Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tema keikutsertaan aktifis Islam baik dari kalangan ulama, du’at dan
pemikirnya dalam pertarungan politik hingga kini masih saja menjadi tema yang
menarik dan hangat untuk dibicarakan. Dan itu dibuktikan dengan terjadinya pro-
kontra dikalangan mereka yang mengkaji dan mendiskusikannya. Dan polemik ini
jika diteliti lebih jauh bukanlah polemik yang baru kali ini terjadi, namun sejak
dahulu bahkan sejak berabad-abad lalu tema keterlibatan para ulama dan
cendekiawan muslim secara politis dalam penyelenggaraan negara baik sebagai
eksekutif, legislatif ataupun yudikatif selalu menjadi perdebatan yang hangat
dikaji. 

Meskipun sekularisme (pemisahan agama dengan negara) jelas merupakan


ide yang asing bagi umat Islam, namun secara pemikiran dan praktek ia begitu
melekat dan mewabah di tengah mereka. Dan itu sampai pada taraf membuat
“keinginan untuk menerapkan Syariat Islam” menjelma menjadi tuduhan
menakutkan yang kemudian dilemparkan kepada kaum muslimin oleh kaum
muslimin sendiri dan yang menyedihkan bahwa sebagian kaum cendekiawannya
berperan sangat besar dalam hal ini. Atas dasar situasi yang dilematis inilah terjadi
perbedaan pandangan di kalangan kaum muslimin, terutama para ulama, du’at dan
aktifisnya, dalam menentukan sikap mereka. Karena itu tidak mengherankan jika
para ulama pun berbeda pandangan dalam menyikapi pemilu yang
diselenggarakan di berbagai tempat dan hukum keikutsertaan di dalamnya. Tema
inilah yang ingin diangkat dalam makalah ini, dimana ia akan berusaha mengulas
dan mendudukkan persoalan ini berdasarkan kaidah-kaidah syar’i yang ada.

1.2 Rumusan Masalah


1). Apa yang dimaksud politik Islam menurut para ulama ?
2). Apa yang dimaksud fiqih siyasah dalam Islam ?
3). Bagaimana pandangan Islam terhadap politik ?
4). Bagaimana penjelasan kekuasaan tertinggi ada pada Allah SWT dalam
Islam ?
5). Apa yang dijadikan pertimbangan oleh umat Islam dalam menyetujui
Pancasila dan UUD 1945 ?
6). Apa saja konstribusi umat Islam untuk Indonesia dari sisi politik ?
1.3 Tujuan

1). Mengetahui pengertian sistem politik Islam menurut para ulama.

2). Mengetahui pengertian fiqih siyasah dalam Islam.

3). Mengetahui pandangan Islam terhadap politik.

4). Mengetahui bahwa dalam Islam kekuasaan tertinggi ada pada Allah SWT.

5). Mengetahui hal yang dijadikan pertimbangan umat Islam dalam


menyetujui Pancasila dan UUD 1945.

6). Mengetahui konstribusi umat Islam untuk Indonesia dari sisi politik.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penegertian Sistem Politik Islam


Politik berasal dari bahasa latin politicos atau politicus yang berarti
relating to citizen (hubungan warga negara). Sedangkan dalam bahasa arab
diterjemahkan dengan kata siyasah, kata ini diambil dari kata saasa-yasuusu yang
diartikan mengemudi, mengendalikan dan mengatur (M Quraish Shihab,2000).
Dari akar kata yang sama, ditemukan kata sasa- yasusu,namun ini
bukan berati bahwa al-Qur’an tidak menguraikan masalah sosial
politik. Sedangkan kata islam adalah agama yang diajarkan nabi
Muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci al Quran yang turunkan
kedunia melalui wahyu Allah SWT. Dengan demikian sistem politik
islam adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-
ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan negara, siapakah pelaksana
kekuasaan tersebut, apa dasar, dan bagaimana cara untuk menentukan
kepada siapa wewenang melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada
siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan bertanggung jawab, dan
bagaimana bentuk tanggung jawab berdasarkan nilai- nilai agama
islam. 
Sedangkan menurut Abdul Qadir Zallum, mengatakan bahwa politik atau
siyasah memiliki makna mengatur urusan rakyat, baik dalam maupun luar negeri.
Dalam politik terdapat negara yang berperan sebagai institusi yang mengatur
secara praktis, sedangkan rakyat mengoreksi pemerintahan dalam melakukan
tugasnya. Maka dapat disimpulkan politik merupakan pemikiran yang mengurus
kepentingan masyarakat. Pemikiran tersebut berupa pedoman, keyakinan hukum
atau aktivitas dan informasi.

