Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang pada dasarnya tidak dapat hidup

sendiri, manusia memerlukan bantuan orang lain dalam menjalankan kehidupannya,

baik dalam konteks fisik maupun konteks sosial budaya.1 Manusia sebagai makhluk

sosial butuh untuk berinteraksi dengan dengan manusia lainnya, dalam melakukan

interaksi hal paling urgent yang dibutuhkan manusia adalah komunikasi. 2 Oleh sebab

itu komunikasi merupakan salah satu unsur yang penting dalam kehidupan manusia.

Komunikasi merupakan proses pengiriman pesan atau informasi dari

seseorang kepada orang lain melalui media tertentu.3 Komunikasi yang baik sangatlah

diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman dengan orang lain. Komunikasi

dikatakan sebagai pemersatu dalam kehidupan sosial namun juga dapat menjadi

sumber konflik. komunikasi akan menjadi pemersatu bila dilakukan dengan baik,

namun apabila dilakukan dengan kurang baik maka akan menimbulkan konflik.4

Kesalahan dalam berkomunikasi seringkali menjadi tonggak awal terjadinya

suatu konflik, pada dasarnya bila komunikasi dilakukan dengan baik antara satu

orang dengan orang yang lainnya maka akan terjalin suatu hubungan yang harmonis.

1
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2007), h. 25

2
M. Agus Harjana, Komunikasi Interpersonal dan Intrapersonal (Yogyakarta:Kanisius, 2013),
hal. 9.

3
M. Agus Harjana, Komunikasi Interpersonal dan Intrapersonal…, h. 11

4
Anwar Arifin, Ilmu Komunikasi Sebuah Pengantar Ringkas (Jakarta: Rajawali Press, 2010),
hal. 10.
Dalam suatu hubungan baik perorangan maupun kelompok bila komunikasi sudah

tidak sejalan lagi maka aspek yang lainnya pun akan mengikuti.

Melihat konteks sosial dimana media sosial beroperasi, akan lebih tepatnya

jika kita juga menelaah sekilas kondisi dari setiap media dewasa saat ini. Salah satu

hal yang harus ditekankan adalah bahwa dunia komunikasi massa kini tengah

mengalami perubahan secara terus-menerus.5

Dalam berkomunikasi, diperlukan etika komunikasi di media sosial bagi

setiap netizen agar dapat memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara

dunia virtual. Model komunikasi yang dijelaskan didalam Al Qur’an lebih

menekankan pada aspek dan tata cara berkomunikasi yang baik agar tidak

menimbulkan misunderstanding saat melakukan aktivitas komunikasi dengan orang

lain,6 baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Berbagai aplikasi yang dapat digunakan mulai dari Instagram, facebook,

whatsapp, sampai telegram untuk melakukan aktivitas komunikasi secara verbal di

media sosial saat ini. Walau demikian, hal tersebut memiliki dampak buruk bagi

masyarakat pengguna media sosial. Masyarakat tidak lagi bisa memfilter mana berita

yang asli dan berita yang hoaks. Fenomena tersebut merupakan dampak dari aktivitas

komunikasi di media sosial yang mengabaikan masalah etika dalam berkomunikasi.7

5
William L. Rivers, Media masa dan Masyarakat Modern (Jakarta: Kencana, 2004), h.20.

6
Asrori, Tafsir al-Asrar, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2017), Cetakan ke-2, h. 233.

7
Nadirsyah Hosen, Tafsir Al-Qur’an di Medsos: Mengkaji Makna dan Rahasia Ayat Suci
pada Media Sosial, (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2017), V.
Terkait dengan masalah diatas, penulis tertarik untuk meneliti prinsip etika

komunikasi yang ditawarkan Al-Qur’an, khususnya pada aspek term Qaulan Layina

dalam Al-Qur’an. Di sinilah kemudian perlunya pendekatan agama untuk melihat dan

memberikan pedoman terkait etika dan prinsip komunikasi di media sosial, baik

dalam menerima maupun menyebarkan informasi. Melalui Al-Qur’an, Allah

menggunakan ayat-ayatNya sebagai medium berdialog langsung dengan hambaNya

dengan berbagai variasi yang luar biasa.8 Meskipun di dalam Al-Qur’an prinsip

komunikasi tidak dijelaskan secara spesifik, namun, jika diteliti, terdapat banyak

ayat-ayat Al-Qur’an yang memberikan gambaran umum tentang prinsip komunikasi.

Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa terma Qaulan yang diasumsikan sebagai prinsip

komunikasi, antara lain, term qaulan ‘azīma, qaulan Balīga, qaulan karīma, qaulan

layyīna, qaulan maisūra, qaulan ma’rūfa, qaulan sadīda, qaulan ṡaqīla, dan qaul

aḥsana.9

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, peneliti ingin merumuskan

pokok permasalahan yaitu:

1. Bagaimanakah Pengertian dari Qaulan Layina.

2. Bagaimanakah Penafsiran Qaulan Layina di dalam Al-Qur’an.

C. Tujuan Penelitian
8
Asrori, Tafsir al-Asrar…, h. 217.

9
Waryani Fajar Ritanto dan Mokhamad Mahfud, Komunikasi Islam Perspektif
IntegrasiInterkoneksi, (Yogyakarta : Galuh Patria, 2012), 13
Berdasarkan rumusan masalah diatas, peneliti ingin memaparkan tujuan dari

permasalahan penelitian yaitu:

1. Untuk mengetahui pengertian dari Qaulan Layina

2. Untuk mengetahui penafsiran Qaulan Layina di dalam Al-Qur’an

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan dari penelitian yang dilakukan ini dapat dibedakan menjadi dua

manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan

pemahaman kepada mahasiswa, akademisi, dan masyarakat umum yang

berminat untuk mengetahui lebih lanjut tentang penjelasan mengenai Qaulan

Layina beserta penafsirannya di dalam Al-Qur’an.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut

terhadap perkembangan pengetahuan di bidang ilmu teknologi komunikasi

pada umumnya dan khusunya tentang penjelasan mengenai Qaulan Layina

beserta penafsirannya di dalam Al-Qur’an.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qaulan Layina

Secara bahasa layyina artinya lemah lembut. Jadi qaulan layyina adalah

perkataan yang lemah lembut. Islam mengajarkan agar menggunakan komunikasi

yang lemah lembut kepada siapapun. Dalam keluarga, orang tua sebaiknya

berkomunikasi pada anak dengan cara lemah lembut, jauh dari kekerasan dan

permusuhan. Dengan menggunakan komunikasi lemah lembut, selain ada perasaan

bersahabat yang menyusup ke dalam relung hati anak, ia juga berusaha menjadi

pendengar yang baik.10 Menggunakan Perkataan yang lemah lembut disampaikan

Allah pada Musa as. saat harus berdialog dengan Fir’aun. Perintah menggunakan

yang lemah lembut ini terdapat dalam Alquran Q.S. Thaha/20: 44.

        


Artinya: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah

lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut".11

Didalam pangkal ayat 44 ini Tuhan telah memberikan suatu petunjuk dan

arahan yang penting dalam memulai da‟wah kepada orang yang telah sangat

melampaui batas itu. Dalam permulaan berhadaphadapan, kepada orang yang seperti

itu janganlah langsung dilakukan sikap yang keras, melainkan hendaklah mulai

dengan mengatakan sikap yang lemah-lembut, perkataan yang penuh dengan suasana

kedamaian. Sebab kalau dari permulaaan konfrontasi (berhadap muka dengan muka)

Anita Ariani, Etika Komunikasi Dakwah Menurut Alquran. Jurnal Ilmu Dakwah. (Jakarta:
10

AlHadharah 2011). h. 14

11
Departemen Agama RI, Al-Quran & Terjemahnya, h.594.
si penda’wah telah melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan secara keras, blak-

blakan, tidaklah akan tercapai apa yang dimaksud.

