Anda di halaman 1dari 18

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bimbingan dan Konseling Kelompok

Bimbingan konseling kelompok mengarahkan layanan kepada sekelompok


individu. Layanan kelompok itu memberikan manfaat atau jasa kepada sejumlah
orang, dan oaling menjadi perhatian semua pihak berkenaan dengan layanan
kelompok. Dalam layanan kelompok interaksi antar individu anggota kelompok
merupakan suatu yang khas, yang tidak mungkin terjadi pada konseling perorangan.

2.1.1 Bimbingan Kelompok

Bimbingan kelompok adalah layanan bimbingan yang diberikan dalam


suasana kelompok (Prayitno, 2004 : 309). Dalam buku Prayitno (Gazda 1978)
mengemukakan bahwa bimbingaan kelompok di sekolah merupakan kegiatan
informasi kepada sekelompok siswa unto membantu mereka menyusun rencana dan
keputusan yang tepat. Yang dibahas dalam bimbingan kelompok berbagai informasi
berkenaan dengan orientasi siswa baru, pindah program dan peta sosiometri siswa
serta bagaimana mengembangkan hubungan antar siswa dapat disampaikan dan
dibahas dalam bimbingan kelompok (McDaniel, 1956). Dari penjelasan diatas bahwa
bimbingan kelompok ialah pemberian informasi untuk keperluan tertentu bagi para
anggota kelompok.

2.1.2 Konseling Kelompok

Konseling merupakan suatu proses intervensi yang bersifat membantu


individu untuk meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri dan hubungannya
dengan orang lain. Salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran akan pertumbuhan
dan perkembangan individu yang sehat adalah melalui proses konseling yang
dilakukan oleh konselor terlatih dan professional dalam menggunakan teknik – teknik
khusus secara sistematis untuk membantu orang lain berhubungan secara realistis dan
sukses dengan tugas – tugas perkembangan sesuai dengan usianya dan menimbulkan
kesadaran penuh tentang pribadinya. Bagaimana dengan konseling kelompok ?
Dalam konseling kelompok variasi perbedaan itu dapat dilihat pada aspek proses dan
pertemuan tatap muka. Kedua aspek itulah yang tampaknya menonjol dalam
konseling kelompok. Proses dalam konseling kelompok memiliki ciri khas, karena
proses itu dilalui oleh lebih dari dua orang, demikian juga aspek pertemuan tatap
muka karena yang berhadapan muka adalah sejumlah orang yang tergabung dalam
kelompok, yang saling memberikan bantuan psikologis.

Dalam (Prayitno 2004 : 311) konseling kelompok pada dasarnya adalah


layanan konseling perorangan yang dilaksanakan didalam suasana kelompok.
Konseling kelompok, menurut Pauline Harrison (2002) dalam Kurnanto, Edi (2013:7)
adalah “konseling yang terdiri dari 4-8 konseli yang bertemu 1-2 konselor.” Dalam
prosesnya, konseling kelompok dapat membicarakan beberapa masalah, seperti
kemampuan dalam membangun hubungan dan komunikasi, pengembangan harga
diri, dan keterampilan-keterampilan dalam mengatasi masalah. Menurut Gazda
(1984) dan Shertzer & Stone (1980) dalam Mungin (2005:32) menjelaskan bahwa
“Konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis dan berpusat
pada pemikiran dan perilaku yang disadari.” Proses itu mengandung ciri – ciri
terapeutik seperti pengungkapan pikiran dan perasaan secara leluasa, orientasi pada
kenyataan, pembukaan diri mengenai perasaan – perasaan mendalam yang dialami,
saling percaya, saling perhatian, saling pengertian, dan saling mendukung. Konseling
kelompok menurut Juntika Nurihsan (2006:24) dalam Kurnanto Edi (2013:7) :

yang mengatakan bahwa konseling kelompok adalah suatu bantuan kepada


individu dalam situasi kelompok yang bersifat pencegahan. Konseling
kelompok bersifat memberikan kemudahan dalam pertumbuhan dan
perkembangan individu, dalam arti bahwa konseling kelompok memberikan
dorongan dan motivasi kepada individu unto membuat perubahan-perubahan
dengan memanfaatkan potensi secara maksimal sehingga mewujudkan diri.