2.2 Pengertian Fiqih Siyasah dalam Islam


Istilah fiqh siyasah merupakan tarkib idhafi atau kalimat majemuk yang
terdiri dari dua kata, yakni fiqh dan siyasah. Secara etimologis, fiqh merupakan
bentuk mashdar dari tashrifan kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti
pemahaman yang mendalam dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan
dan atau tindakan (tertentu). 

Sedangkan secara terminologis, fiqh lebih populer didefinisikan sebagai Ilmu


tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-
dalilnya yang rinci. 
Adapun Al siyasah berasal dari kata ‫وس سياسة‬DDD‫ا س يس‬DDD‫ س‬yang berarti
mengatur, mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan. Menurut Ibn
Qayyim dalam Ibn ‘Aqil menyatakan "Siyasah adalah segala perbuatan yang
membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari
kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan (bahkan) Allah
tidak menentukannya"  
Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, fiqh siyasah
adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk-beluk
pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada
khususnya, berupa penetapan hukum, peraturan, dan kebijakan oleh pemegang
kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran Islam, guna mewujudkan
kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkannya dari berbagai kemudaratan
yang mungkin timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang dijalaninya. 
Prinsipnya definisi-definisi tersebut mengandung persamaan. Siyasah berkaitan
dengan mengatur dan mengurus manusia dalam hidup bermasyarakat dan
bernegara dengan membimbing mereka kepada kemaslahatan dan menjauhkanya
dari kemudaratan.
Terdapat dua unsur penting di dalam Fiqh Siyasah yang saling
berhubungan secara timbal balik, yaitu pihak yang mengatur dan pihak yang
diatur. Melihat kedua unsur tersebut, menurut Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah
itu mirip dengan ilmu politik, yang mana dinukil dari Wirjono Prodjodikoro
bahwa:
“Dua unsur penting dalam bidang politik, yaitu negara yang perintahnya bersifat
eksklusif dan unsur masyarakat”.
Dalam fiqih siyasah tersebut, berkenaan dengan pola hubungan antarmanusia
yang menuntut pengaturan siyasah, dibedakan menjadi 3 :
1.  Fiqh siyasah dusturiyyah, yang mengatur hubungan antara warga negara
dengan lembaga negara yang satu dengan warga negara dan lembaga negara
yang lain dalam batas-batas administratif suatu negara. Jadi, permasalahan di
dalam fiqh siyasah dusturiyyah adalah hubungan antara pemimpin di satu pihak
dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan-kelembagaan yang ada di dalam
masyarakat. Maka ruang lingkup pembahsannya sangat luas. Oleh karena itu,
di dalam fiqh siyasah dusturiyyah biasanya dibatasi hanya membahas
pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan
dari segi persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi
kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya. Contoh Negara yang
menganut siyasah dusturiyyah yaitu Negara Indonesia, Ira’ dan lain-lain.
Misalnya, membayar pajak tepat waktu, pembuatan identitas kewarga negaraan
seperti pembuatan KTP, SIM, dan AKTA Kelahiran.
2.   Fiqh siyasah dawliyyah, Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan,
kekuasaan, wewenang. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai
kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan
Internasional, masalah territorial, nasionalitas ekstradisi tahanan, pengasingan
tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu juga mengurusi
masalah kaum Dzimi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan
kaum Dzimi, hudud, dan qishash. Fiqh yang mengatur antara warga negara
dengan lembaga negara dari negara yang satu dengan warga negara dan
lembaga negara dari negara lain. Contoh Negara yang menganut siyasah
dauliyah yaitu Negara Iran, Malaysia, dan Pakistan. Meskipun tidak
sepenuhnya penduduknya beragama Islam. misalnya. Misalnya, NATO PBB.
3.    Fiqh siyasah maliyyah, fiqh yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan,
dan pengeluaran uang milik negara. Maka, dalam fiqh siyasah ada hubungan di
antara tiga faktor, yaitu: rakyat, harta, dan pemerintah atau kekuasaan. Dalm suatu
kalangan rakyat, ada dua kelompok besar dalam suatu negara yang harus bekerja
sama dan saling membantu antar orang-orang kaya dan miskin. Fiqh siyasah ini,
membicarakan bagaimana cara-cara kebijakan yang harus diambil untuk
mengharmonisasikan dua kelompok tersebut, agar kesenjangan antara orang kaya
dan miskin tidak semakin lebar. Adapun Negara yang menganut fiqih maliyyah
adalah Semua Negara. Contohnya: RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan
Negara).  
