Anda di halaman 1dari 21

HALAMAN PERSEMBAHAN

Makalah ini dipersembahkan untuk dosen pengampu mata kuliah Filsafat ilmu yaitu
Ibu Anny Rosiana M., Ns. Sp. Kep. J. dengan tema bahasan yaitu “Epistemologi”.

1
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………………………. 1
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………... 2
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………… 3
BAB I…………………………………………………………………................................ 4
Pendahuluan……………………………………………………………………………... 4
A. Latar Belakang dan Masalah……………………………………………………… 4
B. Tujuan dan Manfaat…………………………………………………………….. 7
C. Rumusan Masalah……………………………………………………………….. 8
BAB II…………………………………………………………………............................... 9
Pembahasan…………………………………………………………………………… 9
A. Pengertian epistemologi…………………………………………………………. 9
B. Objek danTujuan Epistemologi ………………………………………………... 12
C. Hubungan epistemology, metode dan metodelogi……………………………… 15
BAB III……………………………………………………………………………………. 20
PENUTUP……………………………………………………………………………….. 20
A. Kesimpulan……………………………………………………………………….. 20
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….. 21

2
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga tim penyusun dapat menyelesaikan Makalah ini dengan
judul ”Epistemologi”.

Tim penyusun banyak hambatan yang tidak dapat tim penyusun pecahkan sendiri,
namun berkat kerja tim, maka Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Tim penyusun
juga menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan ini, kritik dan saran membangun
sangat tim penyusun harapkan.

Pada kesempatan ini tim penyusun menyampaikan ucapan terimakasih atas kerja
kelompok yang baik dari kelompok 2 yaitu:

1) Abdul Wahab Faalih


2) Aini Zahroh
3) Atika Arini
4) Andy Pratama
5) Desi Kumalasari
6) Ervina P. Meilansari
7) Fitri Wulandari

Semoga Allah SWT memberikan rahmat, hidayah dan balasan kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan Makalah ini.

Besar harapan tim penyusun agar Makalah ini dapat bermanfaat bagi tim penyusun
khususnya dan pembaca pada umumnya.

