Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH PEDAGOGIK

“MANUSIA SEBAGAI ANIMAL EDUCANDUM/PERTEMUAN PENDIDIKAN


DAN PEMBANGUNAN”

Disusun Oleh :

KELOMPOK 8

1. NIDYA PRATIWI 5019161


2. SINDI PURNAMA SARI 5019170
3. NURUL KHAIRUNNISA 5019186
4. INEKKE OKTAVIANTI 5019194

Dosen Pengampu : Andri Valen, M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PERSATUAN


GURU REPUBLIK INDONESIA

(STKIP-PGRI) KOTA LUBUKLINGGAU

TAHUN AKADEMIK 2020


KATA PENGANTAR

Alhamdulilah. Puji syukur milik Allah SWT. Hanya karena izin-Nya. Kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tak lupa kami panjatkan salawat serta
salam kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarganya, para
sahabatnya, dan seluruh insan yang dikehendaki-Nya.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas diskusi kelompok dalam
mata kuliah Pedagogik yang berjudul “MANUSIA SEBAGAI ANIMAL
EDUCANDUM/PERTEMUAN PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN”.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami mendapatkan bantuan serta bimbingan
dari beberapa pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika kami mengucapkan terima
kasih banyak kepada.
1. Bapak Andri Valen, M.Pd., selaku dosen pengampu mata kuliah Pedagodik.
2. Orang tua kami yang banyak memberikan semangat dan bantuan, baik secara moral
maupun spiritual.
3. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karena itu kami
mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan
makalah ini mendatang. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat dan memenuhi
harapan berbagai pihak. Amin.
Lubuklinggau, 22 Februari 2020

Penulis,

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | i


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN...........................................................................................1

A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................2
C. Tujuan.......................................................................................................................2

BAB II : PEMBAHASAN............................................................................................3

A. MANUSIA SEBAGAI ANIMAL EDUCANDUM...............................................3


a. Pendidikan hanya untuk Manusia.......................................................................3
b. Dunia Manusia sebagai Dunia Terbuka..............................................................12
c. Dasar dan Ajar.....................................................................................................16
B. PETEMUAN PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN......................................22
a. Pendekatan Strategik Pendidikan........................................................................22
b. Hubungan Pendidikan dan Pembangunan...........................................................29
c. Sumbangan Pendidikan terhadap Pembangunan................................................30
d. Sistem Pendidikan yang Relevan dengan Pembangunan....................................31

BAB III : PENUTUP....................................................................................................33

A. Kesimpulan...............................................................................................................33
B. Saran.........................................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................35

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | ii


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta kecerdasan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan
juga adalah suatu usaha mengatur pengetahuan untuk menambahkan lagi pengetahuan
yang semula tidak tahu menjadi tahu. Dalam proses tidak tahu menjadi tahu tersebut
manusia mengalami sebuah rangkaian proses pembelajaran.
Manusia sejak lahir telah dibekali dengan sejumlah potensi. Potensi adalah
kemampuan, kesanggupan, daya yang menjadi modal bagi manusia tersebut agar kelak
siap mandiri dalam menjalani kehidupan di lingkungan di mana ia berada.
Anak manusia dalam hal ini adalah manusia yang belum dewasa sehingga
potensi yang ada pada diri anak ibarat bahan baku (raw material) yang belum siap pakai.
Untuk menjadi barang siap pakai (manufacture), maka dalam proses menjadi potensi
tersebut membutuhkan sebuah penanganan dan bantuan oleh orang dewasa. Anak
manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang dapat dididik (animal educabile),
makhluk yang harus dididik (animal educandum) dan makhluk yang dapat mendidik
(homo educandum).
Keunggulan suatu bangsa tak lagi bertumpu pada kekayaan alam, melainkan
pada keunggulan sumber daya manusia, yaitu tenaga pendidik yang mampu menjawab
tantangan-tantangan yang sangat cepat. Kekayaan ini sudah lebih dari cukup untuk
mendorong pakar dan praktisi pendidikan melakukan kajian sistematik untuk
membenahi atau memperbaikin sistem pendidikan nasional. Agar lulusan sekolah
mampu beradaptasi secara dinamis dengan perubahan dan tantangan itu. Pemerintah
melontarkan berbagai kebijaksanaan tentang pendidikan yang memberikan ruang yang
luas bagi sekolah dan masyarakatnya untuk menentukan program dan rencana
pengembangan sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing.
Pendidikan menduduki posisi sentral dalam pembangunan karena sasarannya adalah
peningkatan kualitas SDM. Oleh karena itu, pendidikan juga merupakan akur tengah
pembangunan dari seluruh sektor pembangunan.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 1


B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana peranan manusia sebagai Animal Educandum?
2. Bagaimana proses pertemuan pendidikan dan pembangunan terjadi?

C. TUJUAN
1. Mahasiswa dapat mengetahui peran manusia sebagai Animal Educandum
2. Mahasiswa dapat mengetahui proses terjadinya pertemuan pendidikan dan
pembangunan.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 2


BAB II

PEMBAHASAN

A. MANUSIA SEBAGAI ANIMAL EDUCANDUM


a. Pendidikan Hanya untuk Manusia
Manusia sebagai animal educandum, secara bahasa berarti bahwa manusia
merupakan hewan yang dapat dididik dan harus mendapatkan pendidikan. Dari
pengertian tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
antara manusia dengan hewan. Perbedaan manusia dengan hewan, ialah bahwa manusia
dapat dididik dan harus mendapatkan pendidikan.
Dalam dunia hewan sering terjadi gejala-gejala aneh yang kadang-kadang
bertentangan dengan alam pikiran manusia. Seekor anak kalajengking yang baru lahir,
dengan secepatnya merangkak ke atas punggung induknya. Kalau tidak demikian ia
akan disergap dan dimakan induknya. Setelah anak kalajengking itu agak besar dan
dapat mencari makanannya sendiri, larilah ia sekencang-kencangnya melepaskan diri
dari induknya yang pelahap itu. Contoh lain, laba-laba betina memakan jantannya ketika
hampir masanya ia bertelur. Mungkin hal ini dilakukan untuk menjaga anak-anaknya
setelah keluar dari telurnya tidak dimakan oleh bapaknya.
Perilaku kalajengking dan laba-laba tersebut sangat lain dengan perilaku hewan
lainnya. Pada hewan yang menyususi secara biologis banyak persamaan dengan
manusia, misalnya pada kucing atau anjing. Seekor kucing atau anjing yang beranak,
pada saat anak-anaknya masih lemah, disusuinya anaknya, dibersihkan badannya
dengan jilatan-jilatan lidahnya. Sebelum anak-anaknya tumbuh besar, induk kucing atau
anjing melatih anak-anaknya berbagai gerakan seperti menerkam mangsanya, melatih
lari seperti akan mengejar mangsa atau menyelamatkan diri dari musuhnya.
Demikian contoh-contoh perilaku hewan, secara akal dan kebiasaan manusia ada
yang sangat bertentangan seperti pada perilaku kalajengking dan laba-laba. Di samping
itu pula ada perilaku hewan yang biasa dilakukan manusia seperti kucing dan anjing,
yamg mengurus anak-anaknya dengan penuh kasih sayang.
1) Manusia dan Hewan
Dari pengalaman kehidupan manusia, dapat dicatat beberapa peristiwa perilaku
hewan yang buas terhadap manusia. Seekor harimau yang biasa berdemonstrasi dalam

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 3


pertunjukkan sirkus, begitu akrab dengan majikan atau pawangnya, pada suatu saat
dengan tidak diduga harimau tersebut menerkam majikkannya atau pawangnya yang
setiap saat bercanda, membelainya dengan rasa kasih sayang. Seekor gajah di kebun
binatang diberi makan setiap saat oleh pengasuhnya, ia jinak dan begitu akrab bercanda
dengan pengasuhnya, namun secara tiba-tiba pada suatu saat gajah tersebut membelit
pengasuhnya dengan belalainya, kemudia ia membanting-bantingkannya ke lantai
beton, sehingga tidak berkutik.
Kedua contoh tersebut diatas betul-betul pernah terjadi. Jelaslah bahwa perilaku
hariman dan gajah tersebut hanya didasarkan insting atau nalurinya. Harimau dan gajah
tersebut tidak dapat membedakan mana perbuatan baik dan tidak baik, mana perbuatan
bermoral dan perbuatan tidak bermoral. Mereka tidak memiliki hati nurani, tidak
mampu memiliki nilai-nilai, tidak memiliki perasaan. Hewan memang tidak akan dapat
memiliki perasaan, bagaimanapun manusia berusaha menyampaikannya pada hewan-
hewan tersebut.
Beberapa ekor binatang mungkin dapat kita latih untuk mengenal tanda-tanda
(signal) tertentu, misalnya kita melihat simpanse, dengan bunyi peluit panjang harus
melompat tinggi, dengan bunyi peluit pendek satu kali harus berjongkok, apabila
dinyalakan lampu hijau harus berlari, dinyalakan lampu merah harus berhenti, dan
sebagainya. Gerakan-gerakan yang dilakukan simpanse tersebut hanyalah gerakan yang
terjadi terus-menerus. Gerakan-gerakan tersebut hanyalah gerakan yang terjadi secara
mekanis, secara otomatis saja. Kita sukar untuk berpendapat bahwa gerakan yang
dilakukan simpanse tersebut merupakan hasil proses berpikir.
Hasil berpikir secara intelektual melibatkan simbol-simbol. Oleh karena itu, bagi
beberapa jenis hewan dapat kita latih untuk mengenal signal-signal (tanda) melalui
latihan secara terus-menerus, tetapi hewan tidak akan mampu memahami simbol-
simbol, seperti bahasa. Mungkin hewan dapat mengerti dengan sejumlah kata-kata,
namun hal itu hanyalah merupakan signal belakang, tidak sampai pada bahasa sebagai
simbol. Namun tidak dapat dipungkirin bahwa hewan dapat dididik.
Manusia dan hewan memiliki beberapa persamaan dalam struktur fisik dan
perilakunya. Secara fisik, manusia dengan hewan, khususnya hewan menyusui dan
bertulang belakang, memiliki kelengkapan tubuh yang secara prinsipil tidak memiliki
perbedaan. Perilaku hewan seluruhnya didasarkan atas insting (insting lapar, insting