Pengertian sistem politik islam
Dalam kamus bahasa arab modern, kata politik biasanya diterjemakan
dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa- yasusu, yang
biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur dan sebagainya.
Dari akar kata yang sama, ditemukan kata sasa- yasusu,namun ini bukan
berati bahwa al-Qur’an tidak menguraikan masalah sosial politik.  
 Dengan demikian sistem politik islam adalah suatu konsepsi yang
berisikan antara lain ketentuan- ketentuan tentang siapa sumber
kekuasaan negara, siapakah pelaksana kekuasaan tersebut, apa dasar, dan
bagaimana cara untuk menentukan kepada siapa wewenang
melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa kewenangan
melaksanakan kekuasaan bertanggung jawab, dan bagaimana bentuk
tanggung jawab berdasarkan nilai- nilai agama islam.  Politik berasal dari
bahasa latin politicos atau politicus yang berarti relating to citizen (hubungan warga
negara). Sedangkan dalam bahasa arab diterjemahkan dengan kata siyasah, kata ini
diambil dari kata saasa-yasuusu yang diartikan mengemudi, mengendalikan dan
mengatur (M Quraish Shihab,2000). Sedangkan menurut Abdul Qadir Zallum,
mengatakan bahwa politik atau siyasah memiliki makna mengatur urusan rakyat, baik
dalam maupun luar negeri. Dalam politik terdapat negara yang berperan sebagai
institusi yang mengatur secara praktis, sedangkan rakyat mengoreksi pemerintahan
dalam melakukan tugasnya. Maka dapat disimpulkan politik merupakan pemikiran
yang mengurus kepentingan masyarakat. Pemikiran tersebut berupa pedoman,
keyakinan hukum atau aktivitas dan informasi.
1. Pengertian Fiqh Siyasah
Istilah fiqh siyasah merupakan tarkib idhafi atau kalimat majemuk yang terdiri
dari dua kata, yakni fiqh dan siyasah. Secara etimologis, fiqh merupakan bentuk
mashdar dari tashrifan kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti pemahaman yang
mendalam dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau
tindakan (tertentu). 
Sedangkan secara terminologis, fiqh lebih populer didefinisikan sebagai berikut:
Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari
dalil-dalilnya yang rinci. 
Adapun Al siyasah berasal dari kata D‫ سا س يسوس سياسة‬yang berarti mengatur,
mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan. Secara terminologis,
sebagaimana dikemukakan Ahmad Fathi Bahatsi, siyasah adalah pengurusan
kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara’.
Definisi lain ialah Ibn Qayyim dalam Ibn ‘Aqil menyatakan:
"Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada
kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak
menetapkannya dan (bahkan) Allah tidak menentukannya"  
Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, fiqh siyasah
adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk-
beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada
khususnya, berupa penetapan hukum, peraturan, dan kebijakan oleh pemegang
kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran Islam, guna mewujudkan
kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkannya dari berbagai kemudaratan
yang mungkin timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang dijalaninya. 
Prinsipnya definisi-definisi tersebut mengandung persamaan. Siyasah berkaitan
dengan mengatur dan mengurus manusia dalam hidup bermasyarakat dan
bernegara dengan membimbing mereka kepada kemaslahatan dan menjauhkanya
dari kemudaratan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, terdapat dua unsur penting di dalam
Fiqh Siyasah yang saling berhubungan secara timbal balik, yaitu: 1. Pihak yang
mengatur, 2. Pihak yang diatur. Melihat kedua unsur tersebut, menurut Prof. H.
A. Djazuli, Fiqh Siyasah itu mirip dengan ilmu politik, yang mana dinukil dari
Wirjono Prodjodikoro bahwa:
“Dua unsur penting dalam bidang politik, yaitu negara yang perintahnya bersifat
eksklusif dan unsur masyarakat”.
Akan tetapi, jika dilihat dari segi fungsinya, fiqh siyasah berbeda dengan politik.
Menurut Ali Syariati seperti yang dinukil Prof. H. A. Djazuli, bahwa fiqh siyasah
(siyasah syar’iyyah) tidak hanya menjalankan fungsi pelayanan (khidmah), tetapi
juga pada saat yang sama menjalankan fungsi pengarahan (`ishlah). Sebaliknya,
politik dalam arti yang murni hanya menjalankan fungsi pelayanan, bukan
pengarahan. Definisi politik adalah: Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan,
siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap
negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan sebagai nama
bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik. 
Ternyata, memang di dalam definisi ilmu politik di sini, tidak disinggung sama
sekali tentang kemaslahatan untuk rakyat atau masyarakat secara umum.

