Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PENDEKATAN DAN TEKNIK DALAM BK


tentang
KONSELING EGO
(TEORI ADLERIAN, JUNG, FREMM)

Dosen Pembina Mata Kuliah:

Dr. Netrawati, M.Pd., Kons.


Dr. Zadrian Ardi, M.Pd., Kons

Oleh kelompok 2:
Esi Zarisman : 22151009
Feby Najmah Khairiyah : 22151010
Idyana Adha : 22151047
Rachman Hakim : 22151030

PROGRAM STUDI S2 BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya pemakalah mampu
menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah “Pendekatan
dan Teknik dalam Bimbingan Konseling”.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang
penulis hadapi. Namun pemakalah menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, dosen, serta
teman-teman sejawat sehingga kendala-kendala yang pemakalah hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang
“Konseling Ego (Adler, Jung, Fremm)” yang pemakalah sajikan berdasarkan
pengamatan dan berbagai sumber informasi, referensi, dan berita. Makalah ini
disusun oleh pemakalah dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
pemakalah maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Sebagai pemakalah kami sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Dan untuk itu, kepada dosen pembimbing saya
meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah ini dimasa yang akan
datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Padang, 16 Februari 2023

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3
A. Riwayat Tokoh................................................................................... 3
B. Pandangan Konseling Ego Terhadap Manusia .................................. 12
C. Kepribadian ........................................................................................ 12
D. Kasus.................................................................................................. 13
E. Tujuan Konseling ............................................................................... 15
F. Teknik Konseling ............................................................................... 16
BAB III PENUTUP.......................................................................................... 19
A. Kesimpulan ........................................................................................ 19
B. Saran .................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Carl Gustav Jung dan Erich Fromm merupakan dua tokoh pionir dalam
bidang psikologi eksistensi kemanusiaan (humanistic- existential psychology).
Kedua tokoh tersebut berasal dari daratan eropa, sesuai dengan tempat
perkembangan ilmu psikologi. Keduanya merupakan pakar dalam
psikoanalisa. Tetapi keduanya mempunyai pendapat masing masing yang
berbeda dalam bidang yang digelutinya, termasuk dalam bidang konseling ego.
Pada dasarnya teori dari kedua tokoh tersebut lebih berhubungan dengan
bidang psikologi dan psikoterapi karena keduanya merupakan tokoh yang
berpengaruh dalam bidang psikologi. Jung sendiri merupakan seorang psikiater
yang juga merupakan pendiri dari psikoanalisa modern. Sedangkan Erich
Fromm merupakan seorang psikolog dan psikoanalis, Keduanya merupakan
tokoh besar dalam bidang psikoanalis modern yang merupakan kelanjutan dari
teori psikoanalisis dari Sigmund Freud. Tetapi keduanya mempunyai teori
yang sama sekali berbeda dengan pendahulunya, Sigmund Freud, bahkan ada
beberapa kritik dari mereka terhadap teori dari Freud.
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa meskipun freud dan beberapa
tokoh lain yang muncul setelahnya masih membahas mengenai psikoanalisa
tetapi terdapat perbedaan pendapat yang cukup tajam antara teori psikoanalisis
klasik (Freud) dan psikoanalisis baru (Jung, Adler, Rank, Horney, Fromm,
Sullivan, dll).
Kita dapat melihat bahwa Freud merupakan penggagas awal dari teori
psikoanalisa yang kemudian dikembangkan oleh banyak tokoh yang sekaligus
memunculkan berbagai teori baru, dan bahkan Jung sendiri merupakan pionir
yang terkenal dalam bidang analisis mimpi (dream analysis). Dan Fromm
sendiri juga merupakan pendiri dari psikologi politik melalui bukunya Escape
from Freedom.

1
Tulisan dan karya karya Jung khususnya dan Erich Fromm pada
umumnya, dipengaruhi oleh religiusitas yahudi. Seperti dialog jung dengan
freud tentang mimpi, yaitu confrontation with the unconscious, karya karya
dari Erich Fromm seperti The art of loving, escape from freedom, dan man for
himself.
Kita dapat melihat bahwa keduanya tetap dipengaruhi oleh pandangan dari
Freud dan juga religiusitas yahudi, karena keduanya beragama Kristen. Dan
teori teori mereka banyak digunakan oleh para pastor dalam melakukan
bimbingan kepada jamaahnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka kami merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Siapa saja tokoh dalam konseling ego?
2. Bagaimana pandangan konseling ego tentang manusia ?
3. Bagaimana pandangan konseling ego tentang kepribadian manusia ?
4. Bagaimana kasus dalam konseling ego ?
5. Apa tujuan konseling ego ?
6. Apa saja teknik konseling ego ?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pandangan konseling ego tentang manusia.
2. Untuk mengetahui pandangan konseling ego tentang kepribadian manusia.
3. Untuk mengetahui kasus dalam konseling ego
4. Untuk mengetahui tujuan konseling ego
5. Untuk mengetahui teknik konseling ego.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Tokoh
1. Alfred Adler
Alfred Adler (1870-1937) dibesarkan di sebuah keluarga Wina enam
anak laki-laki dan dua perempuan. Adik laki-lakinya meninggal pada usia
yang sangat muda di tempat tidur di sebelah Alfred. Masa kanak-kanak
Adler bukanlah saat yang menyenangkan; dia sakit-sakitan dan sangat sadar
akan kematian. Pada usia 4 dia hampir meninggal karena pneumonia, dan
dia mendengar dokter memberi tahu ayahnya bahwa "Alfred hilang." Adler
mengaitkan kali ini dengan keputusannya untuk menjadi seorang dokter.
Karena dia sangat sakit selama beberapa tahun pertama hidupnya, Adler
dimanjakan oleh ibunya. Dia mengembangkan hubungan saling percaya
dengan ayahnya tetapi tidak merasa sangat dekat dengan ibunya. Dia sangat
cemburu pada kakak laki-lakinya, Sigmund, yang menyebabkan hubungan
tegang antara keduanya selama masa kanak-kanak dan remaja. Ketika kita
mempertimbangkan hubungan tegang Adler dengan Sigmund Freud, kita
tidak bisa tidak menduga bahwa pola dari konstelasi keluarga awalnya
terulang dalam hubungan ini.
Pengalaman anak usia dini Adler berdampak pada pembentukan
teorinya. Adler membentuk hidupnya sendiri daripada menyerahkannya
pada takdir. Adler selalu dianggap cerdas, tetapi dia hanya cukup untuk
bertahan di sekolah sampai suatu hari dia menyadari bahwa seorang guru
matematika tidak tahu jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan. Adler
menunggu sampai siswa terbaik mencobanya, lalu dia mengangkat
tangannya dan berdiri. Orang-orang menertawakannya, tetapi dia
memberikan jawaban yang benar. Dia melanjutkan studi kedokteran di
Universitas Wina, memasuki praktik swasta sebagai dokter mata, dan
kemudian beralih ke kedokteran umum. Dia akhirnya berspesialisasi dalam

