Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KOMUNIKASI SUPORTIF DAN KOMUNIKASI DEFENSIF DALAM


PAUD
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Komunikasi dalam PAUD

Dosen Pengampu :
Dr. Heri Yusuf Muslihin, M.Pd.
Nuraly Masum Aprily, M.Pd.

oleh:
Siti Nurrahmah (2001418)
Heni Laelasari (2001713)
Septia Azzahra (2008777)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU


PENDIDIKAN ANAK USIA DINI UNIVERSITAS PENDIDIKAN
INDONESIA KAMPUS DAERAH TASIKMALAYA
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Komunikasi dalam
PAUD yang berjudul “Komunikasi Suportif dan Komunikasi Defensif dalam
PAUD” dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam tercurah kepada
Nabi Muhammad SAW. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat menjadi referensi bagi para pembaca dan
dapat memperluas ilmu pengetahuan tentang “Komunikasi Suportif dan
Komunikasi Defensif dalam PAUD”. Penulis juga mengakui bahwa penulis adalah
manusia yang mempunyai keterbatasan dalam berbagai hal, oleh karena itu tidak
ada hal yang dapat diselesaikan dengan sempurna begitu pula dengan makalah ini
masih memiliki banyak kekurangan dan memerlukan penyempurnaan. Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar dapat memperbaiki
makalah ini di masa mendatang.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Tasikmalaya, 18 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 Pengertian Komunikasi Suportif dalam PAUD 3
2.2 Teknik-Teknik Komunikasi untuk Menciptakan Iklim Komunikasi
Suportif dalam PAUD 4
2.3 Karakteristik Komunikasi Suportif dalam PAUD 6
2.4 Pengertian Komunikasi Defensif dalam PAUD 8
2.5 Contoh Kalimat dalam Komunikasi Defensif 9
2.6 Tipe Perilaku Penyebab Komunikasi Suportif dan Defensif 10
BAB III PENUTUP 14
3.1 Kesimpulan14
3.2 Saran 14
DAFTAR PUSTAKA 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Komunikasi dalam PAUD sangat diperlukan mengingat PAUD adalah
pendidikan yang diselenggarakan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
perkembangan dan pertumbuhan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003).
Menurut Natalina & Gandana (2019, hlm. 4) komunikasi dalam PAUD adalah
suatu proses hubungan antara pendidik dan peserta didik, antara pendidik dengan
staf staf sekolah, antara anak dengan lingkungannya, dalam pembelajaran anak
akan selalu berkomunikasi dengan guru dengan menyampaikan informasi atau
pesan sehingga ada umpan balik antara pendidik dan peserta didik.
Mahasiswa PGPAUD diprioritaskan sebagai pendidik atau guru yang yang
menangani anak. Untuk itu diperlukannya pengetahuan mengenai Komunikasi
Suportif dan Komunikasi Defensif Dalam PAUD. Komunikasi suportif
merupakan komunikasi yang sangat menunjang dan akan menghindarkan kita dari
pengungkapan konflik yang berujung pada permusuhan. Sebaliknya komunikasi
defensif berasal dari kata defensive yang artinya bertahan atau melindungi diri.
Sikap defensive harus dihindari karena dengan sikap defensive hubungan
interpersonal akan gagal, karena orang yang memiliki sikap defensive cenderung
akan banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya dalam situasi
komunikasi ketimbang memahami pesan orang lain (Rakhmat dalam Natalina &
Gandana, 2019, hlm. 82).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud komunikasi suportif dalam PAUD?
2. Bagaimana teknik-teknik komunikasi untuk menciptakan iklim
komunikasi suportif dalam PAUD?
3. Bagaimana karakteristik komunikasi suportif dalam PAUD?
4. Apa yang dimaksud komunikasi defensif dalam PAUD?
5. Seperti apa contoh kalimat dalam komunikasi defensif?
6. Apa saja tipe perilaku penyebab komunikasi suportif dan defensif?