Dalam fiqh tersebut, berkenaan dengan pola hubungan antarmanusia yang menuntut
pengaturan siyasah, dibedakan:
1.    Fiqh siyasah dusturiyyah, yang mengatur hubungan antara warga negara dengan
lembaga negara yang satu dengan warga negara dan lembaga negara yang lain dalam
batas-batas administratif suatu negara. Jadi, permasalahan di dalam fiqh siyasah
dusturiyyah adalah hubungan antara pemimpin di satu pihak dan rakyatnya di pihak lain
serta kelembagaan-kelembagaan yang ada di dalam masyarakat. Maka ruang lingkup
pembahsannya sangat luas. Oleh karena itu, di dalam fiqh siyasah dusturiyyah biasanya
dibatasi hanya membahas pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal
ihwal kenegaraan dari segi persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan
realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya. Contoh Negara yang
menganut siyasah dusturiyyah yaitu Negara Indonesia, Ira’ dan lain-lain. Misalnya:
Membayar pajak tepat waktu, pembuatan identitas kewarga negaraan seperti pembuatan
KTP, SIM, dan AKTA Kelahiran.
2.    Fiqh siyasah dawliyyah, Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan,
wewenang. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan Kepala Negara
untuk mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial,
nasionalitas ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara
asing. Selain itu juga mengurusi masalah kaum Dzimi, perbedaan agama, akad timbal
balik dan sepihak dengan kaum Dzimi, hudud, dan qishash. Fiqh yang mengatur antara
warga negara dengan lembaga negara dari negara yang satu dengan warga negara dan
lembaga negara dari negara lain. Contoh Negara yang menganut siyasah dauliyah yaitu
Negara Iran, Malaysia, dan Pakistan. Meskipun tidak sepenuhnya penduduknya beragama
Islam. misalnya. Misalnya: NATO PBB.
3.    Fiqh siyasah maliyyah, fiqh yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan, dan
pengeluaran uang milik negara. Maka, dalam fiqh siyasah ada hubungan di antara tiga
faktor, yaitu: rakyat, harta, dan pemerintah atau kekuasaan. Dalm suatu kalangan rakyat,
ada dua kelompok besar dalam suatu negara yang harus bekerja sama dan saling
membantu antar orang-orang kaya dan miskin. Fiqh siyasah ini, membicarakan
bagaimana cara-cara kebijakan yang harus diambil untuk mengharmonisasikan dua
kelompok tersebut, agar kesenjangan antara orang kaya dan miskin tidak semakin lebar.
Adapun Negara yang menganut fiqih maliyyah adalah Semua Negara. Contohnya:
RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan Negara).  

