Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

FILSAFAT ILMU
PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN: RASIONALISME DAN
EMPIRISME

DOSEN PENGAMPU: Prof. Dr. H. Munirul Abidin, M.Ag.

Kelompok 5:

Anis Nuraini 220603110013

Adinda Lailatus Sa’diyah 220603110014

Ashfa Diniyah Assabilah 220063110015

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat dan anugerah-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Filsafat Ilmu “Paradigma Pengembangan Ilmu
Pengetahuan: Rasionalisme Dan Empirisisme.” tepat pada waktunya. Shalawat serta salam
juga semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah menjadi
suri tauladan bagi kita semua dengan membimbing kita dari jalan kegelapan menuju jalan
yang terang benderang yakni addinul islam wal iman.

Dalam pembuatan makalah ini, tidak pernah lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Ilmu yang telah mengajarkan ilmunya kepada
penulis selama ini. Tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
penulis senantiasa mengharap kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Amiin Yaa Robbal ‘Aalamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.

Malang, 27 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………….. i

KATA PENGANTAR……………………………………………………………… ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………….. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………. 2
C. Tujuan Masalah……………………………………………………. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan


1. Pengertian Paradigma………………………………….............. 3
2. Cara Kerja Paradigma Ilmu Pengetahuan……………………... 4
B. Rasionalisme Dalam Paradigma Ilmu Pengetahuan
1. Pengertian Rasionalisme………………………………………. 5
2. Pengaruh Dan Peranan Rasionalisme Pada Ilmu Pengetahuan... 5
C. Empirisme Dalam Paradigma Ilmu Pengetahuan
1. Pengertian Empirisme…………………………………………. 7
2. Pengaruh Dan Peranan Empirisme Pada Ilmu Pengetahuan….. 8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………... 10

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….... 11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang secara evolutif dalam kehidupan manusia.
Ia berlangsung dalam rentang waktu yang lama. Tumbuh dan berkembangnya ilmu
pengetahuan sangat dipengaruhi oleh dinamika komunitas keilmuan dan berbagai persoalan
yang berkembang dalam kehidupan manusia. Problematika kehidupan yang sering terjadi
dalam kehidupan sehari-hari bisa juga menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Hal ini disebabkan oleh sifat manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang telah
diraihnya dalam kehidupan dan perubahan lingkungan hidup yang tidak kondusif.

Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah
puas denga napa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang
sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban-
jawaban tersebut juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan metode
tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran yang bersifat
semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara-
cara ilmiah.

Untuk itulah setiap manusia harus dapat berfikir filosofis dalam menghadapi segala
realitas kehidupan ini yang menjadikan filsafat harus dipelajari. Semakin ilmu pengetahuan
menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), semakin nyata dan
konkrit pula tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat adalah
studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dengan
mendalami sebab-musabab terdalam. Dalam konteks ini filsafat menjadi upaya spekulatif
untuk melukiskan realitas dan menentukan batas-batas pengetahuannya. Disini terdapat
pengandaian-pengandaian yang meliputi kebenaran-kebenaran. Dengan berfilsafat manusia
diharapkan dapat menyelesaikan persoalan hidup secara kritis dan lebih tanggung jawab1.

Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan reflektif tentang seluruh


kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (pikiran) atas keseluruhan realitas
untuk mencapai hakikat (inti isi kebenaran) dan memperoleh hikmat (kebijaksanaan).

1
Drs. Yosephus Sudiantara, BTh,. MS, Filsafat Ilmu Inti Filsafat Ilmu Pengetahuan. (Semarang: Universitas
Katolik Soegijapranata, 2020), hal 2-3

1
Al-Kindi (801-873 M) seorang filsuf Arab mengatakan bahwa kegiatan manusia tingkat
tertinggi adalah filsafat, yaitu pengetahuan yang benar mengenai hakikat segala yang ada
sejauh mungkin bagi manusia. Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu
pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran2.

Pemikiran atau cara pandang dalam filsafat dibahas dalam paradigma. Dari
paradigma, akan muncul sebuah pemikiran yang lebih menyempit yakni rasionalisme dan
empirisisme. Oleh karena itu, dalam tulisan ini sangatlah penting sekiranya untuk diulas
secara mendalam tentang bagaimana corak pemikiran rasionalisme dan empirisme dalam
paradigma ilmu pengetahuan.