Kudus, Oktober 2012

Tim Penyusun

3
BAB I

PEDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah


Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu
diperhatikan bagaimana dan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita
mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal
yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Sebenarnya kita baru dapat menganggap
mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi.
Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau
mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanya kemungkinan-
kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menenatapkan batas-batas
antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-
bidang yang tidak memungkinkannya (Luis O. Kattsoff, 2004).
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat.
Sistem filsafat disamping meliputi epistemologi, juga ontologi dan aksiologi.
Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan. Ontologi adalah teori tentang
“ada”, yaitu tentang apa yang dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran. Sedangkan
aksiologi adalah teori tentang nilai yang membahas tentang manfaat, kegunaan maupun
fungsi dari objek yang dipikirkan itu. Oleh karena itu, ketiga sub sistem ini biasanya
disebutkan secara berurutan, mulai dari ontologi, epistemologi, kemudian aksiologi.
Dengan gambaran senderhana dapat dikatakan, ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi),
lalu dicari cara-cara memikirkannnya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran
yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi).
Demikian juga, setiap jenis pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri yang spesifik
mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi)
pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait
dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan
seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus
dikatikan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan
epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang
didasarkan model berpikir sistemik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.
4
Keterkaitan antara ontologi, epistemologi dan aksiologi seperti juga lazimnya
keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem membuktikan betapa sulit
untuk menyatakan yang satu lebih pentng dari yang lain, sebab ketiga-tiganya memiliki
fungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme pemikiran. Hal ini akan lebih
jelas lagi, jika kita renungkan bahwa meskipun terdapat objek pemikiran, tetapi jika tidak
didapatkan cara-cara berpikir, maka objek pemikiran itu akan “diam”, sehingga tidak
diperoleh pengetahuan apapun. Begitu juga, seandainya objek pemikran sudah ada, cara-
cara juga adam tetapi tidak diektahui manfaat apa yang bisa dihasilkan dari sesuatu yang
dipikirkan itu, maka hanya akan sia-sia. Jadi, ketiganya adalah interrelasi dan
interdependensi (saling berkaitan dan saling bergantung).
Namun demikian, ketika kita membicarakan epistemologi disini, berarti kita
sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara, atau langkah-langkah untuk
mendapatkan pengetahuan. Dari sini setidaknya didapatkan perbedan yang cukup
signifikan bahwa aktivitas berpikir dalam lingkup epistemologi adalah aktivitas yang
paling mampu mengembangkan kreativitas keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi.
Oleh karena itu, kita perlu memahami seluk beluk diseputar epistemologi, mulai dari
pengertian, ruang lingkup, objek, tujuan, landasan, metode, hakikat dan pengaruh
epistemologi.
Rasa kekaguman memacu timbulnya epistemologi, kekaguman luar biasa untuk
mengetahui sebab awal yang terdalam dari segala sesuatu. Berangkat dari rasa kagum luar
biasa, rasa kagum filsafati, kita mengawali suatu perjalanan panjang dalam dunia ilmu
pengetahuan. Socrates berpendapat bahwa tiada seorangpun yang memiliki pengetauan.
Itu berarti tidak ada seorangpun yang lebih bijaksana di dunia daripada Socrates.
Tidakada seorang manusia yang mempunyai pengetahuan, tetapi ada juga orang yang
berpendapat bahwa diri mereka sudah kelebihan pengetahuan. Socrates tahu bahwa
dirinya sendiri tidak tahu. Ada dua pandangan yang saling berseberangan. Pertama,
adalah penegasan atas keinginan utnuk tahu dan keinginan itu dapat diwujudkan. Kedua,
adalah penegasan atas ketidaktahuan umum sebagai kodrat manusia. Ahli filsafat lain,
Plato menyatakan bahwa keingintahuan mengawali filsafat.
Rasa kagum filosofis terhadap sesuatu yang sederhana. Sesuatu yang tampak jelas
dalam pengalaman hidup sehari-hari. Demikianlah pertanyaan filosofis itu muncul dari
perbedaan dari perbendaharaan pengalaman hidup sehari-hari. Ada anggapan umum yang
menyatakan bahwa jika sesuatu itu hadir, maka kehadirannya bisa kita ketahui sehingga
kemudian ada kecenderungan bahwa kita merasa sangat tahu tentang hakikat sesuatu
5
yang baru saja kita melihatnya. Kita siat atau merasa siap untuk mengajukan pertanyaan
“apa itu?”.
Beberapa pertanyaan mendasar epistemology berikut memberikan gambaran dari
jurus-jurusnya.

6
B. Tujuan dan Manfaat

Tujuan disusunnya makalah ini adalah:

1. Agar dapat mengetahui lebih banyak mengenai epistemologi.


2. Agar dapat mempelajari objek studi dan metode filsafat.
3. Agar dapat mengetahui bidang kajian dalam epistemologi ilmu filsafat.

7
C. Rumusan Masalah

1. Apa itu epistemology?


2. Apa saja objek studi dan metode filsafat dalam epistemology?
3. apa saja bidang kajian yang terdapat dalam epistemology?

8
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI

Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk
membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub sistem filsafat,
epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan yang tidak mudah dipahami.
Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki
sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian
yang berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi
persoalannya.

Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu
konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya,
pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi)
secara teknis, guna mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep
tersebut. Hal iini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep
selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-persoalan
belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri.
Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar,
gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar, cara
mengetasi hambatan belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu
konsep merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahsan selanjutnya yang
sedang dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).

Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian


pemahaman terhadap substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk yang
terkait dengan epistemologi itu. Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan
para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.

Definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan
membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan
kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia Pokok Bahasan Epistemologi.

