Anda di halaman 1dari 27

TUGAS KELOMPOK 2

ALIRAN FILSAFAT IDEALISME DAN EKSISTENSIALISME


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Sugiyo, M.Si

Prof. Dr. Dwi Yuwono Puji Sugiharto, M.Pd,Kons

Disusun oleh:

Aldi Ihsandi (0106520010)


Nuning Irhamna (0106520012)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2020
KATA PENGANTAR

Assalaamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

Alhamdulillaahirabbil ‘aalamin. Puji syukur kami panjatkan kehadirat


Allah swt., yang telah melimpahkan kasih sayang-Nya sehingga kami masih
diberi kesempatan menyelesaikan makalah kelompok yang berjudul “Aliran
Filsafat idealisme dan eksistensialisme” dalam rangka memenuhi tugas mata
kuliah Filsafat Pendidikan. Sholawat beriring salamnya Allah swt., semoga tetap
terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad saw., yang kita nanti-nantikan
syafaatnya kelak dihari akhir. Aamiin.

Kami ucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Filsafat


Pendidikan, Prof. Dr. Dwi Yuwono Puji Sugiharto, M.Pd,Kons dan Prof. Dr.
Sugiyo, M.Si yang telah memberikan tugas kelompok ini, tentunya dengan tugas
ini kami diberikan kesempatan untuk belajar menyajikan materi dengan baik.
Kami ucapkan terimakasih pula kepada beliau atas bimbingan dan arahannya
dalam proses kegiatan perkuliahan mata kuliah Filsafat pendidikan. Semoga Allah
swt., membalas kebaikan beliau. Aamiin.

Selanjutnya kami menyadari keterbatasan kami dalam menyajikan materi


ini dan tentunya masih banyak kekurangan dan kekeliruan. Oleh sebab itu kami
nantikan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk kebaikan
dalam penulisan makalah selanjutnya. Akhirnya semoga makalah ini dapat
bermanfaat. Aamiin yaa rabbal’aalamiin.

Wassalaamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

Semarang, 8 November 2020

Kelompok 2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filsafat pendidikan merupakan hasil pemikiran dan perenungan secara

mendalam sampai ke akar-akarnya mengenal pendidikan. Para filsuf melalui

karya filsafat pendidikannya, berusaha menggali ide-ide baru tentang pendidikan,

yang menurut pendapatnya lebih tepat ditinjau dari kewajaran keberadaan peserta

didik dan pendidik maupun ditinjau dari latar geografis, sosiologis, dan budaya

suatu bangsa. Dari sudut pandang keberadaan manusia akan menimbulkan aliran

Perenialis, Realis, Empiris, Naturalis, dan Eksistensialis. Sedangkan dari sudut

geografis, sosiologis, dan budaya akan menimbulkan aliran Esensialis,

Tradisionalis, Progresivis, dan Rekonstruksionis.

Berbagai aliran filsafat pendidikan tersebut di atas, memberi dampak

terciptanya konsep-konsep atau teori-teori pendidikan yang beragam. Masing-

masing konsep akan mendukung masing-masing filsafat pendidikan itu. Dalam

memangun teori-teori pendidikan, filsafat pendidikan juga mengingatkan agar

teori-teori itu diwujudkan di atas kebenaran berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan.

Dengan kata lain, teori-teori pendidikan harus disusun berdasarkan hasil-hasil

penelitian ilmiah.

1.2 Rumusan Masalah

1. Filsafat pendidikan aliran idealisme?

2. Filsafat pendidikan aliran eksitensialisme?


BAB II

PEMBAHASAN

Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, yang berarti bahwa

filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan

menggunakan hasil-hasil kajian dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia

tentang realitas, pengetahuan, dan nilai, khususnya yang berkaitan dengan praktek

pelaksanaan pendidikan. Dalam filsafat pendidikan terdapat berbagai aliran sesuai

dengan aliran yang terdapat dalam filsafat. Tinjauan filsafat dapat berwujud

sebagai upaya penemuan kongruensi antara aliran-aliran filsafat pendidikan

dengan filsafat pancasila. Berikut ini akan diuaraikan berbagai aliran filsafat

pendidikan yang menjelaskan tentang pengkajian terhadap fenomena atau gejala

dan eksistensi manusia dalam pengembangan hidup dan kehidupannya dalam

alam dan lingkungannya yang tercakup dalam eksistensialisme, progresivisme,

perenialisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme (Edward dan Yusnadi, 2015:

18-19).

2.1 Filsafat Pendidikan Aliran Idealisme

A. Esensi Aliran Idealisme

Idealisme termasuk aliran filsafat pada abad modern. Idealisme berasal

dari bahasa Inggris yaitu Idealism dan kadang juga dipakai

istilahnya mentalism atau imaterialisme. Istilah ini pertama kali digunakan

secara filosofis oleh Leibnez pada mula awal abad ke-18. Leibniz memakai dan

menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, secara bertolak belakang dengan

materialisme Epikuros. Idealisme ini merupakan kunci masuk hakekat realitas.


Idealisme diambil dari kata ide yakni sesuatu yang hadir dalam jiwa.

