Anda di halaman 1dari 19

STRATEGI PENDEKATAN DAN POLITIK ISLAM DIRANCAH MASYARAKAT

(Kode B: Teori Perubahan Ekonomi dan Politik)


Disusun Guna Mengikuti Latihan Kader II ( Intermediate Training)

Disusun oleh:
Mohammad Iqbal Dzulkarnain

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)


CABANG KUDUS

1
STRATEGI PENDEKATAN DAN POLITIK ISLAM DIRANCAH MASYARAKAT
Mohammad Iqbal Dzulkarnain
HMI Cabang Kudus, semarsenyum@gmail.com, 085785005676
A. Abstrak
Abstrak
Tulisan ini membahas tentang strategi pendekatan-pendekatan politik Islam didalam
masyarakat. Pertanyaan mendasar dalam kajian ini adalah mengenai pengertian politik Islam
secara umum, bagaimana pola hubungan antara negara (politik) dengan agama yang didalam
pembahasannya terdapat pendekatan-pendekatan secara spesifik, serta apa saja pembagian
kategorisasi dalam pemikiran politik Islam. Tujuan utama dalam pembuatan jurnal ini adalah
untuk menambah pemahaman mengenai pengertian maupun definisi dari politik Islam secara
detail dan jelas sehingga memudahkan pembaca dalam mencerna pengertian dari politik Islam
itu sendiri, memudahkan pembaca dalam memahami pemikiran-pemikiran politik Islam
sehingga pembaca mempermudah pembaca dalam mempelajari politik islam karena didalam
jurnal dijelaskan pembagian kategorisasi atau bisa disebut dengan tipologi, kemudian di dalam
jurnal juga dijelaskan pembagian beberapa relasi dalam mempelajari pola hubungan antara
negara (politik) dengan agama sehingga pembaca bisa memahami seluk-beluk hubungan antara
negara (politik) dengan agama.

Kata kunci : Pemikiran politik Islam, Hubungan Antara Negara dan Politik

Abstrac

This paper discusses the strategies of Islami political apporoaches in society. The basic
question in this study are regarding the understanding of Islamic politics in general, hoe the
pattern of relations between the state (politics) and religion are discussed in which there are
specific apporoaches, and what are the categorization divisions in Islamic political thought.
The main purpose in making this journal if to increase understanding of the meaning and
definition of Islamic politics in detail and clearly so as to make it easier for readers to digest
the meaning of Islamic politics itself, make it easier for readers to understand Islamic political
thought so that readers make it easier for readers to study Islamic politics, because in the
journal the divisions of categorization ia explained or it can be called a typology, then on the

2
journal it is also explained the ed of several relations in studying the pattern of relations
between the state (politics) and religion so that readers can understand the inteicacies of the
relationship between the state (politics) and religion.

Keywords : Islamic Political Thought, The Relationship Between The State and Politics

B. Pendahuluan

Seiring dengan adanya isu kebangkitan Islam (The Reveval of Islamic), maka
berbagai macam persoalan-persoalan yang berhubungan dengan hakikat, karakteristik,
dan ruang lingkup suatu negara Islam dan sistem politik Islam mendapat sorotan tajam.
Akan tetapi, kajian politik Islam lebih banyak berbicara tentang peristiwa politik
mutakhir di dunia Islam kontemporer, tanpa ada upaya untuk mengkaji secara lebih
mendalam aspek-aspek teori politik yang memang benar mempengaruhi peristiwa
tersebut.
Kontribusi dan artikulasi para penulis tentang teori politik Islam juga sangat
menyedihkan. Karena pada umumnya, karya tulis itu lebih banyak bercorak dokrin
politik, bukannya teori politik ataupun filsafat politik. Dalam wacana (discourse) antara
politik dan agama, para akademisi politik Islam lebih banyak mengurai teks-teks hukum
klasik dan abad pertengahan atau menggambarkan struktur lembaga pemerintahan
Islam awal dalam sejarah dipandang suci. Sebenarnya kecenderungan tersebut
mengikhtisarkan dan memproduksi krisis dalam pemikiran politik Islam saat ini. 1
Dengan memahami hakikat politik Islam dan kekuasaan secara mendasar, pada
masanya perbuatan dan pelaksanaan politik oleh suatu pihak dan pengolahan serta
penggunaan kekuasaan di pihak lain akan selalu lebih Arif dan bijaksana. Akan tetapi,
para teoritis politik menarik perhatian pada bentuk tatanan politik yang baik jika
90ditunjukkan, karena kekuasaan adalah salah satu cara dalam berusaha mencapai
tujuan politik.
Kekuasaan politik seharusnya sealur dengan tujuan syariat, yaitu memelihara
agama (Din), aka (aql), jiwa (nafs), harta (mal) dan keturunan (nasl). Sementara
pemimpin itu bukanlah mereka yang memegang kendali atas jabatan formal-struktural,
mereka yang memegang kekuasaan kultural juga disebut pemimpin. Kepemimpinan

1
Ahmad Muntaz, Masalah-masalah Teori Politik Islam (Bandung: Mizan, 1986), h. 13-15

3
politik kultural mempunyai fungsi yaitu sebagai kekuatan untuk mendinamisir
masyarakat, memberikan pendidikan politik tentang hak dan kewajiban dari warga
negara.