9
Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan
pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua
poin penting akan dijelaskan:

1.  Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum
atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî[4]. Ilmu itu sendiri memiliki
istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah
ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
a.  Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup
segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran, dan juga meliputi
ilmu-ilmu seperti hudhûrî, hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu
manusia.
b. Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini
digunakan dalam filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu
hudhûrî.
c.  Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan
ilmu logika (mantik).
d. Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang
diyakini dan belum diyakini.
e. Ilmu adalah pembenaran yang diyakini.
f. Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas
eksternal.
g. Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan. Ilmu ialah kumpulan proposisi-
proposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan
masalah-masalah sejarah dan geografi.
h.  Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak
termasuk hal-hal yang linguistik.
i.    Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
2.  Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka
dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam
ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan
dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan
ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi
pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian

10
epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu
sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan adalah
dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek
pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang
pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang
perbedaan-perbedaan ilmu.

11
B. OBJEK DAN TUJUAN EPISTEMOLOGI

Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek


disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika
diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan
sasaran, sedang tujuan hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda, tetapi objek dan
tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan
tercapainya tujuan. Dengan kata lain, tujuan baru dapat diperoleh, jika telah melalui objek
lebih dulu. Misalnya, seorang polisi bertujuan membunuh perampok yang melakukan
perlawanan, ketika akan ditangkap dengan menambak kepalanya sebagai sasaran. Jadi,
tujuannya adalah pembunuhan, sedangkan objeknya adalah kepalanya. Oleh karena itu,
pembunuhan sebagai tujuan polisi baru mungkin tercapai setelah melalui tindakan
menembak kepala perampok sebagai sasaran, tetapi terjadinya pembunuhan tidak hanya
melalui menembak kepala perampok, bisa juga dadanya atau perutnya. Ini berarti dalam
satu tujuan bisa dicapai melalui objek yang berbeda-beda atau lebih dari satu.

Sebaliknya, mungkinkan suatu kegiatan hanya memiliki objek satu tetapi tujuannya
banyak. Ternyata ini juga mungkin terjadi bahkan sering terjadi. Manusia misalnya, sejak
lama ia menjadi objek penelitian dan pengamatan yang memiliki tujuan bermacam-
macam, baik untuk membangun psikologi, sosiologi, pedagogi, ekonomi, antropologi,
bilogi, ilmu hukum dan sebagainya, meskipun secara spesifik tekanan perhatian dalam
meneliti dan mengamati itu berbeda-beda. Dewasa ini, justru kecenderungan ini mulai
memperoleh perhatian yang sangat besar di kalangan para pemikir, perekayasa, dan juga
pengusaha. Artinya, ada upaya bagaimana menjadikan bahan yang sama untuk
kepentingan yang berbeda-beda. Kecenderungan ini justru memiliki efektifitas dan
efisiensi yang tinggi dan bersifat dinamis, mendorong kreativitas seseorang.

Aktivitas berfikir dalam kecenderungan pertama (satu tujuan dengan objek yang
berbeda-beda) lebih mendorong pencarian cara sebanyak-banyaknya, sedang berpikir
dalam kecenderungan kedua (satu objek untuk tujuan yang berbeda-beda) lebih
mendorong pencarian hasil yang sebanyak-banyaknya. Hal ini merupakan implikasi dari
tekanan masing-masing pola berpikir tersebut. Secara global, baik berpikir dalam
kecenderungan pertama maupun kecenderungan kedua, tetap saja membutuhkan banyak
cara untuk mewujudkan keinginan pemikirnya.

12
Dalam filsafat terdapat objek material dan objek formal. Objek material adalah
sarwa-yang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam dan hakikat
manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-
dalamnya, sampai ke akarnya) tentang objek material filsafat (sarwa-yang-ada).

Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang pertama kali
digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun
S.Suriasumatri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh
pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori
pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu
merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa
suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran
menjadi tidak terarah sama sekali.

Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut. Jacques Martain


mengatakan: “Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan,
apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya
dapat tahu”. Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh
pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat
perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki
potensi untuk memperoleh pengetahuan.

Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika


pengetahuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai
dia puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal
untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan
sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis.
Keadaan pertama hanya berorientasi pada hasil, sedangkan keadaan kedua lebih
berorientasi pada proses. Seseorang yang mengetahui prosesnya, tentu akan dapat
mengetahui hasilnya, tetapi seseorang yang mengetahui hasilnya, acapkali tidak
mengetahui prosesnya. Guru dapat mengajarkan kepada siswanya bahwa dua kali tiga
sama dengan enam (2 x 3 = 6) dan siswa mengetahui, bahkan hafal. Namun, siswa yang
cerdas tidak pernah puas dengan pengetahuan dan hafalan itu. Dia tentu akan mengejar
bagaimana prosesnya, dua kali tiga didapatkan hasil enam. Maka guru yang profesional

13
akan menerangkan proses tersebut secara rinci dan mendetail, sehingga siswa benar-benar
mampu memahaminya dan mampu mengembangkan perkalian angka-angka lainnya.

Proses menjadi tahu atau “proses pengetahuan” inilah yang menjadi pembuka
terhadap pengetahuan, pemahaman dan pengembangan-pengembangannya. Proses ini bisa
diibaratkan seperti kunci gudang, meskipun seseorang diberi tahu bahwa di dalam gudang
terdapat bermacam-macam barnag, tetapi dia tetap hanya apriori semata, karena tidak
pernah membuktikan. Dengan membawa kuncinya, maka gudang itu akan segera dibuka,
kemudian diperiksa satu persatu barang-barang yang ada didalamnya. Dengan demikina,
seseorang tidak sekedar mengetahuai sesuatu atas informasi orang lain, tetapi benar-benar
tahu berdasarkan pembuktian melalui proses itu.

Penguasaan terhadap proses tersebut berfungsi mengetahui dan memahami


pemikiran seseorang secara komprehensif dan utuh, termasuk juga ide, gagasa, konsep dan
teorinya, sebab tidak ada pemikiran yang terpenggal begitu saja, tanpa ada alasan-alasan
yang mendasarinya. Dalam kehidupan masyarakat tidak jarang terjadi sikap saling
menyalahkan pemikiran seseorang, padahal mereka belum pernah melacak proses
terjadinya pemikiran itu. Timbulnya suatu pemikiran senantiasa sebagai akibat adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi, alasan-alasan yang melatar belakangi, maupun motif-
motif yang mendasarinya. Ketika faktor, alasan dan motif ini belum dikenali, maka
acapkali seseorang tidak akan bisa memahami pemikiran orang lain. Sebaliknya, jika
seseorang terlebih dahulu berupaya mengenali faktor, alasan dan motif tersebut, maka dia
akan mampu mengenali pemikiran orang lain dengan baik, sehingga dia dapat
memakluminya. Faktor, alasan dan motif itu maupun komponen yang lain sesungguhnya
termasuk dalam mata rantai proses sebuah pemikiran.

14
C. HUBUNGAN EPISTEMOLOGI, METODE DAN METODOLOGI

Selanjutnya perlu ditelusuri dimana posisi metode dan metodologi dalam konteks
epistemologi untuk mengetahui kaitan-kaitannya, antara metode, metodologi dan
epistemologi. Hal ini perlu penegasan, mengingat dalam kehidupan sehari-hari sering
dikacaukan antara metode dengan metodologi dan bahkan dengan epistemologi. Untuk
mengetahui peta masing-masing dari ketiga istilah ini, tampaknya perlu memahami
terlebih dahulu makna metode dan metodologi. “Dalam dunia keilmuan ada upaya ilmiah
yang disebut metode, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran
ilmu yang sedang dikaji”.

Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain
mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:

1. Metode Induktif

Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan hasil observasi


disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Yang bertolak dari pernyataan-
pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain,
seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang, bertolak
dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan
mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan
suatu pengetahuan yang disebut sintetik.
2. Metode Deduktif

Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih
lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode
deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.
Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai
sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian
teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik
dari teori tersebut.
3. Metode Positivisme

Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari
apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala
15
uraian/ persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, iamenolak metafisika.
Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan
demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada
bidang gejala-gejala saja.
4. Metode Kontemplatif

Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk
memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda
harusnya dikembangkan sutu kemampuanakal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan
yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang
dilakukan oleh Al-Ghazali.
5. Metode Dialektis

Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai
kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya
diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah
dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai
apa yang terkandung dalam pandangan.