3
neurologi dan psikiatri, dan dia sangat tertarik pada penyakit masa
kanakkanak yang tidak dapat disembuhkan.
Adler mengalami anti-Semitisme dan kengerian Perang Dunia I.
Pengalaman-pengalaman itu, dan konteks sosiopolitik saat itu,
berkontribusi pada penekanannya pada humanisme dan kebutuhan akan
orang-orang untuk bekerja sama. Dia sangat menyadari dampaknya konteks
dan budaya pada kepribadian manusia, dan teorinya muncul dari kesadaran.
Adler memiliki perhatian yang besar terhadap orang biasa dan bersikap
blak-blakan tentang praktik membesarkan anak, aturan sekolah, dan
prasangka yang mengakibatkan konflik. Dia berbicara dan menulis dalam
bahasa nonteknis yang sederhana dan menganjurkan untuk anak-anak
berisiko, hak-hak perempuan, kesetaraan jenis kelamin, pendidikan orang
dewasa, kesehatan mental masyarakat, konseling keluarga, dan terapi
singkat.
Setelah bertugas di Perang Dunia I sebagai petugas medis, Adler
menciptakan 32 klinik bimbingan anak di sekolah umum Wina dan mulai
melatih guru, pekerja sosial, dokter, dan profesional lainnya. Dia
memelopori praktik mengajar profesional melalui demonstrasi langsung
dengan orang tua dan anak-anak di depan audiensi yang besar, sekarang
disebut konseling keluarga "forum terbuka". Klinik yang ia dirikan tumbuh
dalam jumlah dan popularitas, dan ia tak kenal lelah dalam mengajar dan
mendemonstrasikan karyanya.
Meskipun Adler memiliki jadwal kerja yang padat di sebagian besar
kehidupan profesionalnya, ia masih meluangkan waktu untuk bernyanyi,
menikmati musik, dan bersama teman-teman. Pada pertengahan 1920-an ia
mulai mengajar di Amerika Serikat, dan kemudian ia sering melakukan
kunjungan dan tur. Dia mengabaikan peringatan teman-temannya untuk
memperlambat, dan pada 28 Mei 1937, saat berjalan-jalan sebelum kuliah
yang dijadwalkan di Aberdeen, Skotlandia, Adler pingsan dan meninggal
karena gagal jantung.

4
2. Carl Gustav Jung
Carl Gustav Jung lahir di Kesswil, Swiss pada 1975. Ayahnya
seorang pemuka agama Protestan. Jung pada awalnya sangat tertarik untuk
dapat mendalami Arkeologi meskipun pada akhirnya hal tersebut tidak
didukung oleh kondisi keluarganya (Budiharjo, 1997: 40). Hal tersebut
memperlihatkan bahwasanya sebenarnya Jung sangat memiliki minat
dengan berbagai bidang yang terkait dengan mitologi, filsafat, religi, dan
penyelidikan dalam kebudayaan peradaban kuno, ketertarikan itulah yang
kemudian mempengaruhi perkembangan penelitian Jung Jung masuk di
Universitas Basel dan mengambil bagian medis dalamspesifikasi psikiatri.
Kelulusannya dari Basel memabawanya untuk menjadi seorang
asistenbidang medis di suatu klinik di Burgholzli, Zurich, dimana dirinya
mengembangkankeahliannya dalam bidang medis bersama Eugen Bleuler,
sekaligus belajar paruh waktu di Paris dibawah bimbingan Pierre Janet
(Spinks, 1963: 91). Dan pada masa itulah Jung mendapatkan berbagai
inspirasi yang merangsang terlaksananya penelitiannya dalam bidang
psikiatri yang salah satunya adalah tentang teori ketidaksadaran.
Jung memberikan definisinya tentang kepribadian sebagai psyche
atau jiwa (psyche= diambil dari bahasa yunani untuk kata “spirit
(Semangat)” atau “soul (jiwa)”, sekarang juga biasa disebut “mind”,
merangkul semua pemikiran, perasaan, tingkah laku, sadar dan
ketidaksadaran. Jiwa (psyche) membimbing kita untuk beradaptasi terhadap
lingkungan kita baik secara fisik ataupun sosial.
Dalam teori kepribadian, bersama Sigmund Freud, Carl Gustav Jung
dikenal sebagai penemu Teori Psikologi Analitik. Pemikiran-pemikiran
Carl Gustav Jung dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan
filosofi pada abad ke-19, seperti contoh aplikasi tentang teori evolusi dalam
pengertian kehidupan manusia, penemuan-penemuan dalam arkeologi, ilmu
tentang perbandingan budaya manusia. Sebagai orang yang terlahir dari
ayah yang pendeta dan ibunya adalah putri seorang Teolog, kehidupan Jung
banyak dipengaruhi oleh aktifitas spiritual dan mistik. Hal ini juga yang