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 4


seks, insting mempertahankan diri, dan sebagainya). Begitu pula pada prinsipnya
manusia memiliki perilaku yang didasarkan atas insting. Insting pada hewan berlaku
selama hidupnya, sedangkan manusia peranan insting akan diganti oleh kemampuan
akal budinya yang sama sekali tidak dimiliki oleh hewan. Manusia dan hewan sama-
sama memiliki kesadaran indera, dimana manusia dan hewan dapat mengamati
lingkungan karena dilengkapi oleh alat indera.
Hakikat pendidikan bukan terletak pada perbaikan keterampilan seperti pada
hewan tersebut diatas, melainkan kita mendidik anak sehingga kepribadiannya
merupakan integritas, merupakan kesatuan jasmani rohani, dan dapat berperilaku
bertanggung jawab. Kemampuan bertanggung jawab memerlukan kemampuan memilih
nilai-nilai, khususnya nilai-nilai kesusilaan, religi, sehingga dapat berbuat kebaikan.
Manusia memiliki kata hati (hati nurani), yaitu kemampuan manusia untuk
membedakan antara nilai baik dan nilai buruk, antara nilai adil dan tidak adil, dan
sebagainya. Kemampuan inilah yang menyebabkan bahwa manusia dapat dididik.
Prof. Khonstam (Sikun Pribadi 1984) mengemukakan beberapa lapisan perilaku
dari makhluk hidup dijagat raya ini, sebagai berikut:
a) Perilaku anorganis, yaitu suatu gerakan yang terjadi pada benda-benda mati, tidak
bernyawa. Gerakan ini ditentukan atau tergantung kepada hukum kausal (sebab
akibat). Misalnya kita melempar batu (benda mati) dari gedung bertingkat 10, maka
batu tersebut akan terjatuh ke bawah-ke tanah. Hal ini terjadi karena hukum kausal,
hukum alam, yaitu adanya daya tarik bumi (gravitasi).
b) Perilaku nabati (vegetatif), yaitu perilaku yang terjadi pada tumbuh-tumbuhan.
Manusia, hewan, dan tumbuhan sama-sama memiliki perilaku ini. Tumbuhan
bernafas menghisap udara, pada siang hari menghisap CO₂ dan pada malam hari
menghisap O₂, begitu juga manusia dan hewan bernafas dengan menghisap udara.
Hanya bedanya manusia dan hewan pada siang hari maupun malam hari tetap
menghisap O₂. Dalam tubuh manusia dan hewan terjadi peredaran zat-zat makanan,
seperti halnya juga pada tumbuhan. Gerakan ini terjadi secara otomatis, tidak dilatih,
dan tidak perlu dipelajari.
c) Perilaku hewani. Perilaku ini lebih tinggi derajatnya dari pada perilaku nabati.
Perilaku ini bersifat instingtif (seperti insting lapar, mempertahankan diri, insting
sex, dapat diperbaiki sempai pada saraf tertentu, dan memiliki kesadaran indera di

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 5


mana manusia dan hewan dapat mengamati lingkungan karena dilengkapi dengan
alat indera, seperti penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan sebagainya.
d) Perilaku insani (manusiawi), merupakan perilaku yang hanya dimiliki oleh manusia,
yang terdiri dari:
1) Manusia memiliki kemauan untuk menguasai hawa nafsunya.
2) Manusia memiliki kesadaran intelektual dan seni. Manusia dapat
mengembangkan pengetahuan dan teknologi, sehingga menjadikan ia sebagai
makhluk berbudaya.
3) Manusia memiliki kesadaran diri. Manusia dapat menyadari sifat-sifat yang ada
pada dirinya. Manusia dapat mengadakan instrospeksi.
4) Manusia adalah makhluk sosial. Ia membutuhkan orang lain untuk hidup
bersama-sama, berorganisasi, dan bernegara.
5) Manusia memiliki bahasa simbolis, baik secara tertulis maupun secara lisan.
6) Manusia dapat menyadari nilai-nilai (etika dan estetika). Manusia dapat berbuat
sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Manusia memiliki kata hati atau hati nurani.
e) Perilaku mutlak. Dalam perilaku ini manusia dapat menghayati kehidupan
Beragama, sehingga dapat berkomunikasi dengan Tuhan dan dapat menghayati
nilai-nilai kehidupan manusia yang tertinggi, yaitu nilai-nilai ketuhanan dan nilai-
nilai kehidupan. Manusia dapat berkomunikasi dengan Tuhan yang maha kuasa,
sebagai pencipta alam semesta. Manusia dapat menghayati kehidupan beragama,
yang merupakan nilai yang paling tinggi dalam kehidupan manusia.
Dari uraian diatas jelaslah, bahwa hewan tidak dapat dididik dan tidak
memungkinkan untuk menerima pendidikan, sehingga tidak mungkin dapat dilibatkan
dalam proses pendidikan. Hanya manusialah yang dapat dididik dan memungkinkan
menerima pendidikan, karena manusia dilengkapi dengan akal budi.
2) Manusia Harus Dididik
Beberapa asumsi yang memungkinkan manusia harus dididik dan memperoleh
pendidikan, yaitu:
a) Manusia dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya. Manusia begitu lahir ke dunia,
perlu mendapatkan uluran orang lain (ibu dan ayah) untuk dapat melangsungkan
hidup dan kehidupannya.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 6


b) Manusia lahir tidak langsung dewasa. Untuk sampai pada kedewasaan yang
merupakan tujuan pendidikan dalam arti khusus, memerlukan waktu lama. Pada
manusia primitf mungkin proses pencapaian kedewasaan tersebut akan lebih pendek
dibandingkan dengan manusia modern sekarang ini. Untuk mengarungi kehidupan
dewasa, manusia perlu dipersiapkan, lebih-lebih pada masyarakat modern. Bekal
tersebut dapat diperoleh dengan pendidikan, dimana orang tua atau generasi tua
akan mewariskan pengetahuan, nilai-nilai, serta keterampilannya kepada anak-
anaknya pada generasi berikutnya.
c) Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Ia tidak akan menjadi manusia
seandainya tidak hidup bersama dengan manusia lainnya. Lain halnya dengan
hewan, dimana pun hewan dibesarkan, tetap akan memiliki perilaku hewan.
Manusia merupakan makhluk yang dapat dididik, memungkinkan untuk
memperoleh pendidikan. Manusia merupakan makhluk yang harus dididik, karena
manusia lahir dalam keadaan tidak berdaya, lahir tidak langsung dewasa. Manusia
adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan sesamanya.
3) Manusia sebagai Makhluk yang Dapat Dididik
Muncul pertanyaan pada kita tentang apa sebenarnya manusia itu. Mungkin kita
akan lebih dekat kepada perumusan Nietzse yang menyatakan manusia sebagi hewan
yang belum selesai. Artinya dalam mengarungi kehidupannya, manusia mengemban
tugas untuk menyelesaikan diri, untuk meningkatkan diri. Namun dalam perumusan itu
belum ada jelas bagaimana caranya “menyelesaikan” diri itu.
Untuk keperluan itu kiranya rumusan Langeveld (180) lebih dekat kepada
sasarannya. Ia merumuskan manusia sebagai “animal educandum” manusia yang perlu
dididik, agar ia dapat melaksanakan kehidupannya sebagai manusia, agar ia dapat
melaksanakan tugas hidupnya secara mandiri. Secara implisit (tersirat), rumusan ini
mencakup pula pandangan bahwa manusia itu adalah “hewan” yang dididik. Sebab
bagaimana dikatakan manusia itu perlu dididik, apabila tidak dilandasi anggapan, bahwa
manusia dapat dididik.
Apa maksud ungkapan bahwa manusia dapat dididik? Pertanyaan ini berkaitan
dengan makna pendidikan itu sendiri:
Pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan, kegiatan yang khas, kegiatan yang
istimewa. Keistimewaannya terletak diantaranya dalam hal, bahwa yang menjadi

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 7


“obyek” (katakanlah anak didik) kegiatannya adalah tidak begitu saja “menerima” apa
yang dididikkan kepadanya; suatu kegiatan yang keberhasilannya tercapai tidak semata-
mata karena kegiatan itu sendiri, melainkan dengan “kerja sama” antara subjek
(katakanlah pendidik) dengan objek kegiatan lain, suatu kegiatan dimana arah dan
tujuannya turut ditentukan oleh “objek” yang “bersubjek” atau dikatakan “consubject”,
sebagai sesama subjek sehingga dapat dikatakan hubungan antara pendidik dan anak
bukan hubungan antara subyek dengan obyek, melainkan hubungan antara subyek
dengan subyek. Kalau anak dianggap objek, maka pendidik akan melakukan apa saja
terhadap anak menurut seleranya, menurut kehendaknya, untuk mencapai tujuannya,
tanpa memperhatikan kondisi objek tersebut.
Keberhasilan dari “objek pendidikan seperti dikemukakan itu memang suatu
keharusan, bila pendidikan itu diharapkan berhasil. Pendidikan tidak bertujuan untuk
menciptakan suatu yang otomatis yang dapat digerakkan sesuai dengan yang memutar
atau menyetelnya. Pendidikan diarahkan kepada terbinanya manusia yang
melaksanakan tugas hidupnya secara mandiri, yang dalam pengambilan keputusannya
dapat mempertimbangkan dan melaksanakannya sendiri. Dengan kata lain, apa yang
diharapkan dicapai melalui pendidikan itu harus sudah memiliki persiapan terlebih
dahulu, sehingga dijadikan kekuatan dan pegangan dalam melaksanakan tugasnya
sebagai pendidik.
Anak memiliki inisiatif dan daya kreatif, merupakan manifestasi dari kebiasaan
yang secara prinsip telah dimiliki anak bersamaan dengan kelahirannya. Langeveld
menyebutnya sebagai prinsip kemandirian, pada pembahasan lainnya ia menyebutnya
prinsip emansipasi, yaitu “keinginan untuk menjadi seseorang”. Jadi singkatnya prinsip
kemandirian atau istilah-istilah lain merupakan dan memenuhi salah satu prasyarat atau
pertanda bahwa manusia adalah makhluk yang dapat dididik.
Inti dari kegiatan pendidikan adalah pemberian bantuan kepada anak dalam
mencapai kedewasaannya. Pemberian bantuan itu mengimplikasikan:
a) Bahwa yang dibantu bukanlah seseorang yang sama sekali tidak dapat apa-apa dan
tidak bersifat pasif sama sekali, melainkan memiliki aktivitas. Aktivitas yang
direalisasikannya, hendaknya tidak bertentangan atau bertolak belakang dengan
proses dan arah kegiatan yang bersangkutan. Jadi dengan kata lain kerja sama atau
kooperasi antara pendidik dan anak didik. Kedudukan anak didik sebagai konsubjek