C. Tinjauan Pustaka
Strategi adalah rencana jangka panjang dengan diikuti tindakan-tindakan yang
ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu, yang umumnya adalah “kemenangan”.
Strategi dibedakan dengan taktik yang memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dan
waktu yang lebih singkat, walaupun pada umumnya orang sering kali mencampur
adukkan ke dua kata tersebut. Sedangkan politik hukum seperti yang disampaikan oleh
Moh.Mahfud MD2

Produk interaksi kalangan elit politik yang berbasis kepada berbagai kelompok
sosial budaya. Ketika elit politik memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik
itu, maka peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin
besar. Membangun kekuatan politik yang solid, baik di eksekutif maupun di legislatif,
karena kedua kekuasaan ini merupakan representasi dari kedaulatan rakyat, presiden
dipilih langsung oleh rakyat, begitu juga anggota parlemennya. Rousseau dalam teori
kedaulatan rakyatnya mengatakan bahwa tujuan negara3

D. Gambaran Umum
Sebagian orang seringkali menilai istilah politik Islam diartikan sebagai politik
menurut perspektif Islam, hal itu sebagai bentuk kewajaran karena dalam dunia nyata
kita selalu disuguhkan praktik politik yang kurang atau sama sekali menyimpang dari
ajaran Islam. Sehingga muncul pertanyaan apakah politik Islam itu ada? Apakah Islam
punya konsep khusus tentang politik yang berbeda dengan konsep politik pada
umumnya?
Sampai batasan tertentu, Islam memang memiliki konsep yang khas tentang politik.
Akan tetapi, tentu saja Islam tetap terbuka terhadap berbagai konsep politik yang

2
Definisi ini disampaikan oleh Mahfud MD dalam perkuliahan Politik Hukum Islam di Indonesia, dihadapan
mahasiswa S3 program Politik Islam, pada hari Sabtu 1 Nopember 2008 jam 14.00 di Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
3
Soehino, llmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 1980, hlm. 156-160. Bandingkan dengan Theo Huijbers, Filsafat
Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius, 1982.

4
senantiasa muncul untuk kemudian bisa melengkapi konsep yang sudah ada, sepanjang
tidak bertentangan dengan konsep Islam yang sudah ada.
Sifat terbuka Islam dalam masalah politik ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa Islam
tidaklah menetapkan konsep politiknya secara amat rinci. Dalam hal ini, Islam memang
harus memiliki corak politik. Akan tetapi, politik bukanlah satu-satunya corak yang
dimiliki oleh Islam. Sebab jika Islam hanya bercorak politik tanpa ada corak Iain yang
seharusnya ada, maka Islam yang demikian ialah Islam yang parsial.
E. Pembahasan
Pengertian Politik Islam
Politik dalam bahasa latin adalah politucus, dalam bahasa Yunani Politicos, yang
berasal dari kata polis yang bermakna kota. Politik adalah seni mengatur dan mengurus
negara dan ilmu negara yang mencakup beraneka ragam kegiatan dalam suatu sistem
masyarakat yang terorganisir serta cara bertindak untuk mencapai tujuan. 4
Istilah politik pertama kali dikenal melalui buku Plato yang berjudul politea yang
juga dikenal dengan republik. 5 Kemudian muncul karya Aristoteles yang berjudul
politea. 6
Menurut Miriam Budiarjo, politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu
sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan sistem
itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. 7 Politik dikatakan oleh Miriam Budiarjo dalam
bukunya yang berjudul Dasar-dasar ilmu politik merupakan salah satu ilmu tertua pada
cabang ilmu sosial yang disandarkan pada sejarah dan filsafat. Hal ini tak terlepas dari
pemikiran negara yang dimulai pada abad 450 SM yang diutarakan pada tokoh pemikir
Yunani. Mulai dari Herodotus, atau filsuf-filsuf seperti Plato, Aristoteles, dan
sebagainya. 8
Untuk pengertian politik sendiri memiliki penjabaran yang sangat luas dan kompleks
karena sejatinya politik merupakan cara bagaimana kita melakukan suatu hal yang
seharusnya kita lakukan, dan bagaimna kita tidak mengerjakan hal yang tidak perlu kita
lakukan. Menurut Aristoteles politik adalah “master of science” dalam konteks science

4
B.N Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1983), h. 518.
5
Lihat Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Jakarta: Rajawali, 1988), h. 11-12
6
Ibid, hlm 26
7
Ini Kencana, Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010), h. 46
8
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2007), hal. 5

5
yang dimaksud Aristoteles tentang korelasi kehidupan yang kita lakukan terhadap
lingkungan sekitar. 9
Sedangkan menurut Deliar Noer, politik adalah segala aktivitas yang berhubungan
dengan kekuasaan untuk mempengaruhi, dengdan jalan mengubah atau
mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat. 10
Para ilmuwan politik kontemporer berpandangan bahwa politik ialah proses
pembuatan keputusan dan pelaksanaan keputusan-keputusan yang mengikat bagi suatu
masyarakat. Perilaku politik berarti suatu kegiatan yang berkenaan dengan proses dan
pelaksanaan keputusan politik dan yang melakukan kegiatan tersebut ialah pemerintah
dan masyarakat. Warga negara memang tidak memiliki fungsi menjalankan
pemerintahan, tetapi mereka memiliki hak untuk mempengaruhi orang yang
11
menjalankan fungsi pemerintah itu. Secara sederhana dalam setiap sistem politik
akan mencakup:
1. Fungsi intregritas dan adaptasi terhadap masyarakat, baik keluar ataupun
kedalam.
2. Penempatan nilai-nilai dalam masyarakat berdasarkan kewenangan
3. Penggunaan kewenangan ataupun kekuasaan, baik secara sah maupun tidak.

