Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

LANDASAN EPISTEMOLOGI ILMU

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu


Dosen Pengampu: Dr. Asril, M.Pd.I

.
Disusun Oleh

Samsu Rizal
M. Kholidi
Ristanto

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM AL-AZHAR LUBUK LINGGAU

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Landasan
Epistemologi Ilmu” dengan lancar tanpa halangan yang berarti. Makalah ini
disusun dengan tujuan sebagai bahan diskusi dan untuk lebihmemahami tentang
landasan epistemologi ilmu. Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Dosen
pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu karena telah membimbing dan memberikan
tugas pembuatan makalah ini sehingga kami dapat lebih memahami kajian filsafat
epistemologi dalam memandang suatu ilmu. Tak lupa kami ucapkan terimakasih
kepada teman-teman yang turut serta membantu kelancaran penyusunan makalah.
Tak ada gading yang tak retak, demikian pula makalah yang kami susun masih
memiliki banyak kekurangan maupun keterbatasan. Kami mohon maaf atas
kekurangan dan keterbatasan dalam makalah ini, oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun kami harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Demikian makalah ini kami susun, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.

Aceh, 02 Desember 2021

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR……………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………. iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………...... 2
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………….... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Landasan Epistemologi
1. Pengertian Epistemologi……………………………………………… 3
2. Alasan Mempelajari Epsitemologi……………………………………. 5
3. Kajian Epistemologi tentang Ilmu dan Pengetahuan…………………. 7

B. Cara Memperoleh Ilmu


1. Metode Ilmiah……………………………………………………….... 11
2. Struktur Pengetahuan Ilmiah………………………………………….. 17
3. Validitas Kebenaran Ilmiah…………………………………………... 19

BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………... 23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia dalam hidup dan kehidupan tidak dapat dilepaskan dari suatu
permasalahan yang muncul dari berbagai bidang. Bidang yang dimaksud
diantaranya seperti bidang pendidikan, sosial, budaya, politik, maupun ekonomi.
Dalam dunia pendidikan permasalahan-permasalahan yang muncul seperti
kurangnya fasilitas fisik maupun keuangan yang mendukung proses pendidikan,
kurangnya dukungan orang tua/masyarakat dalam proses belajar siswa, maupun
yang sering ditemui seperti kesulitan belajar dari peserta didik dan hasil belajar
yang rendah. Permasalahan yang muncul tersebut menimbulkan pertanyaan-
pertanyaan tentang “bagaimana” cara yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Tentu saja masing-masing individu memiliki cara yang berbeda-
beda dalam menelaah ataupun menyelesaikan permasalahan tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul sebagai telaah dari permasalahan yang
dihadapi menuntut adanya suatu jawaban. Sumber jawaban dari berbagai
pertanyaan tersebut adalah pengetahuan. Sebagai contoh dari permasalahan hasil
belajar matematika siswa yang rendah, akan timbul pertanyaan “Mengapa hasil
belajar matematika siswa rendah?” Atau akan muncul pertanyaan “Bagaimana
proses yang dapat dilakukan dengan benar agar hasil belajar matematika siswa
tidak rendah?”. Jawaban dari setiap pertanyaan yang muncul bukan hanya sekedar
jawaban asal-asalan tetapi diharapkan adanya suatu jawaban yang benar dan tepat.
Jawaban benar tersebut dapat diperoleh dengan menyusun pengetahuan yang
benar melalui metode-metode ilmiah yang berisi peraturan-peraturan pelaksanaan
kegiatan ilmiah sehingga menjadi suatu ilmu yang bisa digunakan dalam
penyelesaikan suatu masalah. Dapat dikatakan bahwa ilmu sebagai bagian dari
pengetahuan dan metode ilmiah sebagai cara ilmu untuk menyusun pengetahuan
yang benar. Kajian tentang menyusun pengetahuan yang benar melalui metode
ilmiah tersebut merupakan bagian dari filsafat ilmu sebagai bagian dari filsafat
epistemologi.

1
Ilmu mencoba untuk menjelaskan hakikat dari suatu permasalahan untuk
kemudian manusia dapat memecahkannya. Namun demikian, permasalahan yang
dimaksud terbatas pada permasalahan yang nyata atau empiris dan dalam
jangkauan pengalaman manusia. Pembahasan tentang ilmu mencangkup tiga
landasan yaitu ontologi(pertanyaan apa yang dikaji), epistemologi(pertanyaan
bagaimana cara mendapatkan pengetahuan), dan aksiologi (pertanyaan untuk apa
pengetahuan tersebut digunakan). Ketiga landasan tersebut saling berkaitan untuk
menjawab permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui makalah ini akan
dikaji tentang pandangan landasan epistemologis dalam memperoleh suatu ilmu
melalui metode-metode ilmiah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam makalah ini
yaitu “Bagaimana pandangan landasan epistemologi tentang cara
memperoleh suatu ilmu?”.

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengkajipandangan landasan
epistemologi tentang cara memperoleh suatu ilmu.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Epistemologi
1. Pengertian Epistemologi
Filsafat secara umum dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari
tentang hakikat keberadaan suatu hal. Filsafat dalam kajiannya tentang
hakikat keberadaan suatu hal memiliki beberapa cabang diantaranya
epistemologi, metafisika, etika, dan estetika. Epistemologi berasal dari bahasa
Yunani yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos” yang berarti
ilmu. Dapat diartikan dari dua asal kata tersebut epistemologi berarti ilmu
yang membicarakan tentang pengetahuan. Kata “episteme” merupakan kata
kerja dalam bahasa Yunani yang berarti mendudukan, menempatkan, atau
meletakkan. Dimaksudkan dari kata tersebut bahwa epistemologi sebagai
upaya untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan yang tepat sehingga
epistemologi sering disebut juga sebagai “Theory of Knowledge”
(Sudarminta, 2002:18).
Epistemologi sebagai ilmu dan cabang filsafat yang membahas atau
membicarakan tentang suatu pengetahuan. Sebagaimana pendapat Adib
(2010:74) mengemukakan bahwa epistemologi merupakan ilmu yang
membahas tentang cara memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan,
sumber pengetahuan, serta berkaitan dengan teknik atau prosedur dalam
memperoleh ilmu melalui suatu metode. Epistemologi mempertanyakan
berkaitan dengan “Apa yang sudah diketahui dan bagaimana cara
mengetahuinya?”. Pertanyaan ini menekankan penjelasan lebih pada kata
“bagaimana” sebagai bentuk pertanyaan yang menanyakan teknik/prosedur
untuk memperoleh pengetahuan. Sebagai contoh terdapat spesies yang secara
fisiologi menyerupai tumbuhan tetapi terdapat ciri lain yang menunjukkan
bahwa spesies tersebut bukan termasuk golongan tumbuhan, epistemologi
mengkaji bahwa terdapat spesies menyerupai tumbuhan namun terdapat ciri
lain yang menujukkan bahwa bukan termasuk golongan tumbuhan sebagai