1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian komunikasi suportif dalam PAUD.
2. Untuk mengetahui teknik-teknik komunikasi untuk menciptakan iklim
komunikasi suportif dalam PAUD.
3. Untuk mengetahui karakteristik komunikasi suportif dalam PAUD.
4. Untuk mengetahui pengertian komunikasi defensif dalam PAUD.
5. Untuk mengetahui contoh kalimat dalam komunikasi defensif.
6. Untuk mengetahui tipe perilaku penyebab komunikasi suportif dan
defensif.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Komunikasi Suportif dalam PAUD
Burleson dan MacGeorge (dalam Shanti, Suryani, dan Ajisuksmo, 2021, hlm.
82) mengemukakan bahwa komunikasi suportif adalah bentuk perilaku (verbal
dan non-verbal) yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kondisi psikologis dari
lawan bicaranya. Hal tersebut sejalan dengan Cohen dan Wills (dalam Shanti,
Suryani, dan Ajisuksmo, 2021, hlm. 82) yang menyatakan bahwa komunikasi
suportif secara konkrit mampu membuat emosi seseorang menjadi lebih baik dan
mengarahkan seseorang untuk berpikir lebih positif. Menurut Carlson (2016, hlm.
3) komunikasi suportif juga membantu seseorang untuk mengambil keputusan
dengan baik.
Natalina dan Gandana (2022, hlm. 85) juga mengartikan komunikasi suportif
sebagai komunikasi yang berorientasi dan bersikap positif pada kepentingan
penerima pesan atau komunikan. Komunikasi suportif ini juga secara khusus
sering disebut sebagai komunikasi empatik. Berdasarkan pengertian-pengertian
tersebut dapat diketahui bahwa komunikasi tidak hanya mencakup pemilihan gaya
bahasa, pemilihan kata dan penyampaian secara lisan. Komunikasi juga harus
mencakup sikap dan perilaku positif yang membuat komunikan atau penerima
pesan dapat merasa nyaman dan memiliki emosi yang lebih baik sehingga dapat
mengambil keputusan dengan baik agar komunikasi tersebut dapat menjadi
komunikasi suportif.
Komunikasi suportif dalam PAUD adalah komunikasi dengan pemilihan gaya
bahasa, pemilihan kata, penyampaian secara lisan, dan perilaku yang dapat
memberikan dukungan kepada anak sehingga anak merasa nyaman dan dihargai
serta akan membangun sikap saling menghormati dan mempercayai antara anak
dengan orang dewasa. Dalam lingkungan pendidikan, komunikasi suportif dapat
mendukung terciptanya iklim pendidikan yang baik. Iklim pendidikan menurut
Natalina dan Gandana (2022, hlm. 85) adalah suasana emosional dalam
lingkungan pendidikan yang berkembang berdasarkan seberapa besar rasa nyaman
seorang individu di lingkungan tersebut sebagai dampak yang secara khusus
ditimbulkan oleh komunikasi suportif dalam lingkungan pendidikan.