B. Rumusan Masalah
berdasarkan latar belakang penulis makalah ini, maka dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah yang dimaksud Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan dalam Filsafat
Ilmu?
2. Apakah pengertian Rasionalisme dalam Paradigma Pengembangan Ilmu
Pengetahuan?
3. Apakah pengertian Empirisme dalam Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan?

C. Tujuan Masalah

dengan dirumuskannya sebuah masalah, penulis menulis tujuan yang ingin dicapai yaitu:

1. Untuk mengetahui Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan dalam Filsafat Ilmu


2. Untuk mengetahui Rasionalisme dalam Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan
3. Untuk mengetahui Empirisme dalam Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan

2
.

2
Soejono Soemargono, Berpikir Secara Kefilsafatan. (Yogyakarta: Nur Cahya, 1980).
BAB II

PEMBAHASAN

A. Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan


1. Pengertian Paradigma

Sebelum menguraikan lebih lanjut tentang pengertian rasionalisme dan empirisme,


terlebih dahulu yang harus dipahami ialah “Paradigma” dalam pengembangan ilmu
pengetahuan pada Filsafat Ilmu, karena darinyalah akan muncul sebuah pemikiran tentang
rasionalisme dan empirisme.

Secara etimologis, kata paradigma berasal dari Bahasa Inggris yang merupakan kata
serapan dari bahasa Latin yaitu paradigma yang berarti suatu model atau pola. Juga dalam
Bahasa Yunani paradeigma yang berarti membandingkan. Kata ini berasal dari para yang
berarti bersebelahan dan deiknunai yang berarti memperlihatkan. Sedangkan secara
terminologis, istilah paradigma diartikan sebagai sebuah pandangan ataupun cara pandang
yang digunakan untuk menilai dunia dan alam sekitarnya, yang merupakan gambaran ataupun
prespektif umum berupa cara-cara untuk menjabarkan berbagai macam permasalahan dunia
nyata yang sangat kompleks.

Pengertian paradigma (George Ritzer, 2009) menurut kamus filsafat adalah :

1. Cara memandang sesuatu


2. Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang
dan dijelaskan.
3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan atau
mendefinisikan suatu study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada
tahap tertentu.
4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem
riset.

Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan fisikawan Amerika Thomas Samuel


Khun (1922-1996) dalam bukunya The Structure Of Scientific Revolution (1962) dan
kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs dalam bukunya Sociology Of Sociology
(1970). Menurut Khun, pradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi
oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of

3
knowing yang spesifik. Menurut Khun yang dikutip George Ritzer, Paradigma adalah
gambaran fundamental dari
pokok bahasan dalam ilmu pengetahuan. Dia menentukan apa yang harus dipelajari,
pertanyaan apa yang harus diajukan, bagaimana pertanyan-pertanyaan tersebut harus
diajukan, dan aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban-jawaban yang
diperoleh. Paradigma adalah unit terluas dari konsensus dalam ilmu pengetahuan dan
membedakan suatu komunitas ilmiah dari yang lain. Ia memuaskan, mendefinisikan, dan
menghubungkan sejumlah contoh, teori dan metode, serta instrument yang ada di dalamnya3.

2. Cara Kerja Paradigma Ilmu Pengetahuan

Menurut Khun dalam Rizal Mustansyir (Filsafat Ilmu, 2010: 154) menyatakan bahwa
cara kerja paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah secara singkat dapat digambarkan ke
dalam tahap-tahap yang akan dikemukakan berikut :

Tahap Pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa
ilmu normal (normal science). Disini para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan
mengembangkan paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan
mendalam. Dalam tahap ini para ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang
membimbing aktivitas ilmiahnya. Selama menjalankan aktivitas ilmiah itu para ilmuwan
menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dalam paradigma yang
dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya itu, ini dinamakan anomali.
Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara
kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.

Tahap kedua, menumpuknya anomali-anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para


ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan
mulai keluar dari jalur ilmu normal.

Tahap Ketiga, para ilmuwan bisa Kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sembari
memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa
memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari
paradigma lama ke paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi ilmiah4.

3
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal 6-7.
4
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 154.

