Anda di halaman 1dari 17

EPISTEMOLOGI ILMU

Dosen Pengampu :
Dr. Biyanto, M.Ag

Oleh :
Kelas A2/Kelompok 3
1. Mu’awinati Isna Zilfia (07010120011)
2. Nur Annisa Fitria (07020120045)
3. Nuril Karomatilla Arifah (07020120046)

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan
syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal fikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah sebagai tugas dari mata kuliah Filsafat Ilmu I dengan judul Epistemologi Ilmu.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu kami di mata kuliah ini atas
materi yang telah beliau sampaikan, sehingga kami dapat memahami materi untuk pembuatan
makalah ini dengan baik. Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharap kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat
menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Surabaya, 09 April 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………...……………….. i
DAFTAR ISI…...………………………………………………………………......... ii
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang ………………………………………………………………........ 1
b. Rumusan Masalah……………………………………………………………....... 1
c. Tujuan………………………………………………………………………......... 1
BAB II PEMBAHASAN
a. Pengertian epistemologi ilmu................................................................................... 2
b. Metode Ilmiah.......................................................................................................... 4
c.Sumber dan instumen epistemologi........................................................................... 6
d. Kelebihan dan kekurangan dalam epistemologi ilmu.............................................. 11
BAB III PENUTUP
a. Kesimpulan………………………………………………………………….......... 13
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara historis, epistemologi bukanlah persoalan pertama yang mengganggu benak
manusia. Kegiatan filosofis justru ber awal dari dari persoalan metafisika. Mula mula manusia
percaya bahwa dengan kekuatan pengenalan nya ia dapat mencapai realitas sebagaimana
adanya. Para filosof pertama di Barat, praSocrates, mencurahkan perhatiannya pada masalah
perubahan dan kemungkinan perubahan. Mereka menerima begitu saja bahwa manusia bisa
mengenal hakikat benda, meskipun beberapa diantaranya menyarankan jalan lain yang lebih
tepat. Misalnya Heraclitos menekankan pentingnya indera, sementara Permenides
mengutamakan penggunaan akal. Tetapi keduanya percaya bahwa pengenalan itu mungkin.
Setelah berselang beberapa abad, khsusunya sekitar 5 SM ke raguan akan hal itu dibangkitkan
kembali oleh kaum sophis. Skeptis isme kaum ini akhirnya melahirkan epistemologi. Keraguan
ini muncul, karena mereka mereka mendapati jawaban atas masalah metafisika itu saling
bertentangan. Dengan kenyataan ini
mereka sampai pada suatu pertanyaan yang tidak lagi mengarah pada dunia luar, tetapi mereka
arahkan pada dirinya sendiri tentang apakah intelek manusia mampu menjawab permasalahan-
permasalahan tersebut. Pada tahap inilah mereka memasuki wilayah epistemologi. Epistemologi
sebagai salah satu cabang filsafat cakupan
kajiannya sangat luas dan paling sulit. Sebab epistemologi menjangkau permasalahan-
permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika itu sendiri, sehingga tidak
satupun yang boleh disingkirkan darinya. Di samping pengetahuan tentang epistemologi
merupakan puncak pengetahuan tentang landasan pijakan ilmu yang sebenarnya, sebab akan
diketahui apakah pijakan pengetahuan bersifat lemah atau kuat1

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari epistemologi ilmu?
2. Apa tujuan epistemologi dalam kebenaran ilmiah?
3. Apa saja sumber epistemologi dan bagaimana instrumen epistemologi itu?
4. Apa kekurangan dan kelebihan berpikir secara ilmiah dalam epistemologi ilmu?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui arti epistemologi
2. Mengetahui tujuan dari kebenaran ilmiahnya
3. Mengetahui sumber epistemologi dan memahami dari intrumennya
4. Mengetahui kekurangan dan kelebihan dalam epistemologi ilmu
_____________________________________________
1
1 http://astaqauliyah.com/2007/05/ epistemologi-pengertian-sejarah-dan-ruang-lingkup
(5/10/2011)/Ibid.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Epistemologi Ilmu

Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata
dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos.“Episteme” artinya pengetahuan,
sedangkan “logos” lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik 2
Secara etimologis epistemologi adalah penjelasan tentang ilmu atau ilmu tentang
ilmu. Secara terminologis DW. Hamlyn menyatakan; epistemologi adalah cabang
filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan
pengandaianpengandaiannya. L. Katsoff memberikan batasan epistemologi yaitu
cabang filsafat yang menyelidiki asalmula, susunan, metode dan sahnya pengetahuan.
Katsoff lebih lanjut menjelaskan bahwa epistemologi berupaya untuk menjawab
pertanyaanpertanyaan dasar menyangkut pengetahuan, misalnya; Apakah mengetahui
itu? Apa yang menjadi asal pengetahuan itu? Bagaimana cara membedakan antara
pengetahuan dan pendapat? Corak pengetahuan apakah yang ada dan bagaimana cara
memperoleh pengetahuan itu? Apakah kebenaran dan kesalahan itu? Dari pertanyaan-
pertanyaan mendasar tersebut terlihat bahwa epistemologi berorientasi kepada subyek
yang berfikir dan mengetahui. Berbeda dengan metafisika yang mengarah kepada
obyek yang diketahui). Pertanyaan pertanyaan tersebut berangkat dari keraguan dan
kecurigaan terhadap penge tahuan yang ada pada manusia. Epistemologi menuntut
kepastian jawaban atas pertanyaanpertanyaan yang mengandung apa yang disebut
Descartes sebagai ‘clara at distincta perceptio’, pengetahu an yang jelas dan terang
dari apa yang diketahui tersebut. Dengan demikian, memiliki pengetahuan berarti
mempunyai kepastian jawaban atas pertanyaanpertanyaan di atas. Kita baru dianggap
berpengetahuan setelah memiliki pertanyaanpertanyaan epistemologis di atas. Sebab
bisa saja terjadi kemungkinan mengarah pada sikap skeptisisme yang mengingkari
adanya kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, seperti yang ditunjukkan oleh
kaum sophis yang sangat meragukan kemungkinan memperoleh pengetahuan yang
sungguh sungguh benar. Seorang tokoh sophis, Pytagoras, berkata, manusia me
rupakan ukuran segalasegalanya. Sementara tokoh lain, Gorgis, mengatakan, tak satu
pun ada, dan kalaupun ada tak satu pun mengetahuinya, dan kalau mengetahuinya
mereka tak dapat mengkomunikasikannya. Jadi yang kita peroleh hanya
kemungkinan kemungkinan bukan kepastian, dengan kata lain bukan pengetahuan
yang hakiki. Pengetahuan bukan pula sekedar keyakinan umum (common sense
belief), sebab keyakinan ada kalanya benar dan ada kalanya tidak sehingga tidak bisa
dikategorikan sebagai pengetahuan, sebab sebagaimana dikatakan Plato, “knowledge
more than true judgement or true belief”. Karena itu keyakinan saja belumlah cukup,
ia harus dibuktikan secara jelas agar dapat diketahui sebagai pengetahuan. Untuk
memahami hal di atas, kita dapat mencermati tentang dua orang yang meyakini akan
terjadinya gerhana matahari pada hari jum’at, minggu depan. Keyakinan tersebut
akhirnya terbukti.

2
Di sinilah epistemologi bukan hanya mungkin tetapi mutlak diperlukan. Suatu
pemikiran yang reflektif tidak dapat dipuaskan dengan sebuah keyakinan umum,
tetapi justru semakin men desak untuk beranjak ke wilayahwilayah yang baru.
Kepastian yang dicari epistemologi dimungkinkan oleh adanya sebuah keraguan. Bila
secara epistemologis kita dapat mengatasi keraguan itu, maka kepastian kebenaran
benarbenar dicapai. Dalam konteks ini, epistemologi merupakan aktifitas filsafat yang
muncul segera setelah manusia merefleksikan pengetahuannya, karena pertanyaan
tentang diri sebagai subyek yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tidak akan
muncul kecuali ber awal dari pemikiran reflektif. Dari sini pula dapat dipahami bahwa
filsafat pengetahuan (Filsafat Ilmu) sama luasnya dengan filsafat. Usaha menyelidiki
dan mengungkapkan kenyataan selalu seiring dengan usaha untuk menentukan “yang
saya ketahui”, karena filsafat selalu bersifat reflektif dan setiap refleksi selalu bersifat
kritis. Maka tidak mungkin mempunyai suatu metafisika yang sekaligus bukan
merupakan epistemologi dari metafisika, atau science yang bukan epistemologi dari
science. Skeptisisme menganggap bahwa epistemologi dalam pelaksanaannya
mengsulkan suatu tujuan khayali dalam dirinya. Sebab bila kita harus
mendemontrasikan validitas pengetahuan yang berarti telah mengandaikan
validitasnya. Karena itu menurut Maritain, tujuan epistemologi terutama bukan untuk
menjawab apakah saya dapat tahu, melainkan untuk menemukan syaratsyarat yang
memungkinkan saya dapat tahu, jangkauan dan batasbatas pengetahuan saya. Dari sini
nampak bahwa epistemologi merupakan sebuah jalan untuk sampai kepada
pengetahuan atau metode untuk memperoleh pengetahuan. Sebagai sebuah proses
dan produk pemikiran, epistemologi tidak bisa terhindari dari silang pendapat dan
mungkin klaim kebenaran yang secara epistemologis perlu dipertanyakan