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 8


dari pendidik bukannya menghambat kelangsungan pendidikan, melainkan justru
memperkuat kedudukan (anak) manusia sebagai makhluk yang dapat dididik.
b) Pencapaian kemandirian harus dimulai dengan menerima realita (kenyataan) tentang
ketergantungan anak yang mencakup kemampuan untuk beridentifikasi, berkerja
sama dan meniru pendidiknya, dengan perkataan lain, ketergantungan yang
terpimpin terjadilah kemandirian yang dipimpin sendiri.
c) Untuk lebih mendapatkan kepastian. Seandainya manusia tidak dapat dididik, maka
pengandaian ini menimbulkan konsekuensi sebagai berikut: kedewasaan manusia
yang kita saksikan, harus ditafsirkan sebagai sesuatu yang dibawa lahir, dalam arti
bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan dewas, atau kedewasaan itu berkembang
dengan sendirinya. Namun kenyataan menunjukkan bahwa manusia tidak dilahirkan
dalam keadaan dewasa; di lain pihak, tidak semua orang mampu melaksanakan
kehidupan sebagai orang dewasa, yang berarti peralihan dari status bayi, anak,
sampai dewasa itu tidak dapat berlangsung dengan sendirinya; artinya bahwa
manusia dapat menerima pengaruh-pengaruh dari luar. Kesimpulan: bila diterima
pandangan bahwa manusia dapat menerima pengaruh dari mereka yang dengan
sengaja bermaksud membantunya dengan tujuan agar dikemudian hari dapat
melaksanakan tugas hidupnya secara mandiri. Dengan kata lain; anak-manusia
adalah makhluk yang dapat dididik.
d) Manusia adalah makhluk yang dapat dididik, dapat pula dijabarkan dari empat
pandangan dasar antropologis pendidikan, yaitu prinsip individualitas, prinsip
sosialitas, identitas moral dan prinsip uniksitas.
1) Prinsip individualitas
Menyatakan bahwa setiap orang mmiliki eksistensinya sendiri, walaupun
hubungan dan pergaulan dengan sesama manusia sangat prinsipil baginya,
namun ia bukanlah sekedar salah satu bagian yang sama segala-galanya atau
salah satu embel-embel dari masyarakat. Lysen (Tirtarahardja, 2001: 17)
mengartikan individu sebagai “orang-seorang”, sesuatu yang merupakan suatu
keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in-devider). Selanjutnya individu
diartikan sebagai pribadi.
Setiap anak yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk berbeda dari
yang lain, atau menjadi seperti dirinya sendiri, tidak ada seorang individu

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 9


manusia yang identic sama dimuka bumi ini. Bahkan anak kembar yang seperti
pinang dibelah dua pun, mungkin dikatakan sama, namun tidak serupa apalagi
identic. Secara fisik sikembar muka nya sama, namun kalau kira perhatikan
dengan teliti pasti ada ciri khasnya yang berbeda, seperti perbedaan mata,
telinga, dan sebagainya. Secara rohaniah mungkin kapasitas intelegensinya
sama, namun kecenderungan perhatiannya terhadap sesuatu berbeda.
Kesanggupan untuk memikul tanggung jawab sendiri merupakan ciri
yang sangat esensial dari adanya individualitas pada diri manusia. Menurut
Langeveld (1980), setiap anak memiliki dorongan yang sangat kuat untuk
mandiri, walaupun disisi lainnya pada diri anak terdapat rasa tidak berdaya,
sehingga memerlukan orang lain (pendidik) yang dapat dijadikan tempat
bergantung untuk memberi perlindungan dan bimbingan.
2) Prinsip sosialitas
Mengatakan bahwa manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial, artinya
dalam melangsungkan kehidupannya secara fundamental dapat dan perlu
bergaul dengan sesama manusia. Langeveld (1980), menyatakan bahwa setiap
bayi yang lahir dikaruniai potensial sosial. Artinya setiap anak dikaruniai benih
kemungkinan untuk bergaul. Setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada
hakikatnya di dalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima.
3) Prinsip identitas moral
Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia pada prinsipnya sama dalam hal
bahwa mereka mampu untuk mengambil keputusan susila sendiri serta mampu
pula mengarahkan perbuatannya selaras dengan keputusan yang dipilihnya.
4) Prinsip uniksitas
Prinsip ini menyatakan bahwa setiap manusia bersifat unik dan tidak ada dua
manusia yang identic atau sama dalam segalanya.
4) Manusia Belum Dapat Menolong Dirinya Sendiri
Dengan kata lain: “Manusia berada dalam keadaan perlu bantuan”, dan bantuan
harus datang dari pihak lain. Tanpa bantuan dari pihak lain, manusia tidak mungkin
melangsungkan hidupnya. Bantuan tersebut tidak saja bagi kehidupan fisiknya, namun
juga bagi kehidupan psikisnya, dan kehidupan sosialnya.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 10


Untuk jangka waktu yang masih lama, manusia masih memerlukan bantuan dari
ibunya, dan bantuan dari orang sekitarnya. Keadaan perlu bantuan ini jelas tampak
apabila diterawang kehidupannya pada masa dewasa yang akan ditempuhnya, jauh lebih
“berat” bila dibandingkan dengan kehidupan hewan. Ia tidak dapat menggantungkan
diri semata-mata pada insting yang dimilikinya saat ia dilahirkan, ia harus dapat
mengendalikannya. Seluruh hewan dalam kehidupannya berperilaku berdasarkan
insting.
Kebutuhan terhadap ruang akan dirasakannya, tidak sekedar kebutuhan terhadap
pemertahanan kehidupan biologisnya, melainkan juga kebutuhan psikologis (kebutuhan
rasa aman, akan cinta, dan kasih sayang), kebutuhan sosial (kebutuhan akan peraturan
dan keteraturan, sadar wajib dan kewajiban), yang justru merupakan ciri khas yang
manusiawi. Untuk memenuhi kebutuhan ini ia memerlukan bantuan. Ia tidak dapat
mencapai sendiri, setidak-tidaknya awal masa hayatnya.
5) Manusia Dilahirkan dalam Lingkungan Manusiawi
Ia dilahirkan dalam lingkungan manusiawi yang bertanggung jawab, yang
berperasaan, bermoral, dan yang sosial. Keadaan anak manusia yang perlu bantuan itu
menggugah dan mengundang kasih sayang bagi orang dewasa khususnya kedua orang
tuanya. Orang tua dan anak keduanya dengan masing-masing karakteristiknya dari
kedua pihak ini saling mengisi, sehingga keduanya bersifat saling melengkapi.
Ketergantungan anak diimbangi dengan kesediaan orang tua, guru untuk
membimbingnya, ketidaktahuan anak akan segala sesuatu diimbangi orangtua dan guru
dengan mengajar dan mendidiknya. Kelemahan anak diimbangi dengan kasih sayang
orang tua dan guru yang memang dirasakan suatu keperluan untuk menumpahkannya.
Proses saling mengisi dan saling mengimbangi ini tidak dirasakan sebagai
sesuatu yang sulit dan rumit. Anak merasa dirinya satu dengan orang tua, dengan
lingkungan sehingga wajarlah bila kekurangannya diisi oleh orangtua. Seperti
dikemukakan, pemutusan tali ari-ari anak tidak sekaligus merupakan pembelahan atau
pemisahan dunia anak dengan ibunya. Pada pihak anak terdapat suatu kepercayaan dan
rasa kewajaran bila sifat bantuannya dipenuhi oleh orang tuanya dan gurunya disekolah.
Di lain pihak pada orangtua, dan guru terdapat rasa tanggung jawab, kasih sayang, dan
kepercayaan untuk memberikan bantuan dalam rangka memungkinkan kelangsungan
hidupnya, karena anak itu adalah anaknya. Segala pemberian itu tidak dirasakannya

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 11


berat, malahan menyenangkan karena hal itu dipandang sebagai tugasnya dan malahan
sebagai kebutuhannya. Maka terjadilah kasih sayang yang timbal-balik antara kedua
belah pihak itu.
Keadaan perlu bantuan dari si anak mengukuhkan kedua orangtua dan
sebaliknya kesediaan dan ketulusan orangtua untuk membimbing dan memberikan
bantuan kepadanya yang berupa pendidikan dan perawatan itu memungkinkan anak
hidup sebagai anak yang sedang mempersiapkan dri untuk meraih kedewasaannya
kelak.

b. Dunia Manusia sebagai Dunia Terbuka


a) Manusia Belum Siap Menghadapi Kehidupan
Dalam teori retardasi dari Bolk tersirat pendapat bahwa manusia dilahirkan
terlalu dini, sebab pada saat kelahirannya anak belum memiliki suatu spesialisasi dalam
rangka mengisi dan melaksanakan tugasnya. Anak manusia dilahirkan dalam keadaan
belum siap menghadapi kehidupan. Karena belum siap dan belum tersepesialisasi itu, ia
harus mempersiapkan diri dan tugas hidupnya itu. Dengan kata lain: ia harus
menentukan kepribadiannya, ia harus menentukan eksistensinya (keberadaan dirinya).
Manusia harus menentukan cara dan corak, arah dan tujuan hidupnya, bahkan
makna hidup baginya tidak disodorkan alam secara “ready to wear”, secara tinggal
pakai kepadanya. Sungguh berat dan sulit tugas yang dihadapi anak manusia yang
masih belum dapat menyelenggarakan hidupnya sendiri. Ketika ia sudah berada di
tengah-tengah kehidupannya, ia masih harus belajar hidup. Dan ini sekaligus berarti
bahwa manusia mempunyai kesempatan untuk belajar lebih lama, dibandingkan dengan
hewan untuk melaksanakan hidupnya itu. Demikianlah teori retardasi dari Bolk
mengungkapkan batas pembeda antara kehidupan hewani dan kehidupan manusiawi.
b) Manusia Mampu Menggunakan Alat
Melalui anggota tubuhna manusia menemukan kemungkinan dan kemampuan
untuk menggunakan alat. Persoalannya tidak hanya terletak pada alat itu sendiri,
melainkan pada penemuan alat sebagai alat, pada pemilihan alat yang cocok dan pada
pencarian dan penciptaan alat yang diperlukannya, dalam menghadapi dan menghidupi
lingkungannya. Dalam hal ini semua tersirat dengan adanya:
a) Inisiatif dan daya kreasi manusia.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 12


