Anda di halaman 1dari 20

PEMIKIRAN POLITIK

Tugas Makalah

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Perkembangan Pemikiran dan Peradaban Islam

Dosen Pengampu : Dr. Imam Hambali, S.Pd.I, M.Si

Di susun oleh :
Samsu Rizal
NIM. 20212010010

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM AL-AZHAR LUBUK LINGGAU
2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... x


DAFTAR ISI ............................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1


A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 3

A. Pengertian Hadits Hasan .................................................................... 3


B. Pembagian Hadits Hasan .................................................................... 4
C. Kehujjahan Hadits Hasan ................................................................... 6
D. Kriteria Hadits Hasan ..........................................................................7

BAB III PENUTUP ...................................................................................... 9

A. Kesimpulan ......................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA

xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di antara fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji teori-teori politik
secara umum adalah adanya hubungan yang erat antara timbulnya
pemikiranpemikiran politik dengan perkembangan kejadian-kejadian historis. Jika
fenomena itu benar bagi suatu jenis atau madzhab pemikiran tertentu, dalam
bidang pemikiran apapun, hal itu bagi pertumbuhan dan perkembangan teori-teori
politik Islam amatlah jelas benarnya. Teori-teori ini, terutama pada fase-fase
pertumbuhan pertamanya berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian sejarah
Islam. Hingga hal itu harus di lihat seakan-akan keduanya adalah seperti dua sisi
dari satu mata uang atau dua bagian yang saling melengkapi satu sama lain.1
Karena adanya hubungan antara dua segi, yaitu segi teoretis dan realistis,
maka jelaslah masing-masing dari kedua hal itu tidak dapat dipahami tanpa
keberadaan yang lain. Metode terbaik untuk mempelajari teori-teori ini adalah
dengan mengkajinya sambil diiringi dengan realitas-realitas sejarah yang
berkaitan dengannya. Secara berurutan sesuai dengan fase-fase perkembangan
historisnya yang sekaligus merupakan runtutan alami dan secara logis. Sehingga
dapat dipahami hakikat hubungan yang mengkaitkan antara dua segi tersebut,
maka dapat memperjelas pendapat-pendapat dan dapat menunjukkan bumi yang
menjadi tempat tumbuhnya masing-masing pemikiran hingga berbuah dan
mencapai kematangannya.2
Fachry Ali, merupakan salah satu tokoh yang turut meramaikan dunia
perpolitikan di Indonesia. Walaupun dia terlahir dari latar belakang pendidikan
yang terkonsentrasi pada bidang sejarah, tetapi dia berjasa besar dalam
mengaitkan Islam dan politik dengan menggunakan sudut pandang pemikiran
ilmu sosial. Oleh karena itu, melalui pemikiran politiknya penulis akan mencoba
menguraikan satu persatu arah pikiran Fachry, yang tidak hanya memusatkan

1
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 1.
2
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam…, h. 2

1
perhatiannya pada masalah-masalah keagamaan, tetapi juga membicarakan
kehidupan sosial politik masyarakat Muslim di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Definisi Politik Islam?
2. Bagaimanakah Tipologi Pemikiran Politik Islam?
3. Bagaimanakah Konsep dalam Pemikiran Politik Islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Definisi Politik Islam
2. Untuk mengetahui Tipologi Pemikiran Politik Islam
3. Untuk mengetahui Konsep dalam Pemikiran Politik Islam

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Politik Islam
Politik berkaitan dengan segala sesuatu yang berkenaan dengan
pengelolaan negara beserta ruang lingkupnya. Pengaitan pengelolaan negara
bertujuan agar fungsi-fungsi kenegaraan berjalan dengan baik. Pengelolaan
tersebut pada akhirnya tidak hanya berkaitan dengan sistem negara, tetapi juga
berkaitan pada prilaku politik dan institusi politik dalam negara. Jadi hakekat
politik adalah prilaku manusia, baik berupa aktifitas ataupun sikap, yang bertujuan
mempengaruhi dan mempertahankan tatanan sebuah masyarakat dengan
menggunakan kekuasaan.3
Seringkali kita tidak peduli dengan apa yang dimaksud dengan politik
Islam dan Islam politik. Kedua istilah tersebut seringkali diidentifikasikan sama
padahal ketika orang berbicara tentang istilah politik Islam, kalau menurut Ahmad
Syafi’i Ma’arif mengatakan bahwa politik Islam adalah upaya untuk menjadikan
“prinsip-prinsip dasar” (doktrin) Islam sebagai acuan dalam membuat kebijakan
politik, yaitu untuk kepentingan seluruh bangsa tanpa melihat perbedaan agama
dan keyakinan hidup.4 Sedangkan islam politik tidak lain sebagai bagian dari
fragmen (peristiwa) politik yang dilakukan oleh orang atau suatu komunitas
Muslim dengan segenap perilaku dan capaian-capaian politik yang dihasilkannya.5
Oleh karenanya, sintesa di antara keduanya tidak lain berkaitan dengan
rangkaian upaya epistimologis dengan mencari titik pertemuan. Politik Islam
berkaitan dengan sebuah rangkaian doktrin Islam yang bersifat universal dan
Islam politik yang lebih bersifat profan karena dapat berubah sesuai dengan
konteks ruang dan waktu. Dalam kasus Indonesia sebagaimana upaya
mempertemukan antara keislaman dan keindonesiaan, yaitu keislaman yang
bersifat universal dan keindonesiaan yang bersifat lokal, sintesa di antara