3
fakta di depan mata dan kemudian untuk diteliti secara saintifik. Hal ini
diperkuat sebagaimana pendapat Sudarminta (2002:18) bahwa epistemologi
sebagai filsafat pengetahuan yang memiliki sifat kritis dalam rangka mengkaji
pengandaian maupun syarat-syarat logis yang mendasari suatu pengetahuan
serta memberikan pertanggungjawaban rasional terhadap kebenaran dan
objektivitasnya.
Epistemologi sebagai cabang dari ilmu filsafat juga memiliki ciri khas
dari filsafat seperti bersifat kritis dalam mengajukan suatu pertanyaan dan
membahas secara menyeluruh dan mendalam untuk menjawab suatu
pertanyaan. Diperkuat dengan pendapat Sudarminta (2002:18) bahwa
epistemologi sebagai disiplin ilmu yang memiliki sifat evaluatif, normatif,
dan kritis. Epistemologi dikatakan bersifat evaluatif sebab epistemologi
menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, maupun teori
pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar
yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Epistemologi dikatakan
bersifat normatif yang berarti epistemologi menentukan tolok ukur kenalaran
bagi kebenaran pengetahuan, artinya epistimologi tidak cukup hanya dengan
memaparkan atau mendeskripsikan tentang proses mengetahui tetapi perlu
membuat penentuan benar atau keliru berdasarkan norma epistemik.
Epistemologi dikatakan bersifat kritis yang berarti banyak mempertanyakan
asumsi-asumsi, cara kerja, ataupun kesimpulan yang diambil dan menguji
kenalaran cara maupun hasil dari kegiatan mengetahui.
Epistemologi terbagi kedalam dua cabang, yaitu berdasarkan cara kerja
dan objek yang dikaji. Menurut Sudarminta (2002:21) epistemologi
berdasarkan cara kerja dibedakan menjadi epistemologi metafisis,
epistemologi skeptis, dan epistemologi kritis yang dijelaskan sebagai berikut.
a. Epistemologi metafisis yaitu berawal dari paham tertentu tentang
kenyataan yang kemudian membahas tentang caramenusia mengetahui
kenyataan tersebut. Epistemologis metafisis bertitik tolak dari
pengandaian metafisika. Sebagai contoh Plato meyakini bahwa
kenyataan yang sejati adalah kenyataan dalam dunia ide-ide, sedangkan

4
kenyataan yang dialami didunia adalah kenyataan fana dan gambaran
kabur dari kenyataan dalam dunia ide-ide. Epistemologi metafisis
menjadi kontroversial sebab secara tidak kritis mengandaikan bahwa
seseorang dapat mengetahui kenyataan yang ada serta hanya
menyibukkan tentang seperti apa macam pengetahuan tersebut dan
bagaimana yang diperoleh.
b. Epistemologi skeptis yaitu perlu membuktikan terlebih dahulu hal yang
dapat diketahui sebagai sungguh nyata atau benar-benara tidak dapat
diragukan lagi dengan menganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala
sesuatu yang kebenarannya masih dapat diragukan.
c. Epistemologi kritis yaitu berawal dari asumsi, prosedur, kesimpulan
pemikiran akal sehat yang ditemukan dalam kehidupan kemudian
mencoba untuk menanggapi secara kritis asumsi, prosedur, dan
kesimpulan. Keyakinan maupun pendapat yang ada dapat dijadikan
sebagai data penyelidikan atau bahan refleksi kritis untuk diuji
kebenarannya.
Epistemologi berdasarkan objek yang dikaji dibedakan menjadi dua
bagian yaitu epistemologi individual dan epistemologi sosial. Menurut
Sudarminta (2002:22) epistemologi individual mengkaji bahwa struktur
pikiran menusia dalam proses mengetahui dianggap cukup mewakili untuk
menjelaskan prosedur/cara semua pengetahuan manusia umumnya diperoleh.
Kajian epistemologi sosial menurut Steve Fuller (Sudarminta, 2002:22)
menyebutkan bahwa hubungan sosial, kepentingan sosial, dan lembaga sosial
dipandang sebagai faktor-faktor yang sangat menentukan dalam suatu
proses/cara memperoleh pengetahuan.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
epistemologi diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang hakikat
pengetahuan, yang meliputi cara ataupun prosedur untuk memperoleh
pengetahuan tersebut serta menguji kebenaran dari suatu pengetahuan secara
kritis, menyeluruh, dan mendasar. Hal tersebut yang menyadarkan pentingnya

5
filsafat epistemologi sebagai landasan manusia untuk mengetahui sesuatu
yang teruji kebenarannya dan memperoleh suatu kajian ilmu.