Lebih jauh lagi Peter R.Senn mengemukakan, “metode merupakan suatu prosedur
atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis”.
Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan dalam
metode tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa metodologi adalah ilmu tentang
metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu. Jika
metode merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, maka metodologilah yang
mengkerangkai secara konseptual terhadap prosedur tersebut. Implikasinya, dalam
metodologi dapat ditemukan upaya membahas permasalahan-permasalahan yang berkaitan
dengan metode.

Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode, kelemahan dan


kelebihannya dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metode yang digunakan,
sedangkan metode penelitian mengemukakan secara teknis metode-metode yang
digunakan dalam penelitian. Penggunaan metode penelitian tanpa memahami metode
logisnya mengakibatkan seseorang buta terhadap filsafat ilmu yang dianutnya. Banyak
peneliti pemula yang tidak bisa membedakan paradigma penelitian ketika dia mengadakan

16
penelitian kuantitatif dan kualitatif. Padahal mestinya dia harus benar-benar memahami,
bahwa penelitian kuantitatif menggunakan paradigma positivisme, sehingga ditentukan
oleh sebab akibat (mengikuti paham determinsime, sesuatu yang ditentukan oleh yang
lain), sedangkan penelitian kualitatif menggunakan paradigma naturalisme
(fenomenologis). Dengan demikian, metodologi juga menyentuh bahasan tantang aspek
filosofis yang menjadi pijakan penerapan suatu metode. Aspek filosofis yang menjadi
pijakan metode tersebut terdapat dalam wilayah epistemologi.

Metode epistemologi filsafat dalam memperoleh pengetahuan adalah sebagai


berikut.

1. Empirisme
Seorang empiris berpendapat bahwa kita dapat memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman. Seseorang yang telah menyaksikan suatu proses perubahan dan
memberitahukan hal tersebut pada yang lain, telah menyampaikan pengalamannya.
Ada 2 unsur yang berkaitan dengan hal ini, yakni yang mengetahui dan yang
diketahui. Pengalaman yang diperoleh melalui indra. Waktu kita dilahirkan, akan
masih berwujud tabularaser dan kemudian baru berfungsi sebagai tempat mencatat
pengalaman indrawi. Ada yang berpendapat bahwa paham empiris member sifat
radikal atau sensasionalisme. Penganut empirisme berpendapat bahwa suatu objek
akan terangsang alat penerima indrawi, yang kemudian diteruskan ke otak. Oleh otak
rangsangan tersebut akan dipahami sebagaimana adanya. Pengalaman dapat bermakna
ganda. Disatu sisi sebagai hasil pengindraan ditambah tanggapan atau hanya
pengalaman murni saja.
2. Rasionalisme
Rasionalisme memandang rasio (akal) sebagai sumber pengetahuan, sedangkan
pengalaman hanya sebagai perangsang pada akal. Kebenaran dan kesesatan dalam
akal kita diperoleh melalui akal budi. Dengan metode deduktif, Descartes menemukan
bahwa kebenaran ada dan nyata dengan bantuan nur cahaya terang dari akal budi.
Kebenaran dapat disimpulkan berasal dari prenisme yang mendahuluinya. Menurut
Descartes kebenaran apriori (sebelum datangnya pengalaman) bersifat terang dan
tegas.
3. Fenomenalisme ajaran Kant
Memperbaiki kritik Hume terdapat sudut pandang empiris dan rasionalis, imanuelkan
(abad ke 18) melakukan peninjauan kembali dan ia berpendapat bahwa ebab akibat
17
adalah hubungan yang bersifat niscaya. Kesimpulannya, pengetahuan tidak diperoleh
melalui pengalaman, melainkan ditambahkan pada pengalaman. Bagaimana cara kita
memperoleh pengetahuan itu sebenarnya tergantung pada jenis pengetahuan.
a. Pengetahuan analitis apriori
Pengetahuan tersebut telah ada sebelum memiliki pengalaman dan memandang
semua benda bereksistensi.
b. Pengetahuan sintesis apriori
Pengetahuan yang berasal dari hasil penyelidikan akal terhadap bentuk
pengalaman sendiri dan digabungkan dengan unsure lain yang tidak terkait.
Menurut Kant, sebagian besar kebenaran matematika mengikuti pola ini. Setiap
kejadian mempunyai sebab (metafisika).
c. Pengetahuan sintesis aposteroi
Pengetahuan yang diperoleh setelah adanya pengalaman.
4. Intuisionisme
Intuisi adalah suatu cara untuk mengetahui secara langsung dan seketika. hal ini
tidak dapat digantikan oleh cara analisis mengenai sesuatu oleh seorang perantara.
Intuisi adalah hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan inilah yang dapat
memahami kebenaran yang utuh, tetap dan unik.
5. Metode Ilmiah
Metode ilmiah sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan, sebenarnya adalah
prosedur yang mencakup tindakan pikiran, pola kerja, secara teknis dan tata langkah
untuk memperoleh / mengembangkan pengetahuan yang sudah ada.