3
Abdul Muin Salim, Fiqih Siyasah: Konsep Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 37.
4
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam & Politik: Upaya Membingkai Peradaban (Cirebon:
Pustaka Dinamika, 1999), h. 70.
5
M. Alfan Alfian, “Islam Politik PPP,” Republika, 17 Desember 1998.

3
keduanya kemudian menghasilkan format Islam yang khas Indonesia tanpa
kemudian menghilangkan ciri keuniversalitasan Islam.
Melihat kondisi politik dan kultur masyarakat Indonesia yang mayoritas
Islam, maka menurut Fachry Ali, definisi politik Islam dalam arti keIndonesian
adalah adanya nilai-nilai Islam yang direfleksikan di dalam demokrasi pancasila,
agar tercipta kolaborasi antara nilai-nilai Islam yang dapat mengokohkan
demokrasi pancasila sehingga terciptalah masyarakat yang adil dan makmur.6
Melalui paradigma politik Islam tersebut, Fachry Ali telah meletakkan
dengan kokoh dasar-dasar pemikiran pembaruan Islam dan politik Islam di
Indonesia dengan bingkai teori ilmu-ilmu sosial. Ia telah membentuk dan
mempengaruhi proses integrasi keislaman dengan kemodernan (kekinian).7
Istilah politik Islam berarti siyasah shar’iyyah yang diartikan sebagai
ketentuan kebijaksanaan pengurusan masalah kenegaraan yang berdasarkan
syariat Islam. siyasah shar’iyyah diartikan sebagai pengelolaan masalah-masalah
umum bagi pemerintah Islam yang menjamin terciptanya kemaslahatan dan
terhindarnya kemudaratan dari masyarakat Islam, dan tidak bertentangan dengan
ketentuan syariat Islam dan prinsip-prinsip umumnya, meskipun tidak sejalan
dengan pendapat para ulama mujtahid.8 Definisi ini dipertegas lagi oleh
Abdurrahman Taj yang merumuskan siyasah shar’iyyah sebagai hukum-hukum
yang mengatur kepentingan negara, mengorganisasi permasalahan umat sesuai
dengan jiwa (semangat) syariat dan dasar-dasarnya yang universal demi
terciptanya tujuan-tujuan kemasyarakatan, walaupun pengaturan tersebut tidak
ditegaskan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dari beberapa definisi di atas, maka menurut Munawir Sjadzali definisi
politik Islam yang dikemukakan oleh para tokoh Islam terbagi menjadi beberapa
bagian yaitu Islam substantif dan Islam fundamental. Di mana aliran substantif
mendefinisikan bahwa perlunya nilai-nilai politik Islam diterapkan dalam sebuah

6
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Perkembangan
Pemikiran Islam Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986), h. 167.
7
Bahtiar Effendy, “Integrasi Studi Keagamaan dan Teori Ilmu Sosial,” Kompas Rabu, 16
Oktober 2021.
8
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), h. 5

4
negara, meskipun negara itu berasaskan selain Islam. Sedangkan, aliran
fundamental mendefinisikan politik Islam dalam arti penerapan asas dan nilainilai
Islam secara keseluruhan dalam sebuah Negara.9
Dengan demikian, di dalam praktik politik Islam tidak lain adalah
mengimplementasikan prinsip-prinsip universalitas Islam ke dalam bingkai
praksis politik terkait dengan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