Dapat disimpulkan konseling kelompok adalah proses konseling yang


dilakukan dalam bentuk kelompok yang dinamis untuk memfasilitasi perkembangan
individu dan atau membantu individu dalam mengatasi masalah yang dihadapinya
secara bersama-sama. Konseling kelompok lebih menekankan pada pengembangan
pribadi, yaitu membantu individu – individu dengan cara mendorong pencapaian
tujuan perkembangan dan memfokuskan pada kebutuhan dan kegiatan belajarnya.
Perasaan dan hubungan antar anggota sangat ditekankan di dalam kelompok ini. Jadi
anggota akan belajar tentang dirinya dalam hubungan dengan anggota yang lain
ataupun dengan orang lain.

Konseling kelompok berorientasi pada perkembangan individu dan usaha


menemukan kekuatan – kekuatan yang bersumber pada diri individu itu sendiri dalam
memanfaatkan dinamika kelompok. Oleh karena itu, konseling kelompok tepat
diberikan bagi remaja, karena akan memberikan kesempatan untuk menyampaikan
keluhan perasaan konfliknya, melepas keragu – raguan diri, dan pada kenyataanya
mereka akan senang membagi keluhan – keluhan kepada teman – teman sebaya.
Melalui konseling kelompok, individu akan mampu meningkatkan kemampuan
mengembangkan pribadi, mengatasi masalah – masalah pribadi, terampil dalam
mengambil alternative dalam memecahkan masalahnya, serta memberikan
kemudahan dalam pertumbuhan dan perkembangan individu untuk melakukan
tindakan yang selaras dengan kemampuannya semaksimal mungkin melalui perilaku
perwujudan diri.

2.2 Bimbingan Konseling Kelompok sebagai Profesi

Konseling kelompok sebagai ilmu dan profesi bantuan (helping proffesion)


diabdikan bagi peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan dengan cara
memfasilitasi perkembangan individu atau kelompok individu sesuai dengan
kekuatan, kemampuan potensial dan actual serta peluang – peluang yang dimilikinya,
dan membantu mengatasi kelemahan dan hambatan serta kendala yang dihadapi
dalam perkembangan dirinya. Konseling kelompok sebagai ilmu dan profesi harus
mampu memberikan sumbangan bagi dunia pendidikan nasional serta kehidupan
masyarakat dan bangsa pada umumnya. Visi profesi konseling tidak lagi dibatasi
hanya di sekolah, melainkan juga menjangkau bidang – bidang di luar sekolah yang
memberikan nuansa dan corak pada penyelenggaraan pendidikan formal dan
pengembangan sumber daya manusia yang lebih sensitive, antisipatif, proaktif dan
responsive terhadap perkembangan peserta didik dan warga masyarakat.

Profesi konseling merupakan pekerjaan atau karir yang bersifat pelayanan


bantuan keahlian dengan tingkat ketepatan yang tinggi untuk kebahagiaan pengguna
berdasarkan norma – norma yang berlaku (Mungin Eddy Wibowo, 2005:36).
Menurut Brigg & Blocher (1986) dalam Mungin Eddy Wibowo (2005:36)
menjelaskan bahwa “kekuatan dan eksistensi profesi konseling muncul sebagai akibat
interaksi timbal balik antara kinerja tenaga professional dengan kepercayaan public.”

Profesi konseling merupakan profesi yang bermartabat, maka perlu didukung


oleh (a) pelayanan yang tepat dan bermartabat, (b) pelaksana yang bermandat, dan
(c) pengakuan yang sehat dari berbagai pihak yang terkait. Ketiga hal tersebut akan
menjamin tumbuh – subur dan kokohnya identitas serta tingginya citra dan
kemartabatan profesi konseling. Visi profesi konseling adalah terwujudnya kehidupan
kemanusiaan yang membahagiakan melalui tersedianya pelayanan bantuan dalam
pemberian dukungan perkembangan dan pengentasan masalah agar individu
berkembang secara optimal, mandiri dan bahagia. Sejalan dengan visi yang
dirumuskan, maka misi konseling difokuskan kepada : (a) Misi Pendidikan, yaitu
mendidik peserta didik dan warga masyarakat melalui pengembangan perilaku efektif
– normative dalam kehidupan keseharian dan yang terkait dengan masa depan. (b)
Misi pengembangan, yaitu memfasilitasi perkembangan individu di dalam satuan
pendidikan formal dan nonformal, keluarga, instansi, dunia kerja dan industri serta
kelembagaan masyarakat lainnya kearah perkembangan optimal melalui strategi
upaya pengembangan individu , pengembangan lingkungan belajar, dan lingkungan
lainnya serta kondisi tertentu sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat. (c)
Misi pengentasan masalah, yaitu membantu dan memfasilitasi pengentasan masalah
individu mengacu kepada kehidupan sehari –hari yang efektif.