Meskipun didalam ilmu Allah Ta’ala sendiri pasti sudah diketahui bahwa

firaun itu sampai terakhir tidak akan mengaku tunduk, tetapi Tuhan telah memberikan

tuntunan kepada RasulNya, ataupun kepada siapa saja yang berjuang melanjutkan

rencana Nabi-nabi, bahwa pada langkah yang pertama janganlah mengambil sikap

yang menantang. Mulailah dengan kata yang lemah-lembut.12

Kebanyakan anak merasa takut bila orang tuanya berbicara dengan intonasi

yang tinggi, mata melotot sambil berkacak pinggang, dan dibarengi dengan kata-kata

kasar seperti anak kurang ajar, anak tidak tahu diuntung, dan sebagainya. Sikap dan

perkataan seperti itu tidak baik untuk dibiasakan, karena tidak mendidik. Jika orang

tua memarahi anak, marahlah sewajarnya, bukan marah yang berlebih-lebihan,

marahlah karena pendidikan, bukan marah karenau belaka. Tetapi, daripada mungkin

sia-sia, lebih baik mendidik dengan sikap lembut. Sebab mendidik anak dengan

lemah lembut, lebih banyak mencapai sukses daripada lewat kekerasan. Sebab

kekerasan itu akan membentuk kepribadian anak yang keras kepala. Di dalam

keluarga sering ditemukan anak yang keras kepala yang tidak mau menuruti perintah

orang tua. Penolakan itu terjadi bukan karena anak tidak mampu untuk

melakukannya, tetapi karena perintah itu menggunakan komunikasi yang kasar dan

cacian. Seandainya tidak dengan perintah itu menggunakan komunikasi yang lemah

lembut, tanpa emosional, tanpa caci maki, maka anak dengan senang hati menuruti
12
Hamka. Tafsir Al Azhar Jilid 16. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984). h. 159.
perintah itu, meski ketika itu anak merasa lelah, tetapi ia berusaha untuk menaati

perintah orang tuanya.13

Qaulan Layyina ini adalah etika komunikasi yang diimbangi dengan sikap dan

perilaku yang baik, lemah lembut, tanpa emosi dan caci maki, atau dalam bahasa

komunikasi antara pesan verbal dan non verbal harus seimbang. Bila dihubungkan

dengan dakwah, qaulan layyina ini dapat dilakukan da’i dengan sikap lemah lembut

ketika menghadapi mad‟u atau sasarannya, agar pesan yang di sampaikannya cepat

dipahami.14

Dalam konteks Qaulan Layyina atau perkataan yang lemah lembut termasuk

dalam tema Etika Komunikasi guru dan murid dan Etika Komunikasi Kasih Sayang

dengan Manusia pada bagian Etika Komunikasi kepada sesama muslim dan Etika

Komunikasi antara Anak dan Orang tua sebagaimana yang terdapat dalam kitab Ihya

Ulumuddin dan Bidayatul Hidayah karangan Imam Al-Ghazali yang menjelaskan

tentang bagaimana beretika komunikasi dengan cara yang terbaik, sehingga

komunikasi yang terjalin berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan efek buruk.

Jika perkataan yang lemah lembut tidak diterapkan dalam hubungan antara guru dan

murid, orang tua dan anak, da‟i dan mad‟u, maka komunikasi yang berjalan akan

bertentangan dengan ajaran agama dan dapat menimbulkan hubungan yang renggang

antara komunikator dan komunikan yang diimbangi dengan perbuatan dan tingkah

laku yang sesuai pula.

13
Anita Ariani, Etika Komunikasi Dakwah Menurut Alquran…,h. 14

14
Anita Ariani, Etika Komunikasi Dakwah Menurut Alquran…,h. 14
B. Penafsiran Qaulan Layina di dalam Al-Qur’an

Term qaulan layyina di dalam Al-Qur’an hanya ditemukan sekali dalam surah

Taha ayat 43-44 sebagai berikut:

     


        
43. “Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas;

44. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,

Mudah-mudahan ia ingat atau takut".