3
2.2 Teknik-Teknik Komunikasi untuk Menciptakan Iklim Komunikasi
Suportif dalam PAUD
Dalam lingkungan PAUD, komunikasi terjadi antara kepala sekolah dengan
guru-guru, guru dengan anak-anak, orang tua dengan anak, maupun guru dengan
orang tua. Untuk itu diperlukan teknik-teknik komunikasi yang dapat mendukung
terjadinya proses komunikasi suportif dalam PAUD. Teknik-teknik dalam
berkomunikasi tersebut menurut Natalina dan Gandana (2022, hlm. 90)
diantaranya sebagai berikut.
1. Memperdalam percakapan
Teknik memperdalam percakapan dapat diterapkan pada anak usia 4-6
tahun dengan tujuan agar anak dapat merasa dekat dengan orang tuanya.
Sebagai contoh ketika anak berkata, “aku mau mainan mobil-mobilan”,
selanjutnya orang tua dapat meresponnya dengan mengatakan. “coba
katakan kepada ibu atau ayah, apa yang membuat kamu mau mainan
mobil-mobilan?”. Anak mungkin saja hanya menjawab pertanyaan
tersebut dengan satu kata dikarenakan keterbatasan kata-kata dan
perkembangan sosialnya. Sehingga orang tua dapat membantu anak
memperdalam percakapan dengan memberikan respon verbal maupun
non-verbal. Respon verbal dapat berupa kata-kata seperti pertanyaan
balik, sedangkan respon non-verbal dapat berupa mimik, perhatian atau
bahasa tubuh lainnya yang dapat membuat anak merasa dihargai dan
yakin bahwa orang tuanya mendengarkan dan mengerti perasaan mereka.
2. Lelucon
Teknik lelucon dapat diterapkan untuk semua umur yang membantu orang
tua menghilangkan segala ketegangan sepanjang hari ataupun ketegangan
yang dialaminya bersama anak dan dapat berupa berbagai bentuk.
Tentunya lelucon yang diberikan orang tua harus memiliki cita rasa yang
baik dan mempertimbangkan perasaan anak. Sebagai contoh ketika
mengantar anak ke sekolah orang tua melihat awan gelap menutupi
kecerahan langit, teknik lelucon ini dapat digunakan untuk mengubah
suasana hati anak-anak menjadi lebih ceria. Ayah atau ibu dapat

4
menyanyikan lagu gembira dengan lirik yang lucu atau saling bertukar
cerita lucu.
3. Menggambarkan
Teknik menggambarkan ini juga dapat diterapkan pada anak semua umur.
Teknik ini dilakukan dengan cara menggambarkan situasi atau keadaan
yang merupakan masalah yang dimiliki orang tua, tanpa menyalahkan
anak. Namun orang tua harus selalu ingat bahwa yang memiliki masalah
adalah orang tua dan bukan anak. Sebagai contoh, bagi anak kamar yang
berantakan bukanlah sebuah masalah, namun bagi orang tua hal tersebut
merupakan masalah. Teknik menggambarkan juga dapat mengajarkan
anak untuk bertanggung jawab terhadap solusinya. Misalnya orang tua
berkata, “ibu melihat handuk basah di kamar mandi”, anak akan mengerti
bahwa yang dimaksud orang tuanya adalah ia harus mengambil dan
menjemur handuk basah di tempatnya.
4. Pesan “saya” atau “I messages”
Salah satu cara berkomunikasi yang sangat berpengaruh terhadap
kelancaran komunikasi orang tua dan anak adalah dengan teknik pesan
“saya” atau “I messages”. Teknik ini akan membuat anak merasa dihargai
orang tua dan merasa terlibat dengan perasaan atau keinginan orang tua.
Namun, kebanyakan orang tua lebih sering menggunakan kata “kamu”
daripada “saya”. Sebagai contoh, “kamu kok susah sekali dikasih tahu,
sudah berapa kali ibu bilang kulit pisang itu dibuang dimana?”. Kata
“kamu” yang sering digunakan orang tua tersebut akan mengeluarkan
reaksi defensif dari anak berupa aksi melawan, aksi ini lebih jelas terlihat
pada remaja. Karena akan lebih baik jika orang tua membiasakan diri
menggunakan kata “saya” di awal kalimat terutama ketika orang tua ingin
anak melakukan perbuatan yang dikehendaki orang tua. Misalnya, “ibu
khawatir kalau kulit pisang dibuang di tengah jalan akan membuat orang
yang menginjaknya terpeleset dan jatuh”. Teknik pesan “saya” ini
menghubungkan perasaan kepada konsekuensi dan bukannya pribadi
anak, serta akan mengkomunikasikan nilai dan kepedulian.
5. Pertanyaan terbuka