Idealisme dapat diartikan sebagai suatu paham atau aliran yang mengajarkan

bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan

roh. Menurut paham ini, objek-objek fisik tidak dapat dipahami terlepas dari

spirit. Ada pendapat lain yang mengatakan, idealisme berasal dari bahasa

latin idea, yaitu gagasan, ide. Sesuai asal katanya menekankan gagasan, ide, isi

pikiran, dan buah mental. Terdapat aliran filsafat yang beranggapan, yang ada

yang sesungguhnya adalah yang ada dalam budi, yang hadir dalam mental. Karena

hanya yang berbeda secara  demikian yang sempurna, utuh, tetap, tidak berubah

dan jelas. Itu semua adalah idealisme.

William E. Hocking, seorang penganut idealisme modern,

mengungkapkan bahwa, sebutan ”ide-isme” kiranya lebih baik dibandingkan

dengan idealisme. Hal itu benar, karena idealisme lebih berkaitan dengan konsep-

konsep “abadi” (ideas), seperti kebenaran, keindahan, & kemuliaan daripada

berkaitan dengan usaha serius dengan orientasi keunggulan yang bisa

dimaksudkan ketika kita berucap, “Dia sangat idealistik”. Idealisme mempunyai

pendirian bahwa kenyataan itu terdiri dari atau tersusun atas substansi

sebagaimana gagasan-gagasan atau ide-ide. Alam fisik ini tergantung dari jiwa

universal atau Tuhan, yang berarti pula bahwa alam adalah ekspresi dari jiwa

tersebut.

Inti dari Idealisme adalah suatu penekanan pada realitas ide-gagasan,

pemikiran, akal-pikir atau kedirian daripada sebagai suatu penekanan pada objek-

objek & daya-daya material. Idealisme menekankan akal pikir (mind) sebagai hal

dasar atau lebih dulu ada bagi materi, & bahkan menganggap bahwa akal pikir
adalah sesuatu yang nyata, sedangkan materi adalah akibat yang ditimbulkan oleh

akal-pikir atau jiwa (mind). Hal itu sangat berlawanan dengan materialisme yang

berpendapat bahwa materi adalah nyata ada,  sedangkan akal-pikir (mind) adalah

sebuah fenomena pengiring.

B. Hakikat dalam Aliran Idealisme

1) Ontologi-idealisme

     Aliran idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme berarti serba cita

sedang spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu

sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan

yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya,

yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu

hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani. Alasan aliran ini yang

menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:

 Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi

kehidupoan manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya.

Sehingga materi hanyalah badannya bayangan atau penjelmaan.

 Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.

 Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada,

yang ada energi itu saja.

·         Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran plato (428-348

SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada

idenya, yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati
ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idealah yang

menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.

     George Knight mengemukakan bahwa realitas bagi idealism adalah dunia

penampakan yang ditangkap dengan panca indera dan dunia realitas yang

ditangkap melalui kecerdasan akal pikiran (mind). Dunia akal pikir terfokus pada

ide gagasan yang lebih dulu ada dan lebih penting daripada dunia empiris indrawi.

Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa ide gagasan yang lebih dulu ada

dibandingkan objek-objek material, dapat diilustrasikan dengan kontruksi sebuah

kursi. Para penganut idealisme berpandangan bahwa seseorang haruslah

telah mempunyai ide tentang kursi dalam akal pikirannya sebelum ia dapat

membuat kursi untuk diduduki. Metafisika idealisme nampaknya dapat

dirumuskan sebagai sebuah dunia akal pikir kejiwaan. Uraian di atas dapat

dipahami bahwa meskipun idealism berpandangan yang terfokus pada dunia ide

yang bersifat abstrak, namun demikian ia tidak menafikan unsur materi yang

bersifat empiris indrawi. Pandangan idealisme tidak memisahkan antara sesuatu

yang bersifat abstrak yang ada dalam tataran ide dengan dunia materi. Namun

menurutnya, yang ditekankan adalah bahwa yang utama adalah dunia ide, karena

dunia materi tidak akan pernah ada tanpa terlebih dulu ada dalam tataran ide.

2) Epistimologi-idealisme

     Kunci untuk mengetahui epistemologi idealisme terletak pada metafisika

mereka. Ketika idealisme menekankan realitas dunia ide dan akal pikiran dan

jiwa, maka dapat diketahui bahwa teori mengetahui (epistemologi)nya pada

dasarnya adalah suatu penjelajahan secara mental mencerap ide-ide, gagasan dan
konsep-konsep. Dalam pandangannya, mengetahui realitas tidaklah melalui

sebuah pengalaman melihat, mendengar atau meraba, tetapi lebih sebagai tindakan

menguasai ide sesuatu dan memeliharanya dalam akal pikiran. Berdasarkan itu,

maka dapat dipahami bahwa pengetahuan itu tidak didasarkan pada sesuatu yang

datang dari luar, tetapi pada sesuatu yang telah diolah dalam ide dan pikiran.