2. Alasan Mempelajari Epistemologi


Analisis secara kritis, menyeluruh, dan mendasar terhadap suatu
pengetahuan menjadi bagian dari pentingnya mempelajari epistemologi. Hal
ini dapat dilihat dari tiga landasan dalam mengkaji suatu pengetahuan yaitu
“objek apa (ontologis)”, “bagaimana proses yang dilakukan (epsitemologi)”
dan “untuk apa (aksiologi)”. Berbagai pertanyaan terhadap segala hal yang
telah ada maupun sedang terjadi perlu diketahui jawabannya. Sumber
jawaban dari berbagai pertanyaan tersebut adalah pengetahuan. Tentu saja
bukan asal sembarang jawaban yang diharapkan dapat dipeorleh, melainkan
suatu jawaban yang benar. Jawaban yang benar tersebut termasuk dalam
kajian filsafat epistemologi.
Urgensi mempelajari epistemologi juga dapat ditinjau dari tiga alasan.
Menurut Pranaka dalam Sudarminta (2002:26) ketiga alasan tersebut yaitu
berdasarkan pertimbangan strategis, pertimbangan kebudayaan, dan
pertimbangan pendidikan yang diuraikan sebagai berikut.
a. Berdasarkan pertimbangan strategis, bahwa pengetahuan merupakan hal
yang secara strategis penting bagi kehidupan manusia, sebab
pengetahuan memiliki daya kekuatan atau kekuasaan untuk mencapai
suatu tujuan dan mengubah keadaan. Di era global saat ini didominasi
adanya perkembangan teknologi baik industri, transportasi, maupun
komunikasi yang berkembang pesat dan semuanya didasarkan pada
pengetahuan. Ketika seseorang mampu menguasai pengetahuan tersebut
yang dibutuhkan oleh dunia kerja dan tuntutan global maka seseorang
tersebut dikatakan dapat menguasai keadaan.
b. Berdasarkan pertimbangan kebudayaan, bahwa pengatahuan sebagai
salah satu unsur dari kebudayaan. Hal ini dikarenakan, melalui
pengetahuan manusia dapat mengolah dan memanfaatkan alam
lingkungan sekitar untuk bertahan hidup. Melalui pengetahuan, manusia

6
mengenali, menganalisis, dan menafsirkan persitiwa atau permasalahan
yang terjadi sehingga dapat mengambil keputusan dalam aktivitasnya.
Kajian epistemologi penting untuk melihat perkembangan kebudayaan
yang dipengaruhi oleh pengetahuan.
c. Berdasarkan pertimbangan pendidikan, bahwa pendidikan tidak dapat
dilepaskan dari pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dari proses belajar
mengajar yang memuat penyampaian atau transfer pengetahuan,
keterampilan, maupun nilai-nilai untuk membantu peserta didik
mengembangkan segala potensi yang dimiliki. Begitu pula pendidikan
informal maupun nonformal untuk membentuk peserta didik yang dapat
diterima masyarakat maka diperlukan penyampaian pengetahuan
tersebut.
Berdasarkan uaraian diatas, memaparkan alasan penting mempelajari
epistemologi. Apalagi diera global saat ini yang menuntut seseorang dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan dari kemajuan teknologi. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa pentingnya mempelajari epistemologi adalah agar manusia
dapat memperoleh kajian kritis dari pengetahuan sebagai jawaban yang benar
dalam menjawab suatu permasalahan melalui metode-metode, pengetahuan
sebagai kekuatan untuk menguasai keadaan dan berkaitan dengan
perkembangan kebudayaan suatu masyarakat serta dunia pendidikan sebagai
transfer berbagai ilmu pengetahuan agar menjadi manusia yang terampil dan
berkarakter.

3. Kajian Epistemologi Ilmu dan Pengetahuan


Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari adanya suatu
permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya dibutuhkan sebagai solusi dan
pemecahan dari permasalahan tersebut. Sumber jawaban dari pertanyaan
tersebut adalah pengetahuan. Namun demikian, pengetahuan sebagai sumber
jawaban atas pertanyaan permasalahan tentu diharapkan menunjukkan
jawaban yang benar bukan jawaban yang asal-asalan. Agar jawaban tersebut

7
dapat diperoleh secara benar, maka penting untuk mengkaji dan menyusun
pengetahuan sebagai sumber jawaban secara benar melalui telaah filsafat
epistemologi. Epistemologi merupakan teori pengetahuan yang membahas
tentang cara atau proses mendapatkan pengetahuan yang benar. Sebagaimana
diperkuat dengan pendapat yang dikemukakan Bakhtiar (2004:148) bahwa
epistemologi berkaitan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandai-
andaian dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Epistemologi juga mempelajari perihal proses terjadinya pengetahuan
atau asal mula pengetahuan tersebut. Hal ini menjadi kajian yang penting
dalam epsitemologi sebab memebrikan corak pemikiran kefilsafatannya
(Susanto, 2013:136). Menurut Joon Hospers dan Knight dalam Susanto
(2013:137) meyakini bahwa didalam proses mengetahui memerlukan alat,
yaitu pengalaman indera (sense of experience), nalar (reason), wahyu
(relevation), otoritas (authority), intuisi (intuition), dan keyakinan (faith).
Sedangkan pandangan yang lain berkeyakinan bahwa pengetahuan diperoleh
dari pengamatan yang dimulai dengan gambaran-gambaran indera dan
ditingkatkan sampai pada tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi menjadi
penegtahuan rasional dan intuitif.
Pengetahuan dikelompokkan menjadi beberapa jenis. Menurut Jan
Hendrik Rapar (Susanto, 2013:137) pengetahuan dibagi menjadi tiga jenis
yaitu pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, dan pengetahuan filsafati.
Pengetahuan biasa (ordinary knowledge) diperoleh dari penyerapan indera
terhadap objek tertentu dalam kehidupan sehari-hari, selain itu juga diperoleh
melalui pemikiran yang rasional dan mendalam tentang segala sesuatu namun
demikian masih perlu dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan
metode-metode ilmiah. Pengetahuan ilmiah (scientif knowledge) sebagai
pengetahuan yang diperoleh melalui penggunakan metode-metode ilmiah
yang lebih menjamin kepastian kebenaran yang dicapai. Sedangkan
pengetahuan filsafati (philosophical knowledge) sebagai pengetahuan yang

