Anda di halaman 1dari 22

EPISTIMOLOGI

Makalah Disampaikan dalam Seminar Kelas


Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Semester I Kelas Maros

Oleh:

KELOMPOK 7

HASMA
SUPIANI

Dosen/Pemandu:

Prof. Dr. H.M. Tahir Malik, M.Si.


Dr. H.Djainuddin M, M.,Si
Dr. Idris, M. Kes

PROGRAMSTUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR
TAHUN 2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Dengan rahmat dan
inayah-Nya, sehingga makalah ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.
Salawat dan salam atas junjungan Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga
dan para sahabatnya.
Ucapan terima kasih, serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
Prof. Dr. H.M. Tahir Malik, M.Si. ; Dr. H.Djainuddin M, M.,Si Dan Dr. Idris, M. Kes
selaku Dosen Mata Kuliah Filsafat Ilmu, Pascasarjana Universitas Islam
Makassar (UIM) Tahun Akademik 2021/ 2022.
Ucapan terima kasih kepada rekan-rekan Mahasiswa Pascasarjana UIM
Kelas Maros yang telah memberikan bantuan dan motivasi serta berbagai
masukan, semoga semua itu bernilai ibadah dan mendapatkan imbalan pahala
yang berlipat ganda di sisi Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat berbagai
kekurangan dan kesalahan yang disebabkan karena keterbatasan pengetahuan
dan kemampuan penulis yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan.
Akhirnya atas segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan
kepada penulis semoga Allah SWT. Membalasnya dengan pahala yang berlipat
ganda.
Makassar, April 2022

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………… i


KATA PENGANTAR ………………………………… ii
DAFTAR ISI ………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………… 1
A. Latar Belakang ………………………………… 1
B. Rumusan Masalah ………………………………… 2
C. Tujuan Penulisan ………………………………… 2
BAB II PEMBAHASAN ………………………………… 3
A. Arti Epistimologi ………………………………… 3
B. Metode – metode ………………………………… 4
untuk memperoleh
pengetahuan
C. Objek, tujuan ………………………………… 6
landasan,pengaruh
dan urgensi
epistimologi
BAB III PENUTUP ………………………………… 14
A. Kesimpulan ………………………………… 14
B. Saran ………………………………… 15
DAFTAR PUSTAKA ………………………………… 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jika mempelajari filsafat ilmu, kita pasti menjumpai istilah “Epistemologi”.


Yang merupakan salah satu cabang ilmu filsafat. Dan karena Filsafat ilmu merupakan
bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat
ilmu (pengetahuan ilmiah).1 Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan
tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-
batas dan metode, dan kesahihan pengetahuan. sehingga dalam kesempatan kali ini
akan dibahas lebih lanjut mengenai sumber-sumber epistemologi. Manusia pada
dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa
yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya
dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban-jawaban
tersebut juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan metode tertentu
untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran yang bersifat
semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan
cara-cara ilmiah.

Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah


menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin
menggiatkan manusia untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan
teori-teori yang sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau
menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi
melakukan penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari setiap
permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak kaku, artinya ia tidak

1
Rachmawati, Yeni. dkk. Filsafat Imu (Jakarta: Badan Pusat , 2018), h.10.

1
2

akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu
manusia dalam memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunianya.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada pembahasan makalah ini sebagai berikut :

1. Apa arti Epistimologi?

2. Bagaimana metode – metode untuk memperoleh pengetahuan?

3. Bagaimana objek, tujuan, landasan,pengaruh dan urgensi epistimologi?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah agar kita dapat memahami arti, metode,

objek, tujuan, landasan,pengaruh dan urgensi epistimologi.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Arti Epistimologi

Epistomologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan


dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-
dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang
dimiliki.

Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu:


kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau
alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam
bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah epistemologi secara
etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa
Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah teori
mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.1

Masalah utama dari epistemologi adalah bagaimana cara memperoleh


pengetahuan, Sebenarnya seseorang baru dapat dikatakan berpengetahuan apabila
telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemologi artinya pertanyaan
epistemologi dapat menggambarkan manusia mencintai pengetahuan. Hal ini
menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen untuk menggambar manusia
berpengetahuan yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah
yang dipertanyakan dalam epistemologi. Jadi menurut penulis bahwa pengetahuan
dalam epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia dapat
membedakan antara satu ilmu dengan ilmu yang lainnya

1
Suaedi. Pengantar Filsafat Ilmu. (Bogor: PT Penerbit IPB Press, 2016), h.25

3
4

B. Metode – metode untuk memperoleh pengetahuan

a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara
memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme
Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan
jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat
pengalaman-pengalaman inderawi.2 Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita
diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang
diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana
tersebut. Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif
menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita
betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman
inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang
menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak
kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah
pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.

b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal.
Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman
paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut
rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan
bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna
mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka

2
Rizky,Muchsin, Nugraha A., dkk. Filsafat Ilmu. (Jambi: Pustaka Ma’arif Press, 2017), h.43
5

kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan
akal budi saja.

c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang
pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang
alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan
disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah
mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri,
melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya,
pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua
pengetahuan didasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian.
Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-
bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.

d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan
pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari
pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson
ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping
pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya
dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang
dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa
pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus
meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
6

Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman


inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme –
setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang
lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang
meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisis. Ada yang berpendirian bahwa
apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan
dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang
sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan
hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
e. Dialektis
Yaitu tahap logika yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan
serta analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam
pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk
melekukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran
yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan,
bertolak paling kurang dua kutub.3

C. Objek, tujuan, landasan,pengaruh dan urgensi epistimologi

Kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan


dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati
secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan
sasaran sedangkan tujuan hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda, tetapi
antara objek dan tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah
yang mengantarkan tercapainya tujuan.

3
Biyanto. Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman . (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h.86
7

Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk
pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini
menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa “ segenap proses yang terlibat dalam usaha
kita untuk memperoleh pengetahuan.” 4Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah
yang mejadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan
tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap perantara yang harus
dilalui dalam mewujudkan tujan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir,
sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.

Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques


Martain mengatakan, “ tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk
menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat
yang memungkinkan saya dapat tahu.”hal ini menunjukkan, bahwa tujuan
epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa
dihindari akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah
hal lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh
pengetahuan.

Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam


dinamika pengetuhuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang
bahwa jangan sampai kita puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa
disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan
memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh
pengetahuan melambangkan sikap dinamis.

Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan
ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar5. Metode ilmiah merupakan prosedur

4
George R Knight, Filsafat Pendidikan (Terjemahan oleh: Mahmud Arif). Yogyakarta: Gama
Media 2007), h.62
5
Surajiyo . Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. (Jakarta: Bumi Aksara,
2010), h.37
8

dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan


merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua
pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara
mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yakni tercantum dalam metode
ilmiah.

Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan


menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu
pengetahuan sangat bergantung pada metode ilmiah. Dengan demikian metode
ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara
integratif. 6
Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera
mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan,diantaranya adalah:

1. Metode induktif

Induksi merupakan suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil


observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Menurut David
Hume (1711-1716), pernyataan yang berdasarkan observasi tunggal betapa pun besar
jumlahnya, secara logis tak dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak
terbatas.

2. Metode Deduktif

Deduksi merupakan suatu metode yang menyimpulkan bahwa data empirik diolah
lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada
dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-
kesimpulan itu sendiri.

3. Metode Positivisme

6
Muhmidayeli. Filsafat Pendidikan. (Bandung: Refika Aditama, 2011), h.51
9

Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketah
Menurut Comte perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap yaitu teologis, metofisis, d
Metode Kontemplatif

Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan sehin
Metode Dialektis

Merupakan metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat.

Pengaruh teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedu
Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada. Pe
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban sudah tentu dibentu
1

alat strategis dalam merekayasa pegembangan alam menjadi sebuah produk sains
yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada
teknologi meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh
ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan
epistemologi.7