b) Kemampuan manusia untuk merealisasikan dirinya.
c) Kesadaran manusia akan lingkungan.
d) Keterarahan hidup manusia kepada lingkungan.
e) Kesadaran manusia akan tugasnya dalam lingkungan hidupnya.
Penulis akan menjelaskan satu persatu:
 Insiatif dan Daya Kreasi Manusia
Insiatif dan daya kreasi manusia merupakan manifestasi dari hakikat manusia
sebagai makhluk yang bebas. Dengan modal kebebasan, manusia mempengaruhi
hidupnya, menghadapi dan menghidupi dunianya. Insiatif merupakan pergerakkan bagi
eksplorasinya (petualangannya) di dalam dunianya. Daya kreasi merupakan penggugah
hatinya untuk bereksperimen (mencoba) dengan imajinasinya. Maka manusia
menghidupi dunianya tidak dengan jalan melarutkan diri didalamnya, melainkan dengan
menghadapinya sebagai tugas yang harus ditempuh dan dilaksanakannya.
Pelaksanaannya tidak secara menjiplak cara-cara orang lain, tidak dengan jalan
menenggelamkan diri dalam kebiasaan yang telah dibiasakannya oleh orangtua nya,
tidak dengan secara pasif menyelesaikan diri kepada lingkungannya.
Manusia bebas menghadapi lingkungannya, namun tidak bearti bahwa dengan
kebebasannya itu ia dapat berbuat sekehendak hati. Ada garis pembimbing yang
menuntun dan memberikan batas pada perbuatannya; aturan yang harus ditaatinya; ada
norma yang harus dijadikan patokan dan pegangan hidupnya. Jadi kebebasan terjalin
dan berada di bawah naungan payung nilai.
Inisiatif dan daya kreasi yang merupakan manifestasi dan kebebasan dirinya dan
merupakan saluran imanjinasinya menjadi jelas arah dan sasarannya dalam realita
kehidupan yang harus digelutinya. Dan pembinaan insiatif dan daya kreasi ini hanya
dapat terlaksana melalui bimbingan dan pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan
hidup manusia.
 Kemampuan Manusia untuk Merealisasikan Dirinya
Dalam kedua istillah “menghidupi” dan “menghadapi” lingkungan ini tersirat,
bahwa manusia itu bersikap ganda terhadapnya. Pada suatu pihak manusia menyatu
dengan lingkungannya, ia ada di dalamnya, ia tidak dapat lepas dari padanya ini
merupakan suatu kenyataan. Maka dalam segala tingkah perbuatannya, ia harus
memperhitungkan dan memperhatikan lingkungannya. Namun dilain pihak, lingkungan

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 13


yang hidup, dunia yang dihidupinya itu, harus pula dihadapinya sebagai tugas. Dalam
berhadapan dengan lingkungannya, ia tidak memungkinkan larut dan sepenuhnya
menyerah kepada dunianya apabila dihadapkan dengan realita (kenyataan) yang tidak
selalu selaras dengannya.
 Kesadaran Manusia akan Lingkungan
Bagi manusia lingkungan tidak sekedar merupakan sesuatu “yang melindungi”,
melainkan mengundangnya untuk mengolah dan menggarapnya, karena itu lingkungan
tampil bagi manusia sebagai suatu lapangan kerja. Berlainan dengan hewan yang lebih
banyak menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena memang sudah disesuaikan
dan dispesialisasikan untuknya, yang lebih banyak digerakkan oleh lingkungannya.
Dalam komunikasi dengan lingkungannya, berkat insiatif dan saya kreasinya itu
manusia bereaksi secara aktif dan terarah. Sebaiknya manusia mampu mengadakan
refleksi (bercermi sendiri), memikirkan dirinya dan perbuatannya serta mampu
menyadari kedudukannya dalam lingkungannya dan mengambil posisi terhadapnya. Ia
mampu mengontrol, mengoreksi, dan memperbaiki lingkungannya. Ia mampu melihat
jauh ke depan dan kemungkinan baru pada lingkungannya, membuat cakrawala
kemungkinan luas pada lingkungannya untuk digarapnya. Inisiatif dan daya kreasinya,
keadaan yang belum terspesialisasi, memungkinkan ia menghayati dunianya sebagai
dunia terbuka dan mengundangnya untuk menghuni serta mengelolanya sepanjang
hayatnya.
 Keterarahan Hidup Manusia Kepada Lingkungan
Mengenai pertautan manusi dengan lingkungannya terdapat dua pendangan yang
ekstrim yang saling berlawanan:
1) Pandangan Leibriz dengan teori metode yang tertutup yang memandang
pribadi aktif dari dalam, tanpa mendapatkan pengaruh dari luar, sehingga
manusia merupakan penyebab, bukan akibat dari lingkungannya.
2) Pandangan Epifeminalis yang menganggap pribadi hanyalah efek atau akibat
dari sistem persyarafan yang tidak berdaya sama sekali.
Kedua pandangan tersebut tidak dapat diterima, karena manusia merupakan
sekaligus penyebab dan akibat (causa maupun efek), pasif maupun aktif pada
lingkungannya: ia mampu memilih dan berinisiatif, namun keberadaanya tidak dapat
dilepaskan dari lingkungannya.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 14


Pandangan manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari lingkungannya tersirat
pula dalam konsep “posisi eksentis” manusia terhadap lingkungannya. Artinya manusia
tidak selesai dalam dirinya sendiri. Ia tidak berpusat pada dirinya sendiri, melainkan
pusat manusia berada diluar dirinya. Ia mengarah kedunia diluar dirinya: Tuhan dan
lingkungan, termasuk pertautannya dengan lingkungan budaya dan sosial. Pandangan
ini dapat diungkapkan lebih dengan menyatakan bahwa “lingkungan dan manusia
adalah dialog”, artinya saling mengisi, saling menerima dan saling memberi. Sehingga
ia selalu ada dalam pertautan dengan lingkungannya dan kita hanya dapat
menemukannya dalam keadaan seutuhnya manakala ia sedang berada dalam situasinya.
Drijakarsa (1964) dalam perumusannya yang ganjil; manusia mendunia. Dalam
dunianya, manusia bukan makhluk yang polos. Manusia adalah makhluk yang terarah.
Terarah kepada lingkungannya, kepada Tuhan, kepada benda-benda sekitar, kepada
sesama manusia, kepada diri sendiri; kepada dunia dan tidaklah tertutup baginya: dunia
manusia adalah dunia terbuka.
 Kesadaran Manusia akan Tugasnya dalam Lingkungan Hidupnya
Dunia manusia tidak merupakan sesuatu yang telah selesai, melainkan yang
harus digarapnya. Manusia menghayati dunianya sebagai suatu penugasan. Bila diingat
keadaan manusia saat ini dilahirkan dalam keadaan perlu bantuan maka kesenjangan
antara keadaanya saat ini dengan tugas yang harus dipenuhinya saat ia telah dewasa
sungguh luas dan dalam. Menjembatani kesenjangan seluas dan sedalam itu
memerlukan upaya yang luas dan dalam pula disertai dengan kesungguhan.
c) Manusia sebagai Makhluk yang Perlu Dididik
Pandangan bahwa manusia perlu dididik, mempradugakan akan adanya suatu
pandangan tentang manusia sebagai makhluk yang dapat dididik. Akan tetapi
sebaliknya; pandangan bahwa manusia dapat dididik tidak dengan sendirinya
mengimplikasikan, bahwa manusia perlu dididik. Jadi kita sekarang kepada pertanyaan,
apakah manusia itu memang perlu mendapat pendidikan?
Para ahli mengambil kesimpulan yang sangat penting bagi pendidikan. Yaitu
bahwa kelahiran seseorang sebagai manusia belum menjamin bahwa ia akan hidup
sebagai manusia. Untuk memungkinkan seorang bayi kelak hidup sebagai manusia dan
melaksanakan tugas hidup kemanusiaan, ia perlu dididik dan dibesarkan oleh manusia

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 15


dalam lingkungan kemanusiaan. Dengan perkataan lain: “ia harus dimanusiakan”. Oleh
Karena itu pendidikan adakalanya pula disebut orang sebagai “pemanusiaan manusia”.
Conttohnya seperti “manusia serigala”, dari peristiwa itu dapat disimpulkan
bahwa manusia itu adalah makhluk yang perlu dididik. Dan dapat ditarik kesimpulan
lain: Kesadaran manusia akan tugasnya hidup sebagai manusia, kesadaran akan nilai-
nilai kemanusiaan, ternyata tidak dibawa sejak lahir.
Dengan menggunakan istilah dari Bloom, masalah nilai-nilai kemanusiaan tidak
hanya bergerak di bidang kognitif dan psikomotor, akan tetapi juga dalam
perealisasiannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab harus sampai
menjangkau bidang afektif, atau kalau digunakan peristilahan dengan “pengajaran” saja
belum cukup untuk membuat seseorang bertindak susila. Untuk itu perlu “pendidikan”
yang diartikan mencakup keseluruhan pribadi manusia, mencakup pengetahuan, nilai,
keterampilan, emosi, dan spiritual.
Apabila diingkari bahwa manusia itu makhluk yang perlu dididik, maka harus
sampai kepada kesimpulan bahwa:
a) Manusia dilahirkan dalam keadaan dewasa, dalam arti bahwa ia dapat bertindak
secara mandiri dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas hidupnya,
kenyataannya tidak demikian.
b) Kemampuan untuk hidup sebagai manusia dan melaksanakan hidupnya secara
mandiri dan bertanggung jawab diperoleh manusia melalui “pertumbuhan dan
perkembangan dari dalam”, dan cukup mempercayakannya kepada dorongan-
dorongan dan insting padahal kenyataannya tidak demikian.
c) Kehidupan manusia tidak harus selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan
cukup hidup secara instingtif dan mengikuti dorongan-dorongan nafsu belaka.
Inipun tidak selaras dengan tuntutan hidup manusiawi.

b. Dasar dan Ajar


Ada dua pandangan saling bertentangan, yaitu pandangan nativisme yang
berpendapat bahwa manusia dilahirkan dengan dibekali bakat/pembawaan, yang
menentukan garis perkembangannya seseorang selanjutnya, dan pandangan empiris
yang berpendapat bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh pengaruh yang
dialaminya dari lingkungannya, termasuk pendidikan.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 16