1. Pemikiran Politik Islam


Ada beberapa kategorisasi atau tipologisasi yakni pemikiran politik Islam yang
organik tradisional baik yang sekuler maupun moderat. Diantaranya sebagai berikut :
1. Tipologi Pemikiran Politik Islami Organik Tradisional.12
Tipologi ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (Din wa
daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dan negara
merupakan dua entitas yang menyatu. Sebagai agama yang sempurna, bagi
pemikir politik Islam yang memiliki tipologi seperti ini, Islam bukan sekedar
agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup
yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan juga termasuk
politik. Adapun pemikir yang masuk golongan ini adalah Rasyid Ridha, Sayyid
Qutub, dan Abu al-‘ala-maududi.

9
Ramalan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 1
10
Ayi Sofyan, Etika Politik Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2012), h. 61
11
Ibid, h. 88
12
Dikutip dari Mabni Darsi, http://grms.multiply.com/journal/item/25

6
2. Tipologi Pemikiran Politik Islam Sekuler.13
Menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak berbeda dengan agama
lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara pengaturan tentang kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama murni bukan negara. Bisa
dikatakan bahwa tipologi Pemikiran Politik Islam Sekuler itu kebalikannya dari
tipologi Pemikiran Politik Islam modern. Golongan pemikir yang masuk dalam
tipologi ini adalah Ali Abd Al-Raziq dan Luthfi al-Sayyid.
Argumen pokok Ali’Abd al-Raziq adalah kekhilafan tidak ada dasarnya
baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Keudanya tidak menyebut kekhalifahan
dalam pengertian seperti yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak ada
penunjukkan yang jelas baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah mengenai
bentuk sistem politik yang harus dibangun umat Islam. 14
3. Tipologi Pemikiran Politik Islam Moderat
Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang mengatur
semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang
melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik tertentu, tetapi dalam
Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang
untuk pelaksanaannya umat Islam bebas memilih sistem manapun yang terbaik.
Yang termasuk tipologi ini adalah Muhammad Husein Haikal, Muhammad
Abduh, dan Fazlur Rahman.

2. Hubungan Antara Negara (politik) Dengan Islam beserta Strategi pendekatannya


Agama dan negara, adalah dua buah institusi yang sangat penting bagi masyarakat
khususnya yang ada dalam wilayah keduanya.15 Agama sebagai sumber moral dan etika
mempunyai kedudukan yang sangat penting karena berkaitan dengan perilaku maupun
tingkah individu dalam berinteraksi sosial di kehidupannya. Dalam hal tersebut, agama
dijadikan sebagai tolak ukur kebenaran dalam setiap rencana kehidupan, disisi lain
negara diibaratkan sebuah bangunan yang mencakup seluruh peraturan mengenai tata
kemasyarakatan dan memiliki kewenangan memaksa bagi setiap masyarakat. Bisa jadi

13
Ibid,
14
http://chans-home.blogspot.com/2012/03/Sejarah dan Pemikiran Ali Abdul Roziq.html. 02 2012
15
John L. Esposito, Islam and Politics, terj. H. M. Josoef Sou:yb, Islam dan Politik, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
2000), h. 38.

7
peraturan yang dibuat oleh negara sejalan dengan agama, akan tetapi bisa jadi
berlawanan dengan agama.
Diantara dua entitas yaitu Islam agama dan negara terdapat muatan “politik”.
Politik ini kemudian membentuk teori “politik Islam” dan “politik negara”. Politik ini
kemudian membentuk teori “pokitik Islam” dan “politik negara”. Oleh karena itu, baik
memisahkan maupun menyandingkan agama (Islam) dan negara bukan persoalan yang
mudah. Dalam wacana politik, dua entitas tersebut selalu berada dalam ketegangan dan
senantiasa terjadi perdebatan yang cukup panjang. Oleh karena itu sebuah tawaran
pemahaman yang lebih longgar, mengakar dan rasional. 16
Dalam menyusun teori politik mengenai konsep negara hal yanb ditekankan
bukanlah struktur “negara Islam”, melainkan substruktur dan tujuannya. Hal ini
dikarenakan struktur negara termasuk wilayah ijtihad kaum muslim sehingga bisa
berubah. Adapun substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip
bernegara secara alami. Al-Qur’an mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis
mengenai aktivitas sosial-politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip
tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. 17
Sistem teokrasi mendasarkan kekuasaan pemerintahan pada kedaulatan Tuhan
(Sovereignity of God), bentuk negara teorikrasi ini mempunyai landasan filosofis
bahwa didalam ssuatu pemerintahan, dimana Tuhan diangggap sebagai raja atau
penguasa yang tidak bisa diganggu gugat, dan hukumnya dujadikan sebagai undang-
undang dasar negara. Dengan demikian, teori teokrasi ini dapat digambarkan bahwa
hubungan agama dan negara bersifat integral, yang artinya agama adalah negara fan
negara adalah agama, kedua variabel itu tidak bisa dipisahkan. Karena Pemerintahan
menurut paham seperti ini dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Segala tata
kehidupan dalam masyarakat, bangsa dan bernegara dilakukan atas titah Tuhan
sehingga urusan kenegaraan atau politik diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan. 18
Di dalam perkembangan selanjutnya paham seperti teokrasi terbagi menjadi dua
bagian. Pertama, paham teokrasi langsung, menurut paham ini bahwa pemerintahan
diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung dengan adanya negara didunia ini

