menurut Yusuf Al-Qaradawi. Akademi
Pengajian Islam Universiti Malaya: e-journal.
Tersedia online: https://www.academia.edu/4232062/Prinsip-
Prinsip_Halal_Dan_Haram_Menurut_Al-Qaradawi (diakses tanggal 25
Februari 2020 pukul 23.00)
Yusuf, Qardhawi. (2007). Halal dan Haramnya Dalam Islam. Solo: Darul
Ma'rifah.

17

Anda mungkin juga menyukai