Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

FILSAFAT ILMU

Asumsi Dasar Keilmuan

(Rasional, Empiris, Kritis, Intuisi)

Dosen Pengampu:

1. Prof. Dr. Jamaris, M.Pd


2. Prof. Dr. Solvema, M.Pd

Kelompok 8:

Lita Fitara Cania (22151018)

Lusi Ramadhani (22151019)

Suci Amaliya Fradinata (22151034)

Ummi Kalsum Hasibuan (22151039)

PROGRAM STUDI MAGISTER BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, yang memberikan pengetahuan kepada kita dan terus mencari nilai-
nilai kehidupan yang sejatinya adalah Ridha Ilahi. Shalawat dan salam kepada
Nabi Muhammad SAW yang berjuang demi tegak nya nilai-nilai kemanusiaan.

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah filsasat
ilmu dengan tujuan agar kita dapat mengetahui asumsi dasar keilmuan (rasional,
empiris, kritis, intuisi), makalah ini kami susun tentunya dengan berbagai sumber
yang kami tuangkan dalam bentuk makalah. Kami mengharapkan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang sifat nya membangun tetap kami nantikan demi kesempurnaan penulisan
makalah ini ke depannya.

Padang, 1 November 2022

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Rasional ................................................................................................................ 3
B. Empiris ................................................................................................................. 4
C. Kritis ..................................................................................................................... 5
D. Intuisi .................................................................................................................... 7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 8
B. Saran ..................................................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mencari suatu ilmu itu tidak mungkin terlepas dari suatu
asumsi dasar seseorang dimana itu tentu saja harus ada asumsi atau
anggapan dasar tentang sesuatu. Asumsi dapat diartikan sebagai dugaan
yang diterima sebagai dasar atau landasan berfikir karena dianggap benar
sedangkan asumsi dalam filsafat ilmu ini yaitu anggapan atau andaian
dasar tentang realitas suatu objek yang menjadi penelaahan atau pondasi
bagi penyusunan bagi pengetahuan ilmiah yang diperlukan dalam
pengembangan ilmu. Karena tanpa asumsi anggapan orang atau tentang
realitas bisa berbeda tergantung dari sudut pandang orang. Idealnya ilmu
pengetahuan bebas asumsi, yang berasal dari pengamatan yang jelas tanpa
terjebak dengan teori-teori lalu yang bisa salah. Semua pernyataan harus
dibuktikan secara empiris. Sayangnya hal semacam ini sangat tidak
mungkin. Ilmu pengetahuan akan selalu menyimpan asumsi di dalamnya.
Dalam mendapatkan pengetahuan seorang ilmuwan/peneliti harus
membuat bermacam asumsi mengenai objek-objek empiris karena dalam
menentukan asumsi hanya bisa dilakukan oleh si ilmuwan/peneliti sendiri
sebelum melakukan kegiatan penelitian, apakah sebenarnya yang ingin
dipelajari dari suatu ilmu yang akan ditelitinya. Semakin banyak asumsi
akan semakin sempit ruang gerak penelitiannya. Asumsi diperlukan karena
pernyataan asumtif inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan
penelaahan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian rasional dalam asumsi dasar keilmuwan?
2. Bagaimana pengertian empiris dalam asumsi dasar keilmuwan?
3. Bagaimana pengertian kritis dalam asumsi dasar keilmuwan?
4. Bagaimana pengertian intuisi dalam asumsi dasar keilmuwan?

1
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mendeskripsikan pengertian rasional dalam asumsi dasar
keilmuwan.
2. Untuk mendeskripsikan pengertian empiris dalam asumsi dasar
keilmuwan.
3. Untuk mendeskripsikan pengertian kritis dalam asumsi dasar
keilmuwan.
4. Untuk mendeskripsikan pengertian intuisi dalam asumsi dasar
keilmuwan`