3
B. Metode Ilmiah
Metode berasal dari bahasa Latin methodos, yang secara umum artinya cara atau jalan
untuk memperoleh pengetahuan sedangkam metoda ilmiah adalah cara atau jalan
untuk memperoleh pengetahuan ilmiah3. metoda ilmiah adalah prosedur yang
mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk
memperoleh pengetahuan baru atau memper-kembangkan pengetahuan yang telah
ada. Dalam beberapa literatur seringkali metoda dipersamakan atau dicampuradukkan
dengan pendekatan maupun teknik. Metoda, (methode), pendekatan (approach), dan
teknik (technique) merupakan tiga hal yang berbeda walaupun bertalian satu sama
lain. Epistemologi bertujuan untuk mengungkap (mengoreksi) sejauh mana
pengetahuan yang diperoleh mencapai validitas yang benarbenar memiliki landasan
yang kuat dan konsisten yang pada akhirnya kebenaran pengetahuan tersebut dapat
dipertanggungjawabkan. Persoalan berikutnya adalah bagaimana seseorang bisa
mengukur bahwa pengetahuan tersebut benar adanya, apa indikator dan kriterianya,
apa yang disebut benar itu, apa perbedaan benar dalam konteks pengetahuan, filsafat,
agama, seni, dan moral? Kebenaran di mana pun, kapan pun dan dalam situasi apa
pun selalu diperebutkan.
Kebenaran merupakan titik klimaks proses pencarian seorang ilmuwan setelah
menjelajah dan melakukan aneka riset sekian lamanya, sebuah kebenaran yang
diyakininya benar. Kebenaran menjadi titik kulminasi para filosof dalam mencari tahu
siapa dirinya, alamnya dan Tuhannya. Kebenaran menjadi titik akhir petualangan para
Nabi ketika penjelajahan kenabiannya berhadapan dengan kebenarankebenaran palsu
yang menyelimuti alam fikirnya. Maka tidak ada satu pun yang paling benar kecuali
“kebenaran” itu sendiri, dan kebenaran tertinggi adalah kebenaran subyektif.
Kebenaran menjadi salah satu terma yang sering diperebutkan oleh berbagai
kalangan, mulai dari anakanak hingga orang dewasa, mulai dari agawaman hingga
ilmuwan, semua mengklaim sebagai pemilik kebenaran atau setidaknya berada di
pihak yang benar.
Apa sebenarnya kebenaran itu? Kata “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata
benda yang konkrit maupun abstrak. Jika subyek hendak menuturkan kebenaran
artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi adalah makna yang dikandung dalam
suatu pernyataan. Dan jika subyek menyatakan kebenaran, proposisi yang diuji itu
pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik dan nilai. Karena kebenaran tidak bisa
lepas dari kualitas, sifat, hubungan dan nilai itu sendiri. Dengan adanya berbagai
macam katagori sebagaimana tersebut di atas, maka tidak salah jika pada saatnya
nanti setiap subyek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan
pengetahuan yang berbeda satu dengan lainnya. Pertama, kebenaran berkaitan dengan
kualitas pengetahuan. Artinya bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang
yang memiliki obyek dilihat dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya
apakah pengetahuan itu berupa:
________________________________________
2
Chalik Abul.Filsafat Ilmu.Yogyakarta.Arti bumi intaran,2015
3
Soerjono Soemargono (1993 : 17)
4
Pertama, pengetahuan biasa atau biasa disebut knowledge of the man in the street atau
ordinary knowledge atau common sense knowledge. Pengetahuan seperti ini
memiliki inti pengetahuan yang bersifat subyektif, artinya sangat terikat pada subyek
yang mengenal. Pengetahuan jenis kedua adalah pengetahuan ilmiah, yaitu
pengetahuan yang telah menetapkan obyek yang khas atau spesifik dengan
menerapkan metodologi yang khas pula, atau metodologi yang mendapatkan
kesepakatan para ahli. Kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat
relatif, atau kandungan kebenarannya selalu terbuka untuk direvisi oleh pe nemuan
yang paling terakhir. Dengan demikian kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu
mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang paling akhir dan
mendapatkan persetujuan dalam suatu konvensi ilmiah.