8
berkaitan dengan hakikat, prinsip, dan asas dari seluruh realita yang
dipersoalkan sebagai objek yang akan diketahui.
Pengetahuan pada dasarnya sebagai segala hal yang diketahui dan
diperoleh manusia melalui berbagai cara dan menggunakan berbagai alat.
Selain pemaparan diatas kajian filsafat tentang cara memperoleh pengetahuan
terbagi ke dalam aliran-aliran. Menurut Ahmas Tafsir (Susanto, 2013:140)
aliran tersebut meliputi aliran empirisme, rasionalisme, positivisme, dan
intuisionisme yang dijelaskan sebagai berikut.
a. Aliran empirisme mengajarkan bahwa manusia memperoleh pengetahuan
melalui pengalamannya, pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman
inderawi. Sebagai contoh, manusia tahu bahwa gula memiliki rasa manis
sebagai hasil dari mencicipi.
b. Aliran rasionalisme mengajarkan bahwa melalui akalnya manusia dapat
memperoleh pengetahuan, namun demikian aliran rasionalisme uga tidak
mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan. Indera
diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang
menyebabkan akal dapar bekerja.
c. Aliran positivisme mengajarkan bahwa indera memang penting dalam
memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan
diperkuat dengan eksperimen. aliran positivisme muncul untuk
menyempurnakan aliran empirisme dan rasionalisme.
d. Aliran intuisionisme mengajarkan bahwa indera dan akal memiliki
keterbatasan dalam menangkap pengetahuan sehingga diperlukan
kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia yaitu intuisi.
Pengembangan kemampuan intuisi memerlukan suatu usaha, yang mana
usaha ini dapat memahami kebenaran yang utuh dan tetap.
Upaya manusia untuk memperoleh pengetahuan melalui upaya
penalaran, pikiran, perasaan, keyakinan atau kepercayaan. Dari upaya
melakukan penalaran dan pemikiran diperoleh pengetahuan yang disebut
ilmu, sedangkan dari perasaan dan keyakinan diperoleh pengetahuan berupa
seni dan agama. Ilmu memang berbeda dengan pengetahuan secara filsafat.

9
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang aspek ontologis,
epistemologis, dan aksiologis lebih berkembang dibandingkan dengan
pengetahuan. Ilmu sebagai pengetahuan yang sistematismempunyai unsur-
unsur atau elemen-elemen sistematika yang berupa tindakan-tindakan
fungsional, yaitu merumuskan masalah, mengamati, dan mendeskripsi,
menjelaskan, meramalkan dan mengontrol gejala-gejala yang ada di alam
semesta ini. Unsur-unsur sistematika tersebut sebagai landasan dalam
epistemologi ilmu yang disebut metode ilmiah guna membedakan ilmu
dengan pengetahuan lain.
Epistemologi keilmuan pada hakikatnya merupakan gabungan antara
berpikir secara rasional dan berpikir secara empiris. Kedua cara berpikir
tersebut digabungan dalam mempelajari gejala alam untuk menemukan
kebenaran. Secara epistemologi,ilmu memanfaatkan dua kemampuan
manusia dalam mempelajari alam yaitu pikiran dan indera. Usaha
menafsirkan adalah aplikasi berpikir rasional, sedangkan usaha untuk
membuktikan adalah aplikasi berpikir empiris. Ilmu bertujuan untuk
menjelaskan tentang segala yang ada di alam semesta memiliki sifat-sifat.
Sifat pertama dari ilmu ialah bahwa ilmu menjelajah dunia empirik tanpa
batas sejauh yang dapat ditangkap oleh panca indera (dan indera lain). Akan
tetapi karena batas kemampuan indera manusia itu terbatas, maka sebagai
sifat kedua ialah bahwa tingkat kebenaran yang dicapainya pun relatif atau
tidak sampai pada tingkat kebenaran yang mutlak. Sifat yang ketiga dari ilmu
ialah bahwa ilmu menemukan proposisi-proposisi (hubungan sebab akibat)
yang teruji secara empirik.
Semua pengetahuan seperti ilmu, seni, atau pengetahuan apapun
berdasarkan ketiga landasan yaitu yaitu ontologis, epistemologis, dan
aksiologis. Yang membedakan adalah materi perwujudan dan sejauh mana
landasan-landasan tersebut dikembangkan dan dilaksanakan (Suriasumantri,
2010:35). Melalui ketiga landasan tersebut yaitu ontologis yang
mempertanyakan “Apa yang dikaji pengetahuan tersebut”, epistemologi yang
mempertanyakan “Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut?, dan

10
aksiologis yang mempertanyakan “Untuk apa pengetahuan tersebut
digunakan?” memungkinkan untuk mengenali dan membedakan berbagai
pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni, ataupun agama serta meletakkan
pada tempatnya masing-masing guna memperkaya khazanah pengetahuan
(Suriasumantri, 2010:35).
Berdasarkan pemaparan tersebut, pada dasarnya pengetahuan merupakan
segala hal yang kita ketahui. Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu untuk
menjawab dan memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupan sehari-
hari yang dihadapi oleh manusia. Agar permasalahan tersebut diperoleh
jawaban dan solusi yang benar, penting untuk mengembangkan landasan
epistemologi yang relevan. Permasalahan yang dihadapi dalam epistomologi
pengetahuan yaitu tentang bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar
dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing,
sedangkan permasalahan yang dihadapi oleh epistemologi keilmuan yaitu
bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan
mengenai dunia empiris yang akan digunakan untuk meramalkan dan
mengontrol gejala alam dengan mengetahui mengapa sesuatu tersebut terjadi
(Suriasumantri, 2010:106).