B. Tipologi Pemikiran Politik Islam


Banyak konstruk pemikiran yang melahirkan berbagai pandangan tentang
bagaimana kita, sebagai kaum muslimin menyikapi politik. Tentang bentuk
kenegaraan yang seperti apa yang harus dipakai oleh suatu negara. Dari beberapa
pemikiran para tokoh itu semua yang akhirnya mengarah pada karakter dan
tipologi politik Islam itu sendiri. Namun secara umum para pemikir membaginya
dalam tripologi. Dalam pandangan A. Djazuli, beliau membagi kerangka berpikir
dunia Islam dewasa ini menjadi tiga tipe pertama, liberal (sekuler) yaitu negara
menolak hukum Islam secara penuh, kedua, fundamental (integralistik) yaitu
negara melaksanakan hukum Islam secara penuh, ketiga, moderat (simbiotik)
yaitu negara yang tidak menjadikan sebagai suatu kekuatan struktural (dalam
sektor politik), tetapi menempatkannya sebagai kekuatan kultural, atau mencari
kompromi.10 Sedangkan menurut Din. Syamsuddin, paradigma pemikiran politik
Islam modern dibagi atas tradisionalis, modernis, fundamentalis. 11
1. Tipologi Liberal
Secara harfiah istilah liberal berarti bebas, yang menghendaki adanya
kebebasan individu. Masyarakat liberal adalah representasi (perwakilan) dari
sebuah komunitas yang didalamnya setiap individu mempunyai kebebasan untuk
bertindak, dalam kebebasan untuk berbeda pendapat, kebebasan untuk memeluk

9
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta:
UI-Press, 1990), h. 1-2.
10
A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu
Syari’ah (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 39.
11
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik: Era Orde Baru (Jakarta: PT. Logos Wacana
Ilmu, 2001), h. 116.

5
agama, dan berbagai bentuk kebebasan yang berkaitan dengan terpenuhinya
tuntutan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokratisasi.
Paradigma liberal, sesuai dengan maknanya yang sederhana, adalah bebas,
merdeka dan tidak terikat. Apabila diletakkan dalam konteks pemikiran, maka
seorang yang memiliki tipikal berfikir liberal adalah mereka yang bebas untuk
berfikir dan mengeluarkan pendapat serta merdeka tanpa harus terikat pada segala
bentuk pengetahuan dan otoritas manapun. Model demikian biasanya menjunjung
tinggi martabat pribadi manusia dan kemerdekaannya. Manusia sebagaimana yang
pernah menjadi diktum (keputusan) awal renaissance (lahir kembali) adalah
subyek otonom. Subyek yang memiliki kesadaran berfikir, berbuat dan
bertindak.12
Pola liberal ini menekankan pemisahan antara agama dan negara, yang
menyatakan bahwa Islam tidak ditemukan aturan-aturan yang berkaitan dengan
masalah politik atau kenegaraan. Islam hanyalah mengatur hubungan antara
manusia dan Tuhan. Para penganut tokoh ini beranggapan bahwa agama itu
bersifat universal sedangkan politik itu portikular (individu), maka dari itu antara
agama dan politik tidak bisa bersatu. Kelompok yang memisahkan agama dan
negara ini menekankan agrumentasi bahwa tidak ada ayat yang secara tegas
mewajibkan pembentukan pemerintahan dan negara, sekaligus menekankan
bahwa pembentukan pemerintahan tidaklah masuk dalam tugas yang di wahyukan
Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau hanya rasul yang membawa risalah
agama saja, tidak termasuk printah membentuk negara.
Tipologi seperti ini, tidak sejalan dengan apa yang dikonsepkan oleh
Fachry Ali, karena dalam salah satu karyanya yaitu Islam Pancasila dan
Pergulatan Politik, dia menulis bahwa paham liberal tidak sesuai dengan kondisi
sosial kultural masyarakat Indonesia yang bersifat ketimur-timuran, sehingga
paham liberal dalam arti kebebasan, yang dijadikan oleh orang-orang barat
sebagai pola kehidupan mereka dalam berbagai bidang termasuk didalamnya
politik, tidak sejalan dengan pola pikir masyarakat Indonesia.