Oleh karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural-teoritis antara


epistemologi, metodologi dan metode sebagai berikut: Dari epistemologi, dilanjutkan
dengan merinci pada metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau tehnik.
Epistemologi itu sendiri adalah sub sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa
dilepaskan dari filsafat. Filsafat mencakup bahasan epistemologi, epistemologi mencakup
bahasan metodologis, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh metode. Jadi, metode
merupakan perwujudan dari metodologi, sedangkan metodologi merupakan salah satu
aspek yang tercakup dalam epistemologi. Adapun epistemologi merupakan bagian dari
filsafat.

Posisi masing-masing istilah ini, seperti lingkaran besar yang melingkari lingkaran
kecil, dan dalam lingkaran kecil masih terdapat lingkaran yang lebih kecil lagi. Lingkaran
18
besar disini diumpamakan filsafat, lingkaran kecil berupa epistemologi, dan lingkaran
yang lebih kecil kecuali berupa metodologi. Ini berarti bahwa filsafat mencakup bahasan
epistemologi, tetapi bahasan filsafat tidak hanya epistemologi karena masih ada bahasan
lain, yaitu ontologi dan aksiologi. Demikian juga epistemologi mencakup bahasan metode
(metodologi), namun bahasan epistemologi bukan hanya metode semata-mata, karena ada
bahasan lain, seperti: hakikat, sumber, struktur, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas,
sasaran dan dasar pengetahuan. Untuk lebih jelas lagi perlu dibedakan adanya metode
pengetahuan dan metode penelitian, kendatipun tidak bisa dipisahkan. Metode
pengetahuan berada dalam dataran filosofis-teoritis, sedangkan metode penelitian berada
dalam dataran teknis.

Dalam filsafat, istilah metodologi berkaitan dengan praktek epistemologi. Secara


lebih khusus, problem penyelidikan ilmiah yang secara filosofis menjadi kajian utama
cabang epistemologi yang berkaitan dengan problem metodologi juga berkaitan dengan
rancangan tata pikir, apa yang benar dan dapat dipergunakan sebagai alat untuk
memperoleh pengetahuan. Kemudian berbicara tentang metodologi yang berarti berbicara
tentang cara-cara atau metode-metode yang digunakan oleh manusia untuk mencapai
pengetahuan tentang realita atau kebenaran, baik dalam aspek parsial atau total. Lebih jelas
lagi, bahwa seseorang yang sedang mempertimbangkan penggunaan dan penerapan
metode untuk memperoleh pengetahuan, maka dia harus mengacu pada metodologi,
mengingat pembahasan tentang seluk-beluk metode itu ada pada metodologi. Metodologi
inilah yang memberikan penjelasan-penjelasan konseptual dan teoritis terhadap metode.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan,


pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu
hushûlî dan ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan
demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah
bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.

Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi


jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk
menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode
akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan
ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan
perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.

20
DAFTAR PUSTAKA

Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu. Rake Sarasin: Yogyakarta.

Soemowinoto, Sarwoko. 2010. Pengantar Filsafat Ilmu Keperawatan suatu Epistemologi.


Salemba Medika:Jakarta.

http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/04/kajian-epistemologi.html

21

Anda mungkin juga menyukai