5
kemudian memberikan pengaruh pada pemikiran Jung bahwa kepribadian
manusia tidak terlepas dari apa yang terjadi di masa lalu terkait dengan
kegiatan spritual dan mistik.
Selain sebagai ahli psikologi, Carl Gustav Jung juga tertarik untuk
membahas filsafat, astrologi, sosiologi, sastra dan seni. Hal ini dibuktikan
dengan karya-karyanya dalam bidang tersebut. Namun yang paling
kontroversial adalah teorinya tentang ketidaksadaran kolektif (collective
unconscious) sebagai salah satu dari konsepnya tentang kepribadian
manusia yang tersusun dari ego, ketidaksadaran personal, dan
ketidaksadaran kolektif.
Pemikiran Jung tentang kepribadian manusia menarik untuk ditelaah
karena berhasil mengungkap hubungan antara kejadian masa lalu dengan
kejadian saat ini yang terjadi pada individu, sebab Jung meyakini bahwa
manusia saat ini secara psikis dipengaruhi oleh bayangan-bayangan masa
lampau dari nenek moyangnya. Pengaruh itu yang secara tidak sadar telah
membentuk kebiasaan atau tingkah laku manusia saat ini. Menurut Jung,
manusia dilahirkan dengan membawa banyak kecenderungan yang
diwariskan oleh leluhurnya, kecenderungan ini membimbing tingkah
lakunya dan sebagian menentukan apa yang akan disadarinya dan
diresponnya dalam dunia pengalaman.
Kepribadian terdiri dari beberapa sistem yang dioperasikan dalam
tiga tingkat dari sebuah kesadaran. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan
tentang pandangan Jung tentang Kesadaran atau Ego, ketidaksadaran
personal (Personal Unconscious) dan ketidaksadaran kolektif (Collective
Unconscious).
a. Ego
Ego menjadi unsur yang menentukan persepsi, pemikiran, perasaan
dan ingatan yang memasuki kesadaran dalam otak kita. Sehingga
dengan demikian, apa yang memasuki otak kita adalah hasil dari
saringan atau proses seleksi. Kesadaran nampak pada awal kehidupan,
mungkin bahkan sebelum proses kelahiran. Secara perlahan, kesadaran

6
dibedakan dari kelahiran pada umumnya, atau kenyataan, kesadaran
atas rangsangan. Sebagai contoh, seorang bayi belajar untuk
membedakan antara setiap individu dari anggota keluarganya dan untuk
membedakan muka-muka yang dikenalinya dengan muka-muka asing
yang tidak dikenalinya. Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan
oleh Jung, satu yang dihasilkan dari proses perbedaan ini adalah sifat
ego. Sebagai pengorganisasian dari pikiran atas kesadaran, ego
memainkan peranan penting dalam aturan gatekeeper (penjaga); yang
menentukan persepsi, pemikiran, perasaan, dan ingatan yang akan
memasuki pintu kesadaran dalam otak kita. Jika ego tidak melakukan
seleksi maka kita akan terkungkung dalam pengalaman yang membuat
pikiran kalut. Melalui penyaringan pengalaman yang pernah dialami,
ego berusaha untuk memelihara koherensi dengan kepribadian dan juga
untuk memberikan perasaan atas identitas dan berkesinambungan.
Dalam interaksi kehidupan manusia dengan lingkungan sekitarnya
baik dengan alam dan sesama manusia, banyak sekali pengalaman yang
akan terlihat namun tidak semuanya secara otomatis dimasukkan alam
dirinya sebagai suatu yang dapat dijadikan pegangan dan pengalaman
fungsional. Oleh karena itu, ego dengan kesadarannya akan
memberikan saringan melalui proses filtrasi, inilah yang dapat orang
yang memiliki kesadaran untuk membedakan dua hal baikburuk,
sesuai-tidak sesuai, layak-tidak layak, dan lain sebagainya. Seseorang
yang memiliki kesadaran akan melakukan itu dengan baik dalam
interaksi dengan lingkungannya. Tujuan utama proses ini adalah agar
seseorang individu dapat menyesuaikan diri dengan baik dengan
lingkungannya.
b. Ketidaksadaran persona
Banyak sekali pengalaman yang dialami oleh setiap manusia, namun
dari sekian banyak pengalaman tersebut banyak yang telah hilang
karena terlupakan atau sengaja direpresi (ditekan) sehingga tidak
membuatnya menjadi sebuah kesan kesadaran, pada akhirnya