Idealisme, proses untuk mengetahui dapat dilakukan dengan mengenal

atau mengenang kembali ide-ide tersembunyi yang telah terbentuk dan telah ada

dalam pikiran. Dengan mengenang kembali, pikiran manusia dapat menemukan

ide-ide tentang pikiran makrokosmik dalam pikiran yang dimiliki séseorang. Jadi,

pada dasarnya mengetahui itu melalui proses mengenal atau mengingat,

memanggil dan memikirkan kembali ide-ide yang tersembunyi atau tersimpan

yang sebetulnya telah ada dalam pikiran. Apa yang akan diketahui sudah ada

dalam pikiran. Kebenaran itu berada pada dunia ide dan gagasan. Beberapa

penganut idealisme mempostulasikan adanya Akal Absolut atau Diri Absolut

yang secara terus menerus memikirkan ide-ide itu. Berkeley menyamakan konsep

Diri Absolut dengan Tuhan. Dengan demikian, banyak pemikir keagamaan

mempunyai corak pemikiran demikian. Kata kunci dalam epistemologi idealisme

adalah konsistensi dan koherensi. Para penganut idealisme memberikan perhatian

besar pada upaya pengembangan suatu sistem kebenaran yang mempunyai

konsistensi logis. Sesuatu benar ketika ia selaras dengan keharmonisan hakikat

alam semesta. Segala sesuatu yang inkonsisten dengan struktur ideal alam semesta

harus ditolak karena sebagai sesuatu yang salah. Dalam idealisme, kebenaran

adalah sesuatu yang inheren dalam hakikat alam semesta, dan karena itu, Ia telah

dulu ada dan terlepas dari pengalaman. Dengan demikian, cara yang digunakan
untuk meraih kebenaran tidaklah bersifat empirik. Penganut idealisme

mempercayai intuisi, wahyu dan rasio dalam fungsinya meraih dan

mengembangkan pengetahuan. Metode-metode inilah yang paling tepat dalam

menggumuli kebenaran sebagai ide gagasan, dimana ia merupakan pendidikan

epistemologi dasar dari idealisme.

3) Aksiologi-idealisme

     Aksiologi idealisme berakar kuat pada cara metafisisnya. Menurut George

Knight, jagat raya ini dapat dipikirkan dan direnungkan dalam kerangka

makrokosmos (jagat besar) dan mikrokosmos (jagat kecil). Dari sudut pandang

ini, makrokosmos dipandang sebagai dunia Akar Pikir Absolut, sementara bumi

dan pengalaman-pengalaman sensori dapat dipandang sebagai bayangan dari apa

yang sejatinya ada. Dalam konsepsi demikian, tentu akan terbukti bahwa baik

kriteria etik maupun estetik dari kebaikan dan kemudahan itu berada di luar diri

manusia, berada pada hakikat realitas kebenaran itu sendiri dan berdasarkan pada

prinsip-prinsip yang abadi dan baku. Dalam pandangan idealisme, kehidupan etik

dapat direnungkan sebagi suatu kehidupan yang dijalani dalam keharmonisan

dengan alarm (universe). Jika Diri Absolut dilihat dalam kacamata makrokosmos,

maka diri individu manusia dapat diidentifikasi sebagai suatu diri mikrokosmos.

Dalam kerangka itu, peran dari individual akan bisa menjadi maksimal mungkin

mirip dengan Diri Absolut. Jika Yang Absolut dipandang sebagai hal yang paling

akhir dan paling etis dari segala sesuatu, atau sebagai Tuhan yang dirumuskan

sebagai yang sempurna sehingga sempurna pula dalam moral, maka lambang

perilaku etis penganut idealisme terletak pada "peniruan" Diri Absolut. Manusia
adalah bermoral jika ia selaras dengan Hukum Moral Universal yang merupakan

suatu ekspresi sifat dari Zat Absolut.

4) Humanologi-idealisme

Jiwa dikaruniai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya

kemampuan memilih. Demikian kemanusiaan merupakan bagian dari ide

mutlak, Tuhan sendiri. Idea yang berpikir sebenarnya adalah gerak yang

menimbulkan gerak lain. Gerak ini menimbulkan tesis yang dengan sendirinya

menimbulkan gerak yang bertentangan, anti tesis. Adanya tesis dan anti tesisnya

itu menimbulkan sintesis dan ini merupakan tesis baru yang dengan sendirinya

menimbulkan anti tesisnya dan munculnya sintesis baru pula.

C. Implikasi dalam Pendidikan

Untuk melihat implikasi filsafat idealisme dalam bidang pendidikan, dapat

ditinjau dari modus hubungan antara filsafat dan pendidikan. Imam Barnadib

mengemukakan bahwa pada hakikatnya, hubungan antara filsafat dan pendidikan

merupakan hubungan keharmonisan, bukan hanya hubungan insidental semata.

Lebih lanjut Imam Barnadib mengemukakan bahwa untuk memahami filsafat

pendidikan, perlu dilihat pendekatan mengenai apa dan bagaimana filsafat

pendidikan. Menurutnya, pendekatan itu dapat dilihat melalui beberapa sudut

pandang.

Salah satu sudut pandang tersebut adalah bahwa filsafat pendidikan dapat

tersusun karena adanya hubungan linier antara filsafat dan pendidikan. Sebagai

contoh, sejumlah aliran filsafat dapat dihubungkan sedemikian rupa menjadi

filsafat pendidikan. Realisme dan pendidikan menjadi filsafat pendidikan


realisme. Pragmatisme dan pendidikan menjadi filsafat pendidikan pragmatisme.