16
Rasionalitas Islam secara normatif dikenal, melalui konsep-konsep Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an
melalui term ‘iqra” merupakan perintah Allah kepada manusia untuk membaca, dan merupakan Wahyu
pertama yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad. Sedangkan melalui hadits, yakni dua sabda.......
17
Jubair Situmorang, Model Pemikiran dan Penelitian Politik Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), h. 55
18
Gerald F. Gaus and Chandran Kukthas, Handbook: Teori Politik, trans. Deta Sri Widowatie (Bandung:
Nusa Media, 2012), 760; “The Shorter Oxforld Dictionary” (Oxford: Oxford university Press, 1956), 216

8
adalah sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula, adanya negara di dunia ini
merupakan atas kehendak Tuhan, oleh karena itu yang memerintah juga Tuhan. Kedua,
Paham teokrasi sexara tidak langsung bahwa yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri,
melainkan raja atau kepala negara yang memiliki otoritas atas nama Tuhan. Kepala
negara atau raja diyakini memerintah atas nama Tuhan.
Di dalam sistem teokrasi tersebut secara tidak langsung sistem maupun norma di
dalam negara dirumuskan berdasarkan firman-firman Tuhan karena menyatu dengan
agama. Jafi agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Paradigma yang digunakan
didalam sistem teokrasi tersebut adalah integralistik, yakni pemahaman hubungan
antara agama fan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integreted) dengan pengertian
bahwa negara merupakan suatu lembaga politik sekaligus sebagai lembaga agama. 19
Paradigma tersebut kemudian melahirkan konsep mengenai agama-negara yang berarti
bahwa kehidupan bernegara diatur dengan menggunakan hukum serta prinsip
keagamaan. Dengan begitu, paradigma integral disini dapat dikenal sebagai paham
Islam: Din Wa dawkah yang bersumber hukum positifnya adalah hukum agama. 20
Politik Islam dalam hal ini yaitu hubungan agama dan negara merupakan persoalan
yang banyaj menimbulkan perdebatan yang terus berkepanjangan di kalangan para
ahli. 21 Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam menerjemahkan agama
sebagai bagian dari negara atau negara merupakan bagian dari dogma agama. Bahkan
dikatakan bahwa persoalan yang telah memicu konflik intelektual untuk pertama
kalinya dalam kehidupan umat Islam adalah berkaitan dengan masalah hubungan
agama dan negara.22
Menurut KH. Sahal, kepolitikan merupakan realitas historis atau sunatullah yang
tidak bisa terelakkan, menurutnya bahwa dalam proses hidupnya manusia tidak lepas
dari pengaruh watak politik telah menjadi sunatullah barangkali setiap kelompok ada

19
Nurcholis Madjid, “Agama Dan Negara Dalam Islam: Telaah Krisis Atas Fiqh Siyasah Sunni,” in
Kontekstualisasi Dokrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995, 15.
20
Konsep negara seperti ini dapat kita temukan di dalam kelompok Islam shi’ah pada pemerintahan Shah
Imam Khumayni, hanya saja Shi*ah tidak menggunakan term dawlah akan tetapi lebih suka menggunakan
term imamah. Lihat dalam William O Baeman, “Iranian Revolution,” in The Oxforld Encyclopedia Of The
Modern Islamic World, Ed. John L. Esposito (New York: Oxforld University Press, 1995), hlm. 232
21
Dede Rosyada, Pendidikan Kewargaan (Civic, Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani, (Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), h. 58.
22
M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 9

9
yang dikuasai dan ada yang menguasai, ada yang memerintah dan yang diperintah serta
ada yang dipengaruhi dan mempengaruhi, itulah konteks politik. 23
Politik merupakan kebutuhan hidup menurut naluri manusiawi, artinya bahwa
agama dan negara tidak dapat dipisahkan meskipun negara (politik) dan agama tidak
bisa dipisahkan, akan tetapi bukan berarti negara beserta produk-produknya harus
berlabel Islam. Dalam relasi tersebut dapat dibagi menjadi beberapa pendekatan antara
lain sebagai berikut :
 Dekonfessionalisasi Islam
Pendekatan ini menjelaskan hubungan antara politik Islam dengan negara
yang melihat bagaimana peran Islam dalam revolusi nasional dan pembangunan
bangsa dalam kerangka teori Dekonfessionalisasi. Dalam pendekatan tersebut
Niewenhuijixe memandang peran Islam adalah sebagai instrumen dalam
perlawanan melawan kolonial Belanda.
 Domestikasi Islam
Unsur terpenting dari terori domestikasi adalah mengenai perkembangan
perebutan kekuasaan antara Islam dengan unsur-unsur non Islam di dalam suatu
masyarakat.
 Kelompok Skismatik dan Aliran
Teori ini di identifikasi dengan tulisan-tulisan Robert R. Jay dan Clifford
Geertz, Robert R. Jay menekankan corak Skismatik hubungan antara Islam dan
jawaisme yang kemudian berkembang melampaui wilayah konfrontasi
keagamaan dan memasuki bidang politik kebudayaan dan kehidupan sosial.
Sedangkan Clifford Geertz mengembangkan skisme sosial keagamaan kedalam
pengelompokan aliran Sosio kultural dan politik.
 Perspektif Trikotomj
Dalam pendekatan ini Bahtiar Effendy mengelompokkan antara beberapa
persoalan, yaitu Islam Ortodok (santri), Islam singkretis (Aban), dan negara
Islam (power political). Tiga persoalan tersebut kemudian melahirkan
pendekatan Trikotomi dalam politik Islam yaitu fundamentalis, reformis, dan
akomodasionis.
 Islam Kultural