7
pengalaman-pengalaman tersebut akan masuk ke dalam ketidaksadaran
personal. Setiap kita pernah mengalami suatu pengalaman, kemdian
mengingatnya dan tanpa disadari melupakan pengalaman itu. Namun
dalam suatu kondisi kita akan dapat mengingatnya kembali tanpa
disadari. Sebagai bagian yang paling penting, isi-isi didalamnya dengan
mudah digapai oleh ketidaksadaran; sebagai contoh, pada saat anda
menjadi dosen, anda terkadang tidak sadar akan amarah yang terjadi
dengan kata-kata yang anda keluarkan dengan teman anda sebelum
kelas dimulai, tetapi anda dapat dengan mudah mengingat argument itu
kembali ketika kelas telah berakhir.
Melalui ketidaksadaran personal ini, sekelompok ide mungkin
terikat bersamaan menjadi sebuah bentuk yang disebut oleh Jung
sebagai suatu yang kompleks. Jung melakukan pencarian tentang
kompleks dalam penelitian mengenai kata. Kata kompleks telah
menjadi sebuah bagian dari bahasa seharihari kita. Pada umumnya, sifat
kompleks adalah ketidaksadaran, walaupun faktorfaktor yang
berhubungan mungkin saja dapat menjadi sebuah kesadaran dari waktu
ke waktunya.
Beberapa sifat yang kompleks mungkin dapat diarahkan untuk
menjadi prestasi terkemuka. Dalam hal ini, Jung mengatakan bahwa
pengalaman yang dialami pada masa awal kanak-kanak adalah sebuah
pengalaman yang akan selalu diingat. Ada banyak impian dan obsesi
yang terbentuk ketika massih anak-anak yang dapat menjadikan
seseorang termotivasi untuk melakukan sesuatu.
c. Ketidaksadaran kolektif
Dalam ketidaksadaran kolektif ini, Jung mengemukakan bahwa
ketidaksadaran yang kolektif disusun oleh gambaran-gambaran dengan
bentuk pemikiran yang kuno atau jejak ingatan dari nenek moyang kita
di masa lalu, bukan hanya masa lalu manusia tetapi juga masa lalu
sebelum peradaban manusia dimulai, dan juga evolusi dari pertalian
keluarga yang terdahulu. Dalam Introduction to Theories of

8
Personality, Jung memberikan contoh dari lingkungan keluarga dengan
sosok seorang ibu, karena dalam kehidupan manusia itu selalu ada
kehadiran seorang ibu, gambaran dari kehadiran seorang ibu itu
tergambarkan dalam ketidaksadaran kolektif yang kita miliki. Dan
gambaran ini, sungguh terpisahkan dari pengalaman pribadi kita dari
ibu kita sendiri, ini adalah gambaran atau pengertian secara universal.
juga cara tersebut merupakan warisan dari kakeknya dan seterusnya.
Namun semua itu tidak disadari bahwa itu adalah sebagai warisan masa
lalu dan hanya terjadi secara alamiah. Inilah yang termasuk dalam
wilayah ketidaksadaran kolektif.
3. Erich Fromm
Erich Seligmann Fromm (1900-1980) adalah seorang psikolog
sosial, psikoanalis, sosiolog, filsuf humanisme, serta teoretikus
sosiodemokrasi dari Jerman. Ia juga dikenal sebagai tokoh teori kritis dalam
mazhab Frankfurt sekaligus ilmuwan berpengaruh dalam bidang
psikoanalisis. Salah seorang eksponen teori kritis, Erich Fromm lahir pada
tanggal 23 Maret 1900 di Frankfrut am Main, Jerman dan meninggal pada
tanggal 18 Maret 1980.
Ia dikenal sebagai seorang psychoanalyst dan social philosopher
yang tertarik untuk mengkaji relasi antara psychology dan masyarakat.
dengan menerapkan prinsip-prinsip psikoanalisa dalam mengamati penyakit
budaya, Fromm percaya bahwa manusia bisa mengembakan sebuah
keseimbangan psikologis masyarakat “sane society”.
Pada masa remaja, Fromm sangat tergerak oleh tulisan-tulisan
Sigmund Freud dan Karl Marx, tetapi dia juga tergerak oleh perbedaan-
perbedaan antara keduanya. Ketika Fromm belajar lebih banyak, dia mulai
mempersoalkan validitas kedua sistem itu. Perhatian utamanya terencana
dengan jelas, Fromm ingin memahami hukum-hukum yang menguasai
kehidupan manusia individual dan hukum-hukum masyarakat. Dengan
demikian, dari Freud Fromm mengambil pandangan bahwa sebagian
besar dari apa yang nyata dalam kehidupan manusia adalah bukan