12
Listiono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Jogjakarta: Ar-Ruzz Jogjakarta, 2004), h.
89.

6
Oleh karena itu, Islam di Indonesia menurut Fachry lebih baik sesuai
dengan cita-cita kemerdekaan bahwa pancasila sebagai asas negara bisa
mengkordinir masyarakat Indonesia yang bersifat plural yang memiliki
kepercayaan terhadap agamanya masing-masing, di mana paham liberal yang
diajarkan oleh orang-orang barat tidak sesuai dengan agama-agama atau
kepercayaan masyarakat Indonesia. Dia memiliki asumsi bahwa kehadiran agama
di dengan masyarakat yang majemuk tidak bisa dielakkan dan tidak bisa lepas dari
kepercayaan masyarakat yang menimbulkan fanatisme bagi pengikutnya. Dan
inilah yang memperjelas bahwa tipologi liberal tidak sesuai dengan keyakinan
serta asas pancasila.13
2. Tipologi Fundamental
Secara harfiah istilah fundamental berarti mendasar, yang digunakan untuk
menunjuk sikap politik suatu kelompok yang ekstrim, fanatik dan keras kepala.
Golongan mengungkapkan bahwa Islam mencakup semua aturan kehidupan,
termasuk urusan politik atau kenegaraan. Argumen yang diberikan oleh kelompok
ini, bahwa nabi telah selesai dan telah memberikan garis panduan yang jelas
seperti ketika nabi berada di Madinah.
Fundamentalisme dalam Islam mempunyai akar sejarah yang panjang. Ia
muncul secara tiba-tiba seperti disinyalir oleh para penulis di barat, yaitu sejak
Revolusi Iran, Afghanistan dan Lebanon. Berangkat dari sudut pandang diatas,
melihat akar-akar historis dan perkembangan gerakan fundamentalisme Islam
kontemporer dimulai pada fase awal sejarah perkembangan Islam klasik.14
Mula-mula gerakan ini muncul dipelopori oleh seorang fuqoha’ Imam
Ahmad Ibn Hanbal atau yang dikenal dengan pendiri madzhab Hanbali (780-855
M). Kemunculannya sebagai reaksi atas kecendrungan menguatnya aliran
rasionalis yang dipelopori oleh Mu’tazilah dan didukung oleh pemerintahan Bani
Abbas. Pemikiran rasionalis dinilai tidak Islami, karena terpengaruh oleh filsafat
Yunani, yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Untuk itu, Imam

13
Fachry Ali, Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984),
h. 189-191.
14
Mohammad Nurkhaim, “Islam Responsif: Agama di Tengah Pergulatan Idiologi
Politik dan Budaya Global,” (Skripsi S1Universitas Muhammadiyah Malang, 2005), h. 102.

7
Ahmad berusaha membangun dasar-dasar teologis, dan berhasil meletakkan
pondasi gerakan salafi.15
Sekitar tahun 1970-an, ada dua arus besar fundamentalisme Islam. Salah
satunya adalah nada dan organisasinya bercorak tradisional, yang merupakan
kelangsungan dari garis yang terdahulu, yaitu berupa gerakan-gerakan
fundamentalis militan. Bentuk fundamentalisme ini sangat jelas dalam monarki
Saudi, tetapi sejumlah asosiasi fundamentalis juga terus berlanjut dalam
formatformat yang terlembaga dan mempertahankan pandangan-pandangan
ideologis yang sejak lama didefinisikan dan ditegaskan. Pergeseran penekanan
kembali pada tema-tema Islam yang murni selama dekade tersebut memberikan
kemungkinan pada kelompok-kelompok ini untuk mendapatkan visibilitas
(keadaan) dan prestise (masalah) yang lebih besar, dan dibeberapa wilayah,
kelompok-kelompok fundamentalis tradisional menjadi kekuatan-kekuatan
sosiopolitik yang penting.16
Di samping garis perkembangan fundamentalisme tersebut, tahun 1970-an
merupakan suatu periode dimana bentuk fundamentalis juga memiliki bentuk
radikal. Fundementalisme radikal terikat dalam suatu reorientasi tentang tradisi
Islam. Radikalisme ini merupakan sintesis dari radikalisme yang telah
ditransformasikan pada tahun 1960-an dan semangat fundementalisme Islam.
Fundamentalis radikal menekankan partisipasi masa, kontrol partisipatori,
identitas unit yang kecil dan menghilangkan perbedaan-perbedaan sosio-politik
lama.17
Pada perkembangan berikutnya, di India muncul seorang pemikir yang
cukup radikal, yakni Abul A’la al-Maududi. Ia tidak hanya seorang pemikir, tetapi
sekaligus aktifis partai politik yang mencita-citakan berlakunya negara berdasar
Islam. Partai yang didirikannya adalah Jema’at Islami. Oleh para pengamat barat
ia digolongkan sebagai pemikir fundamentalis. Pemikir di Mesir yang juga radikal
adalah Hasan al-Bana dan Sayyid Qutb. Dua tokoh ini adalah pemimpin tertinggi

15
Mohammad Nurkhaim, “Islam Responsif:…, h. 108
16
John Obert Voll, Politik Islam: Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern
(Jogjakarta: Titian Ilahi Press, 1997), h. 90.
17
John Obert Voll, Politik Islam:…, h. 356