2.3 Perbedaan Bimbingan Kelompok, Konseling Kelompok dan Konseling


Individu

Meskipun isi dari konseling kelompok menyerupai bimbingan kelompok,


dalam hal kepedulian terhadap hal – hal yang berkaitan dengan pendidikan, karir,
pribadi dan sosial, namun ada sejumlah factor – factor yang berbeda, yaitu :

1. Bimbingan kelompok diberikan kepada semua individu yang dilakukan atas


dasar jadwal regular untuk membahas masalah atau topic – topic umum secara
luas dan mendalam yang bermanfaat bagi anggota kelompok. Masalah atau
topic dikatakan “umum” yaitu apabila topic atau masalah berada di luar diri
masing – masing anggota kelompok atau tidak ada hubungan khusus tertentu
dengan anggota kelompok. Sedangkan konseling kelompok biasanya membahas
dan memecahkan masalah pribadi yang dialami masing – masing anggota
kelompok. Suatu masalah atau topic disebut “pribadi” apabila masalah atau
topic itu memang masalah pribadi yang secara langsung dialami atau sedang
diderita oleh anggota kelompok yang menyampaikan masalah itu.
2. Bimbingan kelompok menggunakan upaya tidak langsung dalam mengubah
sikap dan perilaku klien melalui penyajian informasi yang teliti atau
menekankan dorongan untuk berfungsinya kemampuan – kemmapuan kognitif
atau intelek pada individu – individu yang bersangkutan. Sedangkan konseling
kelompok menggunakan upaya langsung untuk mengubah sikap dan perilaku
individu yang bersangkutan dengan menekankan pada keterlibatan menyeluruh
dari individu – individu yang bersangkutan.
3. Bimbingan kelompok menggunakan kelompok yang beranggotakan jumlah
besar antara 15 sampai 30 individu sedangkan konseling kelompok
keanggotaanya sangat tergantung kepada kadar kekuatan kebersamaan serta
kesediaan setiap anggota kelompok untuk saling mempedulikan terhadap para
anggota lain. Suasana semacam ini hanya mungkin dibina dalam kelompok
kecil yang intim dan akrab (4-8 orang).
4. Bimbingan kelompok lebih bersifat instruksional dan ini akan Nampak dalam
cara konselor membimbing kelompok, sedangkan konseling kelompok lebih
bercirikan komunikasi antarpribadi di antara anggota kelompok serta menggali
lebih dalam budi dan hati masing – masing kelompok, hal ini akan Nampak
dalam cara konselor mendampingi kelompok itu dan dalam tuntutan yang harus
dipenuhi oleh para peserta, misalnya menjaga rahasia.
5. Bimbingan kelompok ditujukan untuk memberikan informasi seluas – luasnya
kepada klien supaya mereka dapat membuat rencana yang tepat serta membuat
keputusan yang memadai mengenai hal – hal yang berkaitan dengan masa
depan serta cenderung bersifat pencegahan. Konseling kelompok merupakan
upaya bantuan kepada individu dalam rangka memberikan kemudahan dalam
perkembangan dan pertumbuhannya, dan selain bersifat pencegahan, konseling
kelompok dapat bersifat penyembuhan.
6. Isi pembicaraan dalam bimbingan kelompok bersifat umum dan tidak rahasia,
sedangkan dalam konseling kelompok bersifat pribadi dan rahasia.
7. Suasana interaksi dalam bimbingan kelompoktif dan aspek multiarah,
mendalam dengan melibatkan aspek kognitif, sedang dalam konseling
kelompok multiarah, mendalam dan tuntas dengan melibatkan aspek kognitif,
aspek – aspek kepribadian lainnya.