Idealisme dan pendidikan menjadi filsafat pendidikan idealisme. Dalam konteks

inilah, idealisme yang menjadi kajian artikel ini menjadi relevan ketika

dihubungkan dengan masalah pendidikan. Filsafat pendidikan idealisme dapat

ditinjau dari tiga cabang filsafat yaitu ontologi sebagai cabang yang merubah atas

teori umum mengenai semua hal, epistemologi yang membahas tentang

pengetahuan serta aksiologi yang membahas tentang nilai.

Ontologi dari filsafat pendidikan idealisme menyatakan bahwa kenyataan

dan kebenaran itu pada hakikatnya adalah ide-ide atau hal-hal yang berkualitas

spiritual. Oleh karena itu, hal pertama yang perlu ditinjau pada peserta didik

adalah pemahaman sebagai makhluk spritual dan mempunyai kehidupan yang

bersifat ontologis dan idealistik. Dengan demikian pendidikan bertujuan untuk

membimbing peserta didik menjadi makhluk yang berkepribadian, bermoral serta

mencitacitakan segala hal yang serba baik dan bertaraf tinggi.

Aspek epistemologi dari idealisme adalah pengetahuan hendaknya

bersifat ideal dan spritual yang dapat menuntun kehidupan manusia pada

kehidupan yang lebih mulia. Pengetahuan tersebut tidak semata-mata terikat pada

hal-hal fisik, tetapi nengutamakan yang bersifat spritual. Sedangkan aspek

aksiologi pada idealisme menempatkan nilai pada dataran yang bersifat tetap dan

idealistik. Artinya pendidik hendaknya tidak menjadikan peserta didik terombang

ambing oleh sesuatu yang bersifat relatif atau temporer.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa pandangan umum filsafati

idealisme yang berangkat dari hal-hal yang bersifat ideal dan spritual, sangat

menentukan cara pandang ketika memasuki dunia pendidikan. Dengan kata lain
bahwa hal-hal yang bersifat ideal dapat menentukan pandangan dan pemikiran

terhadap berbagai hal dalam pendidikan yaitu dari segi tujuan, materi, pendidik,

peserta didik dan hakikat pendidikan secara keseluruhan. Untuk melihat implikasi

idealisme lebih lanjut, maka berikut ini akan ditelaah aspek-aspek pendidikan

dalam tinjauan filsafat idealisme, meliputi peserta lidik, pendidik, kurikulum,

metode pendidikan, tujuan pendidikan dan pandangannya terhadap sekolah.

1. Peserta Didik atau anak didik

Bagi idealisme, peserta didik dipandang sebagai suatu diri mikrokosmis

jagat kecil yang berada dalam proses "becoming" menjadi lebih mirip dengan Diri

Absolut. Dengan kata lain bahwa diri individual, dalam hal ini peserta didik,

adalah suatu eksistensi dari Diri Absolut. Oleh karenanya Ia mempunyai sifat-sifat

yang sama dalam bentuk yang belum teraktualkan atau dikembangkan. Aspek

yang paling penting dari peserta didik adalah inteleknya yang merupakan akal

pikir mikrokosmik. Pada dataran akal pikirlah, usaha serius pendidikan harus

diarahkan, karena pengetahuan yang benar dapat dicapai hanya melalui akal pikir.

Kalangan idealisme melihat anak didik sebagai seseorang yang mempunyai

potensi untuk tumbuh, baik secara moral maupun kognitif. Para idealis cenderung

melihat seorang anak didik sebagai individu yang mempunyai nilai-nilai

moralitas.

Oleh karena itu, pendidikan berfungsi untuk rnengembangkannya kearah

kepribadian yang sempurna. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa anak didik

harus dipandang sebagai individu yang memiliki potensi akal pikir dan potensi

moral. Potensi inteleknya dikembangkan sehingga memiliki pengetahuan yang


benar, dan potensi moralnya diaktualkan agar ia memiliki kepnibadian yang utama

sebagai manusia yang bermoral.

2. Pendidik atau guru.

Guru menempati posisi yang sangat krusial, sebab gurulah yang melayani

murid sebagai contoh hidup dari apa yang kelak bisa dicapainya. Sang guru

berada pada posisi yang lebih dekat dengan yang Absolut dibandingkan murid,

karena ia mernpunyai pengetahuan lebih tentang dunia. la punya pengetahuan

lebih tentang realitas sehingga mampu bertindak sebagai perantara antar diri anak

didik dan diri yang Absolut. Peran guru adalah rmenjangkau pengetahuan tentang

realitas dan menjadi teladan keluhuran etis. la adalah pola panutan bagi para

murid untuk diikuti baik dalam kehidupan intelektual maupun sosial.

Untuk menjalankan fungsinya tersebut secara baik, maka menurut mazhab

idealisme, guru hanus memiliki beberapa syarat untuk menjadi guru yang ideal.

Menurut J. Donald Butler, kriteria tersebut adalah guru harus (1) rnewujudkan

budaya dan realitas dalam diri anak didik (2) menguasai kepribadian manusia (3)

ahli dalam proses pembelajaran (4) bergaul secara wajar dengan anak didik (5)

membangkitkan hasrat anak didik untuk belajar (6) sadar bahwa manfaat secara

moral dari pengajaran terletak pada tujuan yang dapat menyempurnakan manusia

dan (7) mengupayakan lahirnya lagi budaya dari setiap generasi.