4
B. Raisonalisme Dalam Paradigma Ilmu Pengetahuan
1. Pengertian Rasionalisme

Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya


peran akal tau ide sebagai sumber pengetahuan5. Yang dimaksud rasional adalah
unsur unsurnya berhubungan secara logis, Artinya pemikiran filsafat harus diuraikan
dalam bentuk yang logis, yaitu suatu bentuk suatu bentuk kebenaran yang mempunyai
kaidah kaidah berpikir (logika). Sedangkan menurut Macmurry, pandangan realis
adalah pandangan common sense dan merupakan satu-satunya pandangan yang dapat
bertahan di tengah berbagai aktivitas. Dengan demikian, sebagai filsafat yang kerap
membicarakan mengenai ide itu sangat penting, maka alam ide atau pikiran tidak
didefinisikan eksistensinya6. Sementara indra dinomorduakan. Hal ini timbul sejak
masa Renaisans (abad 14-15 M) yang dipelopori oleh Descartes yang dikembangkan
berdasarkan filsafat plato7.

Rasionalisme sudah tua sekali, pada zaman Thales (624-546 SM) telah
menerapkan rasionalisme pada filsafatnya. Pada filsafat modern, tokoh pertama
rasionalisme adalah Descarts, (1596-1650), kemudian dilanjutkan oleh beberapa
tokoh lain, yaitu Baruch De Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716) dan Blaise
Pascal (1632-1662). Setelah periode ini, rasionalisme dikembangkan secara sempurna
oleh Hegel yang kemudian terkenal sebagai tokoh rasionalisme dalam sejarah.

2. Pengaruh Dan Peranan Rasionalisme Pada Ilmu Pengetahuan

Rasionalisme adalah suatu dasar kebenaran karena rasionalisme diambil dari kata
rasio yang berarti benar. Kebenaran ini menitik beratkan pada akal budi atau rasio. Manusia
menggunakan akalnya untuk berfikir dan menangkap suatu pengetahuan yang ada. Aliran ini
meyakini akan adanya kebenaran dari akal manusia dan tak mungkin kebenaran itu
didasarkan pada suatu kebohongan, karena yang menjalankan adalah akal, dan akal
merupakan suatu ciptaan Allah yang diberikan kepada manusia dan tak mungkin adanya
suatu kebohongan.

5
Akmal Bashori, Filsafat Hukum Islam: Paradigma Filosofis Mengais Kebeningan Hukum Tuan.
(Jakarta Timur: Kencana, 2020), hal 102.
6
Welhendri Azwar, Muliono, Filsafat Ilmu: Cara Mudah Memahami Filsafat Ilmu. (Jakarta: Kencana,
2021), hal 62

5
7
Imanuddin, “Filsafat Ilmu dalam Pengkajian Islam” dalam Studi Islam: Insider/Outsider.
(Yogyakarta: IRCISoD, 2013), hal 139.
Rasionalisme merupakan suatu pemikiran paradigma yang menjadikan akal
(rasio) sebagai sumber dari segala pengetahuan. Menurut aliran ini, suatu pengetahuan
diperoleh dengan cara berfikir. Selain menjadi sumber pengetahuan, akal juga
digunakan untuk mengetes pengetahuan. Dalam hal ini akal akan menyeleksi apa
sesuatu bisa dikatakan suatu pengetahuan atau tidak. Dengan kekuasaan akal
tersebut, orang berharap akan lahir suatu dunia baru yang lebih sempurna, dipimpin
dan dikendalikan oleh akal sehat manusia.

Dalam bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan dari empirisme dan sering
digunakan dalam menyusun teori pengetahuan. Hanya saja, empirisme menjelaskan bahwa
pengetahuan diperoleh dengan jalan mengetahui objek empirisme, sedangkan rasionalisme
mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berfikir, pengetahuan dari empirisme
dianggap sering menyesatkan. Adapun alat berfikir adalah kaidah-kidah yang logis. Jadi,
kalau demikian rasioalisme dan emperisme harus selalu disatukan, agar senantiasa saling
melengkapi antara satu dengan yang lain.

Seperti kita ketahui bahwa Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal
rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa yang mencerminkan realitas,
apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir
dalam logika bersifat niscaya atau pasti.