8
Ikhwanul Muslimin, sebuah gerakan Islam yang mencita-citakan berlakunya
syari’at Islam di Mesir yang memiliki jaringan luas di berbagai dunia Islam.18
Menurut Fachry Ali tipologi fundamental yang memiliki akar sejarah
bahwa dalam sebuah negara itu harus sesuai dengan syariat Islam baik dalam segi
politik, ekonomi, hukum, kultur, hubungan sosial, dan sampai kepada ranah
birokrasi kenegaraan pun harus sesuai dengan nash (ayat) yang dituliskan dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah.19 Hal ini senada dengan pemahaman para cendikiawan
muslim Indonesia bahwa Islam fundamental ini bersifat tekstual sehingga dalam
mempraktekan Islam yang sesuai dengan kitab sucinya tidak dipahami secara
kontekstual atau diselaraskan dengan kondisi politik saat ini yang sudah
berkembang pesat.20
Pancasila yang memiliki tujuan bersama dan menyatukan berbagai ras,
suku bangsa, dan adat istiadat, dan kepercayaan yang beragam, akan hancur bila
tipologi fundamentalisme ini diterapkan di Indonesia. Hal ini sesuai dengan
realitas saat ini yang disebutkan oleh Fachry bahwa isu terorisme, dan
kekerasankekerasan yang terjadi dan menimpa Indonesia saat ini justru
menjadikan kondisi politik di Indonesia menjadi kurang stabil, bahkan masyarakat
Indonesia dihantui oleh rasa takut dan ancaman (teror).
3. Tipologi Moderat (Reformis dan Sintesis)
Pemikiran ini mengutarakan bahwa dalam Islam tidak ada aturan yang
pasti tentang masalah politik atau tata negara, namun ada prinsip atau asas yang
harus ditegakkan. Memang Rasulullah SAW bukan diutus sebagai pemimpin
politik, tetapi sebagai rasul. Perlu diketahui, konsep kerasulan beliau tidak sebatas
menyampaikan pesan Allah (dakwah). Yang paling berat adalah menjadi contoh
dari suri-tauladan dalam melaksanakan Islam sebagai cara hidup (way of life).
Dalam masa yang singkat, beliau telah berhasil membuat perubahan dan reformasi
kesesuaian dimana budaya, pemikiran dan sosio-politik bangsa Arab maju dan

18
Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam (Jakarta: PT. Grasindo,
2003), h. 6.
19
Fachry Ali, Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984),
h. 5-7.
20
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta:
UI-Press, 1990), h. 1.

9
gemilang. Semua perubahan ini berlaku karena beliau telah membuat perancangan
dan program yang jitu dan bijaksana. Ini dapat dilihat bagaimana beliau berhijrah,
membina persaudaraan, membentuk tatanan sosial, membangun ekonomi, politik,
dan sosial umat Islam Madinah. Pengkaji-pengkaji politik Islam setuju dengan
pendapat Muhammad Hamidullah yang mengatakan piagam Madinah yang
dirumuskan oleh Rasulullah adalah satu perlembagaan pertama di dunia karena
dicipta di masa dunia diperintah dengan sistem monarki tidak berperlembagaan
dan tidak mengenal kedaulatan undang-undang (supremacy of law). Ini tentunya
bukan suatu kebetulan.21
Dari ketiga tipologi pemikiran politik Islam itu, Fachry Ali sebagai tokoh
intelektual Islam dia lebih condong kepada tipologi moderat reformis, karena hal
itu menurutnya lebih cocok untuk kondisi politik keIndonesiaan. Seperti apa yang
diungkapkan dalam salah satu karyanya Merambah Jalan Baru Islam, dia
mengatakan bahwa penganut sistem ini memandang bahwa sistem politik Islam
sebagian besarnya merupakan ijtihad, al-Qur’an tidak menjabarkan secara detail
tentang bentuk pemerintahan, mekanisme, dan pelaksanaan lapangan. Tetapi
cukup banyak prinsip-prinsip pemerintahan perlu dijadikan pedoman dalam
berpolitik. Dan ini sudah cukup untuk mewarnai sistem politik Islam untuk
membedakannya dengan sistem politik sekular atau sistem pemerintahan yang
despotik dan teokratik.

C. Konsep dalam Pemikiran Politik Islam


Dalam perkembangan politik Islam, banyak pemikir Islam, yang
membahas tentang relevansi antara Islam dan politik, Islam dan demokrasi. Begitu
pula Fachry Ali, dia memetakan antara kaitan Islam dengan demokrasi, dan Islam
dengan politik.
1. Islam dan Demokrasi
Hubungan islam dengan demokrasi yang menjadi tema kajian cendikiawan
muslim, dibahas dalam dua pendekatan: normatif dan empiris. Pada dataran