Dari uraian di atas jelas bahwa guru sangat menanamkan peran penting

dalam pendidikan dan pengajaran. Dalam mendidik, guru berperan sebagai tokoh

sentral dan model di mana keberadaannya menjadi panutan bagi anak didiknya.

Dengannya, anak didik menjadi punya pegangan. Sebagai model bagi anak

didiknya, guru harus menghargai anak didiknya dan membantunya untuk


menyadari kepribadian yang mereka miliki. Dengan demikian idealisme rupanya

menempatkan sosok guru menjadi posisi sentral yang selalu mengarahkan anak

didiknya.

3. Kurikulum

Materi pembe!ajaran (subject matter) idealisme dapat dilihat dari sudut

pandang epistemologinya. Jika kebenaran adalah ide gagasan, maka kurikulum

harus disusun di seputar materi-materi kajian yang mengantar anak didik bergelut

langsung dengan ide dan gagasan. Karena itu, kurikulum bagi penganut idealisme

menekankan pandangan humanitis. Bagi banyak penganut idealisme, kajian tepat

tentang "kemanusiaan" adalah manusia. Bagi idealisme, kurkulum merupakan

organ materi intelektual atau disiplin keilmuan yang bersifat ideal dan konseptual.

Sistem konseptual yang bervariasi tersebut menjelaskan dan didasarkan pada

manifestasi khusus dari yang Absolut.

4. Metodologi Pengajaran

Dalam proses pembelajaran, kata-kata tertulis maupun terucap merupakan

metode yang digunakan oleh penganut idealisme. Melalui kata-katalah ide dan

gagasan dapat beralih dari suatu akal pikir menuju akal pikir lainnya. Tujuan dan

metode ini dapat dirumuskan sebagai penyerapan ide dan gagasan. Metodologi

guru di ruang kelas sering kali dilihat dalam bentuk lecturing (penyampaian

kuliah) dengan pengertian pengetahuan ditansfer dari guru ke murid. Guru juga

menyelenggarakan diskusi kelas sehingga ia dan muridnya dapat menangkap ide-

ide dan gagasan dari berhagai bacaan dan perkuliahan.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa metode pengajaran dalam

pandangan idealisme salah satunya adalah penyampaian melalui uraian kata-kata,


sehingga materi yang diberikan ke anak didik terkesan verbal dan abstrak. Atas

dasar itu, maka idealisme rupanya kurang punya gairah untuk melakukan kajian-

kajian yang langsung bersentuhan dengan objek fisik, karena dalam

pandangannya kegiatan-kegiatan tersebut berkaitan dengan bayang-bayang

inderawi daripada realitas puncak.

5. Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan menurut idealisme adalah mendorong anak didik untuk

mencari kebenaran. Mencari kebenaran dan hidup dalam kebenaran tersebut

berarti bahwa individu-individu pertama kali harus mengetahui kebenaran

tersebut. Pendidikan idealisme mempunyai tujuan yaitu merubah pribadi untuk

menuju Tuhan, bersikap benar dan baik.

Sementara itu Ali Maksum mengatakan bahwa tujuan pendidikan

idealisme adalah membentuk anak didik agar menjadi manusia yang sempurna

yang berguna bagi masyarakatnya. la mengutip Brameld bahwa pendidikan adalah

self development of mind as spritual subtance. Pendidikan dalam pandangan ini

lebih menekankan pada pengkayaan pengetahuan (transfer of knowladge) pada

anak didik. Lembaga pendidikan harus membekali pengetahuan, teori-teori dan

konsep-konsep tanpa harus memperhitungkan tuntutan dunia praktis (kerja dan

industri). Idealisme yakni, kalau anak didik itu menguasai berbagai pengetahuan

maka mereka tidak akan kesulitan menghadapi hidup.

D. Implikasi dalam Bimbingan dan Konseling

Idealisme merupakan faham filsafat yang mengakui adanya dunia ide di

samping dunia riil dimana sekarang kita berada. Dunia ide ini merupakan dunia

rohani, spiritual yang bersifat abadi, sedang dunia riil merupakan dunia materi
yang dapat diamati dengan indra, dunia ini bersifat fana. Kehidupan di dunia riil

bersifat sementara, serta terbatas. Sedang dunia ide bersifat kekal, tidak lagi

terbatas oleh ruang dan waktu.

Para idealis mengakui adanya nilai-nilai abadi yang bersifat mutlak, baik

nilai nilai moral (etika) maupun nilai nilai kultural (estetika). Tujuan kehidupan

manusia adalah mencari kebenaran dan kebahagiaan spiritual yang abadi yakni

dunia ide. Bimbingan konseling diarahkan pada pengembangan anak dan remaja

agar menguasai nilai-nilai, hidup sejalan dengan nilai-nilai moral dan estetika.

Bimbingan dan Konseling berfungsi membantu anak-anak dan remaja dalam

memahami kebahagiaan abadi, membantu menyiapkan diri dalam mencapai

kehidupan abadi.

2.2 Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

Eksistensi berarti keberadaan, akan tetapi di dalam filsafat eksistensialisme

istilah eksistensi memiliki arti tersendiri. Eksistensialisme adalah aliran filsafat

yang berpendapat bahwa manusia sadar terhadap keberadaannya sendiri bahwa

setiap manusia bebas dalam bertindak, menciptakan, memilih secara tanggung

jawab. Eksistensialisme salah satu aliran filsafat  yang menyakini bahwa

kebenaran ada pada kebebasan dirinya dan menolak untuk mengikuti aliran,

kepercayaan, serta sistem. Sehingga, menurut Eksistensialisme kebenaran itu

bersifat relatif yang dapat berubah pada lain waktu. Karena setiap individu bebas

memilih apa yang menurutnya benar.