1. Aspek Al-Mufradāt Lughawiyyah

‫طَغي‬ (Tagḥā) = Dia telah melampaui batas, dengan mengaku sebagai

Tuhan

‫قَواَل لَِّينَا‬ (Qaulan Layyina) = Perkataan yang lemah lembut, jauh dari sikap keras

dan kasar.

‫يَتَ َذ َّك ُر‬ (Yatadżakkaru) = Merenung dan mengambil pelajaran lalu beriman.

‫يَخ َشى‬ (Yakḥsyā) = Takut dari siksaan dan azab Allah.15

2. Tafsir al-Mūnir

‫إذهب ا الى فرع ون إن ه طغى‬Pergilah kalian berdua ke Fir’aun dan batalkanlah

klaimnya sebagai tuhan dengan hujjah dan bukti karena ia telah malampaui batas
15
Ismail Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. M. Abdul (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2004),
h. 167.
dalam kekafiran, pembangkangan, dan bersikap sombong, seperti yang dia katakana

dalam surah an-Nāziat ayat 24 yang artinya “Akulah tuhanmu yang paling tinggi”.

Dalam pejelasan ayat Thaha 43, Wahbah az-Zhuhaili dalam tafsirnya

menjelaskan bahwa Allah memulai dengan menyebut Fir’aun karena ia merupakan

penguasa, sehingga jika dirinya beriman maka rakyatnya akan mengikutinya.

Dalam kelanjutan FirmanNya yaitu ‫ذكر او يخشى‬88‫ه يت‬88‫ فقوال له قوال لينا لعل‬Wahbah,

az-Zuhaili menafsirkan bahwa dalam ayat 44 tersebut, Allah menjelaskan cara

berdakwah dengan berbicara lemah lembut dan tidak kasar sama sekali serta

menyampaikan kata-kata yang lembut. Karena, hal tersebut dapat diterima dan lebih

dapat membuatnya berpikir tentang apa yang akan disampaikan. Terlebih, dapat

membuat takut dari hukuman Allah yang Dia janjikan melalui lisan kalian berdua.

Dengan demikian, pesan dari ini hendaknya Nabi Musa dan Nabi Harun

menjauhi kata-kata kasar dan hendaknya menggunakan kata-kata yang lembut. Dapat

dikatakan bahwa seorang penguasa cenderung memiliki sifat congkak dan keras.

Dirinya tidak mau menerima paksaan dan sikap keras, akan tetapi dirinya akan

menjadi lembut hanya dengan pujian dan sikap yang lembut.

Dalam lafal ‫لعل‬ di sini menunjukkan harapan akan terwujudnya sesuatu

setelahnya dan kemungkinan dirinya akan terwujud. Dalam hal ini, harapan di sini

adalah dari manusia. Artinya, dengan kalian berdua berharap agar dia ingat atau takut.

Walaupun dalam hal ini pembicaraannya diarahkan kepada Musa, akan tetapi Harun

ikut denganny sehingga pembicaraan juga dijadikan untuk Harun.


Dalam ayat ini, terdapat pelajaran dan nasihat yang diambil yaitu sikap

Fir’aun yang berada di puncak penuh kesombongn dan kecongkaan, sedangkan Nabi

Musa merupakan manusia pilihan Allah saat itu. Dengan demikian, Allah memerintah

Nabi Musa agar berbicara kepada fir’aun dengan lemah lembut.16

3. Tafsir Ibn Katsir

‫إذهبا الى فرعون إنه طغى‬ Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat

ini yang dimaksud adalah sikap ingkar, angkuh, dan sombong serta durhaka kepada

Allah. ‫ذكر او يخشى‬88‫ه يت‬88‫ا لعل‬88‫وال لين‬88‫ه ق‬88‫وال ل‬88‫ فق‬yaitu ini ayat kelanjutan dalam ayat ada

beberapa pelajaran yang sangat berharga, yakni bahwa Fir’aun benar-benar dalam

puncak keangkuhan dan kesombongan, namun pada saat itu Musa merupakan

manusia pilihan Allah. Dengan demikian, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk

berbicara kepada Fir’aun dengan lemah lembut.