23
Sumantho al-qurthubi, Era Baru Fiqh Indonesia. Penerbit cermin, tahun 2002, h. 86

10
Teori ini dikembangkan oleh Donal K. Emmerson, teori ini mencoba
mengkaitkan kembali dokrimal yang formal antara Islam dan politik atau Islam
dan negara.
Abdul Qadir Zallum mengatakan Negara Islam berdiri diatas landasan akidah
Islam, dan akidah Islam inilah yang menjadi asasnya. Sejak pertama kali ketika
Rasulullah membangun sebuah pemerintahan di Madinah serta memimpin
pemerintahan disana, beliau segera membangun kekuasaan dan pemerintahannya
dengan landasan akidah Islam. Akidah Islamiah merupakan pemikiran politik, akidah
termasuk pemikiran politik bahkan asas pemikiran politik bagi orang Islam. Agama
tidak memisahkan urusan dunia dan akhirat, tidak memisahkan antara maslahah pribadi
dan maslahah kelompok. 24
Sedangkan di Indonesia, eksistensi Islam politik (Political Islam) pada masa
kemerdekaan dan sampai pada pasca reformasi pernah dianggap sebagai persaingan
kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Persepsi tersebut, membawa
implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan
domestikasi terhadap gerak ideologis politik Islam.
Sehingga para sosiolog teoretisi politik Islam merumuskan beberapa teori tentang
hubungan antara agama dengan negara. Teori-teori tersebut secara garis besar
dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran yaitu paradigma integralistik, paradigma
simbiotik, dan paradigma sekularistik.
Menu

3. Pandangan Ulama Islam Dalam Politik Islam


1) Ibnu Taimiyah
Dalam kitab as-Syari’ah karya Ibnu Taimiyah, dijelaskan: “wajib diketahui
bahwa mengurusi dan melayani kepentingan manusia merupakan kewajiban
terbesar agama dimana agama dan duniawi tidak bisa tegak tanpanya. Sungguh
Bani Adam tidak lengkap. Kemaslahatannya dalam agama jamaah tanpa suatu
pemimpin. Ada sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud berbunyi
“jika keluar tiga orang untuk bersandar maka hendaklah mereka mengangkat
salah satunya menjadi pemimpin”. Dari sini kita dapat mengambil pelajaran

24
Moh. Toqiruddin, Relasi Agama dan Negara : Dalam Pandangan Intelektual Muslim Kontemporer,
Malang : UIN Malang Press, (2009), 74

11
bahwasanya dengan hal sekecil tersebut pentingnya menerapkan politik begitu
dibutuhkan, apalagi untuk hal yang lebih besar lagi maka penggunaan politik
perlu diberikan inovasi-inovasi tertentu untuk mencapai sebuah kemaslahatan
bersama. 25
Ibnu Taimiyah juga mengutip Khalid Ibrahim tentang pendapatnya, bahwa
kedudukan agama dan negara saling berkaitan. Tanpa kekuasaan negara bersifat
memaksa, agama berada dalam bahaya, sementara tanpa wahyu negara tidak
lebih dari organisasi tirani. Sampai sejauh ini hubungan antara negara dan
agama memang benar terlebur menjadi satu, ketika unsur salah satu dihilangkan
maka yang terjadi ketidakseimbangan yang pada akhirnya menimbulkan
masalah yang dikhawatirkan dari pendapat yang diutarakan Khalid Ibrahim.
Mengenai bentuk kepemimpinan negara/pemerintah, Ibnu Taimiyah
berpendapat bahwa membentuk imarah (kepemimpinan) adalah kewajiban asasi
dalam agama , alasan yang dikemukakan adalah bahwa upaya menegakkan
agama dan mencapai kemaslahatan bagi segenap manusia mustahil dapat
direalisasikan tanpa adanya suatu perkumpulan (kepemimpinan) yang bersifat
mengikat dan dapat memenuhi kebutuhan mereka. 26
Ibnu Taimiyah sangat menekankan keharusan menegakkan kepemimpinan
negara untuk menciptakan suatu tertib sosial, di mana nilai-nilai dasar Al-
Qur’an dan as-Sunnah direalisir. Tata sosial seperti ini tidak dapat terealisir
secara ideal tanpa negara. Itulah sebabnya mengapa Ibnu Taimiyah pernah
menyatakan bahwa agama tidak akan mungkin hidup tanpa negara.27

2) Al-Ghazali
Al-Ghazali dikenal sebagai Hujjat al-Islam dan menjadi salah satu ulama
panutan umat Islam di seluruh dunia. Beliau melukiskan hubungan antra agama
dan kekuasaan politik dengan ungkapan “sultan” adalah wajib untuk ketertiban

25
Abdullah Zawawi, S.Pd., MM., M.Pd, Politik Dalam Pandangan Islam, Jurnal Ummul Qura Vol. 5, no. 1,
Maret 2015, hal. 90
26
Rojak, Politik, h. 165.
27
Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyah: Etika Politik Islam” Terj. Rafi’ Munawar (Surabaya: Risalah Gusti,
2005), h. 27-28.