6
C. Empirisme Dalam Paradigma Ilmu pengetahuan

1. Pengertian Empirisme

Ada berbagai macam definisi tentang empirisisme yang dikemukakan para ahli
filsafat. Dalam Kattsoff (2004: 132-135) empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang
menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme
menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika
dilahirkan8. John Locke adalah bapak empirisme Britania, menurut pendapatnya sebuah
pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan indera, bahwa pada waktu manusia
dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku cataatan yang kosong, dan di dalam buku catatan
itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi.

Menurut Locke seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan
serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan dan refleksi yang pertama-
tama dan sederhana tersebut. Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan yang
secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita
betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi
yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek
material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali secara demikian itu bukanlah
pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.

Kaelan (2009:28) menjelaskan secara singkat bahwa empirisme adalah aliran yang
berpendirian bahwa semua pengetahuan manusia diperoleh melalui pengalaman indera.
Indera memperoleh pengalaman (kesan-kesan) dari alam empiris, selanjutnya kesan-kesan
tersebut terkumpul dalam diri manusia sehingga menjadi pengalaman 9. Hal ini juga dibahas
oleh Russell (2007:799) bahwa empirisme adalah doktrin yang menyebutkan bahwa semua
pengetahuan kita (dengan kemungkinan perkecualian logika dan matematika) beasal dari
pengalaman10. Menurutnya ide-ide kita berasal dari dua sumber, (a) indera dan (b) persepsi
hasil kerja pikiran kita, yang biasa disebut “Indera internal”. Karena kita hanya dapat berpikir
dengan ide-ide, dan karena semua ini berasal dari pengalaman, nyatalah bahwa tidak ada
pengetahuan kita yang mendahului pengalaman.

8
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat. (Yogyakarta: Tiara Wancana, 2004), hal 132-135.
9
Prof. Dr. Kaelan, M.S, Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. (Yogyakarta: Paradigma, 2009), hal 28.
10 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal 7

7
3. Pengaruh Dan Peranan Empirisme Pada Ilmu Pengetahuan

John Locke mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan, keadaan akalnya
masih bersih, sebagaimana kertas kosong yang belum bertuliskan sesuatu. Pengetahuan baru
muncul ketika indera manusia menimba pengalaman dengan cara melihat dan mengamati
berbagai kejadian dalam kehidupan. Kertas tersebut mulai bertuliskan berbagai pengalaman
inderawi. Seluruh sisa pengetahuan diperoleh dengan jalan menggunakan serta
memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan dan refleksi yang pertama dan
sederhana.

Akal merupakan semacam tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil
penginderaan. Artinya, bahwa semua pengetahuan manusia, betapapun rumitnya, dapat
dilacak kembali sampai pada pengalaman-pengalaman inderawi yang telah tersimpan rapi di
dalam akal. Jika terdapat pengalaman yang tidak tergali oleh daya ingat akal, itu berarti
merupakan kelemahan akal, sehingga hasil penginderaan yang menjadi pengalaman manusia
tidak lagi dapat diaktualisasikan. Dengan demikian, bukan lagi sebagai ilmu pengetahuan
yang faktual.

George Barkeley berpandangan bahwa seluruh gagasan dalam pikiran atau ide datang
dari pengalaman. Oleh karena itu, tidak ada jatah ruang bagi gagasan yang lepas begitu saja
dari pengalaman dan ide tidak bersifat independen. Pengalaman kongkret adalah“mutlak”
sebagai sumber pengetahuan utama bagi manusia karena penalaran bersifat abstrak dan
membutuhkan rangsangan dari pengalaman. Berbagai gejala fisikal akan ditangkap oleh
indera dan dikumpulkan dalam daya ingat manusia, sehingga pengalaman inderawi menjadi
akumulasi pengetahuan yang berupa fakta-fakta. Kemudian, upaya faktualisasinya
dibutuhkan akal. Dengan demikian, fungsi akal tidak sekedar menjelaskan dalam bentuk-
bentuk khayali semata-mata, melainkan juga dalam konteks yang realistis.

Meskipun demikian, aliran empirisme tetap memiliki beberapa kelemahan di antaranya


adalah:

1. Indera terbatas benda yang jauh kelihatan kecil, dari sini akan terbentuk pengetahuan
yang salah.
2. Indera menipu, pada orang yang sakit malaria gula rasanya pahit, udara akan terasa
dingin, hal ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah.