Gazda (1984) dalam Mungin (2005:40) membedakan antara konseling kelompok dan
konseling individual, yaitu :
a. Hubungan antara pribadi di dalam konseling. Dalam konseling kelompok
hubungan antara pribadi terjadi antara klien dengan konselor dan antar sesama
klien sendiri. Sedangkan pada konseling individual hubungan antara pribadi
terjadi antar klien dan konselor saja.
b. Tanggung jawab klien. Dalam konseling kelompok, selain klien
bertanggungjawab atas tingkah lakunya sendiri juga ia bertanggungjawab untuk
membantu sesame klien. Proses saling membantu antara klien ini
memungkinkan mereka tidak terlalu tergantung pada konselor. Berbeda dengan
konseling individual dimana klien lebih banyak tergantung pada konselor.
c. Pusat perhatian. Klien – klien dalam konseling kelompok lebih memusatkan
perhatian pada hal – hal yang terjadi di dalam kelompok (here and now).
Sedangkan dalam konseling individual lebih berpusat pada hal – hal yang
terjadi pada “there and then”.
d. Reality testing. Dalam konseling kelompok memberi kesempatan pada klien
untuk mengadakan reality testing terhadap masalah – masalah mereka maupun
perubahan tingkah laku yang ingin dicobanya. Sedagkan pada konseling
individual kemungkinan untuk mengadakan reality testing hanya terbatas
kepada konselor.
e. Insight. Dengan adnya kemungkinan untuk mengadakan reality testing dalam
konseling kelompok maka perubahan tingkah laku sering tanpa disertai insight.
Sedangkan pada konseling individual diperlukan insight sebelum mengadakan
perubahan tingkah laku dalam situasi yang nyata.
f. Suasana dalam situasi konseling kelompok. Adanya suasana permissiveness,
acceptance, support dan tekanan dari kelompok yang dirasakan sukar baginya.
g. Jumlah klien yang dapat dibantu. Konseling kelompok memungkinkan seorang
konselor membantu lebih banyak klien dibandingkan dengan jumlah klien
dalam konseling individual.

2.4 Kekuatan dan Keterbatasan Konseling Kelompok


Dalam layanan konseling, konselor dihadapkan pada berbagai pilihan teknik
dan strategi maupun pendekatan. Terhadap pilihan tersebut, konselor harus menyadari
bahwa tidak ada teknik, strategi maupun pendekatan yang paling baik untuk
menangani semua persoalan konseli. Sebagai suatu teknik layanan bimbingan dan
konseling, penggunaan konseling kelompok memiliki beberapa keunggulan dan
keterbatasan. Pemanfaatan suasana kelompok dalam konseling dapat menyediakan
nilai – nilai terapeutik yang sulit, atau sebagiannya bahkan tak mungkin, disediakan
melalui konseling individual. Namun, di sisi lain konseling kelompok secara simultan
memiliki beberapa keterbatasan.

2.4.1 Kekuatan Konseling kelompok

Pemanfaatan suasana kelompok untuk kepentingan konseling atau terapi


memiliki beberapa keunggulan. Menurut Natawijaya (2012) dalam Kurnanto Edi
(2013 : 28) keunggulan – keunggulan yang dimiliki oleh layanan konseling kelompok
dijelaskan secara rinci sebagai berikut :

a. Menghemat waktu dan energy

Dilihat dari jumlah konseli yang dapat dilayani, konseling kelompok


memungkinkan konseloruntuk bisa melayani lebih banyak konseli daripada
konseling individual. Dengan memanfaatkan suasana kelompok, dalam waktu yang
sama konselor bisa melayani sejumlah konseli sekaligus. Ini merupakan suatu
efisiensi baik dalam hal penggunaan tenaga maupun waktu. Dengan adanya efisiensi
ini, konselor lebih memungkinkan untuk bisa melayani konseli dalam jumlah yang
lebih banyak. Tampaknya kita bisa memperkirakan bagaimana, misalnya, kalau para
siswa di sekolah hanya dilayani dengan konseling individual tanpa melibatkan
konseling kelompok. Mungkin hanya sebagian kecil siswa yang bisa terlayani
melalui konseling individual tersebut.

b. Menyediakan sumber belajar dan masukan yang kaya bagi konseli


Setiap orang biasanya memiliki variasi pandangan dan informasi sehingga
terlibatnya sejumlah orang dalam konseling kelompok memungkinkan para konseli
untuk mendapatkan sumber belajar dan masukan yang kaya. Keberadaan sejumlah
orang dalam konseling kelompok bisa memberikan lebih banyak ide dan pandangan.
Mereka bisa saling berbagi informasi, memberikan masukan dalam memecahkan
masalah, menguji rencana keputusan yang akan diambil, dan atau bahkan saling
menstimulasi dalam mengeksplorasi nilai – nilai personal dan sosial. Interaksi
multiple inilah yang memungkinkan konseling kelompok dapat menjadi sumber
informasi dan sarana belajar yang kaya bagi konseli.