B. Cara Memperoleh Ilmu


1. Metode Ilmiah
Metode ilmiah terdiri dari kata metode yang berarti cara kerja yang
digunakan untuk memudahkan dalam mencapai tujuan, sedangkan ilmiah
merupakan yang bersifat ilmu. Sehingga metode ilmiah merupakan cara kerja
atau langkah-langkah yang digunakan untuk mendapakan pengetahuan yang
dapat dibuktikan secara ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur atau
langkah-langkah sistematis dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu
(Soetriono dan Hanafie, 2007: 157). Menurut Suriasumantri (2010: 119) tidak
semua pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu, karena ilmu merupakan
bagian dari pengetahuan yang didapat melalui prosedur tertentu. Prosedur

11
yang harus dipenuhi agar pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu, yakni
dengan menggunakan metode ilmiah.

Ilmu mulai berkembang berawal dari keingintahuan manusia terhadap hal


tertentu atau bahkan untuk menghadapi masalah. Manusia ketika
mendapatkan permasalahan maka mulailah berfikir bagaimana cara untuk
memecahkan masalahnya sesuai dengan perkembangan cara berfikirnya
menggunakan berbagai macam sumber dan cara mendapatkan pengetahuan
sebagai jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya. Ilmu mencoba
mencari penjelasan mengenai permasalahan dan dengan demikian akan
terpecahkan. Pertama-tama dalam hal ini, ilmu menyadari bahwa masalah
yang dihadapinya bersifat konkret yang terdapat dalam dunia fisik yang
nyata. Karena masalah yang didapati adalah nyata, maka ilmu mencari
jawaban pada dunia yang nyata pula. Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri
dengan fakta. Teori merupakan penjelasan gejala yang ada di alam fisik dan
merupakan jembatan dalam permasalahan. Teori ilmu merupakan suatu
penjelasan rasional yang disesuaikan dengan obyek yang dijelaskannya,
sehingga dapat meyakinkan maka harus didukung dengan fakta empiris.

Penggabungan pendekatan rasional dengan pendekatan empiris dalam


langkah-langkah merupakan metode ilmiah. Secara rasional ilmu menyusun
pengetahuan secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu
memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan fakta dan yang tidak.
Suatu jawaban permasalahan yang sebelum teruji kebenarannya secara
empiris semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat
sementara atau biasa disebut sebagai hipotesis. Dugaan sementara atau
jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang dihadapi merupakan
hipotesis. Hipotesis pada dasarnya disusun secara deduktif dengan mengambil
premis-premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya.
Penyusunan seperti ini memungkinkan terjadinya konsistensi dalam
mengambangkan ilmu secara keseluruhan dan menimbulkan pula efek
kumulatif dalam kemajuan ilmu. Langkah-langkah yang harus dipenuhi

12
dalam metode ilmiah dijabarkan dalam langkah-langkah yang mencerminkan
kegiatan ilmiah. Menurut Suriasumantri (2010: 127) terdapat 5 langkah dalam
memperoleh ilmu, yakni sebagai berikut.

a. Perumusan Masalah
Masalah merupakan hal awal yang digunakan dalam mencari ilmu.
Permasalahan merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas
batas batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait
didalamnya. Perumusan masalah tidak luput dari kegiatan mencari,
merumuskan dan mengidentifikasi masalah. ketiga hal tersebut merupakan
tahapan penetapan masalah penelitian.
Masalah menurut Danial (2016: 110) dibedakan menjadi dua, yakni
masalah yakni persepsive problem dan real problem. Persepsive problem
merupakan suatu yang dipersepsikan sebagai masalah, tetapi tidak
membutuhkan penelitian atau penyelidikan ilmiah untuk menjawab
permasalahan tersebut. Sedangkan real problem merupakan masalah nyata
yang membutuhkan penelitian untuk mendapatkan jawabannya, sehingga
masalah layak dijadikan masalah keilmuan.
Masalah keilmuan penting diteliti jika memiliki ciri ideal, sehingga
masalah suatu masalah dapat dikatakan penting. Menurut Danial (2016: 111)
ada beberapa ciri yakni sebagai berikut.
a) Pemecahannya berguna atau bermanfaat
b) Suatu masalah penting bila dapat menghubungkan dalam suatu kesatuan
pengetahuan yang sebelumnya masih berdiri sendiri-sendiri.
c) Masalah penting karena ia dapat mampu mengisi celah yang kosong
dalam khazanah pengetahuan.
d) Masalah dapat dijawab dengan jelas.
e) Setiap jawaban dari masalah tersebut harus dapat diuji orang lain.
f) Masalah harus dapat dijawab melalui kajian ilmiah karena tersedia data
atau berpotensi tersedia data untuk menemukan jawaban.
g) Mengandung unsur pengukuran dan definisi konseptual yang terdapat
dalam masalah tersebut.

13
b. Penyusunan Kerangka Berfikir
Menyusun kerangka pikiran merupakan mengalirkan jalan fikiran
menurut kerangka logis atau menurut logical construk. Cara berfikir (nalar)
kearah dalam mencari jawaban terhadap masalah yang diidentifikasi yakni
penalaran deduktif. Cara penalaran deduktif merupakan cara penalaran yang
berasal dari hal umum (general) ke hal yang khusus (spesifik).
Penyusunan kerangka berfikir merupakan argumentasi yang menjelaskan
hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengait
yang membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berfikir disusun secara
rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya
dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan
permasalahan.
c. Perumusan hipotesis
Perumusan hipotesis merupakan kesimpulan atau dugaan sementara
terhadap pertayaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari
kerangka berfikir yang dikembangkan. Merumuskan berarti membentuk
proposisi yang sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan serta tingkat-
tingkat kebenarannya. Menurut Soetriono dan Hanafie (2007:160) terdapat
bermacam-macam hipotesis yang sering dijumpai yang dijelaskan sebagai
berikut.
1) Hipotesis Deskriptif, merupakanhipotesis “lukisan”, yang menunjukkan
dugaan sementara tentang bagaimana benda-benda, peristiwa-peristiwa,
atau variabel-variabel itu terjadi.
2) Hipotesis Argumentasi, merupakan hipotesis “penjelasan”, menunjukkan
dugaan sementara tentang mengapa (why) benda-benda, peristiwa-
peristiwa atau variabel-variabel itu terjadi. Hipotesis ini merupakan
penyataan semantara yang diatur secara sistematis sehingga salah satu
pernyataan merupakan kesimpulan (konsekuen) dari pernyataan yang
lainnya (antiseden).
3) Hipotesis Kerja, merupakan hipotesis kerja merupakan hipotesis yang
meramalkan atau menjelaskan akibat-akibat jadi suatu variabel yang