5
Teknik pertanyaan terbuka merupakan cara lain dari alat yang dapat
menstimulasi anak untuk berbicara dengan orang tua. Teknik pertanyaan
terbuka membuat anak harus menjawab lebih dari satu kata. Berkebalikan
dengan pertanyaan tertutup yang hanya membutuhkan satu kata sebagai
jawaban. Contoh pertanyaan terbuka diantaranya, “apa saja yang kamu
sukai hari ini di sekolah?” atau “apa saja yang terjadi saat kamu sekolah
hari ini?”. Namun mungkin saja anak akan menjawab “tidak terjadi apa-
apa”. Jika hal tersebut terjadi orang tua dapat meninggalkan anak sendiri
karena ia belum siap untuk membicarakan hal yang dialaminya hari itu
atau dapat menggunakan teknik memperdalam percakapan. Beberapa
anak kesulitan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya, sehingga
menggunakan teknik yang bervariasi secara bersamaan diketahui lebih
efisien dan membantu memperlancar komunikasi. Penerapan teknik
pertanyaan terbuka pada anak pra-sekolah bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan berbahasa anak sehingga dapat menurunkan
agresivitas anak, seperti saling memukul yang merupakan salah satu tanda
reaksi dari frustasi.
2.3 Karakteristik Komunikasi Suportif dalam PAUD
Menurut (Natalina & Gandana, 2019, hlm. 93-95) komunikasi suportif
memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Adapun 8 karakteristik dalam
komunikasi suportif adalah sebagai berikut.
1. Komunikasi suportif berorientasi pada masalah dan bukan pada orang dan
karakteristiknya. Contoh: "bagaimana caranya agar kita dapat
menyelesaikan masalah ini?" dan bukan "Karena anda lah masalah ini
terjadi!". Contoh terhadap anak, ketika anak menumpahkan air dan ada
anak lain terpeleset, maka sikap guru bukan menyalahkan anak yang
menumpahkan air. Namun, guru mengajak anak tersebut untuk sama sama
mencari solusi yang tepat. Bagaimana jika teman-teman yang lain terjatuh
lagi? Kira-kira kita harus melakukan apa agar air ini tidak membuat orang
lain terjatuh lagi? Misalkan anak menjawab dilap, maka guru menuntun
anak juga untuk menyelesaikan tanggung jawab terhadap perbuatannya.

6
2. Komunikasi suportif didasarkan atas kesesuaian antara hal-hal yang
dikomunikasikan secara verbal atau nonverbal dengan hal-hal yang
dipikirkan dan dirasakan oleh seseorang. Disini terkandung unsur
kejujuran dalam melakukan komunikasi. Contoh: "tindakan anda
membuat saya kecewa" dan bukan "apakah saya terlihat kecewa? Saya
tidak kecewa, kelihatannya semua tidak ada masalah". Disinilah
keterbukaan diungkapkan oleh seorang komunikator terhadap komunikan.
Dalam pendidikan anak usia dini, contoh konkret nya yaitu ketika anak
membuat temannya menangis karena merebut mainan temannya. Maka
guru dapat mengungkapkan perasaannya pada anak dengan jujur, seperti
"Ibu tidak suka jika adik meminjam mainan tanpa guru izin terlebih
dahulu, kalau ingin menggunakan mainan tersebut hendaknya
bagaimana?". Dengan komunikasi tersebut mengungkapkan kejujuran
pada anak. Disini menerapkan keterbukaan pada anak.
3. Komunikasi suportif bersifat deskriptif dan tidak evaluatif. Contoh: "Ini
adalah usulan pemecahan masalah yang dapat saya sampaikan". Bukan
"Anda salah telah melakukan hal tersebut". Pada anak, hal tersebut dapat
dilakukan oleh guru di sekolah. Contoh ketika anak sedang menyusun
balok namun balok tersebut terjatuh, guru mengusulkan untuk menyusun
dari yang ukuran paling besar terlebih dahulu "Ibu sih biasanya menyusun
balok dari yang paling besar terlebih dahulu jadi tidak roboh". Dengan
begitu anak akan memikirkan saran dari gurunya tersebut. Guru tidak
mengatakan bahwa anak salah telah menyusun balok secara acak. Bisa
jadi memang anak tersebut sedang bereksperimen.
4. Komunikasi suportif membantu orang untuk merasa dihargai, diterima
dan bernilai. Contoh: "Walau saya punya ide, namun saya akan sangat
menghargai bila anda juga dapat menyampaikan ide anda". Dan bukan
"Anda tidak akan mengerti, lebih baik mengikuti cara saya". Hal tersebut
sama saja dengan memaksakan kehendak sendiri. Pada pendidikan anak
usia dini juga seperti itu, guru harus menghargai ide anak. Bukan
memaksakan bahwa ide guru lebih baik dan lebih bagus. Seperti ketika
anak saat waktunya bermain. Ibu guru menyampaikan idenya bahwa