Pengetahuan jenis ketiga, adalah pengetahuan filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang
pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafat yang sifatnya mendasar dan
menyeluruh dengan model pemikiran yang analitis, kritis dan spekulatif. Sifat
kebenaran yang terkandung dalam filsafat adalah spekulatif subyektif. Nilai kebenaran
yang terkandung merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan filsafat.
Jika pendapat filsafat itu ditinjau dari sisi lain dengan pendekatan filsafat yang lain,
hasilnya bisa berbeda, bertentangan atau dihilangkan sama sekali. Kebenaran jenis
pengetahuan keempat (4) adalah kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam
pengetahuan agama. Pengetahuan memiliki sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam
suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan tertentu sehingga pernyataanpernyataan
dalam kitab suci dianggap sebagai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang
digunakan untuk memahaminya.

Pengujian Kebenaran Ilmiah


Dalam dunia ilmu dikenal tiga pandangan mengenai pengujian kebenaran ilmiah
sebagai berikut :
1. Teori Koresponden (Uji Persamaan dengan Fakta)
Menurut teori ini, suatu pernyataan pengetahuan (sepertinya yang dinyatakan
dalam hipotesis) bisa diterima kebenarannya secara ilmiah apabila ia dapat
dibuktikan bersesuaian kebenarannya dengan obyek empirik yang dinyatakannya.
2.  Teori Koherensi (Uji Konsistensi)
Teori ini menyatakan suatu pernyataan pengetahuan dapat diterima kebenarannya
secara ilmiah apabila pernyataan pengetahuan tersebut menunjukkan koheren
dengan teori-teori ilmiah yang kebenarannya telah diterima sebelumnya.
3. Teori Pragmatik (Uji Kemanfaatan)
Teori ini menilai kebenaran suatu pernyataan pengetahuan secara ilmiah apabila
pernyataan pengetahuan tersebut  memang potensial digunakan untuk
memecahkan berbagai permasalahan kehidupan secara berguna4
_______________________________________
4
Chalik Abul.Filsafat Ilmu.Yogyakarta.Arti bumi intaran,2015
5
C. Sumber Epistemologi dan Instrumen Epistemologi
Teori pengetahuan tidak dapat menghindarkan pembahasan tentang sumber-sumber
pengetahuan tempat bahan-bahannya diperoleh. Sumber-sumber itu menurut filosof,
tidak lain adalah indra, akal dan hati. Ada juga yang berpendapat bahwa sumber-
sumber epistemologi itu antara lain adalah sebagai berikut:

1. Alam Adalah Sumber Epistemologi


Salah satu sumber epistemologi adalah alam semesta ini. Yang dimaksud dengan
alam, adalah alam materi, alam ruang dan waktu, alam gerakan, alam yang sekarang
kita tengah hidup didalamnya, dan kita memiliki hubungan dengan alam ini dengan
menggunakan berbagai alat indera kita. sedikit sekali fakultas yang menolak alam
sebagai sumber epistemologi, tetapi baik pada masa dahulu dan juga pada masa
sekarang ini ada beberapa ilmuan yang tidak mengakui alam sebagai suatu sumber
epistemologi. Plato tidak mengakui alam sebagai suatu sumber epistemologi, karena
hubungan manusia dengan alam adalah dengan perantaraan alat indera, dan sifatnya
partikular (juz’i), karena ia meyakini bahwa partikular bukanlah suatu hakikat. Pada
dasarnya ia hanya meyakini rasio sebagai sumber epistemologi, dan dengan
menggunakan suatu metode argumentasi, dimana Plato menamakan metode dan cara
tersebut dengan “dialektika”.
Bahkan Descartes yang merupakan salah seorang dari dua filosof ( Descartes dan
Francis Bacon) yang menempatkan ilmu pengetahuan pada jalur yang baru, meskipun
ia seorang filosof yang cenderung pada alam, meskipun ia selalu menyampaikan
ajakan untuk meneliti dan mengkaji alam, ia tidak mengakui alam sebagai sumber
epistemologi dan tidak mengakui indera sebagai alat epistemologi. Descartes
mengatakan, “Alam mesti dikaji dan dipelajari dengan menggunakan indera, tetapi hal
ini tidak akan mengantarkan kita pada suatu hakikat.
Pengetahuan ilmiah hanya bermafaat bagi aktivitas kita, dan kita tidak memiliki suatu
keyakinan bahwa apakah sesuatu yang kita ketahui itu, realitasnya adalah persis
sebagaimana yang kita ketahui. Alam memiliki nilai praktis (‘amali) dan bukan nilai
teoritis (nazhari) serta ilmiah(‘ilmi).” Tetapi diantara para ilmuwan dunia, sedikit
sekali yang memiliki pandangan semacam itu. Sebagian besar dari mereka adalah
meyakini bahwa alam ini adalah sumber epistemologi.
Sekarang, apakah ilmu pengetahuan modern yang ada ini, ketika manusia melihat
bidang industri dan teknologi telah mngalami kemajuan dan perkembangan yang
menakjubkan sesuai dengan epistemologi yang betul? Yakni apakah (pengetahuan itu)
menunjukkan kepada kita mengenai hakikat, realitas dan obyektifitas alam ini?
ataukah yang benar adalah ucapan
Descartes, “Memberi kekuatan dan tenaga pada kita, memiliki nilai praktis, tetapi kita
tidak dapat merasa yakin bahwa ilmu pengetahuan manusia pada masa sekarang ini,
mampu menunjukkan realitas yang ada.”

