PEMBAHASAN
Gazda (1984) dalam Mungin (2005:40) membedakan antara konseling kelompok dan
konseling individual, yaitu :
a. Hubungan antara pribadi di dalam konseling. Dalam konseling kelompok
hubungan antara pribadi terjadi antara klien dengan konselor dan antar sesama
klien sendiri. Sedangkan pada konseling individual hubungan antara pribadi
terjadi antar klien dan konselor saja.
b. Tanggung jawab klien. Dalam konseling kelompok, selain klien
bertanggungjawab atas tingkah lakunya sendiri juga ia bertanggungjawab untuk
membantu sesame klien. Proses saling membantu antara klien ini
memungkinkan mereka tidak terlalu tergantung pada konselor. Berbeda dengan
konseling individual dimana klien lebih banyak tergantung pada konselor.
c. Pusat perhatian. Klien – klien dalam konseling kelompok lebih memusatkan
perhatian pada hal – hal yang terjadi di dalam kelompok (here and now).
Sedangkan dalam konseling individual lebih berpusat pada hal – hal yang
terjadi pada “there and then”.
d. Reality testing. Dalam konseling kelompok memberi kesempatan pada klien
untuk mengadakan reality testing terhadap masalah – masalah mereka maupun
perubahan tingkah laku yang ingin dicobanya. Sedagkan pada konseling
individual kemungkinan untuk mengadakan reality testing hanya terbatas
kepada konselor.
e. Insight. Dengan adnya kemungkinan untuk mengadakan reality testing dalam
konseling kelompok maka perubahan tingkah laku sering tanpa disertai insight.
Sedangkan pada konseling individual diperlukan insight sebelum mengadakan
perubahan tingkah laku dalam situasi yang nyata.
f. Suasana dalam situasi konseling kelompok. Adanya suasana permissiveness,
acceptance, support dan tekanan dari kelompok yang dirasakan sukar baginya.
g. Jumlah klien yang dapat dibantu. Konseling kelompok memungkinkan seorang
konselor membantu lebih banyak klien dibandingkan dengan jumlah klien
dalam konseling individual.
Menurut Corey dalam Kurnanto Edi (2013 : 28) para konseli dapat
mendiskusikan persepsi – persepsi mereka satu sama lain dan menerima umpan baik
yang berharga tentang bagaimana mereka dipersepsi kelompok. Kenekaragaman
anggota dalam kelompok ini dapat menghasilkan umpan balik yang kaya bagi para
konseli sehingga bisa melihat diri mereka sendiri melalui mata sejumlah orang.
Sebaliknya, dalam konseling individual interaksi yang terjadi terbatas hanya antara
konselor dan konseli. Dalam suasana interaksi semacam ini, konselor berperan
sebagai satu – satunya sumber yang bisa saling berbagi informasi dan pengalaman
dengan konseli.
Rasa untuk memiliki merupakan kebutuhan manusia yang kuat. Kebutuhan ini
dapat terpenuhi sebagian bila seseorang berada dalam kelompok. Para anggota
konseling kelompok akan saling mengidentifikasi satu sama lain sehingga akhirnya
mereka merasa sebagai bagian dari keseluruhan kelompok.
Yalom (1985) dan Corey (1990) dalam Kurnanto Edi (2013:30) menjelaskan
bahwa “memandang kelompok sebagai microcosm bagi para anggotanya.” Terutama,
menurut Corey, bila kelompok itu terdiri dari anggota yang bervariasi dalam hal usia,
minat, latar belakang, status sosial ekonomi, dan tipe masalah. Dengan demikian
kelompok konseling bisa menjadi suatu arena untuk mempraktekan berbagai
keterampilan dan perilaku sosial secara aman. Para konseli bisa mempraktekan
keterampilan – keterampilan dan perilaku – perilaku baru yang telah mereka pelajari
dalam suatu kondisi lingkungan yang bersifat mendukung sebelum mereka
mencobanya dalam konteks lingkungan yang sesungguhnya. Hal ini salah satunya
dapat dilakukan konselor dengan cara menyiapkan situasi kelompok sebagai arena
untuk bermain peran sehingga para konseli berkesempatan untuk melatih perilaku
asertif dan mengembangkan berbagai keterampilan sosial seperti bicara kepada guru,
bicara pada orang tua, atau menjawab pertanyaan – pertanyaan untuk kepentingan
wawancara.