Menurut Callahan, 1983 (dalam Pidarta, 2007:93-94) filsafat pendidikan

eksistensialis berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau


adanya individu manusia itu sendiri. Adanya manusia di dunia ini tidak punya

tujuan dan kehidupan menjadi terserap karena ada manusia. Manusia adalah

bebas. Akan menjadi apa orang itu ditentukan oleh keputusan dan komitmennya

sendiri.

Seseorang akan menjadi tahu tentang sesuatu melalui pengalaman. Hal itu

bergantung pada tingkat kesadaran masing-masing untuk mencari pengalaman.

Kebenaran menurut mereka adalah relatif bergantung kepada keputusan mereka

masing-masing. Begitu pula nilai-nilai ditentukan oleh setiap individu. Orang

tidak perlu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai sosial agar eksistensinya tidak

hilang.

Ada beberapa pandangan penganut filsafat ini sehubungan dengan

eksistensi, yakni:

a. Eksistensi adalah cara manusia berada. Hanya manusialah yang

bereksistensi, manusialah sebagai pusat perhatian, sehingga bersifat

humanistis.

b. Bereksistensi tidak statis tetapi dinamis, yang berarti menciptakan dirinya

secara aktif, merencanakan,berbuat dan menjadi.

c. Manusia dipandang selalu dalam proses menjadi belum selesai dan terbuka

serta realistis. Namun demikian manusia terikat dengan dunia sekitarnya

terutama sesama manusia (Edward dan Yusnadi, 2015: 28 ).

Pendidikan menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran

individu, memberi kesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong

pengembangan pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan

mengembangkan komitmen diri. Materi pelajaran harus memberi kesempatan


aktif sendiri, merencana dan melaksanakan sendiri, baik dalam bekerja sendiri,

maupun kelompok. Materi yang dipelajari ditekankan kepada kebutuhan langsung

dalam kehidupan manusia. Peserta didik perlu mendapatkan pengalaman sesuai

dengan perbedaan-perbedaan individual mereka. Guru harus bersifat demokratis

dengan teknik mengajar tidak langsung (Pidarta, 2007:94).

B. Hakikat Eksistensialisme

1) Kajian Ontologi

Masalah ontologis dalam pandangan eksistensialisme berkaitan erat

dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai, yang erat kaitannya dengan

landasan fiolosofis pendidikan yang menjadi acuan perumusan tujuan yang lebih

umum. Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu

mengembangkan semua  potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu

memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan

dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti

dan ditentukan berlaku secara umum.

Pemikiran filsafat ekisistensialisme menyebutkan bahwa manusia

memiliki keberadaan yang unik dalam dirinya berbeda antara manusia satu

dengan manusia lainnya. Dalam hal ini telaah manusia diarahkan pada

individualitas manusia sebagai unit analisisnya. Dan berfokus pada pengalaman-

pengalaman individu yang diantaranya: a) berkaitan dengan hal-hal esensial atau

mendasar yang seharusnya manusia tahu dan menyadari sepenuhnya tentang dunia

dimana mereka tinggal dan juga bagi kelangsungan hidupnya; b) menekankan

data fakta dengan kurikulum bercorak vokasional; c) konsentasi studi pada materi-

materi dasar tradisional sperti membaca, menulis, sastra, bahasa asing,


matematika, sejarah, sains, seni dan music; d) pola orientasinya pada skill dasar

menuju skill yang bersifat semakin kompleks; e) perhatian pada pendidikan yang

bersifat menarik dan efisien; f) yakin pada nilaipengetahuan untuk kepentingan

pengetahuan itu sendiri; g) disiplin mental diperlukan untuk mengkaji informasi

mendasar tentang dunia yang dialami.

Secara umum eksistensialisme menekankan pada kreatifitas, subjektifitas

pengalaman manusia dan tindakan konkret dari keberadaan manusia atas setiap

skema rasional untuk hakekat manusia atau realita. Eksistensialisme lebih

memperhatikan pemahaman makna dan tujuan hidup manusia ketimbang

melakukan pemahaman terhadap kajian-kajian ilmiah dan metafisika tentang alam

semesta. Kebebasan individu sebagai milik manusia adalah sesuatu yang paling

utama karena individu memiliki sikap hidup, tujuan hidup dan cara hidup sendiri. 

Jadi, filsafat pendidikan eksistensialisme yaitu filsafat yang memberikan

kebebasan kepada setiap individu untuk mendapatkan pendidikan secara otentik

yang artinya setiap manusia mempunyai tanggungjawab dan kesadaran diri untuk

mereka sendiri.

2) Kajian Epistimologis

Kajian ini berkaitan dengan pengetahuan dan masalah kebenaran. Jika

dikaitkan dengan kurikulum yaitu menjadikan kurikulum yang liberal. Ini

merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Kebebasan memiliki aturan–aturan.