6
2. Rasio Dan Hati
Rasio dan hati adalah Dua Sumber Lain Epistemologi Sumber yang lain yang masih
perlu dibahas adalah masalah kekuatan rasio dan pikiran manusia. Setelah kita
mengetahui bahwa alam ini merupakan “sumber luar” bagi epistemologi, lalu apakah
manusia juga memiliki “sumber dalam” bagi epistemologi ataukah tidak memiliki?
Hal ini tentunya berkaitan erat dengan masalah rasio, berbagai perkara yang rasional,
berbagai perkara yang sifatnya fitrah. Ada beberapa fakultas yang menyatakan bahwa
kita memiliki (“sumber dalam” itu), sementara sebagian yang lain menafikan
keberadaannya. Ada sebagian fakultas yang meyakini keterlepasan rasio dari indera,
dan sebagian lain tidak mayakini keterlepasan rasio dari indera.
Selanjutnya sumber selanjutnya adalah hati (jiwa). Semestinya kita tidak
menyebutnya dengan “alat”, tetapi kita harus menyebutnya dengan “sumber”. Tidak
ada satu pun dari fakultas materialisme yang mengakui keberadaan sumber ini.
Karena jika meyakini hati sebagai satu sumber, sedangkan manusia pada awal
dilahirkan tidak memiliki suatu pengetahuan apapun, dan di dalam hatinya tidak
terdapat sesuatu apapun, dan juga meyakini bahwa hati dapat menerima berbagai
ilham (dan wahyu merupakan peringkat ilham yang paling sempurna), maka sama
halnya dengan mengakui adanya suatu alam yang ada di balik alam materi ini, karena
materi tidak dapat memberikan berbagai ilham semacam itu kepada manusia. Unsur
ilham adalah unsur metafisika5

Alat-alat epistemologi antara lain:

1) Indera, yang merupakan alat untuk alam materi. Dengan alat ini manusia memperoleh
epistemologi dari alam materi.
2) Berbagai argumen Logika, argumen yang rasional yang dalam ilmu logika disebut dengan
qiyas (silogisme) atau burhan (demonstrasi), yang ini adalah suatu bentuk praktik yang
dilakukan oleh rasio manusia. Alat ini (rasio) dapat diberlakukan, jika diyakini sebagai suatu
sumber epistemologi. Jika membatasi sumber epistemologi pada alam materi saja, dan
membatasi alat epistemologi hanya indera saja, menolak rasio sebagai sumber epistemologi,
dan juga menolak nilai alat silogisme dan demonstrasi. Selama tidak mengakui rasio sebagai
sumber epistemologi, maka tidak dapat bersandar pada alat silogisme dan demonstrasi. Yakni
tidak dapat mengakuinya sebagai suatu alat epistemologi.

____________________________________
5
https://azharnasri.blogspot.com/2016/01/makalah-epistemologi-ilmu-filsafat-ilmu.html