21
Abdul Sani, Lintasan Sejarah Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 2003), h. 257.

10
normatif mereka mempersoalkan nilai-nilai demokrasi dari sudut pandangan
islam. Sementara dari dataran empiris, mereka menganalisis implementasi
demokrasi dalam praktek poliltik dan ketatanegaraan.
Memperbincangkan hubungan Islam dan demokrasi pada dasarnya sangat
aksiomatis (yang sudah jelas kebenarannya). Karena Islam merupakan agama dan
risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat
manusia. Sedangkan demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan
mekanisme kerja antar anggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak
nilai-nilai positif.22
Samuel P. Huntington dan Francis Fukuyama, memberikan penjelasan lain
tentang sikap banyak pihak untuk tidak memasukkan sebagian negara-negara
islam dalam analisis mereka tentang demokratisasi. Penekanan analisis atas
kehidupan politik islam terutama yang berkembang di sebagian besar dunia Arab
di atas” persyaratan-persyaratan sosial sebuah sistem demokrasi” bagi masyarakat
manapun, telah mendorong mereka untuk berpendapat bahwa islam secara inheren
tidaklah sesuai dengan demokrasi. Bahkan, oleh sementara pihak, islam telah
dipandang sebagai “ancaman besar terhadap kegiatan-kegiatan liberal”.23
Dikatakan seperti itu karena kebanyakan pandangan pengamat Barat
tentang islam yang monolitis itu berasal dari pemahaman mereka yang terbatas
tentang sifat dan esensi islam, baik dalam tataran ide (sebagaimana terdapat dalam
Qur’an dan Sunnah) ataupun historis (sebagaimana tercermin dalam pengalaman
kesejarahan umat islam).
Islam sebagaimana dilihat, dapat dipandang sebagai instrumen ilahiah
untuk memahami dunia. Jika pendapat ini bisa dibenarkan, maka islam
dibandingkan dengan agama lain sebenarnya merupakan agama yang paling
mudah untuk menerima premis ini. Dasar utamanya terletak pada ciri islam yang
paling menonjol, yaitu sifatnya yang “hadir di mana-mana” kehadiran islam
memberikan”panduan moral yang benar bagi manusia.”

22
Eko Taranggono, “Islam Demokrasi” artikel di akses pada 21 Oktober 2021 dari
http://jurnalushuluddin.files.wordpress.com/2008/03/islamdemokrasi.pdf
23
Bahtiar Effendy, dkk, Agama Dan Dialog Antar Peradaban ( Jakarta: Paramadina.
1996), H. 87-91.

11
Berdasarkan penjelasan tentang unsur-unsur dasar sebuah sistem
demokrasi, dapat dikatakan bahwa pada tataran normatif, prinsip-prinsip islam
sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Huntington sendiri (terlepas dari
pandangannya yang negatif tentang hubungan islam demokrasi) sebenarnya
percaya bahwa nilai-nilai islam “pada umumnya sesuai dengan
persyaratanpersyaratan demokrasi.”24
Sebagaimana dikatakan Masykuri Abdilah,25 sesungguhnya tidak ada
aturan yang jelas dalam al-qur’an maupun hadis yang menyebutkan bantuk dan
sistem negara yang harus dijalankan masyarakat muslim. Begitu pula, tidak ada
aturan bagaimana mekanisme kekuasaan yang ada, apakah mesti ada pemisahan
kekuasaan (separation of power), pembagian kekuasaan (distribution of power)
atau penyatuan kekuasaan (integration of power) antara kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Pada masa Rasul semua kekuasaan, baik eksekutif,
legislatif maupun yudikatif berada ditangan Rasul. Sebab, semua yang dilakukan
rasul lebih untuk melaksanakan dan melindungi eksistensi risalah dan agama yang
dibawanya dari pada untuk mempertahankan kekuasaannya.
Dengan demikian, menurut Fachry Ali menghadapkan atau
membandingkan Islam dengan demokrasi dalam arti sebagai sistem dan bentuk
pemerintahan adalah sesuatu yang tidak tepat. Sebab, Islam sendiri tidak pernah
berbicara tentang negara tertentu sebagaimana isi dan makna demokrasi.
2. Islam dan Politik
Dalam kondisi kultur umat Islam sangatlah mempengaruhi kekuatan
Politik. Di mana antara Islam dan politik sulit untuk dipisahkan kalaupun
dipisahkan, justru hal ini akan mematikan kedua variabel itu, meskipun anggapan
ini hanya terbatas pada negara-negara berkembang saja, namun kenyataannya
adalah negara-negara berkembang itu selalu mengaitkan antara variabel agama
dan politik. Sehingga pantas bila perkembangan politik di Indonesia selalu
dikaitkan dengan Islam. Hal ini, dikarenakan negara-negara berkembang sulit

Bahtiar Effendy, dkk, Agama Dan Dialog…, h. 91-98


24

Masykuri Abdilah, “Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah Perspektif
25

Sejarah dan Demokrasi Modern,” dalam jurnal Taswirul Afkar, no. 7 (Jakarta, 2000), h. 98.