Oleh karena itu di sekolah harus diajarkan pendidikan sosial untuk mengajar

respek rasa hormat terhadap kebasan untuk semua. Proses belajar mengajar
pengetahuan tidak ditumpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadi hubungan

antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog.

Filsafat eksistensialis menegaskan bahwa individu bertanggung jawab

untuk menentukan hidupnya sendiri. Dalam banyak cara yang sama, epistemologi

eksistensialis mengasumsikan bahwa individu bertanggung jawab untuk

pengetahuan sendiri. Pengetahuan berasal dan terdiri dari apa yang ada dalam

kesadaran individu dan perasaan sebagai hasil dari pengalaman dan proyek.

Situasi manusia yang terdiri dari komponen baik rasional dan irasional. Validitas

pengetahuan ditentukan oleh nilai dan makna terhadap individu tertentu. Sebuah

epistemologi eksistensialis muncul dari pengakuan bahwa pengalaman manusia

dan pengetahuan bersifat subyektif, personal, rasional, dan irasional.

3) Kajian Aksiologis

Aspek yang ketiga ini berhubungan dengan nilai (etika dan

estetika).  Standar dan prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk

dipilih dan diambil.Etika sebagai tuntunan moral bagi kepentingan pribadi tanpa

menyakiti orang. Nilai  keindahan ditentukan secara individual pada tiap orang

oleh dirinya. Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan

dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya

sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia

mempunyai kebebasan untuk memilih, namun menetukan pilihan-pilihan diantara

pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar yang bertanggung jawab.

Setiap siswa menciptakan dan menjadi pribadi bertanggung jawab untuk

memaknai acara tersebut, mungkin ada baiknya untuk mempertimbangkan


beberapa kemungkinan yang berarti bahwa suatu peristiwa sejarah yang sederhana

mungkin bagi siswa

C. Implikasi dalam Pendidikan

Hidup bagi manusia bukan sekedar hidup sebagaimana hidupnya tumbuhan atau

hewan, melainkan hidup sebagai manusia. Hak hidup bagi manusia

mengimplikasikan hak untuk mendapatkan pendidikan. Sebab hak asasi manusia

diinjak-injak oleh penguasa pemerintahan monarki dan absolutisme. Melalui

pendidikan hak asasi diupayakan agar diperoleh setiap individu.

Power, 1982 (Tim Pengajar, 2009: 92) menjelaskan penerapan filsafat

pendidikan eksistensialisme dalam praktik pelaksanaan pndidikan seperti berikut

ini :

1. Tujuan pendidikan

Pendidikan memberikan bekal pengalaman yang luas dan komperhensif

dalam semua bentuk kehidupan.

2. Status peserta didik

Peserta didik adalah manusia yang rasional, bebas memilih dan

bertanggung jawab atas pilihannya. Membutuhkan komitmen akan

pemenuhan tujuan pribadi.

3. Kurikulum

Kurikulum bersifat liberal, yakni memiliki kebebasan menmilih dan

menentukan aturan-aturan serta pegalaman belajar sesuai dengan minat

dan kebutuhan peserta didik dari kehidupan mereka. Di sekolah dibina

agar terbentukpada diri peserta didik rasa hormat (respek), respek terhadap
kebebasan bagi yang lain seperti dalam dirinya, karena itu diajarkan

pendidikan sosial.

4. Peranan guru

Guru berperan melindungi dan memelihara kebebasan akademik, tidak

jarang terjadi bahwa mungkin suatu hari ini adalah guru, besok lusa

mungkin mejadi peserta didik.

5. Metode

Yang diutamakan dalam praktik pembelajaran adalah pencapaian tujuan

yakni mencapai kebahagiaan dan kepribadian yang baik, sedangkan

metode merupakan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu,

penggunaan metode tidak terlalu dipikirkan secara mendalam.

Contoh pendidikan eksistensialisme yaitu adanya penerapan program

ekstrakurikuler di sekolah. Dalam program ini peserta didik bebas memilih apa

yang menjadi kesenangan dan bakat mereka tanpa adanya paksaan. Dari program

ekstrakurikuler ini peserta didik dapat menunjukkan prestasi dan eksistensinya.

D. Implikasi dalam Bimbingan dan Konseling

Konsep eksistensialisme lebih menekankan pada aspek pribadi dan sosial.

Pendidikan dan bimbingan diarahkan pada menimbulkan perubahan-perubahn

pribadi dan sosial. Bimbingan dan konseling diarahkan pada pengembangan

kepribadian anak agar memiliki secara pribadi maupun sosial. Pemberian layanan

bimbingan ditujukan agar siswa memiliki pemahaman terhadap segala potensi dan

kekuatan dirinya, segala tuntutan dan masalah yang dihadapinya. Tugas para

pembimbing adalah pengembangan semua potensi dan kekuatan anak, agar

mereka menjadi manusia yang sehat dan produktif.