7
3. Sejarah Merupakan Sumber Lain Epistemologi
Sejarah adalah sumber lain epistemologi yang sekarang ini dianggap sebagai suatu
sumber yang sangat penting. Al-Qur’an juga sangat mementingkan sumber ini.
Karena menurut Al-Qur’an, selain alam, rasio dan hati, masih ada satu sumber lain
yaitu, sejarah. Jika kita mengatakan bahwa alam adalah sumber epistemologi, maka di
dalamnya juga berisi sejarah. Al-Qur’an secara jelas dan tegas menyatakan bahwa
sejarah merupakan bahan kajian. Dengan demikian, maka sejarah itu merupakan salah
satu sumber epistemologi. Seperti disebutkan dalam suatu ayat.
Dalam salah satu ayat tersebut timbul pertanyaan, kenapa mereka tidak mengelilingi
bumi? Yakni pergi dan perhatikanlah berbagai peninggalan sejarah, kemudian
perhatikanlah perubahan sejarah yang terdapat dalam kehidupan dan sosial manusia.
Inilah yang menurut pandangan Al-Qur’an dan berbagai riwayat bahwa sejarah itu
sendiri merupakan sumber epistemologi.
4.  Pengalaman Indra (Sense Experience)
Orang sering merasa bahwa pengindraan adalah alat yang paling vital dalam
memperoleh pengetahuan. Memang dalam hidup manusia tampaknya pengindraan
adalah satu-satunya alat untuk mencerap segala objek yang ada di luar diri manusia.
Karena terlalu menekankan pada kenyataan, paham demikian dalam filsafat disebut
realisme. Realisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa semua yang dapat
diketahui hanya kenyataan. Jadi, pengetahuan berawal dari kenyataan yang dapat
diindrai. Tokoh pemula dari pandangan ini adalah Aristoteles, yang berpendapat
bahwa pengetahuan terjadi bila subjek diubah di bawah pengaruh objek, artinya
bentuk dari dunia luar meninggalkan bekas dalam kehidupan batin. Objek masuk
dalam diri subjek melalui persepsi indra (sensasi). Yang demikian ini ditegaskan pula
oleh Aristoteles yang berkembang pada abad pertengahan adalah Thomas Aquinas
yang mengemukakan bahwa tiada sesuatu dapat masuk lewat ke dalam akal yang
ditangkap oleh indra.

8
BEBERAPA PANDANGAN EPISTEMOLOGI
1. Aliran Filsafat dan Epistemologi Science Modern
A.  Empirisme
Secara radikal empirisme berpendirian bahwa sebenarnya kita hanya bisa
memperoleh pengetahuan melalui pengalaman dengan menggunakan indra ilmiah.
Thomas Hobbes, salah seorang penganut empirisme mengemukakan bahwa
empiris (pengalaman) adalah awal dari segala pengetahuan. Karena itu semua
diturunkan dari pengalaman. Tokoh empiris lain adalah John Locke. Ia terkenal
dengan teori Tabula Rasanya. Menurut Locke, rasio manusia pada mulanya
sebagai lembaran kertas putih (as white paper). Apa yang kemudian mengisinya,
seluruhnya berasal dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah (sensation) maupun
pengalaman batiniah (reflection). George Barkeley adalah tokoh lain empiris yang
mengemukakan teori immaterialisme atas dasar prinsip empirisisme. Menurutnya
sama sekali tidak ada substansi yang bersifat material. Yang ada hanyalah ciri-ciri
yang dapat diamati, atau dengan kata lain, yang ada hanyalah pengalaman dalam
jiwa saja (being is being perceived). David Hume tidak menerima konsep
mengenai substansi, sebab menurutnya, apa yang dialami manusia hanyalah
kesan-kesan tentang beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama
B. Rasionalisme
Penganut rasionalisme berpandangan bahwa ia dapat dicapai dengan
menggunakan akal budi (intellect) sebagai sumber utama. Hal ini didasarkan pada
pandangan bahwa pada dasarnya pengetahuan adalah suatu sistem dedukatif yang
dapat dipahami secara rasioanal dengan ukuran kebenaran adalah konsistensi
logis. Penganut rasionalisme meyakini bahwa metode rasional yang dedukatif,
rasional, matematis dan inferensial dapat digunakan untuk mencapai pengetahuan.
C. Kritisisme
Kritisisme adalah suatu aliran filsafati, yang dalam epistemologi berupaya
menunjukkan jalan untuk mencapai pengetahuan tanpa harus terjebak dalam
ekstrimitas empirisme dan rasionalisme. Menurut Kant, memang benar bahwa kita
punya pengalaman inderawi, tapi sama benarnya juga bahwa kita mempunyai
pengetahuan yang menghubungkan hal-hal, yang untuk mencapainya, kita harus
keluar menembus pengalaman. Bagi Kant, pengetahuan manusia pada dasarnya
terjadi alas unsur-unsur aposteriori (sesudah pengalaman) dan apriori (mendahului
pengalaman)

____________________________________
6
https://azharnasri.blogspot.com/2016/01/makalah-epistemologi-ilmu-filsafat-ilmu.html