9
kesadaran dan sebagian besar dari apa yang sadar bukanlah kenyataannya
(Saumantri,2022).Dari Marx, Fromm mengambil pandangan bahwa
manusia tidak bebas, dan tidak dapat bebas jika dia menerima secara tidak
kritis kontrol eksternal oleh adat-istiadat atau lembaga-lembaga sosial
(Semium, 2013).
Freud menggambarkan manusia sebagai yang ditentukan pertama-
tama oleh insting-insting biologis dan kekuatan-kekuatan represi yang
digunakan oleh egonya sendiri. Karl Marx menggambarkan manusia
sebagai yang ditentukan oleh struktur masyarakatnya dan kekuatan-
kekuatan represi yang digunakan oleh keadaan-keadaan darurat
dalam bidang ekonomi dan politik. Fromm memodifikasikan
kedua pandangan tersebut menjadi teori psikoanalitik sosial mengenai
tipe-tipe karakter manusia(Nana Sutika, 2016). Sejarah adalah proses
menciptakan manusia melalui pengembangan dalam proses kerja atas
potensi-potensi yang dimiliki manusia sejak lahir. Menurut Marx apa yang
disebut sebagai sejarah dunia tidak lain adalah penciptaan manusia melalui
proses kerja,dan kemunculan sifat manusia, sehingga manusia memiliki
bukti-bukti yang tidak bisa ditolak tentang penciptaan diri dan sifat dari
asal-usulnya (E. penerjemah: Y. W. Fromm, 2007).
Fromm berpendapat bahwa Marx dihadapkan pada dua
pandangan,yaitu pandangan non-historis yang menunjukan bahwa sifat
manusia merupakan suatu substansi yang telah ada sejak awal sejarah, dan
pandangan relativistik yang menyatakan bahwa sifat manusia bukanlah
sesuatu yang diwarisi dan hanya merefleksikan kondisi-kondisi sosial
sosial. Namun, Marx tidak pernah sampai pada perkembangan sepenuhnya
atas teorinya tentang sifat manusia, yang melampaui pandangan-
pandangan non-historis dan relativistik sehingga dia membuka peluang
munculnya berbagai interpretasi yang beragam dan saling
bertentangan(Nufi Ainun Nadhiron, 2015). Namun demikian,konsep Marx
tentang manusia diikuti dengan sejumlah gagasan tentang patologi manusia
dan tentang kesehatan manusia. Sebagai manifestasi utama dari patologi

10
psikis, Marx berbicara tentang manusia yang teralienasi, sedangkan sebagai
manifestasi utama dari kesehatan psikis,Marx berbicara tentang manusia
yang aktif, produktif, dan mandiri (E. Fromm, 2004).
Meninjau dari pemikiran Freud tentang konsep dan sifat manusia
yang dimana pokok penelitian Freud adalah manusia sebagai manusia, atau
seperti yang dikatakan Spinoza, Freud menyusun suatu model sifat
manusia. Model ini dibentuk dalam kaitannya dengan semangat pemikiran
materialistik abad ke-19. Manusia dilihat sebagai sebuah mesin, yang
didorong oleh jumlah energi seksual konstan yang disebut sebagai
libido(Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, 2003).
Freud mengkontraskannya dengan apa yang disebut sebagai
“prinsiprealitas”, yang menunjukkan pada manusia apa yang mereka cari dan
apa yang perlu dihindari dalam dunia nyata, tempat mereka berdiri, agar
mereka dapat mempertahankan hidup. Prinsip realitas seringkali
berkonflik dengan prinsip kesenangan, dan sebuah keseimbangan
tertentu antara kedua prinsip ini merupakan syarat dari kesehatan
mental manusia. Di lain sisi, jika salah satu dari kedua prinsip itu
mendominasi, maka akan terbentuk manifestasi-manifestasi neurotik atau
psikotik(Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, 1993).
Fromm mengumpulkan data tentang kepribadian manusia dari
banyak sumber, termasuk psikoanalisa dan psikoterapi, antropologi budaya,
dan psikologi sejarah. Dalam psikoanalisa, Fromm terlatih sebagai
seorang analis Freudian. Fromm membandingakn ide-ide Freud dan
Marx, menyelidiki kontradiksi-kontradiksinya dan mencoba melakukan
sintesis. Fromm mengisi celah-celah dalam pemikiran Marx dengan
menggunakan psikoanalisis Freud. Fromm kemudian mengembangkan
sistem terapinya sendiri yang dinamakannya “psikoanalisis
humanistik”(Murtianto, 2006). Dibandingkan dengan Freud, Fromm
sangat memperhatikan aspek-aspek antarpribadi dari pertemuan
terapeutik. Fromm berpendapat bahwa tujuan-tujuan terapi ialah agar
pasien-pasiennya mengetahui diri mereka sendiri. Tanpa mengetahui diri

11
sendiri, maka individu tidak akan mengetahui orang lain atau hal
lain(Wicoyo, 1994).

B. Pandangan Konseling Ego Tentang Manusia


Adler meninggalkan teori dasar Freud karena dia percaya Freud terlalu
sempit dalam penekanannya pada determinasi biologis dan instingtual. Adler
percaya bahwa individu mulai membentuk pendekatan terhadap kehidupan di
suatu tempat dalam 6 tahun pertama kehidupannya. Dia memusatkan perhatian
pada masa lalu orang tersebut seperti yang dirasakan saat ini dan bagaimana
interpretasi individu atas peristiwa awal terus memengaruhi perilaku orang
tersebut saat ini. Menurut Adler, manusia dimotivasi terutama oleh keterkaitan
sosial daripada dorongan seksual; perilaku memiliki tujuan dan terarah pada
tujuan; dan kesadaran, lebih dari ketidaksadaran, adalah fokus terapi. Adler dan
Freud menciptakan teori yang sangat berbeda, meskipun keduanya dibesarkan
di kota yang sama di era yang sama dan dididik sebagai dokter di universitas
yang sama. Pengalaman masa kanak-kanak individu dan mereka yang berbeda,
perjuangan pribadi mereka dan populasi dengan siapa mereka bekerja adalah
faktor kunci dalam pengembangan pandangan khusus mereka tentang sifat
manusia (Schultz & Schultz, 2009).
Dari perspektif Adlerian, perilaku manusia tidak semata-mata ditentukan
oleh faktor keturunan dan lingkungan. Sebaliknya, kami memiliki kapasitas
untuk menafsirkan, memengaruhi, dan membuat acara. Adler menegaskan
bahwa genetika dan keturunan tidak sepenting apa yang kita pilih dengan
kemampuan dan keterbatasan yang kita miliki.