7
“bagaimana jika kita bermain petak umpet di halaman?”. Namun guru
memberikan kesempatan pada anak lain untuk menyampaikan ide tentang
jenis permainan lain yang dapat dimainkan.
5. Komunikasi suportif bersifat spesifik dan tidak umum. Contoh: “Anak
Bunda telah terlambat hadir di sekolah sebanyak 3 kali dalam seminggu
ini, yakni hari Senin, Kamis, dan Jumat." Dan bukan "Anak Bunda
beberapa kali terlambat hadir di sekolah dalam minggu ini". Pada anak
usia dini, alangkah lebih baik jika disampaikan pada orang tua secara
langsung.
6. Komunikasi suportif, menghubungkan pesan baru yang disampaikan
dengan pesan sebelumnya, sehingga dapat meningkatkan interaksi.
Contoh: "berkaitan dengan pernyataan anda sebelumnya, saya ingin
mengemukakan pandangan yang lain". Dan bukan "Saya ingin
mengkomunikasikan pandangan saya” (tidak terkait dengan pernyataan
anda sebelumnya).
7. Komunikasi suportif mendorong kita untuk memiliki dan bertanggung
jawab terhadap pernyataan yang kita kemukakan dengan menggunakan
kata "saya". Contoh Kepala sekolah berkata: "saya telah memutuskan
untuk tidak mengabulkan permohonan anda, karena tidak sesuai dengan
peraturan yang berlaku”. Dan bukan “anda telah mengajukan permohonan
yang menarik, tapi kelihatannya akan sulit untuk disetujui”.
8. Komunikasi suportif mendorong seseorang untuk mendengarkan dan
memberikan tanggapan terhadap pernyataan-pernyataan yang
disampaikan oleh orang lain. Contoh komunikasi guru dengan orang tua
anak: “menurut bunda, apakah yang dapat menghambat upaya untuk
memperbaiki prestasi anak bunda?” Dan bukan “seperti yang sudah saya
sampaikan sebelumnya anak bunda telah membuat kesalahan terlalu
banyak sehingga anak bunda tidak berprestasi dengan baik”.
2.4 Pengertian Komunikasi Defensif dalam PAUD
Defensive Comunication karya Jack R. Gibb (dalam Hardjana, 2007)
merupakan sebuah rangkuman dari hasil serangkaian eksperimen dan pengalaman
kerja konsultasi dengan passion manajer administrasi dan kalian perusahaan

