Anda di halaman 1dari 4

KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS

Robiansyah Setiawan

A. Sejarah Kebijakan Pemerintah terhadap

Suatu anugerah bagi setiap orang tua tatkala dikaruniai anak sebagai amanah yang
diberikan oleh Allah azza wa jalla. Sebagai orang tua tentu akan memperhatikan kebutuhan dan
perkembangan anak-anaknya, terutama bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus
dari segi fisik maupun mental tentu upaya-upaya untuk kemajuan anak akan dilakukannya
terutama dalam hal pendidikan. Oleh karena itu jika dilihat dari sejarah pemerintah telah
melakukan berbagai upaya melalui UU dalam memberikan sarana prasarana maupun pendidikan
kepada para penyandang disabilitas atau anak berkebutuhan khusus, salah satunya dalam hal
pendidikan bagi penyandang disabilitas di Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah RI
Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa yang menjelaskan bahwa peserta didik
penyandang disabilitas disediakan tiga jenis lembaga pendidikan, yakni: Sekolah Luar Biasa
(SLB) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu.

Seiring berkembangnya zaman, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20


tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di dalam pasal 32 pada ayat 1 dan 2 menjelaskan
bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran diakibatkan kelainan fisik, emosional, mental,
social dan memiliki kecerdasan atau bakat yang istimewa. Selain perhatian pendidikan
pemerintah juga memperhatikan layanan khusus bagi peserta didik di daerah terpencil, resiko
bencana baik sosial maupun alam serta hambatan dalam hal ekonomi. Undang undang ini tentu
memberikan metamorfosa dalam penyediaan pendidikan bagi peserta didik penyandang
disabilitas.

Pada tahun 2009 dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas)


RI nomor 70 Tahun 2009 yang menyebutkan tentang layanan pendidikan inklusif. Hal ini
merupakan terobosan yang perlu diapresiasi dengan adanya bentuk penyelenggaraan pendidikan
inklusif yang bertujuan untuk memberikan kesempatan hak yang sama dan mewujudkan
penyelenggaraan pendidikan dalam menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif kepada
anak-anak penyandang disabilitas. Salah satu kota yang mengapresiasi mengenai kebijakan
pemerintah mengenai adanya UU tersebut yaitu Kota Banjarmasin, kota yang sudah
mencanangkan sebagai kota Inklusi dan mempunyai regulasi untuk memberikan perlindungan
dan pemenuhan hak penyandang disabilitas sejak bulan Oktober 2013, dengan disahkan
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin No. 9 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak
Penyandang Disabilitas. Menurut (Saadah. 2016: 197) kota yang sudah mencanangkan sebagai
kota inklusi saja masih banyak mengalami eklusi.

Pada bulan Maret tahun 2016, Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang No. 8
tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dengan tujuan memberikan penghormatan,
perlindungan, pemenuhan dan promosi hak penyandang disabilitas sebagai manusia utuh yang
bermartabat. Undang-undang yang berisi 13 Bab dan 153 pasal dengan memuat 22 hak dan
ditambah denga 2 hak khusus yaitu tentang perempuan dengan disabilitas dan anak dengan
disabilitas. Undang-undang yang mengamanatkan implementasi secara penuh dan memberikan
tanggungjawab kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk dapat melaksanakannya.

B. Evaluasi
Keberhasilan pendidikan inklusi tentu perlu adanya daya dukung dari pemerintah dalam
memfasilitasi ketersediaan sumber daya manusia sebagai tenaga pendidik maupun sarana
prasarana. Menurut (Rix,J. 2013:386) menjelaskan Planning for inclusion and for the use of
resources supporting inclusion is required at all levels and needs to be responsive to the plans
coming up from the child, class and school. As wasevident in both Italy and Norway, more
localised control allowed more exible management of resources, in a way that could be more
responsive to the school context. Dengan demikian, perlunya responsive terhadap sumber daya
yang mendukung inklusi di semua tingkat, sehingga pengelolaan sumber daya yang lebih
fleksibel, dengan cara yang bisa lebih responsif terhadap konteks sekolah.

Selain itu ada menurut (Suyanto & Mudjito AK.2012: 39) beberapa hal yang harus mendapat
perhatian dalam pelaksanaan pendidikan inklusif ini:

1. Sekolah harus menyediakan kondisi kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima
keanekaragaman dan menghargai perbedaan dengan menerapkan kurikulum dan
pembelajaran yang interaktif.
2. Guru dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya alam lain dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
3. Guru dituntut melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses pendidikan.
4. Kepala sekolah dan guru yang nanti akan jadi Guru Pembimbing Khusus (GPK), harus
mendapatkan pelatihan bagaimana menjalankan sekolah inklusi.
5. GPK harus mendapatkan pelatihan teknis memfasilitasi anak ABK.
6. Asesmen di sekolah dilakukan untuk mengetahui ABK dan tindakan yang diperlukan.
Mengadakan bimbingan khusus, atas kesalahpahaman dan kesepakatan dengan orang
tua ABK.
7. Mengidentifikasi hambatan berkait dengan kelainan fisik, social, dan maslah lainnya
terhadap akses dan pembelajaran.
8. Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu
pendidikan bagi semua anak.

Kesimpulan

Pendidikan Inklusi merupakan program pemerintah yang perlu diapresiasi dan


dikedepankan, pendidikan yang bermuatan pada nilai-nilai kesetaraan, hak asasi dan
kemanusiaan yang diwujudkan dalam bentuk kerangka pendidikan. Berbagai upaya kebijakan
pemerintah dalam merememenuhi hak yang sama kepada penyandang disabilitas pun telah
dilakukan, hal ini terlihat dari pembaharuan UU hingga pelaksanaan program yang masih
berjalan saat ini, namun implementasi kebijakan yang telah dilakukan pemerintah masih banyak
menimbulkan isu-isu baru yang lahir, hal inilah yang perlu dilakukan disikapi lebih lanjut dan
membutuhkan upaya ekstra dalam melahirkan kebijakan khusus untuk tercapainya tujuan dari
program pemerintah khususnya dalam layanan pendidikan inklusif. Dalam model pembelajaran
inklusif, kurikulumnya perlu menyesuaikan dengan kebutuhan anak, bukan sebaliknya. Kesiapan
dari penyelenggara pendidikan dalam hal tenaga pendidik pun perlu adanya pembekalan secara
masiv dan berkelanjutan sehingga sekolah dapat menerapkan program pemerintah dengan tepat
dan benar.
Referensi

Jurnal:

Saadah, N.A. (2016). Kebijakan Responsif Disabilitas. Jurnal Palastren, vol.9(1), hlm 197

Rix, J., Sheehy,K., Fletcher,F., Campbell., Crisp, M., & Harper,A. (2013). Exploring Provision
for Children Identified with Special Educational Needs: an International Review of
Policy and Practice. European Journal of Special Need Education, 28:4, 375-391, DOI:
10.1080/08856257.2013.812403

Buku:

Suyanto & Mudjito. AK. (2012). Masa Depan Pendidikan Inklusif. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar.Jakarta

Internet:

Puspito, P.(2015). Kebijakan Pendidikan Inklusi di Indonesia. Diakses tanggal 21 Februari 2015
dari http://pepenk26.blogspot.co.id/2015/02/kebijakan-pendidikan-inklusi-di.html.

Tim Pengembangan Website JDIH Pemerintah Kota Banjarmasin. (2017). Penguatan Forum
Skpd Peduli Disabilitas Kota Banjarmasin Dan Sosialisasi Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas Serta Baksos. Dari
http://jdih.banjarmasinkota.go.id/berita.php?id=44

Anda mungkin juga menyukai