Bagi bangsa indonesia yang menjadi landasan filosofis bimbingan dan

konseling adalah pancasila, yang nilai-nilainya sesuai dengan fitrah manusia

sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat. Maka pembuatan program bimbingan

dan konseling harus merujuk kepada nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila

pancasila tersebut. Pancasila sebagai landasan bimbingan dan konseling

mempunyai implikasi sebagai berikut:

1. Tujuan bimbingan dan konseling harus selaras dan sesuai dengan nilai-nilai

yang terkandung dalam setiap sila pancasila. Dengan demikian tujuan bimbingan

dan konseling adalah memfasilitasi peserta didik agar mampu ; (1)

mengembangkan potensi, fitrah dan jati dirinya sebagai makhluk Tuhan Yang

maha Esa dengan cara mengimani, memahami dan mengamalkan ajaranNya. (2)

mengembangkan sikap-sikap yang positif seperti respek terhadap harkat dan

martabat sendiri dan orang lain, dan bersikap empati. (3) mengembangkan sikap-

sikap kooperatif, kolaboratif, toleransi dan altruis (ta’awun bil ma’ruf) (4)

mengembagkan sikap demokratis, menghargai pendapat orang lain, dan bersikap

mengayomi masyarakat. (5). Mengembangkan kesadaran untuk membangun

bangsa dan negara yang sejahtera dan berkeadilan dalam berbagai aspek

kehidupan (ekonomi, hukum, pendidikan, dan pekerjaan).

2. Konselor seyogyanya menampilkan kualitas pribadi yang sesuai dengan nilai-

nilai pancasila, yaitu beriman dan bertaqwa, bersikap respek terhadap orang lain,

mau bekerja sama dengan orang lain. Bersikap demokratis, dan bersikap adil

terhadap para siswa.


3. Perlu melakukan penataan lingkungan (fisik dan sosial budaya) yang

mendukung twrwujudnya nilai-nilai pancasila dalam kehidupan perorangan

maupun masyarakat pada umumnya. Upaya itu diantaranya: (1) menata kehidupan

lingkungan yang hijau berbunga, bersih dari polusi (2) mencegah dan

memberantas kriminalitas (3) menghentikan tayangan televisi yang merusak nilai

pancasila, seperti tayangan yang merusak akidah, moral masyarakat (4)

mengontrol secara ketat penjualan alat kontrasepsi (5) memberantas korupsi dan

melakukan clean government.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian makalah di atas dapat disimpulkan bahwa aliran filsafat

pendidikan yang kita gunakan dalam proses pembelajaran sangat mempengaruhi

karakter peserta didik kedepannya. Masing-masing aliran memiliki ciri-ciri dan

pengaruh terhadap pendidikan. Filsafat pendidikan eksistensialisme bersifat

humanistis, progresivisme merupakan pendidikan yang berpusat pada peserta

didik, perenialisme merupakan pendidikan yang berpusat pada nilai-nilai luhur

yang kekal dan dianggap kuat untuk menjadi pandangan hidup, esensialisme

merupakan aliran filsafat yang mendukung perenialisme, rekonstruksionisme

adalah aliran pendukung progresivisme yang memfokuskan pendidikan pada

karakter serta sosialisasi peserta didik.

3.2 Saran

Berdasarkan aliran-aliran filsafat pendidikan yang telah dipaparkan dalam

makalah ini diharapkan para pembaca terutama bagi calon pendidik untuk dapat

mengkritisi, memahami, mendalami, dan menerapkan aliran filsafat pendidikan

yang dapat membangun pendidikan yang bermutu.


DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Imam. 1987. Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode. Yogyakarta:

Andi Offset

Gandhi, Teguh. 2013. Filsafat Pendidikan Madzhab-Madzhab Filsafat

Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Gazalba, Sidi.1981.Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang:

Gutek. Gerald L. 1988. Philosophical and Ideological Persfektif on Education,

Chicago: Loyoia University of Chicago:

Horne, Herman., An Idealistic Philosophy of Education dalam, Nelson B.

Henry. 1942. Philosophies of Education, Illmois: University of Chicago

Knight, George R.. 2004. Issues and Alternatives m Education Philosophy, Terj.

Mahmud Arif, Filsafat Pendidikan, Isu-isu Kontemporer dan Solusi

Alternatif, Yogyakarta: Idea Press

Ihsan, A.Fuad. Filsafat Ilmu. 2010. Jakarta: Rineka Cipta

Maksum, Ali., Luluk Yunan Ruhendi. 2004. Paradigma Pendidikan Universal di

Era Modern dan Post Modern, Yogyakarta: IRCiSoD

Muis, Imam. 2004. Pendidikan Partisipatif Menimbang Konsep Fitrah dan

Progresivisme John Dewey. Yogyakarta: Safira Insani Press

Pidarta, made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Purba, Edward & Yusnadi. 2015. Filsafat Pendidikan. Medan: UNIMED PRESS

Sadulloh, Uyoh. 2010. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta, CV

Sudarsono. 1993. Ilmu Filsfat suatu pengantar. Jakarta: Rineka Cipta


Sukmadinata, Nana, Syaodih. 2007. Bimbingan dan Konseling dalam Praktek.

Bandung: Maestro.

Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra,

Bandung: Remaja Rosdakarya

Tim Pengajar. 2009. Diktat Filsafat Pendidikan. Medan: UNIMED

Wahyudin, dkk. 2010. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka

Wreksosuhardjo, sunarjo. 2005. Ilmu Pancasila Yuridis Kenegaraan dan Ilmu

Filsafat Pancasila. Yogjakarta: Andi

Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juntika. 2010. Landasan Bimbingan dan Konseling.

Bandung: Remaja Rosdakarya

Zuhairini. 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai