Anda di halaman 1dari 28

MUSLIM INDONESIA, HARUSKAH BERPOLITIK?

Politik islam Pendahuluan Islam Yes, Partai Islam No. Rekan-rekan kompasianer mungkin pernah mendengar atau membaca statement tersebut. Ya, itu adalah pernyataan dari seorang cendekiawan muslim Indonesia Nurcholis Madjid (alm.) di era 70 an. Gagasan ini dilontarkan untuk mendukung idenya yang sebelumnya dengan gencar telah didengungkan, yaitu wacana sekularisasi. Walaupun sudah lama, namun jargon ini ternyata masih ada pengaruhnya hingga saat ini. Kalangan tradisional masih memegang teguh pemisahan agama dan politik, karena melihat realitas perpolitikan di negeri ini yang penuh dengan kekotoran yang malah dikhawatirkan akan menodai kesucian agama (baca: Islam). Namun apakah benar Islam tidak mengenal politik? Ada baiknya kita meninjau pengakuan dari John L. Esposito dalam Islam and Politics. Dia mengakui realitas sejarah umat Islam masa awal hingga keruntuhannya tetap berpaku kepada aqidah Islam, dia menyatakan bahwa Agama (Islam) memberikan pandangan dunia, gagasan pengertian untuk kehidupan pribadi dan bersama, baik pada masa khulafaurrasyidin, Umayyah dan Abbasiah, dasar ideologi masyarakat maupun Negara adalah Islam. Lebih lanjut dia merincikan bahwa legitimasi dan otoritas penguasa, lembaga-lembaga peradilan, pendidikan dan sosial berakar pada Islam (Esposito, 1990). Pengakuan jujur dari seorang orientalis tentunya bukan hanya Esposito saja, para orientalis terlepas dari kesimpulan yang diambilnya- lainnya pun tidak membutakan mata akan Islam sebagai agama spiritual juga agama politik. Seorang tokoh ilmuan di universitas Yordania, Fathi al-Durayni dalam bukunya, Khasais alTashri al-Islami fi al-Siyasah wa al-Hukm, berpendapat bahwa Islam telah menimbulkan satu revolusi terhadap konsep agama. Berbeda dengan agama lain, Islam menghubungkan agama dengan politik, agama dengan sains, dunia dengan akhirat. Hal-hal yang biasanya dilihat secara terpisah. Al-Durayni juga menjelaskan bahwa segala aktivitas seorang Muslim terutamanya aktivitas politik dihitung sebagai ibadah. Pendapat al-Durayni ini sejajar dengan ungkapan Ibn Taymiyyah bahwa kekuasaan politik merupakan min azam wajibat al-din (satu kewajiban agama yang utama). Pandangan serupa juga dikemukakan oleh al-Qaradawi, yang mengatakan bahwa terdapat hubungan simbiosis antara Islam dengan politik sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan daripada hakikat Islam itu sendiri. Penolakan dan pemisahan politik daripada Islam, menurut beliau merupakan satu kejahilan dan miskonsepsi terhadap hakikat Islam (Muamar, 2005). Pengertian Politik Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani atau bahasa latin politicos atau ploiticusyang berarti relating to citizen. Diartikan juga sebagai hubungan sosial yang melibatkan otoritas atau kekuasaan dan mengacu pada peraturan urusan publik dalam suatu unit politik dengan metode dan taktik yang digunakan untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan (Wikipedia.org, 11/01/11). Dalam kamus besar bahasa Indonesia, politik diartikan sebagai (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (spt tt sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). Politik diartikan juga sebagai segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain (KBBI online, 11/01/11). Dari pengertian di atas maka istilah politik dilihat secara bahasa menekankan kepada kekuasaan, peraturan urusan publik, penerapan kebijakan, bentuk dan sistem pemerintahan. Sedikit berbeda, politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syariyyah, misalnya

dalam Al Muhith, siyasah berakar kata ssa - yassu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara). Kata sasa-yasusu-siyasatan yang berarti memegang kepemimpinan masyarakat, menuntun atau melatih hewan dan mengatur dan memelihara urusan. Jika dalam bahasa Inggris politik identik dengan kekuasaan, maka dalam bahasa Arab artisiyasah lebih menekankan kepada pengurusan urusan masyarakat. Perbedaan penekanan dalam mengartikan politik, membawa konsekuensi pelaksanaan perpolitikan dewasa ini. Maka wajar saja jika politik sekarang lebih mengedepankan perebutan kekuasaan daripada pengurusan urusan rakyat. Fungsi politik Harold Laswell dalam Who Gets What, When and How yang lebih mengedepankan masalah politik berkutat dalam masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana, digunakan oleh para politikus dewasa ini sebagai dalil untuk meraih kepentingan pribadi, kelompok, dan pemilik modal. Politik Islam Politik (siysah) adalah pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri. Politik dilaksanakan oleh Negara dan umat, karena negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi Negara dalam pengaturan tersebut (An Nabhani, 2005). Politik Islam berarti pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri dengan hukum Islam. Definisi ini juga diambil dari hadits-hadits yang menunjukkan aktivitas penguasa, kewajiban mengoreksinya, serta pentingnya mengurus kepentingan kaum muslimin. Rasulullah saw bersabda Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat, dan dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), dia tidak akan mencium bau surga (HR. Bukhari dari Maqil bin Yasar ra) Dari Abu Hurairah dari Nabi saw. bersabda: Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya (tasshum) oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan banyak khalifah. (H.R. Imam Muslim dari Abi Hazim) Pengertian di atas merupakan pengertian syari karena diambil dari dalil-dalil syara. Dari definisi ini pula, dapatlah kita klasifikasikan bahwa politik Islam melibatkan dua pelaku, yaitu Negara dan umat/ rakyat, kemudian meliputi pengaturan dalam negeri dan luar negeri, terakhir adalah sumber legislasinya adalah hukum Islam. Terkait dengan legislasi, Islam menetapkan bahwa perundang-undangan harus berasal dari Sang Pencipta (Allah swt), karena Dialah yang telah menciptakan alam semesta dan manusia berikut aturannya. Maka yang berhak mengeluarkan hukum atas sesuatu (asy) dan perbuatan (afl) adalah Allah swt sebagai Pembuat Hukum (al Syari) sebagaimana firman Allah swt Menetapkan hukum hanyalah milik Allah. Dialah menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang terbaik. (TQS. al-Anam (6) : 57) Atas dasar inilah maka dalam Islam kedaulatan berada di tangan Syara bukan di tangan rakyat, dimana manifestasinya tertuang di dalam al Quran dan al Hadits serta yang ditunjuki oleh keduanya berupa ijma sahabat dan qiyas syariyyah. Keempat sumber rujukan tersebut dinamakan sebagai sumber hukum syara (syariat Islam). Mayoritas ulama Islam tidak berbeda pendapat dalam menentukan siapakah al Hakim (Pembuat Hukum) dalam Islam. Imam al Syaukani menyatakan tidak adanya perselisihan dalam masalah ini (Khalidi, 2004). Kesimpulan Mendefinisikan politik Islam dengan term politik sekarang malah akan membawa kepada kekaburan pengertian politik yang diambil oleh Islam. Secara bahasa pun, Islam mengambil

term Arab Siyasah yang berarti pengaturan urusan umat, bukan pengertian politik saat ini yang menekankan kepada kekuasaan. Maka wajar saja jika umat Islam yang ingin menjaga kemurnian ajarannya menolak politik yang sekarang diterapkan oleh negeri ini juga oleh parpol-parpol Islam. Kekhawatiran menjadikan agama sebagai tameng dalam meraih kekuasaan politik akhirnya menjadi kenyataan. Alih-alih ingin menerapkan syariah Islam melalui jalur politik, namun yang diambil adalah politik dalam term sekuler mengakibatkan dirinya terjerumus dalam kekacauannya. Perbedaan penekanan dalam penggunaan istilah antara politik dan siyasah, bukan berarti harus ada penggantian dari kata politik dengan kata siyasah. Karena secara subtansi pengertian keduanya diambil dari realitas aktivitas politik yang sebenarnya, yaitu pengaturan urusan umat baik di dalam ataupun di luar negeri. Perbedaannya hanyalah dari sisi penggunaan aturan dan hukum yang berbeda sesuai dengan ideologinya. Kemudian, terkait dengan peran Negara dan umat/ rakyat dalam politik Islam, lalu bagaimana pengaturan politik dalam negeri dan luar negeri insyaAllah akan dibahas secara terpisah. Wallahualam Bahan bacaan: 1. John L. Esposito, Islam and Politics, terj. Joesoef Souyb (Jakarta: Bulan Bintang, 1990) 2. Mahmud Abdul Majid al Khalidi, Qawaid Nizham al Hukm fi al Islam, jilid 1, terj.Harits Abu Ulya (Bogor: Al Azhar Press, 2004) 3. Taqiudin An Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut-Tahrir, terj M. Shiddiq al-Jawi (Jakarta: HTI Press, 2006) 4. Abdul Qodim Zallum, Pemikiran Politik Islam, terj. Abu Faiz (Bangil: Al Izzah, 2004) 5. Al Maktabah al syamilah al Ishdar al tsaniy 6. Khalif Muammar, Politik Islam: Antara Demokrasi Dan Teokrasi, (khairuummah.com, 24/05/2005) 7. Wikipedia.org, kata politik 8. Kamus Besar Bahasa Indonesia online, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi

POLITIK DALAM PANDANGAN ISLAM


03.47 1 comment Pada pesta Demokrasi sekarang ini hampir bisa dipastikan setiap orang pasti ingin berpartisipasi minimal sebagai suporter. Namun di balik gegap gempita nya pesta tersebut ada sebagain orang yang justru secara sengaja atau tidak untuk keluar atau dengan kata lain bersikap tidak peduli (apatis) dengan alasan bahwa politik itu kotor sedangkan agama adalah wilayah yang sakral. Dan hal ini semakin sering kita dengar seiring banyaknya kader-kader/petinggi-petinggi NU yang menjadi calon wakil presiden dimana organisasi tersebut langsung mengambil keputusan agar cawapres tersebut untuk keluar atau dengan tidak mengatasnamakan warga NU. Terlepas dari pernyataan tersebut diatas, ada dua pertanyaan yang sekiranya bisa kita ajukan: pertama, apa sebenarnya definisi dari politik? Kedua, haruskah umat Islam terjun ke dalam dunia politik?Pada pesta Demokrasi sekarang ini hampir bisa dipastikan setiap orang pasti ingin berpartisipasi minimal sebagai suporter. Namun di balik gegap gempita nya pesta tersebut ada sebagai n orang yang justru secara sengaja atau tidak untuk keluar atau dengan kata lain bersikap tidak peduli (apatis) dengan alasan bahwa politik itu kotor sedangkan agama adalah wilayah yang sakral. Dan hal ini semakin sering kita dengar seiring banyaknya kade rkader/petinggi-petinggi NU yang menjadi calon wakil presiden dimana organisasi tersebut langsung mengambil keputusan agar cawapres tersebut untuk keluar atau dengan tidak mengatasnamakan warga NU. Terlepas dari

pernyataan tersebut diatas, ada dua pertanyaan yang sekiranya bisa kita ajukan: pertama, apa sebenarnya definisi dari politik? Kedua, haruskah umat Islam terjun ke dalam dunia politik? Pengertian Politik yang Benar (Sesuai Dengan Syara) Politik, realitanya pasti berhubungan dengan masalah mengatur urusan rakyat baik oleh negara maupun rakyat. Sehingga definisi dasar menurut realita dasar ini adalah netral. Hanya saja tiap ideologi (kapitalisme, sosialisme, dan Islam) punya pandangan tersendiri tentang aturan dan hukum mengatur sistem politik mereka. Dari sinilah muncul pengertian politik yang mengandung pandangan hidup tertentu dan tidak lagi netral. Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat. Rasulullah saw bersabda: Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak (HR Muslim dari Abu Hurairah ra). Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. hal ini juga ditegaskan dalam hadits Rasulullah: Imam adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya. Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghajali: Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap. Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat politic is nicht anderes als der kamps um die Macht (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan). Wajib Berpolitik Bagi Setiap Muslim Berpolitik adalah kewajiban bagi setiap Muslim baik itu laki-laki maupun perempuan. Adapun dalil yang menunjukkan itu antara lain: Pertama, dalil-dalil syara telah mewajibkan bagi kaum Muslim untuk mengurus urusannya berdasarkan hukumhukum Islam. Sebagai pelaksana praktis hukum syara, Allah SWT telah mewajibkan adanya ditengah-tengah kaum Muslim pemerintah Islam yang menjalankan urusan umat berdasarkan hukum syara. Firman Allah SWT yang artinya: Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah SWT dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu (TQS. Al -Maidah [105]:48) kedua, syara telah mewajibkan kaum Muslim untuk hirau terhadap urusan umat sehingga keberlangsungan hukum syara bisa terjamin. karenanya dalam Islam ada kewajiban untuk mengoreksi penguasa (muhasabah li alhukkam). Kewajiban ini didasarkan kepada Firman Allah SWT yang artinya: Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada ke baikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang -orang yang beruntung (TQS. Ali Imran [03]: 104).

You Are Here: Home - Hizbut Tahrir , HTI Press , Partai Politik - ..**Membentuk Partai Politik Islam Sejati: [Silabus Kitab AL-TAKATUL AL-HIZBIY]**..

..**Membentuk Partai Politik Islam Sejati: [Silabus Kitab ALTAKATUL AL-HIZBIY]**..


Posted by Yulia Nisa on 12.41 // 0 komentar

Kebangkitan umat mutlak membutuhkan sebuah partai politik Islam sejati yang benar-benar mampu mengantarkan umat meraih kemuliaannya. Adanya partai politik Islam yang sahih merupakan jaminan bagi tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah, serta jaminan bagi penjagaan eksistensinya

Tegak dan terjaganya Daulah Khilafah Islamiyah bergantung pada partai politik Islam sejati itu. Maka memahami bagaimana membentuk partai politik Islam yang sahih merupakan keharusan bagi kaum muslimin. Tulisan ini adalah sedikit gambaran tentang kitab al-Takattul al-Hizbi, kitab karya Taqiyuddin an-Nabhani yang menjelaskan bagaimana pembentukan kelompok Islam yang ideal serta berbagai tahapan dan langkah yang akan ditempuhnya, demi mewujudkan sistem kehidupan Islam.

Kitab al-Takattul ini memang tak bisa dilepaskan dari kitab-kitab sebelumnya yaitu kitab Nizham al-Islam yang menjelaskan Islam sebagai sistem kehidupan dan kitab Mafahim Hizbut Tahrir menjelaskan pokok-pokok pikiran HT yang biasanya dikaji dalam pembinaan internal HT.

Sebab setelah seseorang memahami Islam sebagai sebuah sistem kehidupan (nizham al-hayah), dimungkinkan dia akan bertanya,Lalu bagaimana mewujudkannya dalam realitas kehidupan? Kitab al-Takattul ini berusaha menjawab pertanyaan tsb. Sehingga, untuk mewujudkan Islam sebagai sistem kehidupan, mutlak diperlukan negara (Khilafah). Dan untuk mengembalikan Khilafah itu, mutlak diperlukan sebuah partai politik Islam yang sahih. Dulu saat mengkaji kitab al-Takattul, acap kali membuat saya kesulitan menangkap maksudnya. Kitab ini memang mengandung kompleksitas yang tinggi, ditulis secara simultan dalam 55 halaman tanpa bab dan anak judul. Demikian pula kitab ini hanya secara global menjelaskan setting sejarah sejak abad ke-19 M dan berbagai kondisi gerakan-gerakan Islam yang ada, tanpa menuliskan apa nama gerakannya. Tulisan ini sedikit mengurai gambaran Kitab al-Takattul al-Hizbi tsb.

I. Kondisi umat sebelum PD I (hal. 8-9)

1.Daulah mundur sebagai akibat dari: Kelemahan pemikiran politik Islam Buruknya penerapan Islam 2.Tsaqofah asing masuk dan terjadi pengiriman pelajar ke Prancis untuk belajar tsaqofah asing (Sekularisme, Pluralisme, Nasionalisme, Demokrasi, dll) sebagai akibat dari point 1

Jenis-jenis Harakah yang muncul untuk memperbaiki Daulah: 1)Harakah Kaumiyah (Nasionalisme dan Kebangsaan) Aktivitas: membangkitkan umat agar bisa lepas dari Daulah dengan mengatasnamakan kemuliaan Arab, Turki, dll, membawa pada Revolusi Arab 2)Harakah Islamiyah Aktivitas: membangkitkan umat dengan seruan yang umum agar kembali kepada Allah, dll, membawa mereka menakwilkan Islam agar sejalan dengan sikon dan aturan asing 3)Harokah Wathoniyah (Patriotisme) Aktivitas: membangkitkan umat dengan melawan kezaliman penjajah di wilayah Daulah, membawa mereka pada perjuangan murahan = ketiga jenis harakah ini semakin menguatkan kekuasaan kafir penjajah atas negeri-negeri Islam

II. Kondisi umat setelah PD II (hal. 10-15) 1.Daulah runtuh 1924 2.Penguasaan Barat secara langsung terhadap Daulah lewat agen-agen, pemikiran dan dana sehingga: Tsaqofah asing masuk dalam kurikulum dan menjadi kepribadian serta menjadi kiblat pemikiran umat Peracunan pemikiran dan pendapat politik disertai falsafah yang merusak cara pandang, suasana keislaman dan pemikiran kaum muslim dalam seluruh aspek kehidupan Kondisi ini mendorong kaum muslim untuk kembali menegakkan Daulah, namun karena kondisi poin 2, kutlah yang berdiri untuk menegakkan kembali Daulah akhirnya banyak mengadopsi konsep pemikiran politik dan kebangkitan yang keliru.

Jenis-jenis harakah yang muncul: 1)Harakah Syuyui: Sosialisme-Komunisme 2)Harakah Jamaiyyah: Khairiyyah; bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan karena memahami umat akan bangkit jika mereka cerdas dan memiliki ekonomi yang kuat dan didasarkan pada QS al Maidah:2. Membahayakan karena umat teralihkan dari upaya menegakkan Daulah disebabkan mereka merasa puas dan tentram dengan kegiatan-kegiatan sosial dan merasa keperluan mereka telah dipenuhi meski bukan oleh Daulah Akhlaqiyyah; bergerak untuk memperbaiki akhlak umat karena memahami umat akan bangkit jika akhlaqnya baik sebagaimana Rasulullah saw, hal ini disebabkan mereka keliru memahami definisi dan faktor-faktor pembentuk masyarakat = harakah-harakah yang ada gagal memperbaiki Daulah

III.Kegagalan Harakah membangkitkan umat (hal. 26)

1.Gagal; Daulah runtuh dan terpecah-belah Arah perjuangan Islam berubah (bukan lagi untuk menegakkan kembali Daulah) 2.Faktor-faktor kegagalan (hal.1-7) 1)Berdiri diatas pemikiran yang: Umum (fikrul amah) tanpa batasan yang jelas, kabur (ghomidah) atau samar (syibh ghamidah) Tidak mengkristal (at tabalwar) atau menjasad/terinternalisasi (tajassud) pada diri pengemnbannya, sehingga mereka tidak mampu memberikan batasan yang jelas Kehilangan kebersihan (an niqa)-nya, mereka tidak menyadari masuknya pengaruh tsaqofah asing pada pemikiran Islam yang mereka ambil, seperti kaidah-kaidah syara yang berasal dari hukum Barat 2)Tidak mengetahui metode untuk menerapkan pemikirannya, disebabkan oleh: Tidak memahami fase dakwah dan hukum apa saja yang dilakukan Rasulullah saw sebagai amir hizb rasul Tidak membedakan antara fikrah, thoriqoh, uslub, dan wasilah 3)Bertumpu pada orang-orang yang kesadarannya tidak shohih dan tidak sempurna disebabkan oleh: Tidak memiliki kesadaran terhadap fikrah dan thoriqoh perjuangan Para anggota hanya berakal semangat (rughbah) saja. Mereka tidak memiliki kehendak (iradah) yang sempurna karena mereka tidak memahami fikrah dan thoriqoh yang dapat menguatkan keinginan untuk merealisasikan tujuan 4) Tidak memiliki ikatan partai yang shohih diantara para anggotanya, disebabkan oleh: Aqidah Islam tidak menjadi asas saat merekrut kader, yakni hanya berdasarkan kedudukan, hubungan pertemanan dan kemaslahatan tertentu saja Aqidah Islam tidak menjadi asas pemikiran partai sehingga tidak ada pemikiran yang menyatukan para anggota

IV.Penjelasan partai yang shohih untuk membangkitkan umat 1.Asas pemikiran (fikrah): Mabda Islam (hal 26) Pemikiran yang menyeluruh (fikrul kulliyah) yang bersifat fundamental (berasaskan pada satu aqidah tertentu) dan integral (mencakup segala aspek kehidupan) Terintegrasi pada diri anggota yang sekaligus menjadi ikatan diantara mereka Mengalami pembersihan (an-niqa) dari masukan pengaruh selain Islam baik ushul maupun furu -n sehingga kebersihan dan kejernihan pemikiran Islam tetap terjaga Pemikiran yang suci, maksudnya gamblang (wudhuh ar-ruyah) yakni keterkaitan antara pemikiran dasar maupun cabang dapat dipahami dengan jelas. Dengan kata lain pemikiran tersebut berdasarkan pada dalil-dalil yang terpancar dari aqidahnya (Entry point penjelasan dimulai dari definisi, sumber, karakteristik mabda secara umum, baru dilanjutkan menjelaskan mabda Islam untuk merefresh qiyadah fikriyah Islam dan mengaitkan ke poin asas pemikiran partai)

2.Proses munculnya partai yang shohih Adanya seorang yang berjiwa bersih yang tertunjuki kepada mabda dan memahami fikrahnya yang mendalam dan thoriqahnya dengan jelas sebagai sel ula

Sel ula menawarkan mabda yang dipahaminya kepada orang -orang yang dipandang akan dapat menerima, kemudian terbentuk halqah ula lil hizb sekaligus sebagai pimpinan (qiyadah hizb) yang memiliki karakter; 1.Berjumlah sedikit 2.Bergerak lamban 3.Lafadz-lafadz ungkapan asing didengar masyarakat 4.Pemikiran mendalam dan thoriqah kebangkitan mendasar, mereka seperti terbang di atas awan 5.Pemikiran bertumpu pada kaidah: Pemikiran harus berkaitan dengan aktivitas/amal Pemikiran dan amal harus mempunyai suatu tujuan yang hendak dicapai Bersandar pada mabda sehingga tetap tercipta suasana keimanan pada saat mencapai tujuan tersebut 6.Ikatan aqidah dan tsaqofah partai harus sudah ada dan mengikat anggota halqoh ula Halqoh ula berkewajiban menciptakan gerak -gerak terarah serta suasana keimanan (tercipta karena telah terinternalisasinya mabda Islam dalam diri para kader partai yakni kesadaran akan tujuan, motivasi, nilai, tolak ukur, dan dalil-dalil yang berkaitan dengan aktivitas pencapaian tujuan partai) dalam kaderisasi partai sehingga dapat berubah secara cepat menjadi kelompok kepartaian (kutlah hizbiyyah) Gerak tararah halqoh ula dapat diserupakan dengan motor pabrik;

1.Kesamannya: Komponennya: fikrah partai/mabda (percikan api dari busi), perasaan kader partai yang penuh kesadaran (bensin), manusia/para kader partai yang perasaannya terpengaruh oleh fikrah partai (gerakan motor)

Proses bergeraknya: Motor yang digerakan gas/distarter (kader partai yang terpengaruh perasaannya oleh fikrah) mempunyai energi panas yang dihasilkan dari percikan api (fikrah partai) dan bensin (perasaan kader partai yang penuh kesadaran) akan menghasilkan tekanan gas yang mendorong piston untuk menggerakkan seluruh peralatan motor (kesadaran akan mabda memanaskan dan mendorong kader partai dalam hal ini qiyadah hizb untuk bergerak dan gerakan qiyadah hizb ini menggerakkan bagian-bagian lain dari partai baik para hizbiyyin/hizbiyyahnya, halqoh-halqoh, lajnah-lajnah mahalliyahnya, dll. Gerakan semua komponen partai membuat hizb berkembang dalam pembentukan dirinya. = oleh karena itu energi panas dari qiyadah hizb harus disalurkan ke seluruh bagian partai sehingga seluruh bagian bergerak, sebagaimana gerakan mesin yang menggerakkan seluruh bagian motor

2.Perbedaannya: Gerakan motor sebagai motor pabrik bergerak secara otomatis dan selalu harus digerakkan oleh piston Gerakan partai sebagai motor sosial tidak selalu harus digerakkan oleh qiyadah hizb, karena seluruh bagian partai telah terpengaruh perasaan oleh memahami fikrah partai dan jika hal ini bersentuhan dengan panasnya pimpinan partai maka kondisi ini akan menggerakkan partai terus menerus Kutlah hizbiyyah terus berinteraksi dengan umat untuk kemudian menjadi hizb mabdai yang dinamis dan berpengaruh

3.Metode (Thoriqoh), jika mengkaji aktivitas dakwah Rasul maka metode dakwah partai bersifat pemikiran dan tanpa kekerasan dengan metode operasionalnya sbb: a. Marhalah I (poin 9-12) halaman 47-56 Aktivitas yang dilakukan: 1.Pembinaan (hal. 48-50) bersifat amaliah yakni bahwa tsaqofah dipelajari untuk diamalkan dalam kehidupan.

Tahapan pembinaan ditempuh dengan asumsi: Seluruh individu umat kosong dari pemikiran yang shohih, sehingga mereka perlu dibina dengan Islam Masyarakat adalah madrasah bagi hizb yang berarti bahwa hizb akan membina mereka dan dicetak dari mereka orang-orang yang siap menjadi kader dakwah Idiologi Islam adalah guru yakni bahwa ilmu dan tsaqofah yang diajarkan, didapat dan diamalkan dalam kancah kehidupan hanya terbatas dari idiologi Islam saja.

2.Perbedaan madrasah dengan hizb (hal. 50-56) Madrasah bersifat rutin, meski kurikulumnya benar, madr asah tidak dapat menjamin kebangkitan umat. Sementara partai bersifat dinamis yang mengontrol dan membentuk masyarakat dengan suasana keimanannya. Madrasah mendidik individu agar berpengaruh terhadap jamaah (umat), maka hasilnya bersifat individual artinya kebaikan dan kebangkitan hanya terbatas pada individunya tertentu saja, contoh: menghasilkan dokter, ahli mesin, dll sesuai bidang pendidikan. Sementara partai membina individu untuk mempengaruhi jamaah (umat) maka hasilnya bersifat jamaah. Karena individu tsb dibina oleh partai untuk menjadi kader dakwah di tengah-tengah umat atau jamaah. Madrasah mempersiapkan perasaan secara parsial pada individu -individu untuk mempengaruhi perasaan jamaah (umat). Karenanya madrasah tidak mampu mempengaruhi perasaan dan merangsang pemikiran umat. Sementara partai mempersiapkan secara menyeluruh dalam jamaah (umat) untuk mempengaruhi perasaan individu-individunya. Karenanya partai mampu mempengaruhi perasaan dan merangsang pemikiran umat secara sempurna.

3.Peralihan ke marhalah 2 (hal. 56-59) Syarat peralihan tahap 1 ke tahapan 2: 1.Masyarakat menyadari ada aktivitas dakwah dan mengetahui ada para kader partai di tengah-tengah mereka yang menyerukan dakwah kepada mereka 2.Sudah terbentuk dan terjalin ruh jamaah diantara para kader partai 3.Para kader dakwah telah menguasai tsaqofah partai secara mendalam dan telah terbentuk kepribadian Islam (Idiologi Islam terinternalisasi pada diri pengembannya) = jika syarat di atas terpenuhi, partai telah melewati nuqthoh ibtida (t itik awal dakwah) dan partai harus berpindah ke nuqthatul intilaq (titik tolak dakwah) 4.Untuk menjalani nuqthatul intilaq partai harus mulai menyeru umat (mukhatobatul ummah), untuk memulai seruannya, partai harus memulai dengan mencoba menyeru umat (muhawalatul mukhatabah), jika berhasil maka partai harus menyeru secara langsung (mukhatabah mubasyarah), seruan-seruan ini dilakukan dengan: Tsaqofah Tsaqofah murakkazah (pembinaan dan pengkaderan intensif dalam halqoh -halqoh) umum)

jamaiyah

(pembinaan

masyarakat

Kifahus

Siyasi

dan

Shiraul

Fikr

(perjuangan

politik

dan

pergulatan

pemikiran)

Tabhani mashalihul ummah (mengadopsi kemaslahatan-kemaslahatan umat) = jika partai berhasil dalam 4 aktivitas di atas maka partai telah berpindah ke nuqthah intilaq secara alami. Perpindahan ke titik tolak ini yang mengantarkan peralihan partai dari tahap pertama memasuki tahap ke 2 pada saat yang tepat secara alami

b. Marhalah II berinteraksi dengan umat (poin 13-17/hal. 60-73) Pengertian berinteraksi dengan umat adalah memahamkan mereka akan idiologi partai agar menjadi mabda umat, agar umat mengambil kaidah dalam beraktivitas yakni berpikir dan beraktivitas untuk mencapai suatu tujuan, dengan berinteraksi dan memahamkan idiologi dengan jelas dan cara yang tepat maka umat akan bergerak bersama-sama partai untuk menerapkan idiologi Islam dalam kehidupan dan membawa partai memasuki tahapan ke III (nuqhtah irtikaz) dimana tercipta opini dan kesadaran umum di tengah-tengah umat. Maka tholabun nushrah penting untuk dilakukan.

Kesulitan yang akan dihadapi saat partai berinteraksi dengan umat: 1.Mabda vs sistem yang diterapkan dimana penguasa menganggap mabda, dan para kader dakwah sebagai ancaman bagi kekuasaan mereka maka solusi atas kesulitan ini; pandai-pandai menjaga diri dengan tetap menyerukan mabda secara gamblang dan bersiap sedia menanggung segala penderitaan 2.Perbedaan tsaqofah di tengah-tengah umat, solusi; tetap memahamkan mabda kepada umat 3.Faktais/waqiiyin baik faktais sejati maupun faktais yang jumud , enggan berfikir dan menerima keadaan baru, solusi; tetap memahamkan mabda kepada umat 4.Keterikatan manusia pada kemaslahatan-kemaslahatannya, solusi; mengingatkan kader partai untuk menjadikan dakwah dan partai sebagai titik sentral kepentingannya 5.Lemahnya pengorbanan di jalan Islam dan dakwah Islam, solusi; mengingatkan orang-orang beriman bahwa Allah telah membeli harta dan jiwa mereka dengan surga 6.Perbedaan sarana fisik dan kultur masyarakat, solusi; tetap membina umat dengan mabda dengan satu metode, karena mereka adalah umat yang memiliki pemikiran, perasaan dan mabda yang satu

Bahaya yang akan dihadapi: 1.Bahaya mabda yakni umat menuntut kebutuhannya dipenuhi, cara mengatasinya; partai harus tetap berpegang teguh kepada mabda 2.Bahaya kelas yakni para kader dakwah merasa lebih tinggi derajatnya daripada umat, cara mengatasinya adalah menyadarkan para kader dakwah bahwa mereka tidak boleh memiliki perasaan kecuali bahwa mereka adalah pelayan umat yang harus melayani mereka, hal ini agar kepercayaan umat tetap terpelihara pada partai dan agar pada tahap ke tiga dimana partai berhasil meraih kekuasaan, para kader dakwah tetap menjadi pelayan umat c. Marhalah ke III pengambilalihan kekuasaan Penerapan mabda secara inqilaby dengan thoriqah ummat. Inilah fase terakhir yang akan ditempuh oleh partai, dimana umat akan menyerahkan kekuasaan kepada partai demi menerapkan Islam secara menyeluruh dan menyebarkan Islam ke seluruh dunia dalam sebuah Daulah Khilafah Islamiyah.[Novita Aryani M-Noer] Bahan Bacaan:

Al-Takattul al-Hizbi,Tarif dan Manhaj HT; karya Taqiyuddin an-Nabhani ____________________________________________________________________ Antara Diam dengan Melangkah, tak pernah menghasilkan keadaan yang sama, sowhat now?

Mudah2an cuplikan wawancara dengan Syaih Shalih "Utsaimin, bisa membuka wacana berfikir ikhwah kita yg di Salafy ttg Da'wah lewat Parlemen.

WassalamAhmad Saikhu

Haruskah Umat Islam Berpolitik..?? Penanya : Ahmad Alamat : Cemara Boulevard Assalamualaikum pak ustadz pertanyaan saya adalah haruskah umat Islam terjun dalam percaturan politik, mengingat saya buta dalam hal politik, tetapi keadaan sekaranglah yang mengharuskan kita untuk berpolitik mengingat kaum nashara sedang menggalang kekuatan untuk menegakkan agama mereka yang terkanal dengan proyek yusuf dan kalau memang harus manakah partai yang harus dipilih untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia karena ISLAM adalah agama yang damai. Terimakasih atas perhatian bapak UStadz dan mohon segera dijawab, Wassalamualaikum Wr Wb Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du, Islam itu agama yang lengkap dan mencakup semua aspek kehidupan. Allah SWT tidak menjadikan urusan agama ini sebagai sebuah etika internal khusus buat orang-orang suci yang mengucilkan diri di dalam sebuah kuil dan terputus dengan dunia luar. Bahkan ayat-ayat Al-Quran al-Kariem banyak sekali bicara tentang autran hidup manusia dan syariat yang harus ditegakkannya. Dan mustahil untuk menegakkan ajaran Islam bila tidak menguasai dunia politik. Karena hakikat Islam itu adalah memimpin peradaban manusia, baik yang beriman kepada Allah SWT maupun yang tidak.

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu

dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa (QS. An-Nuur : 55)

Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS. As-Syura : 13) Karena itu memperjuangkan Islam di dalam sebuah pemerintahan telah difatwakan wajib oleh para ulama. Sebab bila tidak, maka pemerintahan itu akan diisi oleh mereka yang tidak menjalankan hukum Islam, bahkan mereka yang fasik dan kafir malah akan berkuasa dan mendominasi. Pada bulan Oktober 1993 edisi 42, Majalah Al-Furqan Kuwait mewawancarai Syaikh Muhammad bin shalih Al-Utsaimin, seorang ulama besar di Saudi Arabia yang menjadi banyak rujukan umat Islam di berbagai negara. Berikut ini adalah petikan wawancaranya seputar masalah hukum masuk ke dalam parlemen.

Majalah Al-Furqan :. Fadhilatus Syaikh Hafizakumullah, tentang hukm masuk ke dalam majelis niyabah (DPR) padahal negara tersebut tidak menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, apa komentar Anda dalam masalah ini ?

Syaikh Al-Utsaimin : Kami punya jawaban sebelumnya yaitu harus masuk dan bermusyarakah di dalam pemerintahan. Dan seseorang harus meniatkan masuknya itu untuk melakukan ishlah (perbaikan), bukan untuk menyetujui atas semua yang ditetapkan. Dalam hal ini bila dia mendapatkan hal yang bertentangan dengan syariah, harus ditolak. Meskipun penolakannya itu mungkin belum diikuti dan didukung oleh orang banyak pada pertama kali, kedua kali, bulan pertama, kedua, ketiga, tahun pertama atau tahun kedua, namun ke depan pasti akan memiliki pengaruh yang baik. Sedangkan membiarkan kesempatan itu dan meninggalkan kursi itu untuk orang-orang yang jauh dari tahkim syariah merupakan tafrit yang dahsyat. Tidak selayaknya bersikap seperti itu. Majalah Al-Furqan :. Sekarang ini di Majelis Umah di Kuwait ada Lembaga Amar Maruf Nahi Munkar. Ada yang mendukungnya tapi ada juga yang

menolaknya dan hingga kini masih menjadi perdebatan. Apa komentar Anda dalam hal ini, juga peran lembaga ini. Apa taujih Anda bagi mereka yang menolak lembaga ini dan yang mendukungnya ?

Syaikh Al-Utsaimin : Pendapat kami adalah bermohon kepada Allah SWT agar membantu para ikhwan kita di Kuwait kepada apa yang membuat baik dien dan dunia mereka. Tidak diragukan lagi bahwa adanya Lembaga Amar Makmur Nahi Munkar menjadikan simbol atas syariah dan memiliki hikmah dalam muamalah hamba Allah SWT. Jelas bahwa lembaga ini merupakan kebaikan bagi negeri dan rakyat. Semoga Allah SWT menyukseskannya buat ikhwan di Kuwait. Pada bulan Zul-Hijjah 1411 H bertepatan dengan bulan Mei 1996 Majalah Al-Furqan melakukan wawancara kembali dengan Syaikh Utsaimin : Majalah Al-Furqan. Apa hukum masuk ke dalam parlemen ?

Syaikh Al-Utsaimin: Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala. Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah unutk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya dimana setiap orang akan mendapat sesuai yang diniatkannya. Namun tindakan meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar mengausai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak. (lihat majalah Al-Furqan Kuwait hal. 18-19) Jadi kita memang perlu memperjuangakan Islam di segala lini termasuk di

dalam parlemen. Asal tujuannya murni untuk menegakkan Islam. Dan kami masih punya 13 ulama lainnya yang juga meminta kita untuk berjuang menegakkan Islam lewat parlemen. Insya Allah SWT pada kesempatan lain kami akan menyampaikan pula. Sebab bila semua dicantumkan disini, maka pastilah akan memenuhi ruang ini. Mungkin kami akan menerbitkannya saja sebagai sebuah buku tersendiri bila Allah SWT menghendaki. Wallahu a`lam bishshowab. Wassalamu `alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Assalamualaikum wr,wb. Sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena telah mengganggu aktivitas ustadz. oiya saya mau bertannya nih tentang politik dipandang dari agama Islam. Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa Pemilu sudah kita laksanakan, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Pilpres. Ketika kampanye berlangsung, banyak sekali para calon yang menguraikan janji-janjinya demi tercapainya suatu maksud tertentu. Tetapi, seperti yang sudah-sudah, banyak sekali calon yang jadi/ menduduki kursi tersebut seolah-olah ataupun dengan sengaja melupakan janji-janjinya tersebut. Menurut ustadz, apa sih hukumnya menurut Islam jika orang-orang tersebut tidak memenuhi janjinya?. Apakah di dalam Islam juga dianjurkan kita untuk berpolitik?,kalau iya, bagaimana caranya berpolitik yang baik menurut Islam?. Saya mohon penjelasan dari ustadz atas pertanyaan tersebut. Terima kasih Wassalamualaikum wr,wb. Waalaikumussalam Wr Wb Janji Para Caleg Cara klasik yang hingga saat ini masih dianggap ampuh dalam menarik dukungan rakyat baik pada pileg maupun pilpres adalah dengan mengumbar janji-janji manis yang seringkali tidak menjejak ke bumi. Tentunya janji-janji yang sebagian besar berupa ucapan-ucapan membuai atau imingiming yang melenakan bukanlah sebatas janji antara para kandidat itu dengan rakyat akan tetapi juga antara mereka dngan Allah swt.

Janji didalam bahasa arab bisa berarti ahd atau wad. Diantara para ulama ada yang menyamakan antara ahd dengan wad, ada yang mengatakan bahwa keduanya berbeda, mereka mengkhususkan ahd adalah janji terhadap apa yang diwajibkan atau diharamkan Allah swt sedangkan wad adalah selainnya. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa ahd adalah wad yang disertai dengan persyaratan, seperti : jika kamu melakukan ini maka aku akan melakukan itu Islam mengharuskan seseorang yang berjanji untuk berpegang teguh dengannya dan tidak mengingkarinya baik janjinya kepada Allah swt maupun kepada manusia, sebagaimana firman-Nya : Artinya : Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji. (QS. An Nahl)


Artinya : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (QS. Al mukminun : 8) Al Baghowi mengatakan bahwa makna dari mereka memelihara janji-janjinya adalah memelihara apa-apa yang diamanahkan kepada mereka serta menunaikan janji-janji yang diutarakannya kepada manusia. (Tafsir al Baghowi juz V hal 410) Sementara itu Imam Asy Syaukani mengatakan bahwa amanah adalah apa yang diamanahkan kepada mereka sedangkan janji (ahd) adalah apa yang telah dijanjikan antara dririnya dengan Allah swt atau antara sesama manusia. Dan didalam ayat ini digabungkan antara janji dan amanah, keduanya adalah beban yang dipikul manusia baik urusan-urusan agama maupun dunia. Amanah lebih umum daripada janji, setiap janji adalah amanah. (Fathul Qodir juz III hal 679) Sedangkan pelanggaran janji ini bisa disebut dengan ikhlaf (pengingkaran) atau kadzib (dusta). Ikhlaf berarti admul wafaa bil ahdi (tidak memenuhi janji). Sedangkan kadzib, diantara fuqaha ada yang menyamakannya dengan ikhlaf namun dari mereka ada yang memisahkan diantara keduanya, yaitu kadzib (dusta) adalah terhadap sesuatu yang berkaitan dengan masa lalu dan saat ini sedangkan ikhlaful wad (mengingkari janji) adalah untuk sesuatu yang berkaitan dengan masa datang. Adapun hukum dari menyalahi ahd atau wad menurut mereka yang membedakan antara keduanyaahd adalah terhadap apa yang diwajibkan atau diharamkan Allah sedangkan wad adalah selainnyamaka menyalahi ahd adalah haram sedangkan hukum menyalahi wad maka Imam Nawawi mengatakan bahwa para ulama telah berspakat apabila seseorang telah berjanji (wad) tentang sesuatu yang tidak diharamkan maka seharusnya dia menepati janjinya itu. Namun apakah ini wajib atau sunnah ? maka terdapat perbedaan ulama :

Syafii, Abu Hanifah dan jumhur mengatakan bahwa hal itu adalah sunnah, apabila orang itu mengingkarinya maka ia telah kehilangan keutamaan dan termasuk perbuatan yang makruh sekali akan tetapi orang itu tidak berdosa. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa penunaian wad adalah wajib, Imam Abu Bakar bin ala Arobi al Maliki mengatakan bahwa orang yang paling terkenal berpendapat seperti ini adalah Umar bin Abdul Aziz. Demikianlah, namun barangsiapa yang berjanji sementara itu dia berniat untuk mengingkarinya maka sudah dipastikan bahwa orang itu berdosa dan didalam dirinya terdapat cabang dari kemunafikan, sabda Rasulullah saw,Tanda-tanda kemunafikan adalah tiga : jika berbicara maka dia berbohong, jika berjanji dia ingkari dan jika dia diberi amanah maka dia khianat. (al Mausuah al Fiqhiyah juz II hal 715) Politik Dalam Islam Tentunya sebagai agama yang mencakup semua aspek kehidupan, islam tidaklah melupakan atau meninggalkan permasalahan politik, yang dikenal dengan istilah siyasah. Jika dikatakan saasal waliy ar roiyah berarti pemimpin itu memerintahkan, melarang dan mengendalikan rakyatnya. Karena itu menurut terminologi bahasa siyasah menunjukkan arti mengatur, memperbaiki dan mendidik. Sedangkan menurut etimologi, siyasah (politik) memiliki makna yang berkaitan dengan negara dan kekuasaan. Disebutkan bahwa ia adalah upaya memperbaiki rakyat dengan mengarahkan mereka kepada jalan selamat di kehidupan dunia maupun akherat serta mengatur urusan-urusan mereka. Al Bujairumiy mengatakan bahwa politik adalah memperbaiki urusan-urusan rakyat dan mengatur perkara-perkara mereka. Politik dengan makna seperti ini merupakan dasar hukum, karena itu tindakan-tindakan para penguasa negara yang terkait dengan kekuasaan disebut dengan politik. . Ilmu politik adalah ilmu yang mengetahui tentang macam-macam kekuasaan, perpolitikan sosial dan sipil, keadaan-keadaannya : seperti keadaan para penguasa, raja-raja, pemimpin, hakim, ulama, ekonom, penanggung jawab baitul mal dan yang lainnya. (al Mausuah al Fiqhiyah juz II hal 8963) Syeikh Yusuf al Qaradhawi mengatakan bahwa islam bukanlah melulu aqidah teologis atau syiar-syiar peribadatan, ia bukan semata-mata agama yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, yang tidak bersangkut paut dengan pengaturan hidup dan pengarahan tata kemasyarakatan dan negara. Tidak, tidak demikianislam adalah akidah dan ibadah, akhlak dan syariat yang lengkap. Dengan kata lain, islam merupakan tatanan yang sempurna bagi kehidupan

individu, urusan keluarga, tata kemasyarakatan, prinsip pemerintahan dan hubungan internasional. Bahkan bagian ibadah dalam fiqih itu pun tidak lepas dari politik Islam memiliki kaidah-kaidah, hukum-hukum dan pengarahan-pengarahan dalam politik pendidikan, politik informasi, politik perundang-undangan, politik hukum, politik kehartabendaan, politik perdamaian, politik peperangan dan segala sesuatu yang berpengaruh terhadap kehidupan. Maka tidak bisa diterima kalau islam dianggap nihil dan pasif bahkan menjadi pelayan bagi filsafat atau ideologi lain. Islam tidak mau kecuali menjadi tuan, panglima, komandan, diikuti dan dilayani. (Fatwa-fatwa Kontemporer jlid 2 hal 897 898) Ibnul Qoyyim mengutip perkataan Imam Abul Wafa ibnu Aqil al Hambali bahwa politik merupakan tindakan atau perbuatan yang dengannya seseorang lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan, selama politik tersebut tidak bertentangan dengan syara. Ibnul Qoyyim juga mengatakan bahwa sesungguhnya politik yang adil tidak bertentangan dengan syara bahkan sesuai dengan ajarannya dan merupakan bagian darinya. Dalam hal ini kami menyebutnya dengan politik (siyasah) karena mengikuti istilah mereka. Padahal, sebenarnya dia adalah keadilan Allah dan Rasul-Nya. (at Thuruq al Hukmiyah hal 17 19) Islam adalah agama yang mengikat segala sesuatunya dengan aturan agama, begitupula didalam urusan politik ini. Islam tidak mengenal adanya penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan, meskipun tujuan itu mulia. Islam tidak hanya melihat hasil tetapi juga proses untuk mendapatkan hasil. Oleh karena itu didalam berpolitik pun seorang politisi maupun pemimpin islam diharuskan berpegang dengan rambu-rambu syariah dan akhlak mulia. Dengan kata lain bahwa segala cara berpolitik yang bertentangan dengan syariah atau melanggar normanorma agama dan akhlak islam maka ia dilarang. Wallahu Alam

Adakah Berpolitik dan Berpartai Dicontohkan Nabi dan Sahabat?


Pertanyaan Ustadz, ana ingin bertanya. Kalau dilihat dari realita yang sekarang, banyak sekali partai yang mengatas namakan partai Islam

(PKB, PKS, PAN dan lain-lain) sehingga sebagai seorang muslim ada yang mewajibkan harus memilih salah satu dari beberapa partai tersebut atau bahkan sama sekali tidak memilih. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana sesungguhnya atau sebenarnya dilihat dari sudut pandang AlQur'an dan As-Sunnah dalam hal berpolitik/berpartai? Ada nggak contohnya dari Nabi dan para sahabat? Mohon penjelasan, jazakumulloh khoiron katsiron. Wassalam,

Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya seumur-umur belum pernah ikut pemilu, apalagi membangun dan mengurusi partai politik. Realita seperti ini sudah disepakati oleh semua orang, termasuk para ahli sejarah, ulama dan juga semua umat Islam. Dengan realita seperti ini, sebagian kalangan lalu mengharamkan pemilu dan mendirikan partai. Alasannya, karena tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW, juga tidak pernah dilakukan oleh para shahabat belia yang mulia, bahkan sampai sekian generasi berikutnya, tidak pernah ada pemilu dan pendirian partai politik dalam sejarah Islam. Bahkan sebagian dari mereka sampai mengeluarkan statemen unik, yaitu bahwa ikut pemilu dan menjalankan partai merupakan sebuah bid'ah dhalalah, di mana pelakunya pasti akan masuk neraka. Ditambah lagi pandangan sebagian mereka bahwa sistem pemilu, partai politik dan ide demokrasi merupakan hasil pemikiran orang-orang kafir. Sehingga semakin haram saja hukumnya. Tentu saja pendapat seperti ini bukan satu-satunya buah pikiran yang muncul di kalangan umat. Sebagian lain dari elemen umat ini punya pandangan berbeda. Mereka tidak mempermasalahkan bahwa dahulu Rasulullah SAW dan para shahabat tidak pernah ikut pemilu dan berpartai. Sebab pemilu dan partai hanyalah sebuah fenomena zaman tertentu dan bukan esensi. Lagi pula, tidak ikutnya beliau SAW dan tidak mendirikan partai, bukanlah dalil yang sharih dari haramnya kedua hal itu. Bahwa asal usul pemilu, partai dan demokrasi yang konon dari orang kafir, tidak otomatis menjadikan hukumnya haram. Dan kalau mau jujur, memang tidak ada satu pun ayat Quran atau hadits nabi SAW yang secara zahir mengharamkan partai politik, pemilu atau demokrasi. Sebagaimana juga tidak ada dalil yang secara zahir membolehkannya. Kalau pun ada fatwa yang mengharamkan atau membolehkan, semuanya berangkat dari istimbath hukum yang panjang. Tidak berdasarkan dalil-dalil yang tegas dan langsung bisa dipahami. Namun tidak sedikit dari ulama yang punya pandangan jauh dan berupaya melihat realitas. Mereka memandang meski pemilu, partai politik serta demokrasi datang dari orang kafir, mereka tetap bisa melihat esensi dan kenyataan. Berikut ini kami petikkan beberapa pendapat sebagian ulama dunia tentang hal-hal yang anda tanyakan. Seruan Para Ulama untuk Mendukung Dakwah Lewat Parlemen Apa komentar para ulama tentang masuknya muslimin ke dalam parlemen? Dan apakah mereka membid'ahkannya? Ternyata anggapan yang menyalahkan dakwah lewat parlemen itu keliru, sebab ada sekian banyak ulama Islam yang justru berkeyakinan bahwa dakwah lewat parlemen itu boleh dilakukan. Bahkansebagiannya memandang bahwa bila hal itu merupakan salah stu jalan sukses menuju kepada penegakan syariat Islam, maka hukumnya menjadi wajib.

Di antara para ulama yang memberikan pendapatnya tentang kebolehan atau keharusan dakwah lewat parlemen antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Imam Al-'Izz Ibnu Abdis Salam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Muhammad Rasyid Ridha Syeikh Abdurrahman Bin Nashir As-Sa'di: Ulama Qasim Syeikh Ahmad Muhammad Syakir: Muhaddis Lembah Nil Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-AlBani Syeikh Dr. Shalih bin Fauzan Syeikh Abdullah bin Qu'ud Syeikh Dr. Umar Sulaiman Al-'Asyqar Syeikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq

Kalau diperhatikan, yang mengatakan demikian justru para ulama yang sering dianggap kurang peka pada masalah politik praktis. Ternyata gambaran itu tidak seperti yang kita kira sebelumnya. Siapakah yang tidak kenal Bin Baz, Utsaimin, Albani, Asy-Syinqithi, Shalih Fauzan dan lainnya? 1. Pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz a. Fatwa Pertama Sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang dasar syariah mengajukan calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan hukum Islam atas kartu peserta pemilu dengan niat memilih untuk memilih para da'i dan aktifis sebagai anggota legislatif. Maka beliau menjawab: Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap amal itu tergantung pada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Oleh karena itu tidak ada masalah untuk masuk ke parlemen bila tujuannya memang membela kebenaran serta tidak menerima kebatilan. Karena hal itu memang membela kebenaran dan dakwah kepada Allah SWT. Begitu juga tidak ada masalah dengan kartu pemilu yang membantu terpilihnya para da'i yang shalih dan mendukung kebenaran dan para pembelanya, wallahul muwafiq. b. Fatwa Kedua Di lain waktu, sebuah pertanyaan diajukan kepada Syeikh Bin Baz: Apakah para ulama dan duat wajib melakukan amar makruf nahi munkar dalam bidang politik? Dan bagaimana aturannya? Beliau menjawab bahwa dakwah kepada Allah SWT itu mutlak wajibnya di setiap tempat. Amar makruf nahi munkar pun begitu juga. Namun harus dilakukan dengan himah, uslub yang baik, perkataan yang lembut, bukan dengan cara kasar dan arogan. Mengajak kepada Allah SWT di DPR, di masjid atau di masyarakat. Lebih jauh beliau menegaskan bahwa bila dia memiliki bashirah dan dengan cara yang baik tanpa berlaku kasar, arogan, mencela atau ta'yir melainkan dengan kata-kata yang baik. Dengan mengatakan wahai hamba Allah, ini tidak boleh semoga Allah SWT memberimu petunjuk. Wahai saudaraku, ini tidak boleh, karena Allah berfirman tentang masalah ini begini dan Rasulullah SAW bersabda dalam masalah itu begitu. Sebagaimana firman Allah SWT: Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS

An-Nahl: 125). Ini adalah jalan Allah dan ini adalah taujih Rabb kita. Firman Allah SWT: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu? (QS Ali Imran: 159) Dan tidak merubah dengan tangannya kecuali bila memang mampu. Seperti merubha isteri dan anakanaknya, atau seperti pejabat yang berpengaruh pada sebuah lembaga. Tetapi bila tidak punya pengaruh, maka dia mengangkat masalah itu kepada yang punya kekuasaan dan memintanya untuk menolak kemungkaran dengan cara yang baik. c. Fatwa Ketiga Majalah Al-Ishlah pernah juga bertanya kepada Syeikh yang pernah menjadi Mufti Kerajaan Saudi Arabia. Mereka bertanya tentang hukum masuknya para ulama dan duat ke DPR, parlemen serta ikut dalam pemilu pada sebuah negara yang tidak menjalankan syariat Islam. Bagaimana aturannya? Syaikh Bin Baz menjawab bahwa masuknya mereka berbahaya, yaitu masuk ke parlemen, DPR atau sejenisnya. Masuk ke dalam lembaga seperti itu berbahaya namun bila seseorang punya ilmu dan bashirah serta menginginkan kebenaran atau mengarahkan manusia kepada kebaikan, mengurangi kebatilan, tanpa rasa tamak pada dunia dan harta, maka dia telah masuk untuk membela agam Allah SWT, berjihad di jalan kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Dengan niat yang baik seperti ini, saya memandang bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen. Bahkan tidak selayaknya lembaga itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya. Bila dia masuk dengan niat seperti ini dengan berbekal bashirah hingga memberikan posisi pada kebenaran, membelanya dan menyeru untuk meninggalkan kebatilan, semoga Allah SWT memberikan manfaat dengan keberadaannya hingga tegaknya syariat dengan niat itu. Dan Allah SWT memberinya pahala atas kerjanya itu. Namun bila motivasinya untuk mendapatkan dunia atau haus kekuasaan, maka hal itu tidak diperbolehkan. Seharusnya masuknya untuk mencari ridha Allah, akhirat, membela kebenaran dan menegakkannya dengan argumen-argumennya, niscaya majelis ini memberinya ganjaran yang besar. d. Fatwa Keempat Pimpinan Jamaah Ansharus sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan, Syaikh Muhammad Hasyim AlHadyah bertanya kepada Syaikh bin Baz pada tanggal 4 Rabi'ul Akhir 1415 H. Teks pertanyaan beliau adalah: Dari Muhammad Hasyim Al-Hadyah, Pemimpin Umum Jamaah Ansharus-Sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan kepada Samahah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, mufti umum Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Hai'ah Kibar Ulama wa Idarat Al-buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta'. Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Saya mohon fatwa atas masalah berikut: Bolehkah seseorang menjabat jabatan politik atau adminstratif pada pemerintahan Islam atau kafir bila dia seorang yang shalih dan niatnya mengurangi kejahatan dan menambah kebaikan? Apakah dia diharuskan untuk menghilangkan semua bentuk kemungkaran meski tidak memungkinkan baginya? Namun dia tetap mantap dalam aiqdahnya, kuat dalam hujjahnya, menjaga agar jabatan itu menjadi sarana dakwah. Demikian, terima kasih wassalam. Jawaban Seikh Bin Baz: Wa 'alaikumussalam wr wb. Bila kondisinya seperti yang Anda katakan, maka tidak ada masalah dalam hal itu. Allah SWT berfirman,"Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan." Namun janganlah dia membantu kebatilan atau ikut di dalamnya, karena Allah SWT berfirman,"Dan janganlah saling tolong dalam dosa dan permusuhan." Waffaqallahul jami' lima yurdhihi, wassalam wr. Wb.

Bin Baz 2. Wawancara dengan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin Pada bulan Oktober 1993 edisi 42, Majalah Al-Furqan Kuwait mewawancarai Syaikh Muhammad bin shalih Al-'Utsaimin, seorang ulama besar di Saudi Arabia yang menjadi banyak rujukan umat Islam di berbagai negara. Berikut ini adalah petikan wawancaranya seputar masalah hukum masuk ke dalam parlemen. Majalah Al-Furqan :. Fadhilatus Syaikh Hafizakumullah, tentang hukm masuk ke dalam majelis niyabah (DPR) padahal negara tersebut tidak menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, apa komentar Anda dalam masalah ini? Syaikh Al-'Utsaimin : Kami punya jawaban sebelumnya yaitu harus masuk dan bermusyarakah di dalam pemerintahan. Dan seseorang harus meniatkan masuknya itu untuk melakukan ishlah (perbaikan), bukan untuk menyetujui atas semua yang ditetapkan. Dalam hal ini bila dia mendapatkan hal yang bertentangan dengan syariah, harus ditolak. Meskipun penolakannya itu mungkin belum diikuti dan didukung oleh orang banyak pada pertama kali, kedua kali, bulan pertama, kedua, ketiga, tahun pertama atau tahun kedua, namun ke depan pasti akan memiliki pengaruh yang baik. Sedangkan membiarkan kesempatan itu dan meninggalkan kursi itu untuk orang-orang yang jauh dari tahkim syariah merupakan tafrit yang dahsyat. Tidak selayaknya bersikap seperti itu. Majalah Al-Furqan : Sekarang ini di Majelis Umah di Kuwait ada Lembaga Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Ada yang mendukungnya tapi ada juga yang menolaknya dan hingga kini masih menjadi perdebatan. Apa komentar Anda dalam hal ini, juga peran lembaga ini. Apa taujih Anda bagi mereka yang menolak lembaga ini dan yang mendukungnya? Syaikh Al-Utsaimin: Pendapat kami adalah bermohon kepada Allah SWT agar membantu para ikhwan kita di Kuwait kepada apa yang membuat baik dien dan dunia mereka. Tidak diragukan lagi bahwa adanya Lembaga Amar Makmur Nahi Munkar menjadikan simbol atas syariah dan memiliki hikmah dalam muamalah hamba Allah SWT. Jelas bahwa lembaga ini merupakan kebaikan bagi negeri dan rakyat. Semoga Allah SWT menyukseskannya buat ikhwan di Kuwait. Pada bulan Zul-Hijjah 1411 H bertepatan dengan bulan Mei 1996 Majalah Al-Furqan melakukan wawancara kembali dengan Syaikh Utsaimin: Majalah Al-Furqan: Apa hukum masuk ke dalam parlemen? Syaikh Al-'Utsaimin: Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala'. Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah unutk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya di mana setiap orang akan mendapat sesuai yang diniatkannya. Namun tindakan meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar mengausai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak. (lihat majalah Al-Furqan - Kuwait hal. 18-19)

Jadi kita memang perlu memperjuangkan Islam di segala lini termasuk di dalam parlemen. Asal tujuannya murni untuk menegakkan Islam. Dan kami masih punya 13 ulama lainnya yang juga meminta kita untuk berjuang menegakkan Islam lewat parlemen. Insya Allah SWT pada kesempatan lain kami akan menyampaikan pula. Sebab bila semua dicantumkan di sini, maka pastilah akan memenuhi ruang ini. Mungkin kami akan menerbitkannya saja sebagai sebuah buku tersendiri bila Allah SWT menghendaki. 3. Pendapat Imam Al-'Izz Ibnu Abdis Salam Dalam kitab Qawa'idul Ahkam karya Al-'Izz bin Abdus Salam tercantum: Bila orang kafir berkuasa pada sebuah wilayah yang luas, lalu mereka menyerahkan masalah hukum kepada orang yang mendahulukan kemaslahatan umat Islam secara umum, maka yang benar adalah merealisasikan hal tersebut. Hal ini mendapatkan kemaslahatan umum dan menolak mafsadah. Karena menunda masalahat umum dan menanggung mafsadat bukanlah hal yang layak dalam paradigma syariah yang bersifat kasih. Hanya lantaran tidak terdapatnya orang yang sempurna untuk memangku jabatan tersebut hingga ada orang yang memang memenuhi syarat. Dari penjelasan di atas dapat dipahami menurut pandangan imam rahimahullah, bahwa memangku jabatan di bawah pemerintahan kafir itu adalah hal yang diperlukan. Untuk merealisasikan kemaslahatan yang sesuai dengan syariat Islam dan menolakmafsadah jika diserahkan kepada orang kafir. Jika dengan hal itu maslahat bisa dijalankan, maka tidak ada larangan secara sya'ri untuk memangku jabatan meski di bawah pemerintahan kafir. Kasus ini mirip dengan yang terjadi di masa sekarang ini di mana seseorang menjabat sebagai anggota parlemen pada sebuah pemeritahan non Islam. Jika melihat pendpat beliau di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa menjadi anggota parlemen diperbolehkan. 4. Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Dalam kitab Thuruq Al-Hikmah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691- 751 H) dalam kitabnya At-Turuq alHukmiyah menulis: Masalah ini cukup pelik dan rawan, juga sempit dan sulit. terkadang sekelompok orang melewati batas, meng hilangkan hak-hak,dfan mendorong berlaku kejahatan kepada kerusakan serta menjadikasn syariat itu sempi sehingga tidak mampu memberikan jawaban kepada pemeluknya. dan menghalangi diri mereka dari jalan yang benar, yaitu jalan untuk mengetahui kebenaran dan menerapkannya. Sehingga mereka menolak hal tersebut, pada hal mereka dan yang lainnya tahu secara pasti bahwa hal itu adalah hal yang wajib diterapkan namun mereka menyangkal bahwa hal itu bertentangan dengan qowaid syariah. Mereka mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai yang dibawa rosulullah, yang menjadikan mereka berpikir seperti itu kurang nya mereka dalam memahami syariah dan pengenalan kondisi lapangan atau keduanya, sehingga begitu mereka melihat hal tersebut dan melihat orang-orang melakukan halyang tidak sesuai yang dipahaminya, mereka melakukan kejahatan yang panjang, kerusakan yang besar.mka permasalahannya jadi terbalik. Di sisi lain ada kelompok yang berlawanan pendapatnya dan menafikan hukum allah dan rosulnya. Kedua kelompok di atas sama-sama kurang memahami risalah yang dibawa rosulnya dan diturunkan dalam kitabnya, padahal Allah swt. telah mengutus rasulnya dan menurunkan kitabnya agar manusia menjalankan keadilan yang dengan keadilan itu bumi dan langit di tegakkan. Bila ciri-ciri keadilan itu mulai nampak dan wajahnya tampil dengan beragam cara mak itulah syariat allah dan agamanya. Allah swt maha tahu dan maha hakim untuk memilih jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan tanda. maka apapun jalan yang bisa membawa tegaknya keadilan maka itu adalah bagian dari agama, dan tidak bertentangan dengan agama. Maka tidak boleh dikatakan bahwa politik yang adil itu berbeda dengan syariat, tetapi sebaliknya justru sesuai dengan syariat, bahkan bagian dari syariat itru sendiri. kami menamakannya sebagai politik sekedar mengikuti istilah yang Anda buat tetapi pada hakikatnya merupakan keadilan allah dan rosulnya.

Imam yang muhaqqiq ini mengatakan apapun cara untuk melahirkan keadilan maka itu adakah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengannya. Jelasnya bab ini menegaskan bahwa apapun yang bisa melahirkan keadilan boleh dilakukan dan dia bagian dari politik yang sesuai dengan syariah. Dan tidak ada keraguan bahwa siapa yang menjabat sebuah kekuasaan maka ia harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan syariat. Dan berlaku ihsan bekerja untuk kepentingan syariat meskipun di bawah pemerintahan kafir. 5. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Syekh Shaleh Alfauzan ditanya tentang hukum memasuki parlemen. Syekh Fauzan balik bertanya, "Apa itu parlemen?" Salah seorang peserta menjawab "Dewan legislatif atau yang lainnya" Syekh, "Masuk untuk berdakwah di dalamnya?" Salah seorang peserta menjawab, "Ikut berperan serta di dalamnya" Syekh, "Maksudnya menjadi anggota di dalamnya?" Peserta, "Iya." Syeikh: "Apakah dengan keanggotaan di dalamnya akan menghasilkan kemaslahatan bagi kaum muslimin? Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah kepada Islam, maka ini adalah suatu yang baik, atau paling tidak bertujuan untuk mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian kemaslahatan, jika tidak memungkinkan kemaslahatan seluruhnya meskipun hanya sedikit." Salah seorang peserta, "Terkadang didalamnya terjadi tanazul (pelepasan) dari sejumlah perkara dari manusia." Syeikh: "Tanazul yang dimaksud adalah kufur kepada Allah atau apa?" Salah seorang peserta, "Mengakui." Syeikh: "Tidak boleh. adanya pengakuan tersebut. Jika dengan pengakuan tersebut ia meninggalkan agamanya dengan alasan berdakwah kepada Allah, ini tidak dibenarkan. Tetapi jika mereka tidak mensyaratkan adanya pengakuan terhadap hal-hal ini dan ia tetap berada dalam keIslaman akidah dan agamanya, dan ketika memasukinya ada kemaslahatan bagi kaum muslimin dan apa bila mereka tidak menerimanya ia meninggalkannya, apa mungkin ia bekerja untuk memaksa mereka? Tidak mungkin kan untuk melakukan hal tersebut. Yusuf as ketika memasuki kementrian kerajaan, apa hasil yang ia peroleh? atau kalian tidak tahu hasil apa yang di peroleh Nabi Yusuf as? Atau kalian tidak tahu tentang hal ini, apa yang diperoleh Nabi Yusuf ketika ia masuk, ketika raja berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya dis isi kami" Nabi Yusuf saat itu menjawab, "Jadikan aku bendaharawan negara karena aku amanah dan pandai." Maka beliau masuk dan hukum berada di tangannya. Dan sekarang dia menjadi raja Mesir, sekaligus nabi. Jadi bila masuknya itu melahirkan sesuatu yang baik, silahkan masuk saja. Tapi kalau hanya sekedar menyerahkan diri dan ridho terhadap hukum yang ada maka tidak boleh. Demikian juga bila tidak mendatangkan maslahat bagi umat Islam, maka masuknya tidak dibenarkan. Para ulama berkata, "Mendatangkan manfaat dan menyempurnakannya, meski tidak seluruh manfaat, tidak boleh diiringi dengan mafsadat yang lebih besar." Para ulama mengatakan bahwa Islam itu datang dengan visi menarik maslahat dan menyempurnakannya serta menolak mafsadah dan menguranginya. maksudnya bila tidak bisa menghilangkan semua mafsadat maka dikurangi, mendapatkan yang terkecil dari dua dhoror, itu yang diperintahkan. Jadi tergantung dari niat dan maksud seseorang dan hasil yang diperolehnya. Bila masuknya lantaran haus kekuasaan dan uang lalu diam atas segala penyelewengan yang ada, maka tidak boleh. Tapi kalau masuknya demi kemaslahatan kaum muslimin dan dakwah kepada jalan Allah, maka itulah yang dituntut. Tapi kalau dia harus mengakui hukum kafir maka tidak boleh, meski tujuannya mulia. seseorang tidak boleh menjadi kafir dan berkata "Tujuan saya mulia, saya berdakwah kepada Allah," tidak tidak boleh itu." Salah seorang peserta, "Apa yang menjadi jalan keluarnya?"