C. Kepribadian
Adler menekankan kesatuan dan ketidakterpisahan orang tersebut dan
menekankan pemahaman keseluruhan pribadi dalam konteks hidupnya
bagaimana semua dimensi seseorang merupakan komponen yang saling
berhubungan, dan bagaimana semua komponen ini disatukan oleh gerakan
individu menuju tujuan hidup. Kepribadian manusia menjadi satu melalui

12
pengembangan tujuan hidup. Pikiran, perasaan, keyakinan, keyakinan, sikap,
karakter, dan tindakan seseorang adalah ekspresi dari keunikannya, dan
semuanya mencerminkan rencana hidup yang memungkinkan pergerakan
menuju tujuan hidup yang dipilih sendiri.
Gaya hidup pergerakan dari perasaan kurang menjadi hasil plus yang
diinginkan dalam pengembangan tujuan hidup, yang pada gilirannya
menyatukan kepribadian dan keyakinan inti individu dan asumsi. Adler
menyebut gerakan hidup ini sebagai "gaya hidup" individu. Sinonim dari istilah
ini mencakup "rencana hidup", "gaya hidup", "strategi untuk hidup", dan "peta
jalan hidup". Gaya hidup mencakup tema penghubung dan aturan interaksi
yang memberi makna pada tindakan kita. Gaya hidup sering kali digambarkan
sebagai persepsi kita tentang diri sendiri, orang lain, dan dunia. Ini termasuk
karakteristik cara berpikir, bertindak, merasa, hidup, dan berjuang menuju
tujuan jangka panjang (Mosak & Maniacci, 2011).

D. Kasus
Resiliensi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu,
kelompok atau masyarakat untuk menghadapi, mencegah, mengatasi,
meminimalkan, bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan serta
mengganggu yang menjadikan individu berada dalam keadaan tertekan baik
itu tekanan dari luar maupun tekanan dari dalam, kemudian individu itu
mampu menyesuaikan diri serta mengubah kondisi kehidupan yang
menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi dan bangkit
kembali dari kemunduran. Terdapat tiga faktor yang menyusun resiliensi pada
diri seseorang, yaitu dukungan eksternal (external support), dukungan internal
Iinternal support), beserta dukungan sosial (social support). berdasarkan ketiga
faktor ini, seorang remaja yang resilien dapat dicirikan dengan adanya
hubungan yang dapat dipercaya antara dirinya dengan orang-orang
disekitarnya, adanya struktur dan atan di rumah yang menjadikannya mampu
mebedakan hal-hal yang baik dn yang buruk, serta adanya dorongan dari
orang-orang sekitar untuk menjadikan dirinya sebagai seseorang yang

13
mandiri.Menurut Hansen dalam Taufik bahwa “seorang individu haruslah
mempunyai ego yang sehat dan ego yang kuat.”13 Manusia lahir ke dunia
dilengkapi kemampuan untuk menampung berbagai perangsang dari luar,
kemampuan untuk merangsang tersebut terletak pada fungsi ego seseorang.
hasil pretest dan posttest diatas, terlihat jelas terdapat penurunan skor
resiensi diri siswa yang memiliki rata-rata skor sedang menjadi tinggi, hal ini
terjadi setelah diberikan perlakuan (treatment). Secara umum semua objek
penelitian mengalami peningkatan skor.Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilaksanakan dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil pretest dengan jumlah
sampel 10 orang sebelum diberikan perlakuan konseling kelompok dengan
pendekatan ego, meannya adalah 135,30 yang mana ini adalah rata-rata
resiliensi diri siswa sebelum diberikan perlakuan dan rata-rata nilai ini
tergolong rendah. Hasil postest dengan jumlah sampel 10 orang setelah
diberikan perlakuan konseling kelompok dengan pemdekatan ego, meannya
adalah 136,10 yang mana ini adalah rata-rata resiliensi diri siswa setelah
diberikan perlakuan dan nilai ini tergolong tinggi.
Terdapat perbedaan antara nilai pretest dengan nilai posttest,
pernyataan ini didukung dengan dibuktikan dari hasil asymp sig (2-tailed)
diperoleh nilai sebesar (0,005) yang berarti lebih kecil dari alpha (0,05). Maka
dapat dikatakan Ha diterima zhitung 2,807 > dari ztabel 1,833 yaitu pada taraf
signifikansi 0,05, maka dapat dikatakan Ha diterima dan H0 ditolak, artinya
terdapat peningkatan resiliensi diri siswa untuk pretest dan postest melalui
layanan konseling kelompok dengan pendekatan ego. Berdasarkan hasil
penelitian di SMA N 2 Padang Panjang, maka peneliti memberikan beberapa
rekomendasi, diantaranya kepada guru BK agar lebih meningkatkan lagi
pelaksanaan layanan konseling kelompok dengan pendekatan ego secara baik
dan berkesinambungan, agar resiliensi diri siswa dapat berfungsi dengan baik.
Khususnya siswa di SMA N 2 Padang Panjang. Selain itu, siswa diharapkan
agar senantiasa bersikap proaktif dalam mengikuti kegiatan layanan untuk
mengentaskan permasalahan yang dialami, sehingga Guru BK dapat

14
memanfaatkan layanan konseling kelompok dengan pendekatan ego untuk
meningkatkan resiliensi diri.