9
2. Landasan Al Quran dan Epistemologi Islami
Pemikiran dedukatif sederhana mengenai epistemologi Qurani adalah sebagai berikut:
  Sumber ilmu satu-satunya hanya Allah. Karena pada hakikatnya hanya Dia
yang mengetahui baik alam nyata maupun alam gaib, dan Dia Maha Pengasih dan
Penyayang (Al Hasyr 22).
  Manusia tidak lahir dalam kedaan berpengetahuan, namun pada dirinya
terkandung potensi internal berpengatuhan yang dikaruniakan Allah padanya (An
Nahl 78).
  Allah Yang Maha Pengasih menciptakan manusia mengajarkannyaAl Quran,
dan mengajarkannya Al Bayaan (penjelasan-penjelasan) (Ar Rahman 1-4).
  Manusia diperintahkanNya membaca dengan menjadikan petunjukNya sebagai
petunjuk utama sebagai proses manusia diajarkan ilmu olehNya (Al’Alaq 3-5).
  Bayan atau kejelasan-kejelasan ayat-ayat Allah potensi diperoleh manusia
apabila ia memanfaatkan potensi akalnya (Ali Imran 118).
  Yang memiliki potensi berakal adalah qalb (hati) demikian pula yang memiliki
potensi mengindera secara non-fisik (Al Haj 46).
  Alam semesta dan diri manusia adalah ayat-ayat Allah yang padanya
terkandung potensi pengetahuan yang perlu diperhatikan (Az Zariat 21).
  Alam semesta diperlihatkan oleh Allah kepada manusia hingga jelas bagi
mereka kebenaran yang terkandung dalam Al Quran. Artinya ada hubungan antara
kebenaran yang dinyatakan dalam Al Quran dengan kebenaran yang dinyatakan
dalam alam semesta serta diri manusia (Fushshilat 53).
  Dalam rangka memperoleh pengetahuan, Allah mengakui keberadaan orang-
orang yang telah memperoleh pengetahuan, yang pengetahuannya dapat dijadikan
acuan untuk pengembangan lebih lanjut (Al Anbiya 7).
  Manusia diperintahkan agar membaca segala obyek bacaan dengan
berlandaskan Isim RububiyahNya, sehingga setiap fenomena yang dibaca dapat
dimaknai menurut hukum-hukum yang diturunkan dari sifat RububiyahNya itu
(Al Alaq 1-3)

10
D. Kekurangan dan Kelebihan Berpikir Secara Ilmiah
 Kelemahan metode ilmiah dapat kita lihat dari segi cakupan atau jangkauan dari
kajiannya, asumsi yang melandasinya, dan kesimpulannya bersifat relatif. Dengan
penjelasan sebagai berikut:
a. Metode ilmiah tidak dapat digunakan kecuali pada pengkajian objek-objek
material yang dapat di indera. Metode ini khusus untuk ilmu-ilmu eksperimental.
Ia dilakukan dengan cara memperlakukan materi (objek) dalam kondisi-kondisi
dan faktor-faktor baru yang bukan kondisi dari faktor yang asli. Dan melakukan
pengamatan terhadap materi tersebut serta berbagai kondisi dan faktornya yang
ada, baik yang alami maupun yangtelah mengalami perlakuan. Dari proses
terhadap materi ini, kemudian ditarik suatu kesimpulan berupa fakta materialyang
dapat diindera.
b. Metode ilmiah mengasumsikan adanya penghapusan seluruh informasi
sebelumnya tentang objek yang akan dikaji, dan mengabaikan keberadaannya.
Kemudian memulai pengamatan dan percobaan atas materi. Ini dikarenakan
metode ini mengharuskan kita untuk menghapuskan diri dari setiap opini dan
keyakinan si peneliti mengenai subjek kajian. Setelah melakukan pengamatan dan
percobaan, maka selanjutnya adalah melakukan komparasi dan pemeriksaan yang
teliti, dan akhirnya merumuskan kesimpulan bersarkan sejumlah premis-premis
ilmiah.
c. Metode ilmiah tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan yang tidak termasuk
ke dalam kelompok ilmu. Demikian juga   halnya   dengan bidang sastra yang
termasuk dalam humaniora yang jelas tidak mempergunakan metode ilmiah dalam
penyusunan tubuh pengetahuaannya.