Dalam bagian berikut ini akan diuraikan beberapa pandangan yang berkaitan
dengan dasar dan ajar ini, yaitu faktor –faktor yang mempengaruhi perkembangan anak,
beberapa pandangan yang berkaitan faktor-faktor tersebut, yaitu pandangan Nativisme,
Empirisme, dan pandangan Konvergensi.
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Manusia.
Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan anak:
a) Faktor keturunan (Heriditas)
Menurut H.C. Witherington, dalam Abu Ahmadi (2001), heriditas adalah proses
penurunan sifat-sifat atau ciri-ciri tertentu dari suatu generasi ke generasi lain dengan
perantaraan sel benih. Pada dasarnya yang diturunkan itu adalah struktur tubuh, jadi apa
yang diturunkan orangtua kepada anak-anaknya berdasar kepada perpaduan gen-gen,
yang pada umumnya hanya menyangkut ciri atau sifat orang tua yang diperoleh dari
lingkungan atau hasil belajar dari lingkungannya.
Beberapa ciri atau sifat orang tua yang kemungkinan dapat diturunkan,
misalnya: warna kulit, intelegensi (kecerdasan), bentuk fisik seperti bentuk mata,
hidung, suara berhubungan dengan struktur selaput suara, dan lain sebagainya yang
berhubungan dengan struktur fisik individu.
b) Faktor lingkungan (Environment)
Lingkungan manusia di golongkan menjadi lingkungan abiotik dan lingkungan
biotik. Lingkungan abiotik adalah lingkungan manusia yang tidak bernyawa, seperti:
natu, air, dan hujan, tanah, musim yang disebabkan iklim karena peredaran matahari,
dan sebagainya. Itu semua dapat mempengaruhi kehidupan manusia.
Lingkungan biotik adalah lingkungan makhluk hidup bernyawa terdiri dari tiga
jenis, yaitu:
 Lingkungan nabati atau lingkungan tumbuh-tumbuhan.
 Lingkungan hewani atau kehidupan satwa di sekitar manusia
 Lingkungan manusia, yaitu kehidupan manusia termasuk sosial, buday dan spiritual.
1) Lingkungan sosial. Mencakup bentuk hubungan, sikap atau tingkah laku antar
manusia, dan hubungannya antara manusia dengan manusia di sekitar anak.
2) Lingkungan budaya. Dapat berupa bahasa, karya seni, adat istiadat, ilmu
pengetahuan, dan norma-norma atau peraturan-peraturan yang berlaku dalam
pergaulan dimasyarakat disekitar anak.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 17


3) Lingkungan spiritual. Berupa agama, keyakinan, dan ide-ide yang muncul dalam
masyarakat di sekitar anak.
c) Faktor diri (self)
Guru harus memahami faktor diri yang merupakan faktor kejiwaan kehidupan
seorang anak. Faktor-faktor ini dapat berupa perasaaan (emosi), dorongan untuk berbuat
(motivasi), intelegensi, sikap, kemampuan berkomunikasi, dan sebagainya. Beberapa
ciri perkembangan kejiwaan anak dikemukakan oleh Abu Ahmadi (2001: 220-221),
sebagai berikut:
1) Ciri perkembangan kejiwaan anak TK
a) Kemampuan melayani kebutuhan fisik secara sederhana telah mulai berubah.
b) Mulai mengenal kehidupan sosial dan pola sosial yang berlaku dan
dilakukannya.
c) Menyadarin dirinya berbeda dengan anak yang lain yang mempunyai keinginan
dan perasaan tertentu.
d) Masih tergantung kepada orang lain, dan memerlukan perlindungan orang lain.
e) Belum dapat membedakan antara yang nyata dan khayal.
2) Ciri perkembangan kejiwaan anak SD
a) Pertumbuhan fisik dan motorik maju pesat.
b) Kehidupan sosial diperkaya dengan kemampuan berkerja sama dan bersaing
dalam kehidupan kelompok.
c) Mempunyai kemampuan memahami sebab-akibat.
d) Dalam kegiatan-kegiatannya belum membedakan jenis kelamin, dan dasar yang
digunakan adalah kemampuan dan pengalaman yang sama.
3) Ciri perkembangan kejiwaan anak SMP
a) Mulai mampu memahami hal-hal yang abstrak (khayal).
b) Mampu berkomunikasi pikiran dengan orang lain.
c) Tumbuh minat memahami diri sendiri dan diri orang lain.
d) Tumbuh pengertian tentang konsep norma dan sosial.
e) Mampu membuat keputusan sendiri.
2. Aliran-aliran Pendidikan
a. Nativisme

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 18


Dalam pendidikan aliran nativisme dipelopori oleh Schopenhauer (filosof
Jerman: 1788-1860) yang berpendapat bahwa “The world is my idea, the world, like
man, is through will and through idea”. Segala kejadian didunia dipandangnya sebagai
manifestasi dari benih yang ada padanya sejak semula. Hal ini tidak saja belaku bagi
tanaman, melainkan juga bagi segala organisme, termasuk manusia, oleh karena itu,
maka yang penting adalah prokreasinya. Perkembangan manusia hanya merupakan
semacam penjabaran dari yang telah disiapkan semula, yang telah dibawakan sejak
kelahirannya.
Aliran nativisme berkeyakinan bahwa anak yang baru lahir membawa bakat,
kesanggupan dan sifat-sifat tertentu. Bakat, kemampuan, dan sifat-sifat yang dibawa
sejak lahir sangat menentukan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak manusia.
Menurut pandangan nativisme perkembangan seseorang sepenuhnya ditentukan
oleh bakat pembawaannya. Namun ternyata masalah bakat ini bukan sesuatu yang
mudah dapat dikenal. Bakat dalam artinya yang utuh, tidak dapat dikenal manusia.
Bakat dalam arti yang utuh ini biasa disebut genotype dari bakat. Genotype dari bakat
ini menentukan apa yang akan terjadi dalam suatu organisme dalam suatu lingkungan
tertentu, serta menentukan pula karakteristik hereditas yang akan dialihkannya kepada
keturunannya.
Bila dihubungkannya dengan pendidikan, ternyata pandangan nativisme
membawa persoalan sendiri. Apabila benar apa yang dikemukakan Schopenhaurer,
bahwa perkembangan seseorang semata-mata merupakan penjabaran dari bakat yang
telah dimilikinya bersama kelahirannya, maka tingkah laku sepenuhnya merupakan
penjabaran bakat. Bakat dipandang mutlak menentukan tingkah laku seseorang.
Bagaimanakah peranan pendidikan sehubungan dengan tingkah laku seseorang.
Pandangan ini nampaknya kurang mempercayai bahwa pendidikan akan mampu
mengubah atau mengarahkan tingkah laku seseorang. Peranan pendidikan sangat
kurang: kalaupun ada, hanya sampai pengembangan bakat yang telah ada. Oleh karena
itu, paham ini disebut pesimisme pedagogis. Menurut pandangan ini, bahwa
perkembangan manusia dalam kehidupannya akan tergantung kepada
pembawaannya/bakat yang dibawa sejak lahir, sehingga pengaruh dunia sekitar kurang
sekali. Orang akan menjadi dokter, guru, insinyur, pedagang, ahli agama, dan

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 19


sebagainya, itu semuanya semata-mata karena bakat dan pembawaan yang dimiliki
anak, bukan karena pengaruh lingkungan atau pendidikan.
b. Naturalisme
Nature artinya alam atau apa yang dibawa sejak lahir. Aliran naturalism ini
dipelopori J.J. Rousseau filosof Perancis (1712-1778). Ia berpendapat bahwa semua
anak yang dilahirkan berpembawaan baik, dan pembawaan baik anak tersebut akan
menjadi rusak karena dipengaruhi lingkungan. Pendidikan yang diberikan orang dewasa
bisa merusak pembawaan anak yang baik itu. Aliran ini biasa disebut juga negativisme,
karena pendidik harus membiarkan pertumbuhan anak pada alam. Jadi pendidikan
dalam arti bimbingan dari orang luar (orang dewasa) tidak diperlukan.
Sebagai pendidik Rousseau mengajukan konsep “pendidikan alam”. Artinya
anak hendaklah dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya, manusia
atau masyarakat jangan mencampurinya. Upaya mengembangkan anak didik
dilaksanakan dengan menyerahkannya kealam, agar pembawaan yang baik tidak
menjadi rusak oleh tangan manusia. Rousseau ingin menjauhkan anak dari segala
keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat sehingga kebaikkan anak yang dibawa
secara alamiah sejak saat kelahirannya akan secara spontan dan bebas.
c. Empirisme
Empirisme bertolak belakang dari pandangan John Locke (1704- 1932) yang
mementingkan rangsangan dari luar dalam perkembangan manusia, dan menyatakan
bahwa perkembangan anak bergantung kepada lingkungannya. Perkembangan pribadi
manusia tergantung kepada pengaruh yang akan datang dari luar, sama sekali tidak
memperhatikan pembawaan atau bakat anak. John Locke mengembalikan seluruh
pengetahuan dan perkembangan manusia kepada pengalaman yang didapatnya dari
lingkungannya. Respon manusia terhadap pengaruh lingkungan bersifat netral-pasif,
sehingga manusia tidak berdaya sama sekali terhadap pengaruh yang ditimpahkan
lingkungan kepadanya.
Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari diperoleh dari
dunia sekitarnya yang berupa stimulus-stimulus (rangsangan-rangsangan). Rangsangan
ini berasal dari alam bebas, atau diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program
pendidikan. Aliran ini dipandang berat sebelah sebab hanya mementingkan peranan

