Dosen Pengampu:
Dr.Hj. St. Halimang, M.H.I
Oleh:
Kelompok 3
Nurul Fatmah Azzahra (10200121122)
Arham Rahmatullah (10200121123)
Ahmad Farizal (10200121124)
HTN D
PROGRAM STUDI HUKUM TATANEGARA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI ALAUDDIN MAKASSAR
2023
BAB I
PENGANTAR
Istilah ilmu politik( science politique) pertama kali digunakan oleh Jean Bodin di Eropa
pada tahun 1576, kemudian Thomas Fitzherbrt dan Jeremi Bentham pada tahun 1606. Akan tetapi
istilah politik yang dimaksud adalah ilmu negara sebagaimana tertulis dalam kaya-karya sarjana
Eropa. Dilihat dari sistemnya, politik adalah suatu konsep yang menfokuskan pada basis dan
penentuan serta siapa yang akan menjadi sumber otoritas Negara, dan kepada siapa pemerintahan
dipertanggungjawabkan dan bentuk tanggung jawab seperti apa yang harus buat. Politik secara
umum diartikan dengan cara atau taktik untuk mencapai satu tujuan. Politik secara umum
berhubungan dengan berbagai cara dalam pencapaian tujuan hidup manusia. Sedangkan secara
khusus penekanannya kepada kekuasaan dan pemerintahan.
Dalam literatur Islam, Hukum Politik Islam atau sering disebut dengan Fiqh
Siyasah/Siyasah Syar’iyyah adalah bagian dari fiqh muamalah yang sangat dinamis dan
berkembang secara cepat. Menariknya, banyak yang tidak sadar bahwa ijma’ pertama yang terjadi
dalam sejarah fiqh para sahabat justru dalam bidang fiqh siyasah bukan fiqh ibadah atau lainnya.
Sebelum ilmu fiqh dan kaedah-kaedah ushul fiqh disusun pada abad kedua hijriyah, para khulafa
al-rasyidin dan sahabat yang lain bukan hanya menyadari pertingnya arti kepemimpinan dan
pemerintahan dalam Islam, tetapi langsung menerapkannya dalam dunia nyata hanya beberapa
saat sepeninggalnya rasulullah saw.
Atas dasar ini, Harun nasution menyatakan bahwa sejarah politik dan ketatanegaraan
merupakan studi yang penting dalam Islam. Karena sejarah Islam pada hakikatnya adalah sejarah
negara yang corak dan bentuknya berubah menurut perkembangan zaman.
BAB II
PEMBAHASAN
Prinsip
Secara etimologi, kata „prinsip‟ berasal dari bahasa Inggris „principle‟ yang berarti
prinsip, asar, asas, serta pendirian. Adapun pengertian „principle‟ di dalam kamus Oxford adalah
“A fundamental truth or proposition that serves as the foundation for a system of belief or
behaviour or for a chain of reasoning (Kebenaran atau proposisi mendasar yang berfungsi sebagai
landasan bagi suatu sistem keyakinan atau perilaku atau untuk rantai penalaran).”
Sedangkan pengertian dari kata „prinsip‟ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah asas
(kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya);dasar. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa defensi dari kata prinsip adalah suatu pernyataan fundamental
atau kebenaran umum maupun individual yang dijadikan oleh seseorang atau kelompok sebagai
sebuah pedoman untuk berpikir atau bertindak.
Politik
Secara etimologi kata politik berasal dari dua bahasa Yunani, “politae, polis atau
politicos” yang berarti kota atau warga kota. Sedangkan bahasa Inggris berasal dari kata “police,
politic, dan political”.Sedangkan menurut bahasa Arab politik ialah siyasah is a policy or a
politics. Asal kata siyasah terdapat dua pendapat. Pertama sebagaimana dianut al-Maqrizy
menyatakan bahwa, siyasah berasal dari bahasa Mongol dari kata “yasah” yang mendapat
imbuhan huruf sin berbaris kasrah di awalnya sehingga dibaca siyasah..
Pengertian siyasah lainya oleh Ibn A‟qil, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Qayyim,
politik Islam adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan
dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasullah tidak menetapkannya dan (bahkan) Allah
SWT tidak menentukanya.10 Berdasarkan definisi di atas maka dapat di simpulkan bahwa
dimaksud dengan politik Islam ialah “mengatur, memimpin, mengendalikan sebuah negara
beserta warganya dari segala aspek secara bijaksana berdasarkan ajaran Islam, untuk
kesejahteraan umat manusia”.
B. PRINSIP POLITIK DALAM AL QUR’AN
.Amanah
Dikarenakan seorang politisi adalah pemegang mandat rakyat atau konstituen di mana di
dalamnya terkandung sebuah perjanjian (baiat/pemilu), maka menjalankan amanah merupakan
sebuah kewajiban. Hal tersebut disampaikan oleh Allah dalam QS al-Nisa [4] ayat 58:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menunaikan amanah kepada yang berhak
menerimanya.” Di sisi lain, bagi rakyat juga ada kewajiban menaati seorang pemimpin (QS. Al-
Nisa [4]: 59).
keadilan
merupakan sebuah prinsip yang sangat ditekankan oleh Islam sebagai soko guru dalam
bernegara. Keadilan harus dijalankan dengan kejujuran, ketulusan dan integritas. Keadilan ini
berlaku untuk semua makhluk, tanpa memandang status sosial, ras, suku, agama maupun
kedekatan hubungan. Allah SWT berfirman: “Berlakulah adil walaupun terhadap kerabat.” (QS.
Al-An’am [6]: 152) Juga: “Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat dengan takwa.” (QS. Al-
Maidah [5]: 8).
musyawarah (syura).
Musyawarah merupakan sebuah etika politik utama, yang bersifat komunikatif-dialogis.
Musyawarah merupakan sebuah media mencapai hasil mufakat atau pengambilan jalan tengah.
Dengan musyawarah, totalitarianisme dan penggumpalan kekuasaan pada satu orang yang lebih
berpotensi keliru dapat diminimalisir. Allah SWT berfirman: “Hendaklah urusan mereka tentang
permasalahan dunia diputuskan dengan bermusyawarah di antara mereka.” (QS. Al-Syura [42]:
38). Pesan yang hampir sama juga disampaikan oleh QS. Ali Imran [3] ayat 159. Dalam prinsip
ini pula nasehat dan kritik konstruktif terhadap penguasa menemukan legitimasinya.
kebhinekaan dan kebangsaan (sya’bi).
Prinsip ini sebagaimana penjelasan Allah SWT dalam firman-Nya: “Hai manusia,
sesugguhnya kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar supaya kamu saling memahami.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kalian adalah yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurat [49]: 13). Berdasarkan ayat ini, kebhinekaan merupakan hal yang niscaya dan
dalam konsteks bernegara semua mempunyai hak dan kewajiban yang setara, sebagaimana
dicontohkan oleh Nabi dalam susunan Piagam Madinah.
kebebasan (huriyah).
Dalam kehidupannya, manusia dihadapkan pada konsekuensi dan tanggungjawab. Itu
meniscayakan adanya sebuah kebebasan dalam memilih setiap langkah kehidupan. Sebuah
konsekuensi tidak mungkin dibebankan kepada manusia yang dipaksa tanpa punya kehendak
memilih. Manusia sendiri dilahirkan dalam keadaan merdeka. Karena itu kebebasan memilih
merupakan hakikat kehidupan manusia di bumi ini. Kebebasan dijamin bahkan dalam sebuah hal
yang sangat prinsip, yaitu memilih agama. Allah SWT berfirman: “Tidak ada paksaan dalam
memeluk agama.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256). Dalam hal ini, adanya kebebasan beragama tidak
menafikan pentingnya dakwah dan dalam konteks bernegara di ruang publik, kebebasan seseorang
harus dibatasi oleh kebebasan orang lain.
perdamaian (salam).