12
dunia, ketertiban dunia wajib, untuk ketertiban agama, dan dan wajib adanya
iman untuk meninggalkannya, untuk mencapai kebangkitan akhirat. 28
Jadi apa yang dimaksud dalam sudut pandang dari Al-Ghazali adalah
ketertiban dunia bisa juga dikatakan sebagai kemaslahatan umat, dan itu
memang harus ditegakkan karena hal itu akan berhubungan dengan
sebagaimana dalam menjalankan ketertiban syariat agama, dan ketika sudah
tercapai hal tersebut, maka yang diharapkan juga membawa efek positif yang
konotasinya berimbas kepada personal manusia itu sendiri.

3) Ibnu Bajjah
Menurut Ibnu Bajjah, ciri-ciri negara yang sempurna adalah negara yang
tidak perlu dokter, karena warganya terpelihara kesehatannya, juga tidak perlu
adanya hakim, karena setipa individu telah mencapai kesadaran dengan
sempurna. 29
Sebagaimana al-Farabi, dalam bukunya Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah,
Ibnu Bajjah membagi negara menjadi negara utama (al-Madinah al-Fadhilah)
atau sempurna, dan negara yang tidak sempurna. Demikian juga tentang hal-hal
yang lain, seperti persyaratan kepala negara dan tugas-tugas kepala negara,
yaitu selain mengatur negara, juga pengajar dan pendidik. Perbedaan diantara
al-Farabi dan Ibnu Bajjah hanya terletak pada penekanannya. Al-Farabi titik
tekannya pada kepala negara, sedangkan Ibnu Bajjah titik tekannya pada
warga/masyarakat. 30

4. Penerapan “Negara Modern” dan “Islam Modern” beserta Relasi Fungsionalnya


Negara bangsa (nation state) merupakan kenyataan sejarah yang tidak dapat
dihindari oleh bangsa manapun, termasuk bangsa Indonesia. Selain karena adanya
tuntutan global, negara maupun bangsa merupakan konsep negara modern yang
menjanjikan penyelesaian bagi setiap bangsa dalam menghadapi kenyataan-kenyataan
pluralisme, toleransi, dan demokrasi.

28
Abdullah Zawawi, S.Pd., MM., M.Pd, Politik Dalam Pandangan Islam, Jurnal Ummul Qura Vol. 5, no. 1,
Maret 2015, hal. 90
29
Dr. Achmad Irwan Hamzani & Habis Aravik, M.S.I., M.M, Politik Islam: Sejarah dan Pemikiran,
(Pekalongan, Jawa Tengah: PT. Nasya Expanding Management, 2021), hal. 164-170.
30
Robby Habiba Abror, dkk., Refleksi Filosofis Atas Teologi dan Politik Islam: Kajian Filsafat Islam,
(Yogyakarta: FA press, 2018), hal. 83-84.

13
Maka dari itu, memahami dengan baik fenomena negara modern adalah suatu
keharusan bagi setiap akademisi, praktisi negara maupun seorang pemikir, karena
semenjak lahirnya konsep negara-bangsa atau nation state pada abad ke-19, dunia Islam
kembali menghadapi persoalan-persoalan baru yang tifak pernah terbayangkan
sebelumnya. Sejak awal abad ke-20, ketika mulai timbul berbagai gerakan kebangsaan
dalam situasi kolonial, pudar perhatian gerakan Islam lebih banyak tertuju di beberapa
persoalan kemasyarakatan, khususnya pendidikan, perbaikan sosial ekonomi maupun
dakwah dalam rangka menyuarakan agama Islam, sesuai dengan aliran-aliran
keagamaan masing-masih organisasi pergerakan. 31
Negara di dalam pengertian nation state adalah suatu ide modernitas uang
terpenting, para tokoh pergerakan maupun cendekiawan di Indonesia telah berusaha
berpikir dalam rangka menerapkan konsep negara modern ini. Menurut Dawam
Rahardjo, bahwa di dalam konteks tersebut, terdapat tiga macam konsep negara.
Pertama, negara dipandang sebagai seperangkat suatu kelembagaan yang terdiri dari
lembaga eksekutif, legislatif, dan administrasi dipusat maupun di daerah, peradilan
polisi dan tentara. Kedua, konsep negara secara struktural, yang pengertiannya
digambarkan Marx bahwa negara tidak lain adalah wadah bagi eksekutif yang
melaksanakan kepentingan kelas. Ketiga, memandang negara sebagai penumbuhan ide
yang ideal di dalam masyarakat. Model ini memandang negara sebagai kekuatan yang
independen dan berdiri diatas semua golongan dan mengatasi seluruh kepentingan
masyarakat. 32
Negara, sebagaimana dikemukakan Mac Iver di dalam bukunya yang berjudul The
Modern State, Seperti dikutip Rumadi, menyatakan bahwa pada dasarnya, ide
pembentukan negara adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat guna
mewujudkan kehidupan masyarakat yang bahagia. 33 Dengan demikian diharapkan
terlahir walfare state, yaitu negara yang dapat membahagiakan kehidupan rakyatnya.
John L. Esposito menjelaskan bahwa pola pembangunan negara modern dalam dunia
politik Islam menampilkan tiga orientasi umum yaitu negara sekuler, negara yang
berasaskan Islam, dan negara Muslim. 34