E. Tujuan Konseling
1. Tujuan
Menurut Hansen, dkk. (1977), tujuan konseling pada pendekatan
Alderians sangat sederhana yaitu untuk membantu individu mengubah
konsep dirinya sendiri. Tujuan-tujuan spesifik ini yaitu:
a. Untuk membantu individu mengurangi penilaian negatifnya tentang
dirinya, perasaan rendah diri.
b. Untuk membantunya mengoreksi persepsinya tentang berbagai
peristiwa dan, pada saat yang sama, membantunya mengembangkan
seperangkat tujuan baru yang dengannya ia dapat mengarahkan
perilakunya.
c. Untuk membangun kembali dalam diri individu adalah kepentingan
sosial yang melekat dengan interaksi sosial yang menyertainya.
2. Teknik Konseling
Teknik konseling pada pendekatan koseling psikologi individual ini
(Hansen, 1977; Prayitno, 2005) yaitu:
a. Membangun hubungan yang baik antara klien dengan konselor, jangan
sampai klien takut (sosial interest):
b. Tiga tahap dalam proses konseling:
1) Mengembangkan pemahaman tentang life goal dan life style klien
2) Menginterpretasikan tingkah laku klien sehingga klien menyadari
bagaimana tujuan-tujuan (yang termuat di dalam tingkah lakunya
itu) menimbulkan gangguan ataupun kesulitan).
3) Apabila kesadaran tersebut muncul, dikembangkanlah social interest
klien
c. Teknik:
1) Analisis life style
2) Interpretasi early recollections

15
3) Interpretation
4) Adlerian Consultation

F. Teknik Konseling
Proses konseling berfokus pada memberikan informasi, mengajar,
membimbing, dan menawarkan dorongan kepada klien yang putus asa.
Dorongan adalah metode paling ampuh yang tersedia untuk mengubah
keyakinan seseorang, karena itu membantu klien membangun kepercayaan diri
dan merangsang keberanian. Keberanian adalah kesediaan untuk bertindak
bahkan ketika merasa takut dengan cara yang sesuai dengan kepentingan sosial.
Berikut merupakan teknik dan proses konseling yang di paparkan oleh Adlerd,
yaitu:
1. Fase 1: Membangun Hubungan
Praktisi Adlerian bekerja secara kolaboratif dengan klien, dan
hubungan ini didasarkan pada rasa ketertarikan yang tumbuh menjadi
perhatian, keterlibatan, dan persahabatan. Proses konseling, agar efektif,
harus menangani masalah pribadi yang diakui klien sebagai hal yang
penting dan bersedia untuk dieksplorasi dan diubah, dengan kekurangan dan
kewajiban mereka. Selama fase awal, hubungan positif tercipta dengan
mendengarkan, menanggapi, menunjukkan rasa hormat terhadap kapasitas
klien untuk memahami tujuan dan mencari perubahan, dan menunjukkan
iman, harapan, dan kepedulian. Ketika klien memasuki terapi, mereka
biasanya memiliki rasa harga diri dan harga diri yang berkurang.
2. Fase: Jelajahi Dinamika Psikologi Individu
Tahap kedua dari konseling Adlerian adalah untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih dalam tentang gaya hidup individu. Selama fase
penilaian ini, fokusnya adalah pada konteks sosial dan budaya individu.
Daripada mencoba untuk menyesuaikan klien menjadi model yang telah
terbentuk sebelumnya, praktisi Adlerian mengizinkan konsep identitas
budaya yang menonjol untuk muncul dalam proses terapi, dan masalah ini
kemudian ditangani (Carlson & Englar-Carlson, 2008). Selanjutnya,

16
konselor membantu klien untuk menceritakan kisah hidupnya selengkap
mungkin.
Proses ini difasilitasi oleh penggunaan mendengarkan dan
menanggapi dengan empatik. Mendengarkan secara aktif, bagaimanapun,
tidaklah cukup. Wawancara subjektif harus mengikuti dari rasa ingin tahu,
terpesona, dan tertarik. Apa yang dikatakan klien akan memicu minat pada
konselor dan secara alami mengarahkan ke pertanyaan atau pertanyaan
paling penting berikutnya tentang klien dan kisah hidupnya.
3. Fase 3: Mendorong Pemahaman Diri dan Wawasan
Terapis Adlerian menafsirkan temuan penilaian sebagai jalan untuk
mempromosikan pemahaman diri dan wawasan. Mosak dan Maniacci
(2011) mendefinisikan wawasan sebagai "pemahaman diterjemahkan ke
dalam tindakan konstruktif" (hlm. 89). Ketika Adlerians berbicara tentang
wawasan, mereka mengacu pada pemahaman tentang motivasi yang
beroperasi dalam kehidupan klien. Pemahaman diri hanya mungkin jika
maksud dan tujuan tersembunyi dari perilaku disadari. Adlerians
menganggap wawasan sebagai bentuk khusus dari kesadaran yang
memfasilitasi pemahaman yang berarti dalam hubungan terapeutik dan
bertindak sebagai dasar untuk perubahan.
4. Fase 4: Reorientasi dan Pendidikan Ulang
Fase ini berfokus pada membantu klien menemukan perspektif baru
dan lebih fungsional. Klien didorong dan ditantang untuk mengembangkan
keberanian untuk mengambil risiko dan membuat perubahan dalam hidup
mereka. Selama fase ini, klien dapat memilih untuk mengadopsi gaya hidup
baru berdasarkan wawasan yang mereka peroleh pada fase terapi
sebelumnya. Adlerians tertarik pada lebih dari sekedar perubahan perilaku.
Reorientasi melibatkan pergeseran aturan interaksi, proses, dan motivasi.
Terapi Adlerian bertentangan dengan depresiasi diri, isolasi, dan
retret, dan berusaha membantu klien mendapatkan keberanian dan
terhubung dengan kekuatan di dalam diri mereka, dengan orang lain, dan

17
dengan kehidupan. Sepanjang fase ini, tidak ada intervensi yang lebih
penting daripada dorongan.