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 20


pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa
anak sejak lahir dianggap tidak menentukan sama sekali.
Pengalaman dalam pendidikan menunjukkan ada anak yang berhasil dalam
perkembangan peribadinya karena bakat, walaupun keadaan lingkungannya tidak
mendukung. Keberhasilan tersebut disebabkan karena adanya kemampuan yang berasal
dari dalam diri anak. Misalnya kita serimg menemukan anak yang memiliki kemampuan
melukis, bernyanyi, atau pandai berpidato karena mewarisi kemampuan yang berasal
dari orangtuanya, atau dari nenek kakeknya. Sehingga ia mau mengembangkan
kemampuan dasarnya tersebut, ia berusaha mendapatkan lingkungan yang dapat
mengembangkan bakat atau kemampuan yang telah ada dalam dirinya.
Keadaan manusia saat dilahirkan diumpamakan Locke sebagai “Tabula rasa”
atau teori kertas kosong. Teori tabalurasa mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan
itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih yang belum ditulisi. Sejak lahir anak
tidak memiliki bakat dan pembawaan apa-apa, anak dapat dibentuk semaunya pendidik,
sini kekuatan untuk membentuk anak berada pada pendidik, sehingga lingkungan dalam
hal ini pendidikan berkuasa dalam pembentukan anak.
Pengalaman emipirik (dari kehidupan nyata) anak yang diperoleh dari
lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Menurut
pandangan emipirsme pendidik memegang peranan yang sangat penting sebab pendidik
dapat menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak dan akan diterima oleh anak
sebagai pengalaman-pengalaman. Pengalaman tersebut tentunya yang sesuai dengan
tujuan pendidikan.
d. Konvergensi
Dipelopori oleh William Sterrn. Konvergensi berarti pertemuan antara dua garis
lurus, pada suatu titik. Stern berpendapat bahwa perkembangan individu mendapat
pengaruh, baik dari bawaan “dasar” maupun lingkungan, termasuk pendidikan “ajar”
keduanya berkerja sama.
Apa yang dimiliki seseorang sebagai bawaan atau bakat, belum merupakan suatu
kenyataan, melainkan berupa kemungkinan atau menurut istilah Sterrn, diposisi. Dalam
istilah iini terkandung pengertian potensi dan tendesi atau kecenderungan untuk
mengaktualisasi diri. Ini berarti bahwa perkembangan seseorang tidak sekedar
“manifestasi dari apa yang tersirat benih” sebagaimana dikemukakan oleh pandangan

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 21


nativisme, melainkan terarah, selaras dengan kondisi yang terkandung dalam
lingkungan. Dengan perkataan lain: perkembangan seseorang tidak sekedar ditentukan
oleh “dasar” saja melainkan juga “ajar” mempunyai sahamnya. Keduanya tidak
merupakan penjumlahan, melainkan lebih merupakan keterjalinan.
Implikasinya bagi pendidikan adalah bahwa dalam melaksanakan pendidikan,
kedua momen dasar dan ajar, hendaknya mendapat perhatian seimbang. Dalam
perkembangan manusia, pendidikan memegang peranan yang penting, namun demikian
seorang pendidik hendaknya berendah hati, tidak pada tempatnya ia dengan bangga
menunjukkan; inilah hasil didikan saya. Sebab upayanya itu tergantung pula dari situasi
saat pendidikan itu berlangsung, dari cara anak menerimanya (atau menolaknnya), dari
bakat dan kemampuan yang ada pada anak; sangat sulit ditentukan, mana hasil didikan,
mana penjabaran bakat dan bawaan. Hendaknya seorang pendidik tetap memiliki
optimism, namun patut diingat, bahwa banyak variable yang turut menentukan
keberhasilan pendidikannya.

B. PERTEMUAN PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN


a. Pendekatan Strategik Pendidikan
Pembangunan Nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia
Indonesia yang seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Manusia adalah inti pembangunan. Betapa tidak,
ialah yang memikirkan, merencanakan, mengawasi, dan merasakan suka duka beserta
pahit manisnya pembangunan. “Kualitas manusialah yang menjadi andalan utama
keberhasilan pembangunan”.
Selama ini, berbagai upaya telah dan sedang dijalankan dengan prioritas
pembangunan bidang ekonomi. Banyak kemajuan dan keberhasilan sekalipun masih
dihinggapi gejala-gejala kesenjangan fundamental, yaitu produktivitas manusia yang
masih memerlukan peningkatan dengan saksama. Hal itu dapat dilihat pada efektivitas
dan efisiensi pendidikan. Efektivitas terlihat pada pemerataan memperoleh pendidikan,
jumlah, dan mutu keluaran, hubungan pembangunan dan pendapatan tamatan. Efisiensi
tampak pada kegairahan atau motivasi peserta didik, semangat dan disiplin kerja,
tingkat kepercayaan dan pengaturan waktu, fasilitas dan keuangan.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 22


Prioritas pembangunan bidang ekonomi, tampaknya menuntut prioritas
pendekatan pendidikan yang baik bila pembangunan nasional ingin tinggal landas
dengan mulus. Salah satu pendekatan yang mendekati ialah suatu pendekatan perspektif
terpadu. Suatu pendekatan yang berpihak pada norma dan keadaan yang berlaku,
menelaah pengalaman masa silam dan berorientasi ke masa depan secara cermat dan
terpadu untuk kurun waktu yang cukup.
Kemampuan dasar yang tersedia supaya dapat berfungsi sebagaimana mestinya,
diperlukan berbagai upaya. Salah satu upaya utama ialah belajar sepanjang hayat yang
berintikan membaca baik terjadi di lingkungan keluarga, masyarakat maupun, lembaga
pendidikan formal.
Upaya pertama disediakan keluarga dalam bentuk pemenuhan kebutuhan dasar
yaitu berupa makan, minum, perlindungan badan, kasih sayang dan kebiasaan-kebiasaan
atau nilai-nilai.
Pendidikan semacam ini turun temurun terjadi dari satu keluarga kepada
keluarga berikutnya. Sampai batas tertentu pendidikan cukup dilakukan oleh keluarga
untuk membesarkan, mendewasakan dan untuk mengabdikan diri kepada dirinya,
keluarga, lingkungan sesamanya, serta kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pendidikan formal alias sekolah, diselenggarakan secara lebih terorganisasi dan
dilembagakan. Pendidikan semacam ini telah berkembang baik secara vertical (TK-PT)
maupun secara horizontal (berbagai jenis pendidikan umum, kejuruan dan
kemasyarakatan, serta pendidikan khusus/special). Namun demikian, berkat kehidupan
yang semakin berkembang, pendidikan semacam itupun ternyata masih belum
mencukupi dan masih memerlukan pendidikan lain baik yang informal maupun
nonformal diluar persekolahan, baik secara suplemen maupun komplemen (Santoso S.
Hamijoyo, 1975).
Kenyataan menunjukkan bahwa manusia dapat dididik dalam batas-batas
tertentu, yaitu tergantung kepada kemampuan dasar yang tersedia, pengalaman yang
didapat, kemauan yang ulet, dan sudah barang tentu takdir illahi bagi mereka yang
mempercayainya. Namun, manusia tetap harus berusaha dengan takwa, ilmu, amal, dan
ibadah, berikhtiar dengan seksama dan disertai dengan doa yang ikhlas, insya Allah
Tuhan yang memberikati manusia hidup berbahagia lahir batin dunia dan akhirat.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 23


Dasar pemikiran ilmu kedua adalah ilmu pendidikan. Ilmu pendidikan adalah
ilmu yang mempelajari proses pengaruh-mempengaruhi antara peserta didik dengan
pendidikan dalam berbagai situasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Proses pengaruh-mempengaruhi itu merupakan psikodinamik yang asasi yaitu dialog di
antara komponen-komponen pendidikan yang pada suatu saat harus terjadi dialog
dengan sendirinya pada diri peserta didik sendiri. Kemudian ia dapat bertindak lain atas
keputusan dan tanggung jawab sendiri atau disebut hidup mandiri baik secara pribadi
maupun sosial. Manusia terdidiklah yang mampu membangun dirinya, menolong orang
yang mendapat kesulitan, mengurangi kemiskinan yang kini melanda dunia sedang
berkembang, mengatasi resesi ekonomi, mencegah korupsi, mempengaruhi supaya tidak
terjadi perang nuklir, berpretasi dan menciptakan suasana hidup tentram, damai, adil,
dan sejahtera lahir batin, dunia dan akhirat.
Ilmu pendidikan sebagai ilmu yang mempunyai ciri hakiki yaitu ilmu normatif,
berbuat dan tidak dapat melepaskan diri dari pandangan hidup. Ilmu pendidikan sebagai
seni sangat bertautan dengan profesi pendidikan, yang secara formal telah maju di
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan
No. 0124/U/1979 yang kemudian disempurnakan dengan surat keputusan No.
0211/U/1982. Oleh karena itu, ilmu pendidikan adalah ilmu yang interdisipliner, yang
menuntut pendekatan dan teori-teori tertentu. Peranan dan dampak ilmu pendidikan
terhadap kehidupan, sangat dipengaruhi oleh pengadministrasian atau penataan
pendidikan itu sendiri. Itulah sebabnya dalam kesempatan ini diketengahkan
administrasi pendidikan.
Administrasi pendidikan yang dimaksud adalah ilmu yang mempelajari penataan
sumberdaya yaitu manusia, kurikulum atau sumber belajar, dan fasilitas untuk mencapai
tujuan pendidikan secara optimal dan penciptaan suasana yang baik bagi manusia yang
turut serta di dalam mencapai tujuan pendidikan yang disepakati. Kriteria atau ukuran
keberhasilan administrasi pendidikan adalah produktivitas pendidikan, yang dapat
dilihat pada prestasi atau efektivitas dan pada proses, suasana atau efisiensi. Efektivitas
dapat dilihat pada:
1) Masukan yang merata
2) Keluaran yang banyak dan bermutu tinggi

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 24


3) Ilmu dan keluaran yang berhubungan dengan kebutuhan masyarakat yang sedang
membangun
4) Pendapatan tamatan atau luaran yang memadai.
Sedangkan efisiensi dapat dilihat pada :
1) Kegairahan atau motivasi belajar yang tinggi
2) Semangat bekerja yang besar
3) Kepercayaan berbagai pihak
4) Pembiayaan, waktu, dan tenaga yang sekecil mungkin tetapi hasil yang besar
mendekati rasio 1.
a) Pendekatan perspektif terpadu
Perspektif terpadu (integrative) adalah suatu pendekatan yang berlandaskan
kepada norma dan keadaan yang berlaku, menelaah ke masa silam, dan berorientasi ke
masa depan secara cermat dan terpadu dalam berbagai dimensi, pemerintahan dan
swasta-pengusaha-tenaga kerja-pendidikan, ilmuwan-politikus-ulama, dan berbagai
sektor pembangunan.melalui pendekatan ini pendidikan dapat menghasilkan manusia
terdidik tetapi banyak yang tidak tahu ke mana kelak bekerja.
Berorientasi ke masa depan secara cermat dan terpadu adalah sukar, tetapi
penting. Sukar dikarenakan, (1) kehidupan di masa depan cenderung semakin kompleks
dan cepat sekali berubah yang dapat menimbulkan masalah terus menerus. Kadang-
kadang masalah yang satu belum terpecahkan sudah timbul masalah lain yang menuntut
pemecahan pula, (2) kehidupan masa depan bukanlah kehidupan yang mati, tetapi suatu
kehidupan yang berkembang dan terbuka yang penuh kemungkinan. (3) kehidupan
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, tidak dapat melepaskan diri dari dunia
kawasan dan dunia internasional yang juga sedang dalam proses perubahan yang cepat.
Namun demikian, melukiskan sosok kehidupan di masa depan itu sangatlah
penting, karena:
1) Hidup bukan semata-mata untuk masa kini tetapi diharapkan untuk masa depan
yang lebih layak dan cerah bagi kehidupan bangsa. Keadaan ini menuntut suatu
sistem pemecahan yang memungkinkan pemikiran yang menyeluruh dan
tindakan yang tepat.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 25