Jika kita perhatikan definisi epistemologi dan hubungannya dengan ilmu-ilmu


lainnya, maka jelaslah mengenai urgensi kajian epistemologi, terkhusus lagi jika kita
menyimak ruang pemikiran dan budaya yang ada serta kritikan, keraguan, dan
persoalan inti yang dimunculkan seputar keyakinan agama dan dasar-dasar etika,
fiqih, penafsiran, dan hak-hak asasi manusia dimana sentral dari semua pembahasan
tersebut berpijak pada epistemologi.
Hubungan epistemologi dengan persoalan politik adalah hal yang juga tak
bisa disangkal dan saling terkait. Plato berkata pada penguasa Yunani ketika itu,
“Anda tidak layak memerintah, karena Anda bukan seorang hakim (filosof).” Dan
juga berkaitan dengan pemerintahan Islam bisa dikatakan bahwa karena manusia tak
bisa memahami hakikat dirinya sendiri sebagaimana yang semestinya, maka
penetapan hukum hanya berada ditangan Tuhan, dan para ulama yang adil adalah
wakil Tuhan yang memiliki hak memerintah. Pada sisi lain, sebagian beranggapan
bahwa makrifat agama adalah bukan bagian dari ilmu, dan untuk memerintah mesti
dibutuhkan ilmu politik dan pemerintahan, sementara kaum ulama tersebut tak
menguasainya, dengan demikian, mereka tidak berhak memerintah.
Pembahasan seperti tersebut di atas membuktikan kepada kita pentingnya
pengkajian epistemologi dan konklusi-konklusinya, dan dari aspek lain, begitu
banyak ayat al-Quran berkaitan dengan argumentasi akal, memotivasi manusia untuk
menggapai ilmu dan makrifat, dan menolak segala bentuk keraguan. Semua
kenyataan ini berarti bahwa pencapaian keyakinan dan kebenaran adalah sangat

7
Muhammad Muslih,. Filsafat Umum: Dalam Pemahaman Praktis. (Yogyakarta: Belukar,
2005), h.58
1

mungkin dengan perantaraan akal dan argumentasi rasional, dan jika ada orang yang
ragu atas realitas ini, maka minimalnya ia harus menerimanya untuk menjawab
segala bentuk kritikan.
Perbedaan hakiki manusia dan hewan terletak pada potensi akal-pikiran.
Rahasia kemanusiaan manusia adalah bahwa ia mesti menjadi maujud yang berakal
dan mengaplikasikan kekuatan akal dalam semua segmen kehidupannya serta seluruh
kehendak dan iradahnya terwujud melalui pancaran petunjuk akal. Hal ini berarti
bahwa jika akal dan rasionalitasnya dipisahkan dari kehidupannya, maka yang
tertinggal hanyalah sifat kehewannya, dengan demikian, segala dinamika hidupnya
berasal dari kecenderungan hewaninya.
Manusia ialah maujud yang berakal dan seluruh aktivitasnya dinapasi oleh
akal dan pengetahuan, maka dari itu, suatu rangkaian persoalan yang prinsipil
menjadi terkonstruksi dengan tujuan untuk mencarikan solusi atas segala
permasalahan yang timbul berkaitan dengan pengetahuan dan akal manusia, dimana
hal itu merupakan pembatas substansial antara iadengan hewan
Yang pasti, jawaban atas segala persoalan mendasar niscaya dengan upaya-
upaya rasional dan filosofis, karena ilmu-ilmu alam dan matematika tidak mampu
memberikan solusi komprehensif dan universal atasnya. Karena telah jelas urgensi
upaya rasional untuk kehidupan hakiki manusia, maka persoalan yang kemudian
muncul ialah apakah akal manusia mampu menyelesaikan persoalan-persoalan
tersebut? Jika nilai dan validitas pengenalan akal belum ditegaskan, maka tidaklah
berguna pengakuan akal dalam mengajukan solusi atas segala permasalahan yang
dihadapi manusia, dan keraguan akan senantiasa bersama manusia bahwa apakah
akal telah memberikan solusi yang benar atas perkara-perkara tersebut? Pertanyaan-
pertanyaan ini adalah inti pembahasan epistemologi. Dengan begitu, sebelum
melangkah ke arah upaya-upaya rasional dan filosofis, langkah pertama yang mesti
diambil adalah membedah persoalan-persoalan epistemologi.
Dengan ungkapan lain, jika kita merujuk kepada daftar isi persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan, misalnya persoalan tentang
keberadaan realitas
1