"Jalan keluarnya adalah jika memang di dalamnya ada maslahat bagi kaum muslimin dan tidak menghasilkan madharat bagi dirinya, maka hal tersebut tidak bertentangan. Adapun jika tidak ada kemaslahatan di dalamnya bagi kaum muslimin atau hal tersebut mengakibatkan adanya kemadorotan yaitu pengakuan yaitu pengakuan akan kekufuran, maka hal tersebut tidak diperbolehkan" (Rekaman suara) 6. Syaikh Abdullah bin Qu'ud Sebagian orang-orang meremehkan partai-partai politik Islam yang terdapat di sejumlah negaranegara Islam seperti Aljazair, Yaman, Sudan dan yang lainnya. Mereka yang ikut didalamnya dituduh dengan tuduhan sekuler dan lain-lainnya. Apa pendapat Anda tentang hal tersebut? Sikap atau peran apa yang harusnya dilakukan oleh kaum muslimin untuk menyikapi kondisi tersebut? Jawaban : Akar persoalan dari semua itu adalah adanya dominasi sebagian para dai terhadap yang lainnya. Dan saya berpendapat bahwa seorang muslim yang diselamatkan Allah dari malapetaka untuk memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta berdoa untuk saudara-saudaranya di Sudan, Aljazair, Tunisia dan negara-negara lainnya, ataupun bagi kaum muslimin yang berada di negeri-negeri yang jelas-jelas kafir. Dan jika hal tersebut tidak memberikan manfaat kepada mereka, aku berpendapat minimal jangan memadhorotkan mereka. Karena sampai sekarang tidak ada bentuk solidaritas yang nyata kepada para dai tersebut padahal mereka telah mengalami berbagai ujian dan siksaan. Dan kita wajib mendoakan kaum msulimin dan manaruh simpati kepada mereka di setiap tempat. Karena seorang mokmin adalah saudara bagi muklmin yang lainnya, jika mendengar kabar yang baik mengenai saudaranya di Sudan, Aljazair, Tunisia atau dinegeri mana saja maka hendaknya ia merespon positif dan seakan-akan ia berkata: "Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar" (QS. An-Nisaa: 73). Dan apa bila mendengar malapetaka yang menimpa mereka, maka hendaklah ia mendoakan untuk saudarnya-saudaranya yang sedang diuji di negeri mana saja, supaya Allah melepaskan mereka dari orang-orang yang sesat dan menjadikan kekuasaan bagi kaum muslimin dan hendaklah ia memuji Allah karena telah menjaga dirinya. Jangan sampai ada seseorang yang bersandar dengan punggungnya di negeri yang aman lalu mencela orang-orang atau para dai yang berjuang demi Islam di bawah kedholiman dan keseweng-wenangan dan intimidasi. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan tindakan yang tidak fair. boleh jadi engkau akan mendapat ujian jika Anda tidak merespon dengan perasaan Anda apa yang dirasakan oleh kaum muslimin yang sedang mengalami ujian dari Allah.. Demikian petikan beberapa pendapat para ulama tentang dakwah lewat pemilu, partai politik, parlemen dan sejenisnya. Semoga ada manfaatnya. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc.

Artikel Islam: Sejauh Manakah Kita Diperbolehkan Ikut Berpolitik Dan Wajibkah Kita Taat Kepada Penguasa?

Oleh

Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilaly

Pertanyaan

Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilaly ditanya : Sebelumnya anda nyatakan bahwa dakwah salaf menyeru kepada Islam secara menyeluruh, salaf menyeru kepada rukun Islam, jihad dan politik. Pertanyaan kami, sejauh manakah diperbolehkan ikut serta dalam pertarungan politik?

Jawaban

Islam adalah agama yang paripurna (syamil) dan diridhai Allah untuk kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya Agama yang diridhai Allah di sisiNya adalah Islam".

"Artinya : Barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya dan kelak hari kiamat dia termasuk orang-orang yang merugi".

Allah Subhanahu wa Ta'ala menyeru untuk masuk kedalam Islam secara menyeluruh dengan firmanNya: "Artinya : Hai orang-orang yang berfiman masuklah kedalam As-Silmi (Islam) secara keseluruhan". Dalam menafsirkan kata As-Silmi, Ibnu Abbas berkata :" As-Silmi" adalah Islam. Jadi Allah memerintahkan kita untuk masuk kedalam agama ini secara menyeluruh, atau masuk secara total kedalamnya. Adapun "As-Siyasah"(politik) dialah hakikat Islam, karena makna siyasah sendiri adalah mengatur kemaslahatan umat dengan hal-hal yang tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Dalam merealisasikannya dibutuhkan suatu manhaj, ilmu ataupun orang-orang yang paham kemaslahatan umat. Para ulama Islam telah mengarang berbagai macam literatur siyasah syar'iyyah (politik dalam syariat Islam) diantaranya : Buku Al-Ahkam As-Sultaniyyah karya Al-Imam Al-Mawardi, As-Siyasah As-Syar'iyyah karya Ibn Taimiyyah dan Abu Ya'la al-Musili dan At-Turuq AlHukmiyyah karya Ibn Al-Qayyim dan sebagainya yang keseluruhannya menerangkan bahwa Islam memiliki manhaj da'wah, Islam merupakan agama seluruh nabi-nabi, Rasululullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda "Artinya : Bani Israil dipimpin oleh para nabi, jika seorang nabi wafat maka akan digantikan dengan nabi lainnya". Beliau juga bersabda : "Artinya : Akan datang setelahku para khulafa (pemimpin), yang mampu memahami kemaslahatan suatu ummat setelah para nabi adalah para ulul amri yakni al-hukkam (para pemimpin) dan ulama". Merekalah yang berhak untuk masuk kedalam kancah perpolitikan ini untuk kemaslahatan umat. Para pemimipin bertugas menjalankan syari'at Allah, sedangkan para ulama bertugas mengarahkan umat dan menunjuki para umara, yang berkompeten dalam hal ini adalah orang yang berilmu dan paham dengan hukum syari'at, karena kemaslahatan umat memerlukan pemahaman agama yang sempurna. Adapun kata "politik " yang dipahami pada zaman ini sebenarnya tidak pernah dikenal oleh Islam, karena pengertian berpolitik di era ini adalah sebatas kemampuan untuk berdebat, menggerakkan massa, kemampuan berkelit, berubah-ubah warna, kemunafikan dan selalu mengikuti kemana arah angin bertiup. Islam berlepas diri dari "politik " yang seperti ini, karena tidak akan mendatangkan kemaslahatan kepada ummat.

Inilah perbedaan makna "politik" yang diinginkan Allah dengan makna yang dipahami oleh orangorang sekarang, yang tidak lain target utamanya agar sampai ketampuk kekuasaan, karena itu seorang politikus rela untuk bekerja sama dengan segala macam kelompok dan segala macam mazhab. Demi ambisi ini dia rela untuk ganti-ganti warna, bersikap plin-plan dan berbuat kemunafikan dengan politikus lainnya, walaupun bertentangan dengan Allah Tuhan alam semesta. Adapun siyasah syar'iyyah akan selalu dibawah pimpinan seorang alim yang rabbani, Allah berfirman : "Artinya : Tetapi jadilah kalian ulama yang Rabbani dengan apa-apa yang kalian ajarkan dari alkitab dan dengan apa-apa yang kalian pelajari". Cir-ciri alim Rabbani adalah seorang yang mendidik umat dengan masalah-masalah yang sederhana terlebih dahulu sebelum masuk kepada masalah-masalah yang besar. Dia paham betul apa yang dibutuhkan umat, karena itu, dengan cara perlahan da'i mendidik ummat hingga sampai kepada kesempurnaan dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala.

WAJIBNYA TAAT KEPADA PENGUASA Oleh Syaikh DR Muhammad Musa Alu Nashr Pertanyaan Syaikh DR Muhammad Musa Alu Nashr ditanya : Ada sebuah hadis yang memerintahkan taat kepada umara, pertanyaannya apakah waliul amri (penguasa) yang berkuasa di Indonesia ini termasuk ulul amri yang wajib ditaati oleh bangsa Indonesia ? Jawaban Mengenai pemimpin Indonesia adalah seorang wanita, ini adalah masalah baru yang muncul sekarang, walaupun sebelumnya negara ini di pimpin oleh kaum lelaki, dan masalah pemimpin wanita ini sekarang menjadi musibah seantero dunia disebabkan lemahnya kaum lelaki sehingga dikalahkan oleh wanita, dan hadis yang menyatakan: "Artinya : Tidak akan berjaya suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita". Adalah hadis shahih, walaupun realita sekarang kita lihat banyak wanita yang menjadi pemimpin, dalam hal ini kita diperintahkan untuk melihat realita dan menyesuaikan dengan syariat. Jika pemimpin wanita ini memerintahkan untuk taat kepada Allah maka dia wajib dipatuhi, sebaliknya jika dia memerintahkan untuk kemaksiatan maka kita tidak akan patuh kepadanya bahkan lelaki sekalipun yang menjadi pemimpin tidak boleh dipatuhi (jika menyeru kepada maksiat).

Kesimpulannya : Jika para penguasa itu berbuat kezaliman kita dilarang untuk mematuhi mereka dalam kezaliman tersebut dan kita dilarang untuk keluar dari barisan (membelot dan menentang mereka). Kita diperintahkan untuk mendoakan mereka agar ditunjuki kepada jalan kebenaran dan ketaqwaan. Bukanlah manhaj salaf keluar menyusun kekuatan untuk menentang penguasa, kecuali jika nampak pada para penguasa tersebut kufur yang nyata. Dengan catatan bahwa kita memang telah benarbenar mampu untuk menggulingkannya, telah terwujud ahlu al-hilli yang memiliki kekuatan dan jamaah yang sanggup untuk mereformasi dan merubah struktur kepemerintahan tanpa terjadi fitnah. Sebab didalam kaedah dikatakan: "Meninggalkan kerusakan lebih utama dari mengambil kemanfaatan" [Seri Soal Jawab DaurAh Syar'iyah Surabaya 17-21 Maret 2002. Dengan Masyayaikh Murid-murid Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Ridwan , Lc] Sumber: http://www.almanhaj.or.id

Anda mungkin juga menyukai