12
untuk menerima suatu tatanan politik dengan pendekatan rasional.26 Relevansi
antara Islam dan politik ini, tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga
negara-negara lain.
Perkembangan Islam muncul sebagai kekuatan global yang kuat dalam
politik muslim pada tahun 1970-an dan 1980-an. Ruang lingkup kebangkitan
politik Islam mencakup seluruh dunia, dari Sudan sampai Indonesia. Kini, para
pemimpin pemerintahan Islam dan oposisi lebih suka menggunakan agama untuk
melegitimasi dan menggerakkan dukungan rakyat. Bahkan, para aktifis Islam kini
banyak pula yang menduduki posisi-posisi ditingkat kabinet. Organisasiorganisasi
banyak pula yang merupakan partai-partai oposisi dan ada yang menjadi
organisasi terkemuka di Mesir, Tunisia, Maroko serta Indonesia. Mereka
umumnya sedapat mungkin berpartisipasi dalam pemilihan umum untuk lebih
meningkatkan peranan mereka dalam parlemen.
Maraknya politik Islam ini banyak disoroti oleh Barat sebagai tumbuhnya
fundamentalisme Islam. Istilah ini kurang pas bila diterapkan pada fenomena
kebangkitan politik Islam. Istilah fundamentalisme terlalu dibebani oleh praduga
Kristen dan Stereotip barat dan juga menyiratkan ancaman monolitik yang tidak
pernah ada.35 Muncul dan maraknya politik Islam ini tidak luput dari usaha
kalangan Islamis yang ingin menyelamatkan dunia dari kemerosotan martabat
manusia dengan cara kembali kepada nilai-nilai luhur Islam.
Berkembangnya sekularisme dan sejenisnya yang juga telah melanda
dunia Islam memang telah mencemaskan kalangan Islamis tentang kemungkinan
kian kuatnya semangat pemisahan antara praktek keberagamaan dan praktek
keduniaan. Mereka menganggap pemisahan tersebut tidak sesuai dengan ajaran
alQur’an yang mngajarkan pengikut Islam untuk berislam secara kaffah, yakni
tidak memisahkan antara kehidupan beragama dan kehidupan berpolitik. Ketika
masyarakat telah dikotak-kotak ke dalam agama, politik, sosial dan seterusnya,
mereka tidak lagi melihat keterkaitan bahwa manusia adalah multi dimensional.
Pemisahan telah menyebabkan manusia dalam satu dimensi dan dapat diartikan

26
Fachry Ali, Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984),
h. 2.

13
telah merendahkan martabatnya sebagai manusia. Atas dasar pemahaman itu,
maka kaum Islamis berusaha mengembalikan martabat manusia yang tidak
terpisah-pisah dalam memandang hidup. Kaffah (totalitas) dalam ajaran Islam
itulah yang dijadikan acuan mereka.
Indonesia sebagai satu negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia
tampaknya tidak luput dari fenomena serupa. Fenomena itu telah mempengaruhi
pola pembangunan, termasuk khususnya dalam konstelasi pembangunan politik
dan ekonomi. Fenomena tersebut tentunya menarik untuk dikaji lebih mendalam.
Keberhasilan pembangunan sering kali di nilai berdasarkan tolok ukur modernitas
yang berasal dari barat.27 Ajaran seperti ini juga diberlakukan di dunia yang
mayoritas penduduknya menganut ajaran Islam. Akibatnya, dalam teori
modernisasi, seringkali pembangunan disamakan dengan westernisasi dan
sekularisasi masyarakat. Bahkan, sekularisasi dianggap sebagi syarat penting
sebagai syarat modernisasi. Smith misalnya, secara jelas mengatakan sebagai
salah satu proses dasarnya, pembangunan politik mencakup: sekularisasi politik,
pemisahan agama dari sistem politik secara progresif.28
Di Indonesia, istilah Islam politik seringkali dilawankan dengan Islam
kultural. Islam politik secara umum dapat dipahami sebagai Islam yang
ditampilkan sebagai basis ideologi yang kemudian dalam bentuk partai politik,
atau Islam berusaha diwujudkan dalam kelembagaan politik resmi (eksekutif dan
legislatif). Sedangkan Islam kultural merujuk pada Islam yang hanya bergerak di
bidang dakwah, pendidikan, seni dan sebagainya tanpa sama sekali terlibat dalam
politik.
Di Indonesia, istilah Islam politik seringkali dilawankan dengan Islam
kultural. Islam politik secara umum dapat dipahami sebagai Islam yang
ditampilkan sebagai basis ideologi yang kemudian dalam bentuk partai politik,
atau Islam berusaha diwujudkan dalam kelembagaan politik resmi (eksekutif dan
legislatif). Sedangkan Islam kultural merujuk pada Islam yang hanya bergerak di
bidang dakwah, pendidikan, seni dan sebagainya tanpa sama sekali terlibat dalam

Fachry Ali, Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik…, h. 19


27

Donald Eguene Smith, Agama dan Modernisasi (New Heaven: Yale University Press,
28

1974), h. 4.