Terkait Firman Allah ‫ فقوال له قوال لينا‬dari ‘Ikrimah, ia mengatakan: “katakanlah

‫ ال إله اال هللا‬Tiada Illah (yang haq) selain Allah).” ‘Amr bi ‘Ubaid meriwayatkan dari al-

Hasan al-Bashri tentang firman tersebut dengan berkata “sampaikanlah kepadanya

kata-kata bahwa kamu mempunyai Rabb dan kamu mempunyai tempat kembali, dan

sesungguhnya di hadapanmu terdapat surga dan neraka.” Baqiyyah meriwayatkan

dari Ali bin Harun, dari Ali mengenai firman tersebut, dia mengatakan: “gunakanlah

kunyah untuk menyebut namanya.” Demikian juga dengan Sufyan ats-Tsauri:

“Gunakanlah kun-yah (nama panggilan, contoh Abu Hurairah).” Dapat disimpulkan

bahwa seruan keduanya (Musa dan Harun) kepada Fir’aun disampaikan dengan
16
Ismail Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir…, h. 477-480
lemah lembut agar menyentuh jiwa, lebih mendalam, dan mengenai sasaran.17

Dengan demikian, qaulan layyina dikategorikan sebagai komunikasi dakwah

spiritualis.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan tentang Qaulan Layyina diatas maka penulis dapat

menyimpulkan beberapa keimpulan:

1. Dalam berkomunikasi, diperlukan etika komunikasi di media sosial bagi

setiap netizen agar dapat memahami hak dan kewajibannya sebagai warga

17
Ismail Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir…, h. 383
negara dunia virtual. Model komunikasi yang dijelaskan didalam Al Qur’an

lebih menekankan pada aspek dan tata cara berkomunikasi yang baik agar

tidak menimbulkan misunderstanding saat melakukan aktivitas komunikasi

dengan orang lain, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

2. Secara bahasa layyina artinya lemah lembut. Jadi qaulan layyina adalah

perkataan yang lemah lembut.

3. Qaulan Layyina ini adalah etika komunikasi yang diimbangi dengan sikap dan

perilaku yang baik, lemah lembut, tanpa emosi dan caci maki, atau dalam

bahasa komunikasi antara pesan verbal dan non verbal harus seimbang

4. Dalam Surah Thaha Ayat ke 4, terdapat pelajaran dan nasihat yang diambil

yaitu sikap Fir’aun yang berada di puncak penuh kesombongn dan

kecongkaan, sedangkan Nabi Musa merupakan manusia pilihan Allah saat itu.

Dengan demikian, Allah memerintah Nabi Musa agar berbicara kepada

fir’aun dengan lemah lembut.

DAFTAR PUSTAKA

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi Jakarta: Kencana, 2007

M. Agus Harjana, Komunikasi Interpersonal dan Intrapersonal Yogyakarta:Kanisius,


2013

Anwar Arifin, Ilmu Komunikasi Sebuah Pengantar Ringkas Jakarta: Rajawali Press,
2010
William L. Rivers, Media masa dan Masyarakat Modern Jakarta: Kencana, 2004

Asrori, Tafsir al-Asrar, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2017


Nadirsyah Hosen, Tafsir Al-Qur’an di Medsos: Mengkaji Makna dan Rahasia Ayat
Suci pada Media Sosial, Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2017

Waryani Fajar Ritanto dan Mokhamad Mahfud, Komunikasi Islam Perspektif


IntegrasiInterkoneksi, Yogyakarta : Galuh Patria, 2012

Anita Ariani, Etika Komunikasi Dakwah Menurut Alquran. Jurnal Ilmu Dakwah.
Jakarta: AlHadharah 2011

Departemen Agama RI, Al-Quran & Terjemahnya

Hamka. Tafsir Al Azhar Jilid 16. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984

Ismail Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. M. Abdul Bogor: Pustaka Imam Syafi’I,
2004

Anda mungkin juga menyukai