Penerapan Terapi Adlerd dalam Konseling Multi-Budaya


Teori Adlerian membahas masalah kesetaraan sosial dan keterikatan
sosial manusia jauh sebelum multikulturalisme diasumsikan menjadi
kepentingan sentral dalam profesi (Watts & Pietrzak, 2000). Adler
memperkenalkan gagasan dengan implikasi terhadap multikulturalisme yang
memiliki banyak atau lebih relevansi hari ini seperti yang mereka lakukan
selama masa Adler (Pedersen, seperti dikutip dalam Nystul, 1999). Adlerians
memungkinkan konsep yang luas tentang usia, etnis, gaya hidup, orientasi
seksual/afeksi, dan perbedaan gender muncul dalam terapi. Proses terapeutik
didasarkan pada budaya dan pandangan dunia klien daripada mencoba
menyesuaikan klien ke dalam model yang telah terbentuk sebelumnya.
Adlerians menyelidiki budaya dengan cara yang sama seperti mereka
mendekati urutan kelahiran dan suasana keluarga. Budaya adalah titik pandang
yang menguntungkan dari mana kehidupan dialami dan ditafsirkan; itu juga
merupakan latar belakang nilai, sejarah, keyakinan, kepercayaan, adat istiadat,
dan harapan yang harus dibenahi oleh individu. Adlerians menemukan dalam
budaya yang berbeda peluang untuk melihat diri sendiri, orang lain, dan dunia
dalam cara multi dimensi.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adler percaya bahwa individu mulai membentuk pendekatan terhadap
kehidupan di suatu tempat dalam 6 tahun pertama kehidupannya. Menurut
Adler, manusia dimotivasi terutama oleh keterkaitan sosial daripada dorongan
seksual, perilaku memiliki tujuan dan terarah pada tujuan, dan kesadaran, lebih
dari ketidaksadaran, adalah fokus terapi.
Carl Gustav Jung dikenal sebagai penemu Teori Psikologi Analitik.
Pemikiran-pemikiran Carl Gustav Jung dipengaruhi oleh perkembangan ilmu
pengetahuan dan filosofi pada abad ke-19, seperti contoh aplikasi tentang teori
evolusi dalam pengertian kehidupan manusia, penemuan-penemuan dalam
arkeologi, ilmu tentang perbandingan budaya manusia.
Erich froom dikenal sebagai seorang psychoanalyst dan social philosopher
yang tertarik untuk mengkaji relasi antara psychology dan masyarakat. dengan
menerapkan prinsip-prinsip psikoanalisa dalam mengamati penyakit budaya,
Fromm percaya bahwa manusia bisa mengembakan sebuah keseimbangan
psikologis masyarakat “sane society”.

B. Saran
Semoga setelah kita mempelajari materi mengenai konseling ego kita dapat
memahami penjelasannya, perbedaan serta dapat menerapkan ilmunya dalam
kehidupan sehari-hari.

19
DAFTAR PUSTAKA

Budiraharjo, Paulus. 1997. Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir. Kanisius:


Yogyakarta
Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, Introduction to Theories Of Personality New
York: John Willey & Sons, 1985
Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung:
Rapika Aditama.
Mosak, H. H., & Maniacci, M. (2011). Adlerian therapy. In R.J. Corsini & D.
Wedding (Eds.), Current psychotherapies (9th ed., pp. 67-112). Belmont, CA:
Brooks/Cole.
Nana Sutika. (2016). Ideologi Manusia Menurut Erich Fromm (Perpaduan
Psikoanalisis Sigmund Freud Dan Kritik Sosial Karl Marx). Jurnal
Filsafat, 18(2), 205–222. https://doi.org/10.22146/jf.3525.
Ricker, M., Nystul, M., & Waldo, M. (1999). Counselors' and clients' ethnic
similarity and therapeutic alliance in time-limited outcomes of
counseling. Psychological Reports, 84(2), 674-676.
Semium, Y. (2013). Teori-teori Kepribadian: Psikoanalitik Kontemporer. Kanisius.
Shultz, D., & Shultz, S. (2009). Theories of Personality (9th ed.). Belmont, CA:
Wadsworth, Cengage Learning.
Suryosumunar, J. A. Z. (2019). Konsep Kepribadian dalam Pemikiran Carl Gustav
Jung dan Evaluasinya dengan Filsafat Organisme Whitehead. Sophia
Dharma: Jurnal Filsafat, Agama Hindu, dan Masyarakat, 2(1), 18-34.
Watts, R. E., & Pietrzak, D. (2000). Adlerian “encouragement” and the therapeutic
process of solution‐ focused brief therapy. Journal of Counseling &
Development, 78(4), 442-447.

20

Anda mungkin juga menyukai