31
Dawam Raharjo, “Agama Masyarakat dan Negara,” dalam Mukti Ali, dkk, agama dalam Pergerakan
Masyarakat Kontemporer (Jakarta: Tiara Wacana, 1998), h. 131
32
Ibid, h. 137-139
33
Rumadi, “Agama dan Negara; Dilema Regulasi Kehidupan Beragama di Indonesia”, dalam Istiqra’,
Jurnal Penelitian Ditpertais, vol. 4, no. 01, 2005, h. 119.
34
John L. Esposito, Islam dan Politik, h. 132-133.

14
Di dalam konteks negara modern, Indonesia dengan Pancasila-nya merupakan
rumusan negara modern dalam “rumusan ideal”, seperti termaktub di dalam
mukadimah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Upaya
pendekatan agama sampai pada titik formal cita-cita negara modern. Karena itu, salah
satu dari beberapa poin penting dikemukakan oleh Bahtiar Effendy, bahwa gagasan
tentang negara-bangsa bertentangan dengan konsep ummah, yaitu masyarakat Islam
tidak mengenal batas-batas politik maupun daerah.35
Gagasan model pemikiran seperti itu, menurut Bahtiar Effendy banyak dipraktikan oleh
negara-negara yang memposisikan sistem dan dasar-dasar politiknya sebagai yang
berlawanan dengan ajaran-ajaran Islam. Terkait dengan negara modern dan
modernisasi Islam, M. Syafi:i Anwar menemukan bahwa bagi kalangan Islam,
modernisasi merupakan persoalan yang relatif baru, yang oleh karenanya wajar apabila
muncul reaksi dan respon yang berbeda dari berbagai kelompok Islam. 36
Menurut Imarah, suatu kesalahan intelektual apabila tidak memasukkan agama
sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi masyarakat. Disisi lain, memberikan
karakter religius pada politik beserta sistem pemerintahan dianggap suatu yang
bertentangan dengan semangat Islam. Karena menurutnya, Islam membedakan anatar
komunitas agama dan komunitas politik. 37 Pemikiran Imarah tersebut, sangat besar
kemungkinannya pada pandangan yang lain seperti yang dikutip oleh Bahtiar Effendy,
bahwa Islam sebagai agama tidak menemukan sistem pemerintahan tertentu bagi kaum
muslim.38 Imarah juga berargumen bahwa soal-soal yang akan berubah oleh kekuatan
evolusi harus diserahkan kepada akal manusia, dibentuk menurut kepentingan umum
dan dalam rangka prinsip-prinsip umum yang digariskan agama. 39
Tipologi Pemikiran Imarah tersebut menggambarkan sebuah harapan sekaligus
tantangan bagi umat (negara) Islam dalam menyikapi jejak-jejak politik Islam di dunia
internasional, termasuk Indonesia. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara Islam dan negara adalah hubungan fungsional yaitu bagaimana cara
Islam dapat menjalankan fungsinya di suatu wilayah maupun komunitas dari sebuah
negara dan bagaimana agar negara tersebut dapat menjalankan tugas beserta fungsinya

35
Ibid, h. 12
36
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 327-328
37
Ibid,
38
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, h. 13
39
Muhammad Imarah, Al-Islam wa al-Sultah al-Diniyyah, h. 103-104.

15
sebagai badan organisasi yang warga maupun wilayahnya adalah mayoritas
penduduknya beragama Islam

5. Pemahaman Masyarakat Terhadap Politik Islam


“Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut
serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan
Negara, secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah
(Publik Policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam
pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) dengan
pejabat pemerintah atau parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan
sosial, dan lain sebagainya. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau
sekelompok orang atau ikut serta aktif dalam kehidupan politik, seperti memilih
pimpinan Negara atau upaya-upaya untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah”.
Jadi bentuk dari pemahaman masyarakat terhadap politik dapat di aktualisasikan
untuk ikut aktif berpartisipasi setiap kegiatan politik. Orientasi politik islam di
Indonesia sudah ada sejak era prakemerdekaan yang dimana gejolak umat islam bersatu
untuk menuju kepentingan politik seluruh masyarakat Indonesia yaitu kemerdekaan.
Diawali oleh kumpulan pedagang yang membuat suatu organisasi yaitu sarekat dagang
islam pada tahun 1905 yang didirikan oleh H Samanhudi. Tujuan SDI adalah
membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan
mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SDI terbuka untuk semua lapisan
masyarakat muslim. Pada awalnya memang tujuan SDI representasi dari ajaran islam
yaitu ukhwa islamiyah, tetapi seiring berjalanya waktu serta peran penting tokoh-tokoh
yang ada didalamnya menjadi cikal bakal manuver politik untuk kemasahatan umat
islam tanpa meninggalkan kepentingan masyarakat Indonesia yang tidak beragama
Islam.
Untuk era kontenporer tentang pergerakan dan manuver dari politik islam yang
dimana sistem bernegara kita menganut paham Demokrasi, maka konsep dan nilai-nilai
keislaman dibalut sebagaimana pola yang telah terjadi dan disepakati oleh seluruh
masyarakat Indonesia. Mendirikan partai politik islam juga bentuk bagaimana islam
disini tidak kaku dan terpaku terhadap tata nilai kehidupan bernegara. Dalam hal ini
partisipasi politik lebih menekankan pada beberapa hal yaitu: 1) Sikap warga
masyarakat terhadap pemimpin, 2) Kerjasama antara anggota masyarakat dengan
pemimpin dalam mempengaruhi keputusan politik. 2) Perilaku warga masyarakat