Kelemahan-kelemahan yang ada pada metode ilmiah ini juga diungkapkan dalam literatur
lain. Dikatakan, bahwa “Pertama-tama ilmu menyadari bahwa masalah yang dihadapinya
adalah masalah yang bersifat konkrit yang terdapat dalam dunia fisik yang nyata. Secara
ontologi, ilmu membatasi dirinya pada pengkajian yang berada pada ruang lingkup
pengalaman manusia. Hal inilah yang memisahkan antara ilmu dan agam perbedaan antara
lingkup permasalahan yang dihadapinya juga menyebabkan berbedanya metode dalam
memecahkan masalah tersebut”.
            Dikatakan pula, “proses pengujian ini tidak sama dengan pengujian ilmiah yang
berdasarkan kepada tangkapan pancaindra, sebab pengujian kebenaran agama harus
dilakukan oleh seluruh aspek kemanusiaan kita seperti penalaran, perasaan, intuisi, imajinasi
di samping pengalaman”. “Metode ilmiah tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan yang
tidak termasuk ke dalam kelompok ilmu. demikian juga halnya dengan bidang sastra yang
termasuk dalam humaniora yang jelas tidak mempergunakan metode ilmiah dalam
penyusunan tubuh pengetahuaannya”.

11
           Bahwa metode ilmiah tidak bisa diterapkan pada ilmu yang termasuk
dalamhumaniora, hal ini dikarenakan bidang-bidang yang termasuk ke dalam humaniora
tidak membahas perkara-perkara fisik yang dapat diukur dan diujicobakan. Meskipun
demikian, beberapa aspek pengetahuan tersebut dapat menerapkan metode ilmiah dalam
pengkajiaannya, misalnya saja aspek pengajaran bahasa sastra dan metematika. Dalam hal ini
masalah tersebut dapat dimasukkan ke dalam disiplin ilmu pendidikan yang mengkaji secara
ilmiah berbagai aspek proses belajar-mengajar7
            Walaupun Banyak kekurangan, berpikir secara ilmiah juga memiliki kelebihan.
Kegiatan berfikir kita lakukan dalam keseharian dan kegiatan ilmiah. Berpikir merupakan
upaya manusia dalam memecahkan masalah. Berfikir ilmiah merupakan berfikir dengan
langkah – langkah metode ilmiah seperti perumusan masalah, pengajuan hipotesis,
pengkajian literatur, menjugi hipotesis, menarik kesimpulan. Kesemua langkah – langkah
berfikir dengan metode ilmiah tersebut harus didukung dengan alat atau sarana yang baik
sehingga hasil dari berfikir ilmiah yang kita lakukan mendapatkan hasil yang baik. Dengan
berpikir secara ilmiah maka akan menghasilkan pemikiran yang ilmiah juga8

___________________________
7
Muhammad Abdurrahman dalam bukunya at-Tafkeer 
8
https://savehuman.wordpress.com/2011/05/13/epistimologi-ilmu-pengetahuan/

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian mengenai sumber-sumber epistemologi tersebut maka dapat
disimpulkan, bahwa epistemologi adalah teori pengetahuan yang merupakan cabang filsafat
yang berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian
dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang
dimiliki. Dengan adanya penjelasan mengenai epistemologi, maka akan diketahui asal
mulanya pengetahuan, terjadinya pengetahuan, dan sumber-sumber pengetahuan. Sehingga
kita mengetahui dengan jelas dari mana kita mendapatkan pengetahuan dan cara
memperolehnya.
            Sumber-sumber pengetahuan tersebut antara lain adalah alam, akal, hati, pengalaman
indera, sejarah, intuisi, keyakinan, dan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui
akal, indra, dan sumber-sumber tersebut mempunyai metode tersendiri dalam pengetahuan
tersebut. Dan tanpa sumber-sumber tersebut maka kita tidak tahu darimana pengetahuan itu
berasal.
Metode  ilmiah  mempunyai  mekanisme  umpan  balik  yang  bersifat  korektif  yang
memungkinkan upaya keilmuan   menemukan   kesalahan   yang   mungkin   diperbuatnya.
Dalam metode ilmiah pun terdapat kekurangan dan kelebihan. Diantara kekurangannya
adalah: metode ilmiah tidak dapat digunakan kecuali pada pengkajian objek-objek material
yang dapat di indera, metode ilmiah mengasumsikan adanya penghapusan seluruh informasi
sebelumnya tentang objek yang akan dikaji, dan masih banyak lainnya. Disamping terdapat
kekurangan, berpikir secara ilmiah juga memiliki kelebiahan yaitu, hasil dari pemikirannya
akan lebih dipercaya orang lain karena disertakan bukti-bukti yang dapat dipertanggung
jawabkan.

13
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, M.A. Pengantar Filsafat Islam, cet.V. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991.

Amsal Bakhtiar. Filsafat Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Chalik Abul.Filsafat Ilmu.Yogyakarta.Arti bumi intaran,2015

Muhammad Abdurrahman dalam buku at-Tafkeer.2015

https://savehuman.wordpress.com/2011/05/13/epistimologi-ilmu-pengetahuan/

14

Anda mungkin juga menyukai