2) Hidup berorientasi ke masa depan akan bersifat hemat, dan menilai tinggi
tentang prestasi kerja, mentalitas berusaha dengan kemampuan, kepercayaan dan
tanggung jawab sendiri.
3) Berpikir jauh kedepan merupakan penggunaan perangkat intelektual untuk
mengambil keputusan saat ini dan merencanakan masa depan dengan imajinatif,
antisipatif, penuh tanggap dan bebas kendala.
4) Salah satu upaya untuk mencapai kehidupan yang lebih layak di masa depan,
yang menjadi kunci keberhasilan pembangunan ialah pendidikan, seyogianya
berorientasi ke masa depan. “Ini harus dimiliki oleh setiap orang khususnya oleh
para pendidik. Pandangan jauh kedepan ini perlu kita miliki karena ditangan
para pendidiklag terletak masa depan bangsa”.
b) Pola dasar pengadministrasian pendidikan
Terdapat tiga pola dasar pengadministrasian pendidikan yang perlu diperhatikan,
secara makro (tingkat nasional), meso (tingkat kelembagaan), dan mikro (tingkat
operasional proses belajar mengajar). Kita uraikan disini yang makro.
c) Pola dasar pendidikan secara makro
Apabila kita dapat melukiskan kecenderungan kehidupan dengan cermat dan
terpadu, menggariskan kualitas manusia secara tepat yang mampu hidup layak dimasa
depan, kemudian dapat menyediakan pendidikan yang relevan, niscaya kualitas manusia
Indonesia tinggal landas akan menjelma dan kita dapat melaksanakan tahap
pembangunan tinggal landas yang tumbuh atas kekuatan sendiri.
a. Kecenderungan kehidupan
Kecenderungan besar sebagai berikut:
1) Kecenderungan yang mendasari kehidupan, adalah ketakwaan kepada Tuhan
yang maha esa yang dinyatakan dalam kehidupan beragama dan berkepercayaan
kepada Tuhan terjamin dalam UUD 1945.
2) Penduduk Indonesia dewasa ini diperkirakan sebanyak 190 juta orang dengan
laju pertumbuhan 2,3% setiap tahun yang relative konstan sehingga pada saat
tinggal landas akan berjumlah sekitar 200 juta dengan penyebaran yang tidak
merata.
3) Hidup dinegara kepulauan yang beriklim tropis kaya akan bahan mentah, indah
dan nyaman. Sumberdaya alam tradisional terutama minyak dan gas bumi

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 26


berangsur-angsur menyusut, hewan memunah, alam dan hutan semakin rusak,
pencemaran udara merajalelah, tetapi dipihak lain cenderung mengembangkan
sumberdaya nontradisional, produksi dalam negeri, pendayagunaan laut, dan
sinar matahari, reboisasi dan pelestarian alam semakin digalakkan.
4) Hidup berlandaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang masih menuntut
pelaksanaan dan penjabaran supaya lestari dan mendarah daging sebagai sumber
inspirasi, perjuangan dan sistem nilai dalam pembangunan bangsa.
5) Bangsa yang berpolitik membangun dengan politik luar negeri yang bebas aktif
akan terus berperann dalam proses regenerasi.
6) Perubahan sistem perekonomian yang cenderung menitikberatkan pada
perindustrian baik industri berat dan ringat maupun yang menekankan produksi
dalam negeri yang didukung oleh pertanian dan jasa khususnya pondok
elektronik dan komputer.
7) Akulturasi kebudayaan terus meningkat baik antar kebudayaan sendiri maupun
dengan kebudayaan yang datang dari luar.
8) Persaingan semakin meningkat dan perdamaian dunia diliputi kesuraman.
9) Ilmu pengetahuan, teknologi, dan struktur informasi semakin kompleks dan
berkembang berlipat ganda.
b. Kualitas manusia
Secara idiologis filosofis, kemampuan itu telah digariskan dalam Eka Prasetia
Pancakarsa sebagai tuntutan dan pedoman hidup bangsa. Namun demikian, secara
operasional perlu dilaksanakan secara kritis, kreatif, dan dinamis. Secara skematis,
untuk menata kemampuan tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga dimensi yang
bertautan satu sama lain, sesuai tingkat perkembangannya.
Pertama, kemampuan umum yaitu kemampuan memanusiakan manusia sebagai
syarat untuk menjadi warga negara yang baik yang haru dimiliki oleh setiap orang atau
imperative. Kemampuan ini merupakan dasar ketahanan nasional yang secara garis
besar sebagai berikut.
1) Ketakwaan Normatif
a) Memiliki, menghayati, dan mengamalkan falsafah hidup yaitu Pancasila secara
operasional dan mendarah daging pada setiap orang dengan ini ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 27


b) Menyadari dan melaksanakan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
sebagai negara hukum yaitu UUD 1945 berserta undang-undang dan peraturan
lainnya dalam hidup berbangsa dan bernegara.
c) Memiliki sikap dan arah yang jelas sebagaimana digariskan oleh bangsa
Indonesia yang tertera dalam garis-garis besar haluan negara berwawasan hidup
melihat jauh kedepan, sikap hidup keluarga kecil yang berbahagia, kebudayaan
yang bhineka tunggal ika dengan titik tolak ketakwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, etika, dan estetika sehingga menampilkan kepribadian yang utuh
berbudi dan beriman.
d) Memiliki semangat persatuan dan perjuangan, patriotism, cinta tanah air, disiplin
dan tanggung jawab nasional yang tinggi dalam mewujudkan wawasan
nusantara.
2) Partisipasi asasi (bersaing yang sehat)
a) Fisik dan mental yang sehat dan kuat yang menunjukkan ketahanan nasional
yang kuat.
b) Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar, baik dalam
bahasa nasional, inggris maupun bahasa komputer.
c) Hemat, tekun, teliti, rapi, tertib, toleran, jujur, sopan santun, kreatif atau
produktif.
d) Memiliki sikap, pengetahuan dan keterampilan dasar yang memadai:
 Sikap positif terhadap pembangunan dan pembaruan, belajar dan bekerja,
percaya kepada diri sendiri dan bertanggung jawab.
 Memiliki pengetahuan dasar yang cukup sebagai landasan berpikir, cerdas
dan rasional.
 Memiliki keterampilan dasar yang memadai baik keterampilan praktis
maupun untuk melihat, menemukan, dan kemungkinan pemecahan masalah
yang dihadapi.
Kedua, kemampuan upajiwa yaitu kemampuan yang lebih berfungsi bagi
sekelompok orang yang mempunyai ciri-ciri yang relative bersamaan. Ciri-ciri itu
berupa jenis kelamin, umur, minat, keahlian atau profesi. Kemampuan ini menuntut
sikap, pengetahuan, dan keterampilan khusus baik untuk belajar maupun bekerja dengan

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 28


penuh produktivitas baik dalam bidang prestasi, proses kehidupan maupun bidang
ekonomi.
Ketiga, kemampuan mewujudkan seni hidup atau menciptakan yang lebih baik.
Kualitas manusia berupa alternatif yang berfungsi sangat pribadi baik yang dapat
menunjang kemampuan umum, upajiwa maupun mandiri sama sekali.
Ketiga komponen kualitas manusia itu diharapkan secara terpadu, seimbang, dan
serasi yang terwujud dalam pribadi yang mandiri. Terdapat dua hal yang penting bagi
perencanaan pendidikan, yaitu struktur tenaga kerja baik proporsional maupun sebagai
indicator manual ketenagakerjaan di Indonesia.
b. Hubungan Pendidikan dan Pembangunan
Bahwa ciri-ciri manusiawi dalam arti kemampuan jasmaniah dan rohaniahnya
tidak secara otomatis dimiliki oleh seseorang. Kemampuan-kemampuan manusia
tersebut merupakan hasil belajar dan didikan.
Dalam khasanah ilmu pendidikan disebutkan, bahwa tugas mulia pendidikan
terletak pada upaya mengembangkan aspek-aspek pribadi manusia baik yang jasmaniah
dan yang rohaniah. Pengembangan itu tidak lepas dari kenyataan di lingkungan
seseorang. Karena itu upaya pendidikan pada akhirnya diharapkan metampakkan diri
dalam bentuk terwujudnya pribadi yang sesuai dengan kenyataan diri dan lingkungan
seseorang.
Upaya pendidikan bertujuan untuk terbentuknya manusia yang mampu, baik
jasmaniah maupun rohaniah menyesuaikan diri secara aktif di dalam hidup dan
kehidupannya. Hakikat pendidikan adalah upaya kemanusiaan manusia, dan
membudayakan manusia, sehingga maupun mencipta, berkarya, membudi dan membaik
bagi kehidupan ekosferisnya (kebulatan diri dan lingkungan).
Pembangunan adalah upaya-upaya dari suatu masyarakat, bangsa, atau negara
dalam menyesuaikan diri terhadap tantangan-tantangan masalah dan kebutuhan-
kebutuhan yang dihadapinya. Tantangan dan masalah kebutuhan tersebut bisa terjadi
menyangkut banyak bidang kehidupan seperti ekonomi, kesehatan, pertahanan
keamanan dan sebagainya. Demikian, makna pembangunan tidak terbatas pada
pembangunan ekonomi dan industrialisasi meliputi upaya-upaya yang beragam dan
sesuai dengan keanekaragaman masalah dan rintangan kebutuhan sesuatu masyarakat.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 29


Uraian diatas menegaskan bahwa titik temu pendidikan dan pembangunan
terletak pada unsur manusianya.pendidikan menekankan aktualisasi modal kedirian
manusia guna manusia dan membudaya diri sendiri dan lingkungannya. Sedangkan
pembangunan menekankan manipulasi sumber sumber yang terdapat dalam kehidupan
manusia guna terpenuhi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah
ikhtiar ke luar guna mencapai hidup yang baik dari manusia itu sendiri. Dengan
demikian pada analisis terakhirnya pendidikan dan pembangunan tertumpu pada hajat
hidup manusia yang senantiasa ingin terangkat harkat dan mertabatnya.