Keterlibatan banyak orang dalam konseling kelompok dapat menjadi suatu kekuatan
yang mendorong konseli untuk lebih bertanggungjawab terhadap perilaku dan
komitmen – komitmen yang dibuatnya bersama kelompok. Hal ini bisa terjadi
terutama bagi mereka yang sudah terlibat dalam suatu kelompok yang kohesif, saling
menghargai dan saling memberikan dukungan satu sama lain. Kombinasi dari
dukungan, harapan serta rasa takut mengecewakan kelompok bisa merupakan suatu
motivator yang kuat bagi konseli untuk bersiteguh dengan kata – kata dan upaya
perubahan perilaku yang direncanakannya.
Menurut Mungin (2005:49) masalah – masalah etis sering menjadi hal yang
sangat sulit bagi orang – orang yang mempunyai profesi membantu karena beberapa
alasan, yaitu :
a. Praktek – praktek etis khusus atau kode etik masih berkembang yang
memberikan arahan yang selayaknya terhadap perilaku etis dalam situasi –
situasi yang sangat luas yang dijumpai dalam hubungan – hubungan personal
yang bersifat membantu.
b. Sebagian besar pekerja dalam profesi membantu tidak melakukan praktek
sendirian. Operasional profesionalitas mereka muncul dalam konteks institusi
seperti sekolah, kampus, rumah sakit, gereja, dan agnesi pribadi yang
mempunyai system – sitem institusional yang mungkin cukup berbeda dalam
kelompok professional yang ditujukan oleh para pekerja dalam bidang ini.
Dalam profesi membantu tampaknya akan menemui situasi – situasi dimana
jaminan – jaminan etis menjadi tumpang tindih dan konflik.
Etika berasal dari bahasa Yunani dari kata Ethos yang berarti kebiasaan –
kebiasaan atau tingkah laku manusia. Dalam bahsa inggris disebut Ethis yang
mempunyai pengertian sebagai ukuran tingkah laku atau perilaku manusia yang baik,
yakni tindakan yang tepat, yang harus dilaksanakan oleh manusia sesuai dengan
moral pada umumnya. Etika adalah asas – asas atau standar perilaku yang berdasar
pada beberapa nilai umum yang sudah diterima. Membuat keputusan secara etis
dalam situasi – situasi dimana terjadi konflik antara jaminan – jaminan tampaknya
adalah sesuatu yang tidak mudah. Kode etik dapat menjadi arahan – arahan dalam
keputusan – keputusan etis secara luas, tetapi mereka kadang – kadang cukup detail
dalam penerapan yang sempurna terhadap situasi – situasi etis yang spesifik. Tentu
saja, para konselor biasanya melakukan upaya untuk membuat keputusan – keputusan
etis yang kompleks dengan berdasarkan kepada system – sitem etis internal mereka.
System – system etis tersebut benar – benar merupakan bagian filosofi diri para
konselor dalam konseling.
Ketika seorang konselor menjadi tidak jelas dan bersifat ambigius tentang
jaminan – jaminan etis, dia akan dipandang sebagai seseorang yang tidak konsisten
dan tidak dapat dipercaya. Ketika seseorang konselor memutuskan suatu hirarki nilai
tetapi tidak menemukan kenyamanan klien, kemungkinan dia juga tidak dapat
diterima sebagai seorang konselor. Kebanyakan perilaku etis muncul ketika para
konselor ingin diterima sebagai konselor, tetapi membuat nilai – nilai yang lebih
besar terhadap peran institusional seperti petugas kedisiplinan atau seperti seorang
petugas admnistrasi.
Kode etik profesi adlah norma – norma yang harus diindahkan oleh setiap
tenaga profesi dalam menjalankan tugas profesi dan dalam kehidupannya di
masyarakat. Norma – norma itu berisi apa yang tidak boleh, apa yang seharusnya
dilakukan dan siapa yang diharapkan dari tenaga profesi. Menurut Mungin (2005:53)
kode etik, bagi seorang konselor adalah :
Kode etik sebagai salah satu syarat penting bagi eksistensi profesi konseling
atau sebagai jati diri profesi konseling. Kode etik penting mengingat bahwa kode etik
penerapannya dengan patuh dan taat asas, penegakannya merupakan tolol ukur
kualitas pencapaian visi dan misi profesi. Dalam menjalankan tugasnya konselor
dituntut untuk menunjukan kinerjanya dengan penguasaan kompetensi professional,
sosial, personal, emosional dan spiritual. Kode etik menjadi penting sebagai pedoman
kerja bagi konselor dalam menjalankan tugas profesinya.
Prayitno & Erman Amti. 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta :
Rineka Cipta.