   Pengembangan Fiqh Siyasah di Era Modern


Dunia Islam setelah tiga kerajaan besar Islam mundur; kerajaan Usmani di Turki, Mughal
di India dan Safawi di Persia (1700-1800 M), tidak mampu menandingi keunggulan Barat
dalam bidang tehnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi dan organisasi.
Menghadapi penestrasi (perembesan) budaya dan tradisi Barat, sebagian pemikir Islam:
a). ada yang apriori dan anti Barat b). ada yang ingin belajar dan secara selektif
mengadopsi gagasannya dan c). ada juga yang sekaligus setuju utuk mencontoh gaya
mereka. Sikap pertama menganggap bahwa ajaran Islam lengkap, untuk mengatur
kehidupan manusia termasuk politik dan kenegaraan. Merujuk pada sistem dari nabi
Muhammad saw dan Khulafa al-Rasyidin. Sikap kedua melahirkan kelompok yang
beranggapan bahwa Islam hanya menyajikan seperangkat tata nilai dalam kehidupan
politik kenegaraan umat Islam. Kajian-kajian politik kenegaraan harus digali sendiri
melalui proses reasoning (ijtihad). Sikap yang ketiga melahirkan kelompok orang yang
sekuler. Berkeinginan untuk memisahkan kehidupan politik dari agama. Model-model
inilah yang kemudian berkembang sampai dengan sekarang. 
Pada periode modern, para pemikir islam bangkit dari kemunduran yang melanda di
negeri-negeri muslim, hampir seluruh dunia islam berada di bawah penjajahan Barat.
Maka sebagian para pemikiran islam modern atau kontemporer mempunyai suatu
kecenderungan untuk mencoba meniru barat, ada juga yang menolak barat dan
menghendaki kembali kepada kemurnian islam, hal-hal seperti itu dalam periode ini ada
tiga kecenderungan pemikiran politik Islam, yaitu integralisme, interseksion, dan
sekularisme.
Kelompok pertama memiliki bahwa agama dan politik adalah menyatu, tak terpisahkan.
Dalam pandangan kelompok ini negara tidak bisa dipisahkan dari agama, karena tugas
negara adalah menegakkan agama sehingga negara islam atau khilafah islamiyah menjadi
cita-cita bersama. Karena itulah syariat islam menjadi hukum negara yang dipraktikan
untuk seluruh umat islam. Kelompok  pertama ini diwakili oleh:  Muhammad Rasyid
Ridha (1869-1935 M), Hasan bin Ahmad bin Abdurrohman Al-Banna atau dikenal Hasan
Al-Banna (1906-1949 M), Abu al-A’la al-Maududi (1903-1979 M), Sayyid Quthb (1906-
1966 M), dan Imam Khomeini (1900-1989 M).
Dari sejumlah pemikir yang memiliki pandangan integralistik ini menunjukkan bahwa
islam tidak bisa dipisahkan dengan negara yang ditunjukkan oleh mereka dalam aktivitas
politiknya dalam bentuk partai politik islam yang bertujuan untuk merebut negara dari
penguasa sekuler.
Budaya-budaya fiqih siyasah pada era modern adanya perkembangan mengenai gagasan-
gagasan politik dan kebudayaan yang tidak terlepas dari pengaruh sekularisme ke tengah-
tengah umat manusia. contohnya bidang tekhnologi, ilmu pengatahuan, ekonomi dan
organisasi. Timbulnya budaya-budaya tersebut, semakin lemahnya dunia Islam di bawah
penjajahan bengsa Barat. Hampir seluruh Negara Muslim berada di bawah imperialisme
dan colonialisme.
Kelompk kedua memiliki pandangan bahwa agama dengan politik melakukan simbolis
atau hubungan timbal balik yang saling bergantung. Agama membutuhkan negara untuk
menegakkan aturan-aturan syariat. Sementara negara membutuhkan negara untuk
mendapatkan legitimasi. Para pemikir tersebut menunjukkan garis pemikiran politik yang
moderat dengan tidak mengabaikan pentingnya negara terhadap agama. Dan kelompok
ini diwakili oleh; Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Iqbal (1873-1938 M),
Muhammad Husan Haikal (1888-1945 M), Fazlur Rahman (1919-1988 M).
Kelompok ketiga, para pemikir memiliki pandangan bahwa agama harus dipisahkan
dengan negara dengan argumen Nabi Muhammad SAW tidak pernah memerintahkan
untuk mendirikan negara. Terbentuknya negara dalam masa awal Islam hanya faktor
alamiah dan historis dalam kehidupan masyarakat, sehingga tidak perlu umat Islam
mendirikan negara Islam atau Khilafah Islamiah. Dan kelompok ini diwakili oleh: Ali
Abd al-Raziq (1888-1966 M), Thaha Husein (1889-1973 M), Mustafa Kemal Atturk
(1881-1938 M). 

Anda mungkin juga menyukai