14
politik. aqidah dan syariah. Keduanya mempunyai hubungan yang erat. Tidak ada
aqidah tanpa syariah, begitu juga sebaliknya. Aqidah yang menghubungkan
manusia dengan Allah, yang disebut ibadah. Sedangkan syariah juga
menghubungkan manusia dengan manusia, yang disebut muamalah. Sedangkan
hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah disebut siyasah.
Disinilah Islam dan politik berada.
Maka Islam dan politik itu, pada dasarnya tidak terpisahkan. Islam tidak
pernah memisahkan antara kegiatan profan dan sakral. Seperti halnya al-Ghazali
yang telah menghubungkan ilmu politik secara erat dengan agama. Karena
pegangan dari Nabi dan ucapan-ucapan yang ditingalkan oleh orang-orang yang
suci.29

Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam al-Ghazali ( Jakarta:
29

Bulan-Bintang, 1975 ), h. 120.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Politik berkaitan dengan segala sesuatu yang berkenaan dengan
pengelolaan negara beserta ruang lingkupnya. Pengaitan pengelolaan negara
bertujuan agar fungsi-fungsi kenegaraan berjalan dengan baik. Pengelolaan
tersebut pada akhirnya tidak hanya berkaitan dengan sistem negara, tetapi juga
berkaitan pada prilaku politik dan institusi politik dalam negara. Jadi hakekat
politik adalah prilaku manusia, baik berupa aktifitas ataupun sikap, yang bertujuan
mempengaruhi dan mempertahankan tatanan sebuah masyarakat dengan
menggunakan kekuasaan.
Politik Islam adalah upaya untuk menjadikan “prinsip-prinsip dasar”
(doktrin) Islam sebagai acuan dalam membuat kebijakan politik, yaitu untuk
kepentingan seluruh bangsa tanpa melihat perbedaan agama dan keyakinan hidup.
Banyak konstruk pemikiran yang melahirkan berbagai pandangan tentang
bagaimana kita, sebagai kaum muslimin menyikapi politik. Tentang bentuk
kenegaraan yang seperti apa yang harus dipakai oleh suatu negara. Dari beberapa
pemikiran para tokoh itu semua yang akhirnya mengarah pada karakter dan
tipologi politik Islam itu sendiri. Namun secara umum para pemikir membaginya
dalam tripologi
1. Tipologi Liberal
2. Tipologi Fundamental
3. Tipologi Moderat (Reformis dan Sintesis)
Maka Islam dan politik itu, pada dasarnya tidak terpisahkan. Islam tidak
pernah memisahkan antara kegiatan profan dan sakral. Seperti halnya al-Ghazali
yang telah menghubungkan ilmu politik secara erat dengan agama. Karena
pegangan dari Nabi dan ucapan-ucapan yang ditingalkan oleh orang-orang yang
suci.

16
DAFTAR PUSTAKA

A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-


rambu Syari’ah Bogor: Prenada Media, 2003
Abdul Muin Salim, Fiqih Siyasah: Konsep Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Abdul Sani, Lintasan Sejarah Perkembangan Modern dalam Islam Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 2003
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam & Politik: Upaya Membingkai Peradaban Cirebon:
Pustaka Dinamika, 1999
Bahtiar Effendy, dkk, Agama Dan Dialog Antar Peradaban Jakarta: Paramadina.
1996
Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam Jakarta: PT.
Grasindo, 2003
Donald Eguene Smith, Agama dan Modernisasi New Heaven: Yale University
Press, 1974
Eko Taranggono, “Islam Demokrasi” artikel di akses pada 21 Oktober 2021 dari
http://jurnalushuluddin.files.wordpress.com/2008/03/islamdemokrasi.pdf
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Perkembangan
Pemikiran Islam Masa Orde Baru Bandung: Mizan, 1986
Pancasila, dan Pergulatan Politik Jakarta: Pustaka Antara, 1984
John Obert Voll, Politik Islam: Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern
Jogjakarta: Titian Ilahi Press, 1997
Listiono Santoso, Teologi Politik Gus Dur Jogjakarta: Ar-Ruzz Jogjakarta, 2004
M. Alfan Alfian, “Islam Politik PPP,” Republika, 17 Desember 1998.
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik: Era Orde Baru Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu, 2001
Masykuri Abdilah, “Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah
Perspektif Sejarah dan Demokrasi Modern,” dalam jurnal Taswirul Afkar,
no. 7 Jakarta, 2000

17
Mohammad Nurkhaim, “Islam Responsif: Agama di Tengah Pergulatan Idiologi
Politik dan Budaya Global,” Skripsi S1Universitas Muhammadiyah
Malang, 2005
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani, 2002
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran
Jakarta: UI-Press, 1990
Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam al-Ghazali
Jakarta: Bulan-Bintang, 1975

18

Anda mungkin juga menyukai