Menurut Corey dalam Kurnanto Edi (2013 : 28) para konseli dapat
mendiskusikan persepsi – persepsi mereka satu sama lain dan menerima umpan baik
yang berharga tentang bagaimana mereka dipersepsi kelompok. Kenekaragaman
anggota dalam kelompok ini dapat menghasilkan umpan balik yang kaya bagi para
konseli sehingga bisa melihat diri mereka sendiri melalui mata sejumlah orang.
Sebaliknya, dalam konseling individual interaksi yang terjadi terbatas hanya antara
konselor dan konseli. Dalam suasana interaksi semacam ini, konselor berperan
sebagai satu – satunya sumber yang bisa saling berbagi informasi dan pengalaman
dengan konseli.

c. Pengalaman komunalitas dalam konseling kelompok dapat meringankan beban


penderitaan dan menentramkan konseli

Adanya interaksi antar peserta dalam konseling kelompok memungkinkan para


konseli menjadi saling mengetahui dan memahami permasalahan, perasaan dan
pengalaman mereka satu sama lain. Mereka tahu bahwa orang lain juga memiliki
pikiran, perasaan dan permasalahan yang serupa. Pengalaman seperti ini bisa
membuat konseli merasa tidak sendirian. “Jacobs, et. al. (1994) dalam Kurnanto Edi
(2013:29) menyebutnya sebagai rasa komunalitas (commonality)”. Rasa komunalitas
ini bermanfaat dan bernilai terapeutik bagi kebanyakan konseli karena bisa membuat
diri mereka merasa lebih ringan dalam menghadapi permasalahan dan kesulitan yang
dihadapi.

d. Memenuhi kebutuhan akan rasa memiliki

Rasa untuk memiliki merupakan kebutuhan manusia yang kuat. Kebutuhan ini
dapat terpenuhi sebagian bila seseorang berada dalam kelompok. Para anggota
konseling kelompok akan saling mengidentifikasi satu sama lain sehingga akhirnya
mereka merasa sebagai bagian dari keseluruhan kelompok.

e. Bisa menjadi sarana untuk melatih dan mengembangkan keterampilan dan


perilaku sosial dalam suasana yang mendekati kondisi kehidupan nyata

Yalom (1985) dan Corey (1990) dalam Kurnanto Edi (2013:30) menjelaskan
bahwa “memandang kelompok sebagai microcosm bagi para anggotanya.” Terutama,
menurut Corey, bila kelompok itu terdiri dari anggota yang bervariasi dalam hal usia,
minat, latar belakang, status sosial ekonomi, dan tipe masalah. Dengan demikian
kelompok konseling bisa menjadi suatu arena untuk mempraktekan berbagai
keterampilan dan perilaku sosial secara aman. Para konseli bisa mempraktekan
keterampilan – keterampilan dan perilaku – perilaku baru yang telah mereka pelajari
dalam suatu kondisi lingkungan yang bersifat mendukung sebelum mereka
mencobanya dalam konteks lingkungan yang sesungguhnya. Hal ini salah satunya
dapat dilakukan konselor dengan cara menyiapkan situasi kelompok sebagai arena
untuk bermain peran sehingga para konseli berkesempatan untuk melatih perilaku
asertif dan mengembangkan berbagai keterampilan sosial seperti bicara kepada guru,
bicara pada orang tua, atau menjawab pertanyaan – pertanyaan untuk kepentingan
wawancara.

f. Menyediakan kesempatan untuk belajar dari pengalaman orang lain

Dalam konseling kelompok, konseli memiliki kesempatan untuk saling mendengar


dan memperhatikan permasalahan mereka satu sama lain dan cara – cara
pengambilan keputusan untuk mengatasinya. Pengalaman seperti ini memberi nilai
positif kepada konseli untuk bisa belajar dari pengalaman orang lain.

g. Memberikan motivasi yang lebih kuat kepada konseli untuk berperilaku


konsisten sesuai dengan rencana tindakannya

Keterlibatan banyak orang dalam konseling kelompok dapat menjadi suatu kekuatan
yang mendorong konseli untuk lebih bertanggungjawab terhadap perilaku dan
komitmen – komitmen yang dibuatnya bersama kelompok. Hal ini bisa terjadi
terutama bagi mereka yang sudah terlibat dalam suatu kelompok yang kohesif, saling
menghargai dan saling memberikan dukungan satu sama lain. Kombinasi dari
dukungan, harapan serta rasa takut mengecewakan kelompok bisa merupakan suatu
motivator yang kuat bagi konseli untuk bersiteguh dengan kata – kata dan upaya
perubahan perilaku yang direncanakannya.