16
dalam kegiatan politik harus didorong oleh nilai-nilai ideal. 3) Keikutsertaan warga
masyarakat memberikan hal suara dalam pemilihan sukarela.

F. Kesimpulan
Politik dalam bahasa latin adalah politucus, dalam bahasa Yunani Politicos, yang
berasal dari kata polis yang bermakna kota. Politik adalah seni mengatur dan mengurus
negara dan ilmu negara yang mencakup beraneka ragam kegiatan dalam suatu sistem
masyarakat yang terorganisir serta cara bertindak untuk mencapai tujuan. Ada
beberapa kategorisasi atau tipologisasi yakni pemikiran politik Islam yang organik
tradisional baik yang sekuler maupun moderat. Diantaranya sebagai berikut :
1. Tipologi Pemikiran Politik Islami Organik Tradisional.
2. Tipologi Pemikiran Politik Islam Sekuler.
3. Tipologi Pemikiran Politik Islam Moderat.

Politik merupakan kebutuhan hidup menurut naluri manusiawi, artinya bahwa


agama dan negara tidak dapat dipisahkan meskipun negara (politik) dan agama tidak
bisa dipisahkan, akan tetapi bukan berarti negara beserta produk-produknya harus
berlabel Islam.

17
G. DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA

Rojak, Jeje Abdul, Politik Kenegaraan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Surabaya:
Bina Ilmu, Cet. 1,1999.
Naufal, Muhammad Fauzan, Skripsi Hubungan Agama dan Negara Dalam Pemikiran Politik
Di Indonesia (Analisis Pemikiran Politik Bahtiar Effendy), Lampung: UIN Raden
Intan Lampung, 2017.
Hidayat, Ahmad Ilyas, Skripsi Kekuasaan Perspektif Politik Islam, Makasar : UIN Alauddin
Makassar.
Rahmita, Skripsi Perspektif Masyarakat Terhadap Etika Politik Kampanye Partai Aceh, Banda
Aceh: UIN Ar-Raniry.
Yuningsih, Neneng Yani, Jurnal Pola Interaksi (Hubungan) Antara Agama; Politik dan Negara
(Pemerintah) Dalam Kajian Pemikiran Politik (Islam), Bandung. Juni 2007.
Qamaruzzaman, Jurnal Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah,. Kalimantan Barat, Vol. 2 No. 2 Juli-
Desember 2019,
Basyir, Kunawi, Jurnal “Ideologi Gerakan Politik Islam di Indonesia”. Surabaya: UIN Sunan
Ampel Surabaya
Hasan, Hamsah, Jurnal “Hubungan Islam dan Negara: Merespon Wacana Politik Islam
Kontemporer di Indonesia”. Palopo: IAIN Palopo Sulawesi Selatan

18
H. curiculum vitae

A. Data Diri
1. Nama Lengkap : Mohammad Iqbal Dzulkarnain
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Tempat/Tgl Lahir : Pasuruan, 6 januari 2002
4. Alamat : Dsn Gesing Ds Randupitu, Rt 02/10,Kec
Gempol, Kab Pasuruan
5. No. Telepon (WA) : 085785005676
6. E-mail : semarsenyum612@gmai.com
Asal Cabang: Kudus Asal Badko: JATENG-DIY
B. Riwayat Pendidikan
1. SD/MI : SDN Randupitu
2. SMP/MTS : MTsN 2 Jombang
3. SMA/SMK/MA : MAN 2 Jombang
4. PERGURUAN TINGGI : IAIN Kudus
C. Pengalaman Organisasi (Sebelum Masuk HMI)
NO. ORGANISASI JABATAN TAHUN
1. IKAPDAR Kadiv Humas 2018
2.
D. Jenjang Perkaderan di HMI
1. Masuk HMI Tahun : 2019
2. Pengalaman Training
NO. NAMA TRAINING TAHUN
1. Latihan kader 1 komisariat Tarbiyah 2020
2.
3. Jabatan di komisariat
NO. JABATAN KOMISARIAT TAHUN
1. PPPA DAKWAH- USHULUDDIN 2022
2.

Alasan Mengikuti LK II : Mencari Salah Satu Jalan Untuk Mendapatkan


Ridho Allah SWT

Kudus, 25 Januari 2022


Hormat Saya,

(M IQBAL DZUKARNAIN.)

19

Anda mungkin juga menyukai