2
BAB II

PEMBAHASAN
Asumsi dapat diartikan sebagai dugaan yang diterima sebagai dasar
atau landasan berfikir karena dianggap benar. Sedangkan pengertian asumsi
dalam filsafat ilmu merupakan anggapan/andaian dasar tentang realitas suatu
objek yang menjadi pusat penelaahan atau pondasi bagi penyusunan
pengetahuan ilmiah yang diperlakukan dalam pengembangan ilmu. Tanpa
asumsi anggapan orang atau pihak tentang realitas bisa berbeda, tergantung
dari sudut pandang dan kacamata apa. Asumsi-asumsi dasar proses keilmuan
manusia terdiri dari segi:
A. Rasional
Aliran rasional ini sangat mementingkan rasio dalam memutuskan
atau menyelesaikan suatu masalah. Dalam aliran rasional ini sangat
mendamba-dambakan otak atau rasio sebagai satu-satunya yang menjadi
alat untuk menyelesaikan masalah karena menurut aliran ini, di dalam
rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu
pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio (Susanto, 2017:36-
37).
Rene Descartes dianggap tokoh yang paling berpengaruh dalam
aliran rasional ini. Descartes berpendapat bahwa agar filsafat dan ilmu
pengetahuan dapat diperbarui, kita memerlukan suatu metode yang baik,
yaitu dengan menyangsikannya segala-galanya atau keragu-raguan.
Menurutnya, suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal adalah cogito
ergo sum yang artinya “saya yang sedang menyangsikan, ada”. Untuk
memperoleh hasil yang shahih, dalam metodenya, Descartes
mengemukakan empat hal berikut ini:
1. Tidak menerima suatu pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya
melihat hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas (clearly and
distinctly), sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang
mampu merobohkannya.

3
2. Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu atau sebanyak
mungkin bagian, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang
mampu merobohkannya.
3. Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang
sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap
sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4. Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya
harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta
pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita
yakin bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau
ketinggalan dalam penjelajahan itu.
Karena kesaksian apapun dari luar tidak dapat dipercaya, maka
menurut Descartes, saya mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam diri
saya dengan menggunakan norma corgito ergo sum. Descartes
berpendapat bahwa dalam dirinya terdapat tiga ide bawaaan (innate ideas)
yang sudah ada sejak lahir, yaitu “pemikiran”, “Allah”, dan “keluasan”.
Menurut Rene Descartes (Bapak Rasionalisme) bahwa kebenaran
suatu pengetahuan melalui metode deduktif melalui cahaya yang terang
dari akal budi. Maka akal budi dipahamkan sebagai:
1. Sejenis perantara khusus, yang berkaitan dengan perantara itu dapat
dikenal kebenaran.
2. Suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat
ditemukan kebenaran-kebenaran yaitu dengan melakukan penalaran.

Fungsi pengalaman inderawi bagi penganut rasionalisme sebagai


bahan pembantu atau sebagai pendorong dalam penyelidikannya suatu
memperoleh kebenaran (Rusdiana, 2018: 55-56).

B. Empiris
Empiris adalah suatu paham kefilsafatan yang menyatakan bahwa
semua pengetahuan itu berasal dari pengalaman manusia. Hanya dari

4
pengalaman-pengalaman tersebut manusia dapat menemukan kebenaran
(Sudiantara, 2019:10).
Empiris memberikan tekanan pada empiris atau pengalaman
sebagai sumber pengetahuan. Istilah empiris ini berasal dari kata yunani,
emperia, yang berarti pengalaman inderawi. Empirisme ini sangat
bertentangan dengan rasional terutama dilihat dari sumber pengetahuannya
(Susanto, 2017:37-38).
Salah satu tokoh ini yaitu adalah Thomas Hobbes (1588-1679),
yang lahir di inggris pada saat penyerbuan oleh spanyol ke inggris,
sebagaimana umumnya penganut empiris, hobbes beranggapan bahwa
pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan. Pengenalan
intelektual tidak lain daripada semacam perhitungan, yakni penggabungan
data-data inderawi yang sama dengan cara yang berlainan. Pengalaman
adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan di dalam
ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan,
sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu.
Pada perkembangan selanjutnya, Hobbes di dalam pandangannya
tentang dunia dan manusia dapat dikatakan sebagai penganut matrealisme.
Hobbes juga tidak menyetujui pandangan Descartes tentang jiwa sebagai
substansi rohani. Menurut Hobbes seluruh dunia, termasuk juga manusia
merupakan suatu proses yang berlangsung dengan tiada henti-hentinya.
C. Kritis
Kritisisme merupakan penggabungan antara rasionalisme dan
empirisme, yaitu bahwa pengetahuan kitta itu diperoleh melalui akal dan
pancaindera kita. Obyek di luar diri kita memberikan pengalaman kepada
kita melalui indera. Pengalaman itu dirasionalkan oleh subyek (kita)
menjadi pengetahuan. Aliran kritisisme ini dikenal pula sebagai kritisisme
Kant, karena filosof Emanuel Kant yang pertama kali mengkritik dan
menganalisis kedua macam sumber pengetahuan itu dan menggabungkan
keduanya. Pengetahuan yang diperoleh dengan akal menggunakan metode