Pada dasarnya Islam merupakan agama yang mencintai perdamaian. Jalan damai
merupakan jalan yang selalu dipilih oleh Nabi sebagaimana terlihat dalam Suluh Hudaybiyah,
meski Nabi harus menerima konsekuensi yang pahit. Adapun perang merupakan sebuah jalan
keluar yang terjadi karena situasi yang darurat, yaitu adanya serangan musuh. Dalam kondisi
negara yang damai lah umat beragama bisa beribadah dengan khusyuk dan tenang. Dalam kondisi
damai pula Islam bisa didialogkan kebenarannya dengan umat agama lain. Terkait ini Allah SWT
berfirman: “Apabila mereka cenderung pada perdamaian, maka penuhilah perdamaian itu.” (QS.
Al-Anfal [8]: 61).
Hadis ini menjelaskan tiga pokok. Pertama, pemimpin, subyeknya. Manusia harus mampu
memimpin dirinya sendiri, jadi dasar utamanya internal manusia sendiri sebagai objek
kepemimpinan, memimpin diri sendiri berarti mengupayakan berfungsinya sistem untuk
menghasilkan output yang berfungsi bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar. Jika kita ingin
menyuruh orang lain, kita terlebih dahulu melakukannya. Kedua, kepemimpinan, dinamika
terapannya. Selama ini dipahami kepemimpinan sebagai ilmu dan seni mempengaruhi orang lain,
agar orang lain mau secara ikhlas melakukan sesuatu sesuai keinginan atau harapan pemimpin.
Dalam dimensi ini hanya mengandung secara eksternal, sedangkan dimensi internalnya hilang.
Padahal keduanya harus serentak, karena kepemimpinan juga untuk diri sendiri. Dari sini suri
tauladan akan secara otomatis muncul. Sebenarnya batas antara pemimpin dengan yang dipimpin
sifatnya labil (situasional), maka pada suatu waktu orang melakukan dua status saling bersamaan
atau bergantian. Ketiga, pertanggung jawaban, resikonya. Resiko sebagai konsekuensi logis dari
keberhasilan atau kegagalan, resiko akan menghitung sampai sejauh mana nilai kepemimpinan
terapan yang diharapkan bisa tercapai. Dengan kata lain, sekecil apapun, akan dihitung
mendapatkan imbalan, sebagaimana yang tertera dalam Q.S al-Zalzalah: 7-8 (Pancaningrum,
2018).
Keharusan pemimpin bersikap adil
Hadis Ma’qil bin Yasar. Diriwayatkan dari al-Hasan bahwa ‘Abdullah bin Ziyad
mengunjungi Ma’qil bin Yasar ketika sakit menjelang wafatnya. Ma’qil berkata kepadanya: Aku
akan sampaikan kepadamu, aku mendengar hadis dari Rasulullah Saw dan mendengar Nabi Saw
bersabda: Seorang hamba yang dititipkan amanat oleh Allah Swt berupa kepemimpinan, namun ia
tidak menindaklanjutinya dengan baik, ia tidak akan mendapatkan aroma surga” (HR. al-Bukhari:
1200). Dalam rangka menerapkan sistem keadilan, seorang pemimpin harus tegas dalam
memberikan sanksi kepada para hakim-hakim dan para penegak hukum yang menciderai rasa
keadilan bagi masyarakat, terutama masyarakat bawah. Jangan sampai hukum tajam ke bawah dan
tumpul ke atas, artinya penegakkan hukum yang tembang pilih dan diskriminatif. Dalam
prakteknya, Rasulullah Saw selalu mengutus para hakim ke daerah-daerah untuk menetapkan
hukum dengan seadil-adilnya, karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa (Mukhtarom, 2018).
Salah satu kemuliaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin adalah ketika mereka memimpin
dengan penuh rasa adil, sehari saja berlaku adil akan jauh lebih mulia daripada beribadah 60 tahun,
termasuk ketika mereka menegakkan hukum secara benar dan proporsional akan jauh lebih mulia
daripada hujan selama 40 tahun. Seorang pemimpin harus memiliki prinsip serta komitmen yang
kuat terhadap tegaknya keadilan. Di samping itu, seorang pemimpin harus selalu bersikap
bijaksana. Karenanya sebelum memtuskan suatu perkara atau mengambil suatu tindakan maka
sebaiknya ia berlapang dada untuk menerima masukan dan saran agar segala keputusannya tetap
dapat diterima karena sesuai dengan kemaslahatan rakyat (Arake, 2020).