14
menjadi penyebabnya. Jadi hipotesis ini menjelaskan suatu ramalan bahwa
jika suatu variabel berubah maka variabel tertentu akan berubah pula.
4) Hipotesis Nol, bertujuan memeriksa ketidakbenaran sebuah dalil/teori,
yang selanjutnya akan ditolak melalui bukti-bukti yang sah. Karena
hipotesis ini mempergunakan perangkat statistik/matematik maka disebut
hipotesis statistik. Melalui prosedur ini maka kita membuat dugaan dengan
hati-hati, bahwa menurut pendapat kita tidak ada hubungan yang berarti
atau perbedaan yang signifikan, dan senjutnya kita mencoba memastikan
ketidakmungkinan hipotesis ini. Jika ternyata hipotesis ini ditolak maka
pekerjaan dipindah ke hipotesis kerja (oleh karena itu hipotesis nol disebut
kebalikan dari hipotesis kerja).
d. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan
dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-
fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak. Pengujian hipotesis
dalam penelitian mutakhir menggunakan metode statistika/statistik, dengan
mempergunakan rancangan-rancangan uji hipotesis yang telah tersedia.
Peneliti tinggal memilih rancangan uji yang tepat dengan hipotesisnya.
e. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan penilaian terhadap hipotesisi yang
diajukan ditolak atau diterima. Jika dalam proses pengujian terdapat fakta
yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis diterima, serta sebaliknya
jika dalam proses pengujian tidak ditemukan fakta yang cukup mendukung
hipotesis, maka hipotesis ditolak. Hipotesis yang diterima maka dianggap
sebagai ilmu, karena ilmu memiliki syarat keilmuan yakni mempunyai
kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya
serta telah teruji kebenarannya. Kebenaran yang dimaksud harus ditafsirkan
secara pragmatis yang artinya bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta
yang menyatakan sebaliknya.Langkah-langkah metode ilmiah jika
digambarkan dalam diagram, diperoleh bentuk diagram sebagai berikut.

15
PERUMUSAN
MASALAH

KHASANAH Deduksi PENYUSUNAN


PENGETAHUAN KERANGKA
ILMIAH Koherensi BERFIKIR

Pr PERUMUSAN
ag MASALAH
m
ati K
sm In
or
e du
es
ksi
po
nd
en
DITERIMA PERUMUSAN
si DITOLAK
MASALAH

Gambar rangkaian metode ilmiah menurut Suriasumantri (2010:129)

Tahapan yang telah disebutkan harus dianggap sebagai patokan utama


walaupun dalam penelitian yang sesungguhnya ada perkembangan berbagai
variasi sesuai dengan bidang dan permasalahan yang diteliti. Metode ilmiah
merupakan hal penting bukan hanya dalam proses penemuan ilmu, namun
lebih lagi dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah tersebut kepada
masyarakat.Ilmu sebagai kumpulan pengetahuan yang disusun secara
konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris. Hal ini harus disadari
bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidak bersifat absolut. Ilmu tidak
bertujuan untuk mencari kebenaran absolut, melainkan kebenaran yang
bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu.

16
2. Struktur Pengetahuan Ilmiah
Komponen pengetahuan ilmiah atau ilmu yang hakiki adalah fakta dan
teori. Namun demikian, terdapat pula komponen lain yang disebut fenomena
dan konsep. Menurut Soetriono&Hanafie (2007:142) fenomena sebagai
gejala atau kejadian yang ditangkap indera manusia (karena dijadikan
masalah yang ingin diketahui diabstraksikan kedalam dengan konsep-konsep,
sedangkan konsep sebagai istilah atau simbol-simbol yang mengandung
pengertian singkat dari fenomena, dengan lain perkataan, konsep merupakan
penyederhanaan dari fenomena.
Melalui penelaah yang terus menerus maka ilmu akan sampai pada
hubungan-hubungan yang merupakan hasil akhir dari ilmu. Hubungan-
hubungan yang telah ditemukan dan ditunjang dengan data yang empirik
maka disebut fakta. Ilmu merupakan fakta-fakta dan jalinan fakta-fakta
keseluruhannya disebut teori. Menurut Soetriono&Hanafie (2007:142) teori
adalah seperangkat konsep, defenisi dan proposisi-proposisi yang
berhubungan satu sama lain, yang menunjukkan fenomena secara sistematis
dan bertujuan untuk menjelaskan (Explanation) dan meramalkan (Prediction)
fenomena-fenomena. Fakta mempunyai peranan dalam pijakan, formulasi dan
penjelasan teori, dengan perincian sebagai berikut (Soetriono&Hanafie,
2007:142-143).
1) Fakta memulai teori. Teori berpijak pada satu atau dua fakta hasil
penemuan (discovery), kadang-kadang dari fakta hasil penemuan yang
tidak disengaja.
2) Fakta menolak atau mereformasi teori yang telah ada, bila adafakta yang
belum terjelaskan oleh teori, kita dapat menolak atau mereformasi teori
tersebut, sehingga dapat menjelaskan fakta tersebut.
3) Fact redefine and clearify theory . Fakta-fakta dapat mendefinisikan
kembali atau memperjelas defenisi-defenisi yang ada didalam teori.
Sedangkan makna suatu teori menurut Soetriono&Hanafie (2007:142)
dijelaskan sebagai berikut.