5
berpikir analisis-aprioris, sedangkan pengetahuan yang diperoleh dengan
empiris menggunakan metode sintesis-aposterioris.
Emanuel Kant, Friedrich Hegel, dan Karl Marx dipandng sebagai
filosof kritis pada zamannya yang berkembang setelah Renaissance.
Menurut Kant, kritik adalah kegiatan menguji sahih tidaknya klaim
pengetahuan menurutaspek rasio semata. Menurut Kant, rasio dapat
menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri, yaitu ilmu pengetahuan
dalam konteks perkembangannya dalam sejarah. Bagi Hegel, kritik
merupakan refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan, dan
kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri dalam sejarah.
Jalan pikiran Hegel banyak mempengaruhi mahasiswa yang dikenal
sebagai Hegelian Kanan dan Hegelian Kiri (Hegelian Muda). Diantara
Hegelian kiri itu adalah Karl Marx. Marx menganggap bahwa teori kritik
Hegel adalah sejarah kesadaran bukan sejarah manusia yang bersifat
praktis emansipatoris, yaitu berupa tindakan nyata yang bersifat
membebaskan. Marx menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sejarah
adalah hubungan kekuasaan antara pemilik modal atau kaum borjuis di
satu pihak, dan pihak lain yaitu kaum buruh yang tidak memiliki modal
(Soelaiman, 2019: 76-77).
Menurut Wijana dkk, (2020:85-86) Ciri-ciri kritis dapat
disimpulkan tiga hal sebagai berikut:
a) Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek
b) Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk
mengetahui realitas atau hakikat sesuatu. Rasio hanyalah mampu
menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja
c) Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh
atas perpaduan antara peranan unsur anaximenes apriori yang
berasal dari rasio.

6
D. Intuisi
Intusionalisme adalah suatu aliran atau faham yang menganggap
bahwa intuisi (naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran.
Intuisi termasuk salah satu kegiatan berfikir yang tidak didasarkan pada
penalaran (Rusdiana, 2018: 38). Jadi instuisi adalah non-analitik dan tidak
didasarkan atau suatu pola berfikir tertentu dan sering bercampur aduk
dengan perasaan. Tokoh aliran intusionalisme, antara lain: Plotinos (205-
270) dan Henri Bergson (1859-1994).
Menurut Henry Bergson, bahwa intuisi adalah hasil dari evolusi
pemahaman yan tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi
berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan
ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa intuisi
adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak. Menurutnya,
mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat
analisis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu penggambaran secara
simbolis. Karena itu intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika.
Intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis, yang pada
dasarnya bersifat analitis, dan memberikan kepada kita keseluruhan yang
bersahaja, yang mutlak tanpa sesuatu ungkapan, terjemahan atau
penggambaran secara simbolis. Maka menurut Bergson, intuisi ialah suatu
sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Pengetahuan yang
diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak ada yang berpendirian bahwa apa
yang diberikan oleh indera hanyalah yang menampak belaka, sebagai
lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka
mengatakan bahwa sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang
menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan
kepada kita keadaannya yang senyatanya (Wijana, 2020:89-90).

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asumsi dalam filsafat ilmu merupakan anggapan/andaian dasar
tentang realitas suatu objek yang menjadi pusat penelaahan atau pondasi
bagi penyusunan pengetahuan ilmiah yang diperlakukan dalam
pengembangan ilmu. Rasional sangat mementingkan rasio dalam
memutuskan atau menyelesaikan suatu masalah. Empiris memberikan
tekanan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Kritisisme merupakan
penggabungan antara rasionalisme dan empirisme, yaitu bahwa
pengetahuan kitta itu diperoleh melalui akal dan pancaindera kita.
Intusionalisme adalah suatu aliran atau faham yang menganggap bahwa
intuisi (naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran.
B. Saran
Semoga setelah kita mempelajari materi mengenai asumsi dasar
pengetahuan (rasional, empiris, kritis, intuisi) kita dapat mengerti
maknanya serta perbedaan pada setiap masing-masing asumsi yang
terdapat di dalamnya.

8
DAFTAR PUSTAKA
Rusdiana. 2018. Filsafat Ilmu. Bandung: UIN SGD Bandung
Soelaiman, D, A. 2019. Filsafat Ilmu Pengetahuan Persepektif Barat
Dan Islam. Aceh: Bandar Publishing
Sudiantara, Y. 2019. Filsafat Ilmu (Inti Filsafat Ilmu Pengetahuan).
Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.
Susanto. 2017. Filsafat Ilmu Kajian Dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologi, Dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara
Wijana. N dkk. 2020. Pengantar Filsafat Ilmu. Surabaya: Jakad Media
Publishing

Anda mungkin juga menyukai