h. Bisa menjadi sarana eksplorasi

Dengan penguatan dari kelompok, konseli bisa terdorong untuk melakukan


eksplorasi terhadap kebutuhan dan masalah perkembangan serta penyesuaian diri
masing – masing. kelompok dapat menyediakan suatu adegan sosial yang mendorong
konseli berinteraksi dengan peserta yang lain yang mungkin mereka itu tidak sekedar
memiliki pemahaman tentang masalahnya, tetapi juga akan saling berbagi
permasalahan yang dibawanya tersebut. Dalam kondisi seperti itu, konseling
kelompok dapat menyediakan rasa aman yang dibutuhkan oleh para konseli untuk
secara spontan dan secara bebas berinteraksi dan mengambil resiko sehingga
meningkatkan kemungkinan mereka untuk saling berbagi pengalaman dengan orang
lain yang memiliki pengalaman serupa.

2.4.2 Keterbatasan Konseling Kelompok

Di samping memiliki sejumlah keunggulan, konseling kelompok juga tidak


terlepas dari sejumlah keterbatasan. Menurut Pietrofesa et al. (1980) dalam Kurnanto
Edi (2013:32), keterbatasan – keterbatasan dari konseling kelompok adalah sebagai
berikut :

a. Tidak cocok digunakan untuk menangani masalah – masalah perilaku tertentu


seperti agresi yang ekstrim, konflik kakak – adik atau orangtua-anak yang
intensif.
b. Ambiguitas inheren yang melekat dalam proses kelompok menyebabkan
beberapa konselor terlalu mengendalikan kelompok.
c. Isu – isu dan masalah – masalah yang dimunculkan dalam kelompok kadang –
kadang mengganggu nilai – nilai personal atau membahayakan hubungan siswa
atau konselor dengan pihak lain seperti dengan orang tua atau dengan
administrator.
d. Unsur konfidensialitas yang sangat esensial bagi kelompok yang efektif sulit
untuk dicapai dalam konseling kelompok
e. Modeling perilaku yang tidak diinginkan sulit untuk dieliminasi.
f. Meningkatnya ketegangan, kecemasan, dan keterlibatan yang terjadi dapat
menimbulkan akibat yang tak diinginkan.
g. Kombinasi yang tepat dari anggota kelompok adalah penting, namun sulit untuk
dicapai.
h. Beberapa anggota kelompok menerima perhatian individual yang tidak
memadai
i. Adanya kesulitan untuk menjadwal konseling kelompok dalam adegan sekolah
j. Hakikat konseling kelompok yang tidak spesifik sering sulit untuk
menjastifikasi orang tua, guru, dan administrator yang skeptic.
k. Konselor kelompok harus terlatih dengan baik dan sangat terampil.

Mungin (2005:47) menjelaskan bahwa disamping kekuatan – kekuatan,


konseling kelompok juga memiliki beberapa keterbatasan yang harus diperhatikan
oleh konselor antara lain sebagai berikut :
a. Tidak semua siswa cocok berada dalam kelompok, beberapa diantaranya
membutuhkan perhatian dan intervensi individual.
b. Tidak semua siswa siap atau bersedia untuk bersikap terbuka dan jujur
mengemukakan isi hatinya terhadap teman – temannya di dalam kelompok,
lebih – lebih bila yang akan dikatakan terasa memalukan bagi dirinya.
c. Persoalan pribadi satu – dua anggota kelompok mungkin kurang mendapat
perhatian dan tanggapan sebagaimana mestinya, karena perhatian kelompok
terfokus pada persoalan pribadi anggota yang lain, sebagai akibat siswa tidak
akan merasa puas.
d. Sering siswa mengharapkan terlalu banyak dari kelompok, sehingga tidak
berusaha untuk berubah.
e. Sering kelompok bukan dijadikan sarana untuk berlatih melakukan perubahan,
tetapi justru dipakai sebagai tujuan. Oleh karena seseorang merasa terlalu
nyaman di dalam kelompok, ia lalu tidak mau menyoba perilakunya yang baru
karena takut meninggalkan rasa nyaman yang diperolehnya di dalam
kelompok.
f. Seringkali kelompok tidak berkembang dan dapat mengurangi arti kelompok
sebagai sarana belajar, karena hanya untuk kepentingan seorang belaka.
g. Peran konselor mejadi lebih menyebar dan kompleks, karena yang dihadapi
tidak hanya satu orang tetapi banyak orang.
h. Sulit untuk dibina kepercayaan, untuk itu dibutuhkan norma dan aturan main
khusus mengenai konfidensialitas.
i. Untuk menjadi konselor kelompok dibutuhkan latihan yang intensif dan
khusus.