17
1) Teori sebagai orientasi, memberikan suatu orientasi kepada para ilmuwan
sehingga teori tersebut dapat mempersempit cakupan yang telah ditelaah,
sedemikian rupa sehingga dengan teori tersebut dapat menentukan
faktafakta mana yang diperlukan.
2) Teori sebagai konseptual dan klasifikasi, dapat memberikan petunjuk
tentang kejelasan hubungan antara konsep-konsep dan fenomena atas
dasar klasifikasi tertentu.
3) Teori sebagai generalisasi (summarizing) memberikan rangkuman
terhadap generalisasi empirik dan antar hubungan dari berbagai proposisi
(teorema atau kesimpulan umum yang didasarkan pada asumsi-asumsi
tertentu, baik yang akan diuji maupun yang telah diterima.
4) Teori sebagai peramal fakta, yang dimaksud dengan meramal adalah
berfikir deduktif dengan konsekuansei logis. Jadi teori membuat prediksi-
prediksi tentang adanya fakta dengan cara membuat ekstrapolasi yang
sudah diketahui kepada yang belum diketahui.
5) Theory points to gaps in our knowledge. Teori menunukkan adanya
senjang-senjang dalam pengetahuan kita. Ahli teori tentu tidak dapat
secara lengkap menyusun teori yang telah menjadi pengetahuan itu, yang
dengan demikian memberikan kesempatan bagi kita untuk menutup
kesenjangan tadi dengan melengkapi, menjelaskan dan mempertajamnya.
Struktur pengetahuan ilmiah selain fakta dan teori juga terdapat hukum
dan prinsip. Sebagaimana menurut Suriasumantri (2010: 143) terdapat tiga,
yakni teori, hukum dan prinsip. Teori dalam pengetahuan ilmiah yang
dijadikan untuk memberikan penjelasan mengenai sejumlah peristiwa,
fenomena maupun masalah yang ada di sekitar manusia, sehingga teori dapat
mempermudah manusia dalam mengambil suatu jawaban dari permasalaan
yang diterimanya (Surisumantri, 2010: 143).
Hukum pada hakikatnya merupakan pernyataan yang menyatakan
hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat
(Suriasumantri, 2010: 145). Suatu hal terjadi karena adanya sebab dan
terjadilah suatu akibat, sehingga hukum merupakan suatu pernyataan yang

18
dapat memberikan jawaban dari suatu persoalan yang ditimbukan oleh
“sebab”. Secara mudahnya teori merupakan pengetahuan ilmiah yang
memberikan penjelasan tentang “mengapa” suatu gejala-gejala terjadi
sedangkan hukum memberikan kemampuan kepada kita untuk meramalkan
tentang “apa” yang mungkin terjadi. Teori keilmuan selain adanya teori dan
hukum juga mengenal prinsip. Prinsip diartikan sebagai pernyataan yang
berlaku secara umum bagi kelompok gelaja-gejala tertentu yang mampu
menjelaskan kejadian yang terjadi (Suriasumantri, 2010:153). Prinsip
menjelaskan sebuah permasalahan yang sudah ada jawabannya, sehingga
prinsip dari kejadian tersebut sudah dapat dijelaskan melalui prinsip tersebut.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa struktur
pengetahuan ilmiah atau ilmu diantaranya meliputi fakta, teori, hukum, dan
prinsip. Fakta-fakta saling terjalin menjadi teori. Teori memberikan gambaran
dari suatu gejala atau fenomena. Hukum sebagai hubungan sebab akibat yang
terjalin anatar dua hal atau lebih. Sedangkan prinsip sebagai pernyataan yang
ebrlaku secara umum dan menjalaskan kejadian yang terjadi.

3. Validitas Kebenaran Ilmiah


Ilmu yang telah diperoleh dari metode ilmiah perlu diuji kebenarannya
melalui validitas kebenaran secara ilmiah. Pengujian dilakukan bertujuan
untul melihat kadar kebenaran ilmiah dari ilmu pengetahuan yang dihasilkan.
Untuk mengetahui kebenaran ilmu maka lahirlah berbagai teori kebenaran.
Teori kebenaran yang dikemukakan dalam Danial (2016: 116) dijelaskan
sebagai berikut .
a. Teori korespondensi, kebenaran menurut teori ini merupakan kesesuaian
antara pernyataan dengan kenyataan atau fakta. Teori ini menguji
keseuaian antara pernyataan dengan kenyataan, maka teori ini bersifat
empiris-aposteori.
b. Teori koherensi atau teori konsistensi. Teori ini mengatakan bahwa
kebenaran adalah adanya saling hubungan secara tepat antara ide-ide
yang sebelumnya telah diakui kebenarannya. Kesimpulannya kebenaran

19
adalah adanya saling berhubungan antara proposisi yang satu dengan
proposisi yang lain secara menyeluruh. Para filosof menyebut kebenaran
jenis ini sebagai kebenaran ontologis, artinya pemikiran atau ide yang
didalamnya terkandung pengetahuan atau pengalaman sangat
menentukan kebenaran. Jadi, tanpa danya pemikiran atau pengalaman,
maka kebenaran itu tidak pernah ada. Teori kebenaran ini bersumber dari
kaum idealis atau mazhab idealisme.
c. Teori pragmatis mengatakan bahwa kebenaran adalah bila bermanfaat
atau berguna. Jadi, kebenaran dilihat dari kegunaan praktisnya bagi
manusia, karena ia hanya menjadi benar jika dimanfaatkan secara praktis,
atau dengan kata lain suatu dikatakan benar bila berfungsi bagi
kehidupan manusia.
d. Teori kesatuan kebenaran. Teori ini digagas oleh Ismail Raji al-Faruqi
yang terdiri dari 3 prinsip, yakni: (1) berdasarkan wahyu; (2) tidak
bertentangan antara nalar dan wahyu; dan (3) pengamatan atau penelitian
terhadap alam semesta tidak mengenal batas akhir. Sehingga suatu
pernyataan dianggap benar jika memenuhi 3 kriteria.
e. Teori monistik multifaset yang dicetuskan oleh Noeng Muhadjir. Teori
ini memiliki 2 prinsip yakni; (1) aktualisasi kebenaran tertinggi bersifat
ilahiyah dan (2) aktualisasi kebenaran keseharian adalah relevan dengan
masalahnya. Kebenaran yang lahir mungkin kebenaran empiric, logic,
atau etik. Kebenaran keseharian tidak memiliki tingkat kebenaran yang
tinggi, karena tingkat kebenaran tertinggi milik kbenearan ilahiyah.
Inilah yang dinamakan kebenaran monistik-multifaset.
f. Teori proposisi atau kebenaran formal, merupakan suatu kebenaran yang
akan diperoleh bila proposisi dan hubungannya dalam jenis antar
proposisi benar. Dikatakan kebenaran formal karena yang diuji menurut
teori ini adalah reaksi antar proposisi.
g. Teori kebenaran performatif yakni kebenaran adalah bila ada kesesuaian
dengan tuntutan performanya. Sesuatu sesuai dengan performanya bila
memenuhi kriteria efektif, fungsional, produktif dan tuntas. Pengujian