8
3. Obyek yang menipu, contohnya fatamorgana dan ilusi, jadi keberadaan obyek yang
sebenarnya tidak sesuai dengan yang ditangkap oleh indera, sehingga obyek mampu
membohongi indera.
4. Berasal dari indera dan obyek sekaligus, sehingga indera (mata) tidak mampu melihat
seekor kerbau secara keseluruhan, sehingga kesimpulannya empirisme bersifat lemah,
karena keterbatasan indera manusia.

Pengetahuan adalah kebenaran, begitu sebaliknya. Dalam kehidupan, manusia


memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Burhanuddin Salam mengemukakan
bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yaitu:

Pertama, pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan yang oleh filsafat disebut dengan istilah
common sense atau good sense, karena seseorang memiliki sesuatu dan menerimanya secara
baik. Sebagai contoh adalah pada darah, semua orang menyebut bahwa darah itu merah
karena memang warnanya merah, air mendidih itu panas karena memang dirasakan panas dan
seterusnya. Dengan common sense, semua orang sampai pada kesimpulan secara umum
tentang sesuatu, karena mereka akan berpendapat sama.

Kedua, pengetahuan ilmu, sebagai terjemahan dari science, dalam pengertian sempit, ilmu
diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang bersifat kualitatif dan obyektif.
Secara prinsip, ilmu merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan
common sense, yaitu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam
kehidupan sehari-hari yang kemudian dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan
teliti dengan mengajukan berbagai metode. Ilmu merupakan suatu metode berpikir obyektif
(objective thinking), bermaksud menggambarkan dan memberikan makna terhadap dunia
faktual. Pengetahuan diperoleh dengan ilmu melalui observasi, eksperimen dan klasifikasi.
Analisis ilmu itu obyektif dan mengenyampingkan unsur pribadi, pemikiran logika netral dan
tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat subyektif. Berawal dari fakta bahwa ilmu adalah
milik manusia secara komprehensif yang merupakan lukisan dan keterangan lengkap dan
konsisten mengenai hal-hal yang dipelajari dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan logika
yang diamati panca indra manusia

Ketiga, pengetahuan filsafat, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran kontemplatif
dan spekulatif yang menekankan kepada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

berdasarkan dari materi dalam makalah ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Paradigma merupakan suatu pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang
menjadi pokok persoalan yang semestinya dijawab oleh suatu cabang ilmu pengetahuan.
Perkembangan suatu ilmu pengetahuan disadari atau tidak merupakan paradigmatisasi
yang selalu muncul seiring dengan semakin beragamnya spesialisasi focus kajian dan
metodologi yang digunakan oleh suatu ilmu. Eksistensi suatu paradigma dalam ilmu
pengetahuan dipahami dalam dua pandangan yang berbeda, berdasarkan proses
terbentuknya.
2. Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal tau
ide sebagai sumber pengetahuan. Yang dimaksud rasional adalah unsur unsurnya
berhubungan secara logis, Artinya pemikiran filsafat harus diuraikan dalam bentuk yang
logis, yaitu suatu bentuk suatu bentuk kebenaran yang mempunyai kaidah kaidah berpikir
(logika).
3. Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan
berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah
membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. John Locke adalah bapak
empirisme Britania, menurut pendapatnya sebuah pengetahuan dapat diperoleh dengan
perantaraan indera, bahwa pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis
buku cataatan yang kosong, dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman–
pengalaman inderawi.

10
DAFTAR PUSTAKA

Akmal Bashori, Filsafat Hukum Islam: Paradigma Filosofis Mengais Kebeningan Hukum
Tuan. Jakarta Timur: Kencana, 2020.
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Drs. Yosephus Sudiantara, BTh,. MS, Filsafat Ilmu Inti Filsafat Ilmu Pengetahuan,

Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata, 2020.

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Pers,

2013.

Imanuddin, “Filsafat Ilmu dalam Pengkajian Islam” dalam Studi Islam: Insider/Outsider.
Yogyakarta: IRCISoD, 2013.
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wancana, 2004.
Prof. Dr. Kaelan, M.S, Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma,
2009.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Soejono Soemargono, Berpikir Secara Kefilsafatan. Yogyakarta: Nur Cahya, 1980

Welhendri Azwar, Muliono, Filsafat Ilmu: Cara Mudah Memahami Filsafat Ilmu. Jakarta:
Kencana, 2021.

11

Anda mungkin juga menyukai