2.5 Persoalan Etis dan Profesional

Profesi konseling merupakan keahlian pelayanan pengembangan pribadi dan


pemecahan masalah yang mementingkan pemenuhan kebutuhan dan kebahagiaan
pengguna sesuai dengan martabat, nilai, potensi, dan keunikan individu berdasarkan
kajian dan penerapan ilmu dan teknologi dengan acuan dasar ilmu pendidikan dan
psikologi yang dikemas dalam kaji terapan konseling yang diwarnai oleh budaya
pihak – pihak yang terkait. Dengan demikian paradigm konseling adalah pelayanan
bantuan psiko-pendidikan dalam bingkai budaya. Sebagai pekerjaan professional,
maka cara kerjanya diatur dalam kode etik yang jelas. Kode etik adalah kode moral
yang menjadi landasan kerja bagi pekerja professional. Etik merupakan standar
tingkah laku standar seseorang, atau sekelompok orang, yang didasarkan atas nilai –
nilai yang disepakati. Setiap kelompok profesi pada dasarnya merumuskan standar
tingkah lakunya yang dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan tugas dan
kewajiban professional. Standar tingkah laku professional itu diterjemahkan dari nilai
– nilai masyarakat ke dalam bentuk cita – cita yang terstruktur dalam hubungannya
dengan orang lain, kliennya dan masyarakat. Terjemahan nilai – nilai sebagai bentuk
standar itu dirumuskan ke dalam “kode etik profesi” (Hansen, 1982:438) dalam
Mungin,2005:49.

Menurut Mungin (2005:49) masalah – masalah etis sering menjadi hal yang
sangat sulit bagi orang – orang yang mempunyai profesi membantu karena beberapa
alasan, yaitu :

a. Praktek – praktek etis khusus atau kode etik masih berkembang yang
memberikan arahan yang selayaknya terhadap perilaku etis dalam situasi –
situasi yang sangat luas yang dijumpai dalam hubungan – hubungan personal
yang bersifat membantu.
b. Sebagian besar pekerja dalam profesi membantu tidak melakukan praktek
sendirian. Operasional profesionalitas mereka muncul dalam konteks institusi
seperti sekolah, kampus, rumah sakit, gereja, dan agnesi pribadi yang
mempunyai system – sitem institusional yang mungkin cukup berbeda dalam
kelompok professional yang ditujukan oleh para pekerja dalam bidang ini.
Dalam profesi membantu tampaknya akan menemui situasi – situasi dimana
jaminan – jaminan etis menjadi tumpang tindih dan konflik.
Etika berasal dari bahasa Yunani dari kata Ethos yang berarti kebiasaan –
kebiasaan atau tingkah laku manusia. Dalam bahsa inggris disebut Ethis yang
mempunyai pengertian sebagai ukuran tingkah laku atau perilaku manusia yang baik,
yakni tindakan yang tepat, yang harus dilaksanakan oleh manusia sesuai dengan
moral pada umumnya. Etika adalah asas – asas atau standar perilaku yang berdasar
pada beberapa nilai umum yang sudah diterima. Membuat keputusan secara etis
dalam situasi – situasi dimana terjadi konflik antara jaminan – jaminan tampaknya
adalah sesuatu yang tidak mudah. Kode etik dapat menjadi arahan – arahan dalam
keputusan – keputusan etis secara luas, tetapi mereka kadang – kadang cukup detail
dalam penerapan yang sempurna terhadap situasi – situasi etis yang spesifik. Tentu
saja, para konselor biasanya melakukan upaya untuk membuat keputusan – keputusan
etis yang kompleks dengan berdasarkan kepada system – sitem etis internal mereka.
System – system etis tersebut benar – benar merupakan bagian filosofi diri para
konselor dalam konseling.