20
kebenaran harus sesuai dengan performa, sehingga diperlukan standart
performa. Berdasarkan standar yang ada maka dapat dinilai apakah
pelaksanaanya memenuhi standar yang dimaksud atau tidak.
Pengujian kebenaran suatu ilmu selain melalui validitas kebenaran
ilmiah, ditinjau pula kebenaranya berdasarkan objek kajian ilmu. Objek
kajian ilmu yaitu alam semesta dan manusia memerlukan stratifikasi
kebenaran untuk mengkualifikasi objek yang dikaji. Menurut Danial
(2016:120) stratifikasi kebenaran meliputi yakni kebenaran ilahiyah dan
kebenaran insaniyyah yang dijelaskan sebagai berikut.
a. Kebenaran ilahiyah sifatnya determistik, baku serta tidak berubah ubah.
Kebenaran ilahiyah dikatakan determistik karena dalam dataran ilahiyah
hukum alam semesta ini deterministic berupa keteraturan yang tidak
berubah-rubah. Kebenaran jenis ini disebut juga dengan kebenaran
transendental (hal-hal yang bersifat kerohanian) yang memberikan kepada
manusia bukti, isyarah, hudan, dan rahmah dalam berhubungan dengan
alam, manusia dan Allah SWTdan memiliki derajat kebenaran mutlak
yang tertinggi dari berbagai jenis atau derajat kebenaran yang ada. Untuk
mencapai tingkat kebenaran ini harus dengan pengahayatan empiris
melalui akal budi dan keimanan.
b. Kebenaran insaniyyah sifantnya berubah-ubah, sebab berubahnya teori,
tesis, dan hipotesis disebabkan karena manusia memiliki keterbatasan
dalam memahami alam semesta, sehingga belum mampu mengungkap
sifat yang sebenarnya dari alam semesta. Kebenaran insaniyyah
merupakan hasil produk kemampuan akal budi atau rasionalitas menusia
berupa budaya dan ilmu serta teknologi. Meskipun alam ini bersifat
deterministrik, tapi ada wilayah interdeministrik, yakni manusia dapat
berkarya, berkreasi dan berinovasi untuk menjangkau kebenaran
Berdasarkan uraian teori di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat ketujuh
teori kebenaran yang dapat diterapkan untuk obyek kajian masing-masing yang
beragam dan relevan. Untuk mengkualifikasi obyek telaah ilmuperlu adanya
stratifikasi kebenaran yang meliputi kebenaran ilahiyyah dan insaniyyah.

21
BAB III

KESIMPULAN

Epistemologi sebagai cabang dari filsafat dapat diartikan sebagai ilmu yang
membahas tentang hakikat pengetahuan meliputi cara ataupun prosedur untuk
memperoleh pengetahuan tersebut serta menguji kebenaran dari suatu
pengetahuan secara kritis, menyeluruh, dan mendasar. Pentingnya mempelajari
epsitemologi dapat ditinjau dari alasan memperoleh jawaban yang benar, alasan
strategis, alasan kebudayaan, dan alasan pendidikan. Pengetahuan sebagai kajian
dari epistemologi dikumpulkan oleh ilmu untuk menjawab dan memecahkan
berbagai permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang dihadapi oleh manusia.
Agar permasalahan tersebut diperoleh jawaban dan solusi yang benar, penting
untuk mengembangkan landasan epistemologi yang relevan baik landasan
epistemologi ilmu maupun epsitemologi pengetahuan.Ilmu sebagai bagian dari
pengetahuan menggunakan metode-metode ilmah untuk mendapakan pengetahuan
yang dapat dibuktikan secara ilmiah. Metode ilmiah memiliki 5 tahapan yakni
perumusan masalah, penyususnan kerangka berfikir, perumusan hipotesis,
pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan. Untuk mengukur kebenaran ilmiah
dari ilmu yang telah diperoleh melalui metode ilmiah dapat didasarkan pada teori
kebenaran yaitu teori korespondensi, teori koherensi atau teori konsistensi, teori
pragmatis, teori kesatuan kebenaran, teori monistik multifaset, teori proposisi atau
kebenaran formal, dan teori kebenaran performatif.

22
DAFTAR PUSTAKA

Adib, H.M. (2010). Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika
Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Amsal, B.(2016).Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rajawali Press
Danial.(2016).Filsafat Ilmu.Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru
Soetriono&Hanafie,R.(2007).Filsafat Ilmu dan Metodologi
Penelitian.Yogyakarta: Andi Offset
Sudarminta, J.(2002).Epistemologi Dasar.Yogkarta: Penerbit Kanisius
Suriasumantri, J.S.(2010).Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer.Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Susanto. (2013). Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologi. Jakarta: Bumi Aksara

23

Anda mungkin juga menyukai