c. Sumbangan Pendidikan terhadap Pembangunan


Dalam sejarah kehidupan manusia selamanya tidak terlepas dari sumbangan
yang diberikan oleh penndidikan. Memang tanpa makan dan bernafas,manusia tidak
akan mampu bertahan didalam hidup dan kehidupannya. Tetapi manusia dan kehidupan
yang berhasil sesuai dengan manusiawi dan bagi diri dan lingkungan yang mutlak
memerlukan bekal kemampuan jasmaniah dan rohaniah dari manusia itu sendiri.
Kemampuan jasmaniah dan rohaniah dibentuk oleh pendidikan dengan pemberian
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai serta sikap tertentu. Proses transformasi
tersebut berlangsung secara formal,non formal dan informal. Dalam hubungan ini perlu
diketahui bahwa wawasan kehidupan merupakan sumber sumber motivasi bagi cara-
cara hidup, penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecakapan teknis umat
manusia ini merupakan buah dari upaya pendidikan. Pembangunan ekonomi, sosial
budaya, politik dan pertahanan keamanan pada suatu bangsa atau negara, mutlak
emerlukan keikut sertaan upaya pendidikan untuk menstimulasi dan menyertai dalam
setiap feset dan proses pembangunan. Sebab pada setiap faset dan proses pembangunan.
Disamping itu diperlukan konfomitas dan partisipasi masyarakat didalam usaha
pembangunan dipengaruhi oleh akumulasi pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap
yang dimilki oleh seorang atau seuatu pada masyarakat. Penyertaan upaya pendidikan
terhadap usaha pembangunan dibidang-bidang seperti ekonomi, politik, dan sosil
budaya juga jelas diperlukan bahwa stimulasi dan penyertaan pendidikan pada
masyarakat yang sedang membangun ternyata memberikan hasil yang memuaskan
dalam mengatasi persoalan-persoalan dan hajat hidup manusia baik dibidang perbaikan
sistem politik, sosial budaya, ekonomi. Itulah beberapa gambaran umum mengenai
sumbangan pendidikan bagi kehidupan dan pembangunan.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 30


Di indonesia dalam rangka pembanguan manusia seutuhnya. Sumbangan
pendidikan diharapkan untuk mewujudkan :
1) Pembinaan mental pancasila.
2) Pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa.
3) Pembinaan ketahanan nasional.
4) Pembinaan hak asasi manusia.
5) Pembinaan ‘”Rule Of Law “ yaitu berbuat atas dasar hukkum yang berlaku.
6) Pembinaan hidup rasional,efisien,dan produktif.
7) Pembinaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketujuh perinciaan diatas merupakan tonggak-tonggak yang diperlukan guna
kegairahan, solidaritas nasional, partisipasi, tanggung jawab, dan kecepatan bangsa
didalam gerak pembangunanya.
d. Sistem Pendidikan yang Relavan dengan Pembangunan
Sistem pendidikan yang relavan dengan pembangunan berarti mempunyai
tingkatan keterhubungan yang tinggi antara bekal pendidikan yang diberikan pada
seseorang atau sesuatu pada masyarakat atau bangsa. Masalah–masalah dan hajat hidup
suatu nmasyarakat atau bangsa berbeda-beda pada :

1. Periode yang satu dengan periode lain


2. Kelompok masyarakat ditempat yang satu dengan tempat lainnya
3. Seseorang yang satu dengan yang lainnya.

Jelaslah bahwa pendidikan yang relavan dengan pembangunan dituntut untuk


mengabdi pada kepentingan nasional, regional, lokal sampai pada kelompok kecil
berupa keluarga dan juga pada kepentingan seseorang yang senantiasa mengalami
perubahan-perubahan dan perkembangan dari masa ke masa, perubahan dan
perkembanganyang cepat tersebut memerlukan penyesuaian pengetahuan, keterampilan,
dan sikap-sikap tertentu dalam menghadapi masalah dan tantangan serta hajat hidup
baru. Pendidikan dan pembangunan dituntut untuk lari cepat sehingga memungkinkan
seseorang untuk bangsa menyesuaikan diri secara berhasil didalam perubahan-
perubahan dan perkembangan dunia kini serta yang akan datang.

Hal ini bahwa pendidikan berarti dituntut unntuk mengamban tugas yang
semakin yang kompleks dan luas sesuai dengan aneka ragam masalah dan hajat hidup

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 31


seseorang. Misalnya saja diindonesia pendidikan juga dituntut untuk menstimulasi
masyarakat guna menjaga kelestariaan hutan mengikuti program keluarga berencana,
mempertinggi kegemaran menabung dan sebagainya. Uraian diatas menegaskan bahwa
orientasi yang perlu dijadikan titik tolak ukur untuk mengembangkaan pendidikan yang
relavan dengan pembangunan, jadi orientasi itu dapat ditarik pemikiran-pemikiran dasar
bahwa bekal pendidikan yang berisi penambahan pengetahuan-pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai serta sikap-sikap haruslah diarahkan untuk:

1) Menambah konformitas seseorang atau suatu masyarakat terhadap cita-cita atau


program pembangunan merupakan ciri utama pendidikan yang relavan dengan
pembangunan.
2) Mengembangkan sikap-sikap yang cocok untuk tuntutan hidup dan kehidupan kini
dan yang akan datang seperti sikap-sikap: hemat, sederhana, disiplin, selalu
berikhtiar, menghargai waktu, berorientasi pada masa depan. Misalnya saja rasa
percaya diri terhadap diri sendiri,bekerja untuk menaikan prestasi.
3) Menambah keekaan seseorang terhadap tentangan,persoalan,dan hajat hidup
diri,lingkungan dan bangsanya yang senantiasa berubah dan berkembang.
4) Menambah kemampuan menyelesaikan tantangan persoalan dan hajat dihidup
seseorang disuatu masyarakat sesuai dengan keadaan yang dihadapi. Untuk ini
diperlukan kemampuan mengidentifikasi persoalan-persoalan, hambatan, dan
sumber-sumber yang tersedia pada diri dan lingungannya didalam suatu masyarakat.
Disamping ini juga diperlukan kemampuan menganalisis dan mencari alternatif
pemecahan masalah setiap tantangan dan hajat hidup diri, kini dan yang akan
datang.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 32


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Manusia sejak lahir telah dibekali dengan sejumlah potensi. Potensi adalah
kemampuan, kesanggupan, daya yang menjadi modal bagi manusia tersebut agar kelak
siap mandiri dalam menjalani kehidupan di lingkungan di mana dia berada.
M.J. Langeveld yang memandang manusia sebagai “animal educandum” yang
mengandung makna bahwa manusia merupakan mahkluk yang perlu atau harus dididik.
Manusia merupakan makhluk yang perlu di didik, karena manusia pada saat dilahirkan
kondisinya sangat tidak berdaya sama sekali. Seorang bayi yang baru dilahirkan, berada
dalam kondisi yang sangat memerlukan bantuan, ia memiliki ketergantungan yang
sangat besar. Padahal nanti kelak kemudian hari apabila ia telah dewasa akan
mempunyai tugas yang besar yakni sebagai khalifah dimuka bumi.
Kondisi seperti ini jelas sangat memerlukan bantuan dari orang yang ada
disekitarnya. Bantuan yang diberikan itulah awal kegiatan pendidikan. Sesuai dengan
tugas yang akan diembannya nanti dikemudian hari, dibalik ketidakberdayaan atau
ketergantungan yang lebih dari hewan. Hanya kemampuan-kemampuan tersebut masih
tersembunyi, masih merupakan potensi-potensi yang perlu dikembangkan. Disinilah
perlunya pendidikan dalam rangka mengaktualisasikan potensi-potensi tersebut,
sehingga menjadi kemampuan nyata. Dengan bekal berbagai potensi itulah manusia
dipandang sebagai mahkluk yang dapat di didik. Bertolak dari pandangan tersebut,
secara implisit terlihat pula bahwa tidak mungkin manusia dipandang sebagai mahkluk
yang harus di didik, apabila manusia bukan mahkluk yang dapat di didik.
Pendidikan mempunya misi pembangunan. Mula-mula membangun manusianya,
selanjutnya manusia yang sudah terbentuk oleh pendidikan menjadi sumber daya
pembangunan. Pembangunan yang di maksud baik yang bersasaran lingkungan fisik
mau pun yang bersasaran lingkungan social yaitu diri manusia itu sendiri
Jika manusia memiliki jiwa pembangunan sebagai hasil pendidikan maka di
harapkan lingkungannya akan terbangun dengan baik. Sumbangan pendidikan terhadap
pembangunan dapat dilihat dari segi sasarannya, lingkungan pendidikan, jenjang
pendidikan, dan sektor kehidupan. Secara khusus sumbangan pendidikan terhadap
pembangunan adalah pembangunan atas penyampurnaan sistem pendidikan itu sendiri.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 33


B. SARAN
Manusia mempunyai potensi yang tidak dapat dimiliki makhluk lain yaitu akal.
Oleh karena itu, kita harus terus belajar dan perlu pendidikan untuk mendewasakan diri.
Karena tanpa pendidikan, manusia tidak dapat mengembangkan potensinya secara
optimal. Seperti pepatah mengatakan bahwa “carilah ilmu sampai ke negeri Cina”. Lalu
sebagai calon guru, teruslah belajar bagaimana cara mendidik anak-anak, karena
ditangan kita lah potensi mereka dapat berkembang. Dan juga bila pembangunan
dinegara kita ingin maksimal, maka harus meningkatkan mutu sumber daya manusianya
lewat pendidikan yang lebih maju. Yaitu seperti meningkatkan dan meratakan
pendidikan di seluruh negara, serta memberikan sarana dan prasarana pendidikan yang
lengkap, agar menunjang peningkatan mutu pendidikan.
Dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, baik
dari segi penulisan maupun segi penyusunan kalimat. Dari segi penulisan juga perlu
ditambahkan, Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kepada para pembaca
makalah ini agar dapat memberikan kritikan dan masukan yang bersifat membangun.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 34


DAFTAR PUSTAKA

Sadulloh, Uyoh, Agus Muharram, dan Babang Robandi. 2010. PEDAGOGIK (Ilmu
Mendidik). Bandung: ALFABETA,cv.

Salam, Burhanuddin. 2002. PENGANTAR PEDAGOGIK (Dasar-Dasar Ilmu


Mendidik). Jakarta: PT RINEKA CIPTA.

Manusia Sebagai Animal Educandum/Pertemuan Pendidikan dan Pembangunan | 35

Anda mungkin juga menyukai