8
tulisan ini dilandasi oleh pengertian bahwa komunikasi lisan tetap muka bukan
saja proses bahasa melainkan proses perilaku (Natalina & Gandana, 2019, hlm.
95).
Komunikasi defensif adalah perilaku bela diri yang ditunjukkan orang pada
saat dirinya terancam, ego, harga diri atau status seseorang dalam keadaan bahaya
oleh komunikasi orang lain. Pada saat terancam, orang secara defensif
mendengarkan sehingga ia memutar balikan pesan-pesan yang didengarkannya,
karena ia tidak mampu lagi menangkap secara tepat makna, motif, nilai, dan
perasaan dari pengirim pesan. Dalam menanggapi komunikasi yang mengancam
ia akan lebih sibuk mencari cara-cara dan menyusun taktik-taktik terbaik untuk
membela diri daripada berusaha mengerti isi pesan komunikasi yang diterimanya
maka komunikan akan kehilangan efektivitas dan efisiensi dalam berkomunikasi
karena terjadinya salah pengertian, salah sasaran, penuh kecurigaan.
2.5 Contoh Kalimat dalam Komunikasi Defensif
Terdapat beberapa hal yang tidak diperkenankan untuk diucapkan kepada
anak karena dapat menimbulkan iklim komunikasi defensif. Menurut Natalina dan
Gandana (2022, hlm. 99) hal tersebut diantaranya sebagai berikut.
1. Cengeng Kamu!
Coba saja sekali-kali anda membayangkan diri anda sedang merasakan
senang atau sedih kemudian menangis, namun saat menangis tersebut ada
yang bilang "anda berlebihan!" atau "cengeng kamu!". Orang dewasa pun
jika diberikan kata-kata demikian tentunya akan merasa tidak enak.
Begitulah sesungguhnya yang dirasakan anak-anak ketika mereka sedang
mengekspresikan perasaannya. Jika itu sering dilakukan, maka anak
tersebut akan tumbuh menjadi manusia yang tidak peka atau tidak
berperasaan.
2. Kamu Kenapa Sih?
Pertanyaan ini akan membuat anak merasa dirinya tidak beres. Sebaiknya
kita bertanya kepada hal yang lebih fokus terhadap perbuatan yang telah
anak tersebut perbuat.
3. Kamu Itu Membuat Orang Stress!

9
Ini merupakan pernyataan yang memaksa anak kecil untuk merasa
bersalah dan bertanggung jawab atas perasaan buruk yang sedang dialami
oleh orang lain. Jika sering dilakukan, maka anak akan tidak memiliki
rasa percaya diri dan sulit untuk bersosialisasi dengan orang lain.
4. Gitu Aja Kok Marah Sih?
Anak kecil pun bisa tersinggung. Jadi wajar jika anak kecil marah.
Alangkah lebih baik jika orang tua telah berbuat salah dan anak marah,
orang tua segera meminta maaf. Ini juga akan mengajarkan kepada anak
tersebut pentingnya meminta maaf ketika telah melakukan kesalahan.
5. Heh, kamu...! sekarang, kalo tidak...!
Intimidasi merupakan sebuah bentuk agresivitas. Anak yang sering
mendapatkan ancaman, ketika tumbuh hanya memiliki dua pilihan.
Pertama menjadi orang penakut yang tidak memiliki rasa percaya diri.
Pilihan kedua anak tersebut akan tumbuh menjadi orang yang selalu
mengancam orang lain atau jika menjadi pemimpin akan menjadi diktator.
6. Pergi Sana!
Tidak jarang ditemui orang tua yang mengucapkan kata tersebut ketika
merasa terganggu. apalagi sedang melakukan sesuatu. Kata-kata tersebut
akan membuat anak berpikir bahwa tidak ada gunanya berbicara dengan
orang tua. Dan kelak mereka akan jauh dari orang tua. Bahkan ketika ada
masalah, mereka akan memilih orang lain yang dapat mendengarkan
curhatannya.
7. Begitu Saja Tidak Bisa!
Kalimat tersebut berhasil mematikan potensi dan kepercayaan diri anak.
Setiap orang tidak dikaruniai serba bisa, jadi wajar ketika ada anak tidak
bisa melakukan sesuatu. Sangat bijak jika orang tua yang mau
mengajarinya.
2.6 Tipe Perilaku Penyebab Komunikasi Suportif dan Defensif
Gibb (dalam Natalina dan Gandana, 2022, hlm. 82) mengemukakan enam tipe
perilaku berlawanan yang memberikan kontribusi terhadap terbentuknya iklim
komunikasi yang suportif dan defensif. Berbeda dengan iklim suportif, iklim
defensif menyebabkan penurunan produktivitas. Kunci untuk membentuk iklim

10
komunikasi menurut Beebe dan Masterson (dalam Natalina dan Gandana, 2022,
hlm. 82) bahwa iklim komunikasi tidak hanya tergantung pada apa yang
dikomunikasikan, namun lebih pada bagaimana cara mengkomunikasikannya.
Berikut keenam perilaku berlawanan (defensif dan suportif) yang
dikemukakan oleh Gibb:
1. Evaluasi dan deskripsi (Evaluation versus description).
2. Kontrol dan orientasi masalah (Control versus Problem Orientation).
3. Strategi dan spontanitas (Strategy versus spontaneity).
4. Netralitas dan empati (Netrality versus empathy).
5. Superioritas dan kesamaan (Superiority versus equality).
6. Bersikap pasti dan “provisionalism” (Certainty versus provisionalism).
Sesuai hasil riset empiris nya, Gibb menyimpulkan bahwa enam tipe
komunikasi berpasangan tersebut dapat menimbulkan iklim defensif atau iklim
suportif. Selanjutnya iklim ini akan mempengaruhi perilaku komunikasi kedua
belah pihak yang terlibat dalam komunikasi tersebut (Hardjana, 2008, hlm. 287).
1. Iklim Defensif
a. Evaluatif: Pemeriksaan, kritikan, celaan atau kecaman, pujian yang
berlebihan di depan orang lain juga dapat menimbulkan perasaan tidak
enak, dipertanyakan alasan, motivasi, atau standar kerja oleh atasan.
b. Kontrol: Pengendalian, manipulasi, desakan, atau paksaan untuk
mengubah pandangan, sikap, dan perilaku dapat membuat anak
merasa diremehkan, dihina, atau dikendalikan oleh guru atau guru
oleh kepala sekolah.
c. Strategi: Siasat atau kiat yang membuat anak merasa dikelabuhi,
disesatkan, atau terperangkap, seperti dijadikan kelinci percobaan,
diberi kesan seolah-olah anak dapat membuat keputusan sendiri atau
diberi hak berpasitipasi, padahal pendapat anak tidak dihiraukan oleh
guru.
d. Netralitas: Guru yang bersikap netral, menjunjung prinsip keadilan,
tidak pilih kasih, atau taat pada peraturan. Lain hal nya dengan guru
yang membuat anak merasa tidak dipedulikan, diacuhkan,

11
diperlakukan secara kejam tanpa belas kasih dan dianggap sebagai
objek pada saat membutuhkan pengertian dan bantuan.
e. Superioritas: Sikap dan tindakan guru yang mengandalkan kekuasaan
dan angkuh membuat anak merasa diremehkan, dianggap tidak ada
apa-apanya, dipertanyakan kemampuan, status, atau latar belakang
lainnya yang dijadikan alasan tidak layaknya keikutsertaan anak atau
orang tua dalam pembuatan keputusan atau pencarian solusi bersama.
f. Kepastian: Komunikator penuh keyakinan, nampak serba tahu, dan
tidak dapat diganggu gugat membuat penerimaan pesan merasa
diceramahi dianggap bodoh dan harus diam saja.
2. Iklim Suportif
a. Deskripsi atau tidak menghakimi: Pertanyaan diajukan oleh
komunikator dan diterima oleh komunikan sebagai pencarian
informasi bukan teguran mengenai perasaan, pandangan, dan
peristiwa yang terjadi. Permintaan informasi disertai perasaan yang
jujur dapat mempermudah penerimaan isi pesan. Misalkan ketika anak
melempar mainan temannya, guru tidak mengatakan anak tersebut
nakal. Namun, alangkah lebih baiknya jika guru menanyakan
mengenai sebab anak tersebut dengan baik-baik dan dapat diterima
oleh anak.
b. Orientasi pada masalah: Komunikator mengarahkan perhatian pada
pokok persoalan atau masalah yang harus diatasi. Komunikator
dengan jujur dan benar-benar ingin bekerja sama untuk mencari tahu
apa persoalan yang sebenarnya dan bagaimana solusinya, agar tujuan
dapat tercapai tanpa mengaitkan dengan sanksi, jabatan, peraturan,
atau kebijakan yang mengekang, tidak terkesan memaksa.
c. Spontanitas: Berbicara spontan dan terus terang dengan bahasa lugas
dan langsung keluar dari hati. Artinya komunikator yang berbicara
dengan spontan cenderung lebih jujur dan apa adanya.
d. Empati: Menunjukkan rasa peduli dan pengertian baik dengan bahasa
verbal maupun nonverbal. Raut muka dan gerakan anggota badan,
seperti Gerakan tangan secara spontan yang menyertai kata-kata

12
penuh pengertian dan perasaan dapat menenangkan hati komunikan
yang sedang mengalami kesulitan salah satunya yaitu menepuk atau
mengusap punggung komunikan, atau bisa juga memeluk.
e. Kesetaraan: Antara komunikator dan komunikan dapat melupakan
kekuasaan atau status sosialnya dengan sikap terbuka mengajak satu
sama lain untuk ikut bicara atau meminta pandangan, sehingga dapat
menimbulkan kepercayaan dan rasa hormat dari orang lain, khususnya
sesame pelaku komunikasi.
f. Profesionalisme/kesementaraan: Guru dan kepala sekolah tetap
terbuka terhadap segala kebijakan yang ada, karena setiap kebijakan
yang ada merupakan hal yang perlu dikritisi dan peu disempurnakan
bersama. Dengan saling memberikan masukan dan saran, serta
menyadari setiap upaya yang dilakukan memerlukan perbaikan.

13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Komunikasi suportif dalam PAUD adalah komunikasi dengan pemilihan gaya
bahasa, pemilihan kata, penyampaian secara lisan, dan perilaku yang dapat
memberikan dukungan kepada anak sehingga anak merasa nyaman dan dihargai
serta akan membangun sikap saling menghormati dan mempercayai antara anak
dengan orang dewasa. Untuk menciptakan iklim komunikasi suportif diperlukan
teknik-teknik dalam berkomunikasi yang meliputi teknik memperdalam
percakapan, lelucon, menggambarkan, pesan “saya”, dan pertanyaan terbuka.
Selain itu, komunikasi suportif juga memiliki karakteristik-karakteristik yang
menunjukkan bahwa komunikasi yang terjadi merupakan komunikasi suportif.
Sedangkan komunikasi defensif adalah perilaku bela diri yang ditunjukkan orang
pada saat dirinya terancam, ego, harga diri atau status seseorang dalam keadaan
bahaya oleh komunikasi orang lain. Terdapat juga beberapa hal yang tidak
diperkenankan untuk diucapkan kepada anak karena dapat menimbulkan iklim
komunikasi defensif. Serta terdapat enam tipe perilaku berlawanan yang
memberikan kontribusi terhadap terbentuknya iklim komunikasi yang suportif dan
defensif.
3.2 Saran
Komunikasi suportif dalam PAUD dapat mengurangi sikap defensif dari
pihak penerima pesan, baik guru, anak maupun orang tua. Oleh karena itu, sudah
selayaknya kita selaku pihak yang terlibat dalam lingkungan PAUD dapat
membangun iklim komunikasi suportif. Dengan demikian komunikasi
interpersonal dalam PAUD, baik antara kepala sekolah dengan guru, guru dengan
anak, guru dengan orang tua, maupun orang tua dengan anak dapat mencapai
keberhasilan.

14
DAFTAR PUSTAKA
Carlson, C.L. (2016). Predicting Emerging Adults’ Implementation of Parental
Advice: Source, Situation, Relationship, and Message Characteristics,
Western Journal of Communication, 80(3), 304–326. doi:
https://doi.org/10.1080/10570314.2016.1142112
Hardjana, A.M. (2007). Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal.
Yogyakarta: Kanisius.
Natalina, D. & Gandana, G. (2022). Komunikasi dalam PAUD. Tasikmalaya:
Ksatria Siliwangi.
Shanti, T.I., Suryani, A.O., & Ajisuksmo, C.R.P. (2020). Komunikasi Suportif
Orang Tua: Konsep, Pengembangan, dan Validasi. Jurnal InterAct, 9(2),
81-96. doi: https://doi.org/10.25170/interact.v9i2.2027
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.

15

Anda mungkin juga menyukai