eksternal dan kemungkinan terjalinnya hubungan manusia dengan realitas eksternal


itu, maka akan menjadi jelas bagi kita bahwa epistemologi merupakan pemberi
validitas dan nilai kepada seluruh pemikiran filsafat dan penemuan ilmiah manusia
sedemikian sehingga kalau persoalan-persoalan yang berhubungan dengan ilmu dan
pengetahuan tersebut belumlah menjadi jelas, maka tak satu pun pemikiran filsafat
manusia dan penemuan ilmiah yang akan bernilai, karena semua aliran filsafat dan
ilmu mengaku telah berhasil mengungkap hakikat alam, manusia, dan rahasia
fenomena eksistensial lainnya.
Berkenaan dengan urgensi epistemologi, kami akan kutip ungkapan seorang
pemikir dan filosof Islam kontemporer asal Iran , Murthada Muthahhari , ia berkata
“Pada era ini kita menyaksikan keberadaan aliran-aliran filsafat sosial dan ideologi
yang berbeda dimana masing-masingnya mengusulkan suatu jalan dan solusi hidup.
8
Aliran-aliran ini memiliki sandaran pemikiran yang bersaing satu sama lain untuk
merebut pengaruh. Muncul suatu pertanyaan, mengapa aliran-aliran dan ideologi-
ideologi tersebut memiliki perbedaan? Jawabannya, penyebab lahirnya perbedaan-
perbedaan tersebut terletak pada perbedaan pandangan dunianya (word view)
masing- masing. Hal ini karena, semua ideologi berpijak pada pandangan dunia dan
setiap pandangan dunia tertentu akan menghadirkan ideologi dan aliran sosial
tertentu pula. Ideologi menentukan apa yang mesti dilakukan oleh manusia dan
mengajukan bagaimana metode mencapai tujuan itu. Ideologi menyatakan kepada
kita bagaimana hidup semestinya. Mengapa ideologi mengarahkan kita? Karena
pandangan dunia menegaskan suatu hukum yang mesti diterapkan pada masyarakat
dan sekaligus menentukan arah dan tujuan hidup masyarakat. Apa yang ditentukan
oleh pandangan dunia, itu pula yang akan diikuti oleh ideologi. Ideologi seperti
filsafat praktis, sedangkan pandangan dunia menempati filsafat teoritis. Filsafat
praktis bergantung kepada filsafat teoritis. Mengapa suatu ideologi berpijak pada
materialisme dan ideologi lainnya bersandar pada teisme? Perbedaan pandangan
dunia tersebut pada

8
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat. (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h.101
1

hakikatnya bersumber dari perbedaan dasar-dasar pengenalan, pengetahuan, dan


epistemologi.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari Pembahasan di atas, Penulis menyimpulkan sebagai berikut:

Epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang


benar dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi
epistemologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat
tentang pengetahuan.

Objek epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa “ segenap


proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Selanjutnya,
apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “
tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah
saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya
dapat tahu.”

Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan


menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu
pengetahuan sangat bergantung pada metode ilmiah. Dengan demikian metode
ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara
integratif.

Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas


menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan. Epistemologi
juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang
ada.

14
1

B. Saran

Penulis menyadari bahwa, masih masih banyak kekurangan dari makalah ini,

baik dari segi penulisan maupun isi pembahasannya, mengingat kurangnya

pengetahuan dan pengalaman penulis. Untuk itu segala kritik dan saran yang

membangun sangatlah penulis harapkan dari semua pihak, supaya dalam penyusunan

makalah selanjutnya dapat tersusun dengan baik dan bermanfaat bagi siapa yang

membacanya.
1

DAFTAR FUSTAKA

Biyanto. Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman . Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015

Knight, George R.. Filsafat Pendidikan (Terjemahan oleh: Mahmud Arif).


Yogyakarta: Gama Media 2007
Muhmidayeli. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama, 2011

Muslih, Muhammad. Filsafat Umum: Dalam Pemahaman Praktis. Yogyakarta:


Belukar, 2005.

Rizky,Muchsin, Nugraha A., dkk. Filsafat Ilmu. Jambi: Pustaka Ma’arif Press, 2017

Salam, Burhanuddin Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara, 2005.

Suaedi. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: PT Penerbit IPB Press, 2016

Surajiyo . Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:


Bumi Aksara, 2010

Yeni Rachmawati,. dkk. Filsafat Imu, Jakarta: Badan Pusat , 2018

Anda mungkin juga menyukai