Perilaku yang tidak etis biasanya muncul ketika konselor mengkomunikasikan


dirinya sendiri dalam usahanya untuk membentuk sebuah bentuk harapan – harapan
dan kemudian perilaku mereka tidak konsisten dengan harapan – harapan tersebut.
Untuk dapat menjadi seorang konselor yang berhasil dan etis, seseorang harus dapat
berkata – kata dan hidup dalam sebuah hirark nilai yang dapat menjadikan dirinya
mampu membuat keputusan yang konsisten yang terkait dengan jaminan – jaminan
terhadap para klien terhadap jaminan – jaminan yang lain. Konselor harus dapat
memahami daripada sekedar menjelaskan sebuah situasi sehingga dapat membuat
klien menjadi merasa nyaman dengan menolak nlai – nilai yang mungkin terkait
dengan diri klien.

Ketika seorang konselor menjadi tidak jelas dan bersifat ambigius tentang
jaminan – jaminan etis, dia akan dipandang sebagai seseorang yang tidak konsisten
dan tidak dapat dipercaya. Ketika seseorang konselor memutuskan suatu hirarki nilai
tetapi tidak menemukan kenyamanan klien, kemungkinan dia juga tidak dapat
diterima sebagai seorang konselor. Kebanyakan perilaku etis muncul ketika para
konselor ingin diterima sebagai konselor, tetapi membuat nilai – nilai yang lebih
besar terhadap peran institusional seperti petugas kedisiplinan atau seperti seorang
petugas admnistrasi.

Kode etik profesi adlah norma – norma yang harus diindahkan oleh setiap
tenaga profesi dalam menjalankan tugas profesi dan dalam kehidupannya di
masyarakat. Norma – norma itu berisi apa yang tidak boleh, apa yang seharusnya
dilakukan dan siapa yang diharapkan dari tenaga profesi. Menurut Mungin (2005:53)
kode etik, bagi seorang konselor adalah :

1. Memberikan pedoman etis / moral berperilaku waktu mengambil keputusan


bertindak menjalankan tugas profesi konseling
2. Memberikan perlindungan kepada klien (individu pengguna)
3. Mengatur tingkah laku pada waktu menjalankan tugas dan mengatur
hubungan konselor dengan klien, rekan sejawat dan tenaga – tenaga
professional yang lain, atasan, lembaga tempat bekerja dan dengan
masyarakat
4. Menjaga nama baik profesi terhadap masyarakat dengan mengusahakan
standar mutu pelayanan dengan kecakapan tinggi, dan menghindari perilaku
tidak layak atau tidak pantas
5. Memberikan pedoman berbuat bagi konselor jika menghadapi dilemma etis
6. Menunujukan kepada konselor standar etika yang mencerminkan pengharapan
masyarakat.

Kode etik sebagai salah satu syarat penting bagi eksistensi profesi konseling
atau sebagai jati diri profesi konseling. Kode etik penting mengingat bahwa kode etik
penerapannya dengan patuh dan taat asas, penegakannya merupakan tolol ukur
kualitas pencapaian visi dan misi profesi. Dalam menjalankan tugasnya konselor
dituntut untuk menunjukan kinerjanya dengan penguasaan kompetensi professional,
sosial, personal, emosional dan spiritual. Kode etik menjadi penting sebagai pedoman
kerja bagi konselor dalam menjalankan tugas profesinya.

Pelanggaran terhadap norma – norma tersebut alan mendapatkan sanksi.


Tujuan ditegakannya kode etik profesi adalah untuk :

a. Menjunjung tinggi martabat profesi


b. Melindungi pelanggaran dari perbuatan malapraktik
c. Meningkatkan mutu profesi
d. Menjaga standar mutu dan status profesi
e. Menegakan ikatan anatra tenaga profesi dan profesi yang disandang
DAFTAR PUSTAKA

Mungin Eddy Wibowo. 2005. Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang : UPT


UNNES Press.

Kurnanto, Edi. 2013. Konseling Kelompok. Bandung : Alfabeta.

Prof.Dr.Prayitno,MSc.Ed. (1995). Layanan Bimbingan Dan Konseling


Kelompok(Dasar Dan Profil). Padang: Ghalia Indonesia.

Dr.Achmad Juntika Nurihsan,M.Pd. (2005). Strategi Layanan Bimbingan Dan


Konseling. Bandung: Refika Aditama

Prayitno & Erman Amti. 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta :
Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai