Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Konsep Pemerintahan: Prinsip-prinsip Demokrasi dan Keadilan

Menelisik dengan Falsafah Islam

Dosen Pengampu :

Nur Fahmi, M.Ag.

PENYUSUN :

Faisal Heriyanto (14010123140131)

Yesenia Nidya Kalila (14010123140152)

I Gusti Ayu Desta A.P (14010123140155)

Halida Sandra Cahayanti S (14010123140163)

Awalul Tsara Farhani (14010123140167)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2023

PENGANTAR
Prinsip-prinsip Demokrasi dan Keadilan merupakan dua konsep yang sangat relevan dalam
konteks perkembangan sosial dan politik di dunia saat ini. Demokrasi sebagai bentuk
pemerintahan yang memberikan hak partisipasi kepada rakyat dalam pengambilan keputusan
telah menjadi salah satu prinsip dasar dalam berbagai negara. Sementara itu, keadilan adalah
asas yang merujuk pada pemberian hak dan perlakuan yang setara bagi semua individu dalam
masyarakat.

Dalam kata pengantar ini, kami akan menjelajahi kedua konsep tersebut dengan lensa
Falsafah Islam. Falsafah Islam memberikan pandangan unik tentang bagaimana demokrasi
dan keadilan dapat diinterpretasikan dan dijalankan dalam konteks nilai-nilai Islam. Dengan
demikian, kami berharap pembaca akan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam
tentang bagaimana prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dapat bersinergi dengan ajaran
Islam, atau mungkin ada perbedaan yang perlu diselaraskan.

Buku ini mencoba untuk menjadi panduan yang informatif dan pemikirian yang mendalam
tentang hubungan antara prinsip-prinsip Demokrasi dan Keadilan dengan Falsafah Islam.
Kami berharap agar karya ini dapat memberikan wawasan yang berharga bagi pembaca
dalam merespons berbagai isu sosial dan politik yang dihadapi dalam masyarakat
kontemporer.

DAFTAR ISI

2
BAB I……………………………………………………………………………………….4
Pendahuluan……………………………….………………………………………………4
A. Latar Belakang Masalah……………………………….…………………………4
B. Tujuan……………………………….………………………………………..……4
C. Manfaat……………………………….……………………………………………5
BAB II……………………………….………………………………………….………….6
Pembahasan……………………………….………………………………………….……6
Ulasan Demokrasi menurut Ilmuan atau Cendikiawan dari Islam…………….…..6
Aliran yang sepenuhnya menerima……………………………….…………..……6
Aliran yang menolak……………………………….…………………………..……7
Aliran yang menyetujui, tetapi mengakui perbedaan
di antara keduanya……………………………….……………………………….…7
Contoh kasus……………………………….…………………………………...……8
Batasan Demokrasi…………………………………………………………………10
Partisipasi Publik…………………………….…..…………………………………10
Kesimpulan……………………………….…………….…………………………………14
Daftar Pustaka…………………………..…….…………………………………….……16

BAB I

PENDAHULUAN

3
A. Latar Belakang Masalah

Pemerintahan adalah suatu ilmu dan juga seni. Dikatakan sebagai sebuah seni karena
dalam ilmu pemerintahan banyak pemimpin pemerintahan tanpa pendidikan pemerintahan
namun mampu ikut serta dalam menjalankan roda pemerintahan. sedangkan jika kita melihat
ilmu pemerintahan sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, karena ilmu pemerintahan
memenuhi syarat sebagai suatu disiplin ilmu yaitu dapat dipelajari dan diajarkan, memiliki
objek, sistematis serta spesifik. Pemerintah dalam arti sempit hanya meliputi lembaga yang
mengurus pelaksanaan roda pemerintahan (Eksekutif). Namun jika dengan arti luas
pemerintahan termasuk lembaga yang membuat perundang-undangan(Legislatif) serta
pelaksana peradilan (Yudikatif). Menurut Van Poelje “Ilmu pemerintahan mengajarkan
bagaimana dinas umum disusun dan di pimpin dengan sebaik-baiknya”(Algemene Inieding
Tot De Bestuurskunde, 1953). Demokrasi secara etimologi berasal dari kata “Demos” yang
berarti rakyat dan “Cratein” berarti kekuasaan atau kedaulatan atau dengan kata lain
demokrasi adalah kedaulatan yang ada di tangan rakyat. Adanya pembagian kekuasaan,
adanya kebebasan individu, adanya musyawarah dan adanya pers bebas merupakan prinsip-
prinsip demokrasi serta pencerminan dari sebuah keadilan. Seperti yang kita tau selama ini
sering sekali terjadi salah persepsi terhadap islam baik dari masyarakat non-muslim maupun
dari umat muslim sendiri. Walaupun sudah ada informasi faktual tentang islam, namun
pengetahuan tentang islam yang benar dan menyeluruh masih amat terbatas. Didukung lagi
oleh masa dimana muncul istilah “ekstrimis” terhadap segelintir umat islam yang menjadikan
islam dipandang sebagai ancaman baik secara teologi maupun politis. Kendati sebenarnya, di
tengah budaya Arab yang keras, Nabi Muhammad SAW. dan para sahabat memimpin,
memerintah dan menyiarkan islam dengan lemah lembut, kecuali bila tertindas barulah di
lakukan hal-hal tegas namun tetap sesuai batas karena islam memiliki acuan yaitu Al-Quran.
Dengan demikian ilmu pemerintahan juga mengacu pada kitab suci dibuktikan dengan hal
tersebut dibahas dengan terperinci dalam Al-Quran.

B. Tujuan

1. Untuk menjelaskan topik yang akan dibahas yakni tentang Prinsip-prinsip Demokrasi
dan Keadilan Menelisik dalam Falsafah Islam.
2. Untuk memahami pandangan Islam mengenai Politik.
3. Untuk mengetahui hubungan antara Islam dengan Politik.
4. Untuk memahami tentang pentingnya umat beragama Islam mengikuti perkembangan
Politik.

C. Manfaat

Dalam Agama Islam, Politik mendapat kedudukan dan tempat yang hukumnya bisa
menjadi wajib. Para ulama terdahulu telah memaparkan nilai dan keutamaan dari politik.
Hujjatul Islam Iman Al-Ghazali mengatakan bahwa dunia merupakan ladang akhirat, agama
tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia. Memperjuangkan nilai kebaikan dalam
agama tidak efektif jika tidak mempunyai kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah
saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan).
Manfaat politik menurut pandangan islam, yakni

4
1. Pemahaman tentang politik: membantu manusia untuk lebih memahami politik yang
benar dan tidak bertentangan dengan agama).
2. Membangun sebuah sistem pemerintahan dan kenegaraan yang tegak diatas dasar
untuk melaksanakan seluruh hukum syari’at Islam (Menegakkan sebuah negara
Islam).
3. Politik merupakan sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan yang bertujuan untuk
menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik menurut agama.
4. Keberjalanan Politik dalam hukum menurut Islam adalah mencapai adanya
musyawarah untuk mencapai suatu hal yang adil.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Ulasan Demokrasi menurut Ilmuan atau Cendikiawan dari Islam

Secara etimologis “ demokrasi” terdiri dari dua kata Yunani, yaitu demos, yang
berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan cratein atau cratos, yang berarti kekuasaan
atau kedaulatan. Gabungan dua kata demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) memiliki
arti suatu sistem pemerintahan dari, oleh, untuk rakyat. Dengan kata lain, pemerintahan

5
demokrasi adalah pemerintahan ditangan rakyat yang mengandung pengertian tiga hal :
pemerintahan dari rakyat (government of the people), pemerintahan oleh rakyat (government
by the people), dan pemerintahan untuk rakyat (government for the people). Tiga faktor ini
merupakan tolak ukur umum dari suatu pemerintahan demokratis.

Perbincangan mengenai demokrasi merupakan salah satu tema yang deras diperbincangkan
berbagai kalangan. Ulasan yang membahas demokrasi sudah banyak dihasilkan oleh para
ilmuan atau cendikiawan dari Islam maupun Barat. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan
intelektual muslim dalam menanggapi demokrasi.

John L. Esposito dan James P. Piscatori menjelaskan bahwa tanggapan para cendikiawan
Muslim terhadap demokrasi dapat diklarifikasi menjadi tiga kelompok yaitu:

1. Aliran yang sepenuhnya menerima

Bagi aliran ini demokrasi bukanlah hal yang harus diperdebatkan apalagi ditentang
keberadaannya. Al-’Aqqad berpendapat bahwa sejarah demokrasi pertama kali dicetuskan
oleh Islam. Hal serupa disampaikan oleh Yusuf al-Qardhawi, menurutnya substansi
demokrasi seiring dengan Islam, yaitu karena Alquran maupun demokrasi sama-sama
menolak diktatorisme.

Salah seorang cendikiawan asal Sudan, Muhammad Taha berpendapat bahwa


demokrasi memiliki kesejajaran dengan sosialisme. Demokrasi sebagai proses pembagian
kekuasaan, sedangkan sosialisme adalah proses untuk mendapatkan kemakmuran sosial
dengan baik. Muhammad Taha mengakui bahwa demokrasi memang suatu sistem yang tidak
sempurna, namun demokrasi juga dapat menjadi sebuah sarana untuk meraih tujuan dalam
merealisasikan martabat manusia.

2. Aliran yang menolak

Kelompok ini berpendapat bahwa antara shura dan demokrasi merupakan dua hal
yang saling berlawanan bahkan harus ditolak. Di antara cendikiawan muslim yang masuk
dalam kelompok ini adalah Syeikh Fadhallah Nuri, beliau berpendapat bahwa demokrasi
merupakan persamaan atas semua warga Negara sehingga tidak mungkin menghadirkan
demokrasi dalam Islam. Contohnya yaitu antara orang yang kaya dan miskin, antara yang
beriman dan tidak beriman, antara ahli hukum (faqih) dan para penganutnya. Syeikh

6
Fadhallah Nuri menyatakan bahwa Islam merupakan agama yang tidak memiliki kekurangan
apalagi membutuhkan penyempurnaan, dan tidak ada satu orang pun dalam Islam yang
diperebolehkan untuk mengatur hukum.

Penolakan terhadap demokrasi juga disampaikan oleh Sayyid Quthb yang menyatakan
bahwa demokrasi merupakan suatu pelanggaran terhadap kekuasaan Tuhan. Beliau
menegaskan bahwa negara Islam harus memiliki landasan prinsip musyawarah, karena sistem
hukum dan moral dalam Islam sudah lengkap.

3. Aliran yang menyetujui prinsip demokrasi dalam Islam, akan tetapi mengakui
perbedaan di antara keduanya

Menurut pandangan Abu al-’Ala al-Maududi terdapat kesamaan wawasan antara


demokrasi dan Islam. Artinya, seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa dalam Islam
maupun demokrasi memiliki kaidah yang hampir sama, seperti keadilan, persamaan,
akuntabilitas pemerintahan, musyawarah, tujuan Negara, dan hak-hak oposisi. Dan
perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa dalam sistem politik Barat, suatu Negara
demokratis menikmati hak-hak kedaulatan mutlak, maka dalam demokrasi Islam
kekhilafahan ditetapkan dan dibatasi oleh garis-garis hukum syariat. Oleh karena itu, sistem
Islam yang mengambil jalan moderat (tengah) ini disebut dengan sistem pemerintahan “teo-
demokrasi” oleh al-Maududi. Yaitu suatu sistem pemerintahan demokrasi Ilahi, yakni sistem
yang kedaulatan rakyat yang dibatasi oleh kedaulatan Tuhan lewat hukum-hukumNya.

KASUS AHOK DENGAN RADIKAL ISLAM DALAM KACAMATA DEMOKRASI


AGONIS

Isu 07 November 2017

Indonesia menjadi pusat perhatian dunia selama proses kampanye Pemilihan Gubernur DKI
Jakarta, Februari 2017 lalu. Pemilihan tersebut disebut sebagai yang terkotor, mempolarisasi,
dan paling memecah belah. Di mana pasangan Anies-Sandi berhasil mengalahkan pasangan
petahana Ahok-Djarot. Kemenangan Anies-Sandi, yang didukung oleh partai Islam sayap

7
kanan seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan
ormas Front Pembela Islam (FPI) – dilihat sebagai pertanda bahwa sikap moderat dan pluralis
di Indonesia telah dikalahkan oleh kelompok islam radikal. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta
pada Februari 2017 Memunculkan perhatian dunia karena beberapa alasan utama tertentu:

1. Proses kampanye Kontroversial: Kampanye tersebut diwarnai oleh kontroversi dan


retorika tajam antara pasanagan calon. Diskusi tentang agama menjadi sorotan utama,
memicu perdebatan yang sangat memanas.

2. Keberhasilan Pasangan Anies-Sandi: Pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno


berhasil mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama {Ahok} dan Djarot Saiful Hidayat dalam
pemilihan tersebut. Ini menjadi pukulan politik yang cukup mengejutkan, menggantikan
kempemimpinan Ahok yang kontroversial.

3. Dukungan dari Kelompok Islam: Anies-Sandi mendapatkan dukungan dari partai


islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan
ormas Front Pembela Islam (FPI). Dukungan ini memicu keprihatinan kelompok islam
radikal mungkin akan memiliki pengaruh yang lebih besar dalam politik Indonesia.

4. Kekhawatiran akan Penurunan Toleransi dan Pluralisme: Kemengan Anis-Sandi


dan dukungan dari partai islam memunculkan kekhawatiran bahwa sikap moderat dan
pluralis di Indonesia, yang dikenal karena menjaga toleransi antarkelompok agama, sedang
mengalami kemunduran.

Secara keseluruhan, pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 menyoroti konflik polotik
yang memecah belah di Indonesia dan meningkatnya pengaruh kelompok-kelompok yang
mewakili sayap kanan islam dalam politik nasional. Pluralisme di negara tersebut.

Strategi kampanye Anies-Sandi yang bernada religius dan menjurus ke propaganda


nampaknya diamini oleh kelompok akar-rumput. Hal ini merupakan pertanda lain bahwa
pluralisme mulai luruh. Ketegangan selama masa kampanye lebih terasa dibandingkan
dengan empat periode Pemilihan Presiden lalu. Hal tersebut disebabkan oleh begitu
banyaknya agenda politik dan strategi politisasi identitas dan agama yang digunakan. Aksi
Bela Islam 411 dan 212 yang menuntut Ahok dipenjara atas tuduhan penghinaan agama –
dilihat sebagai upaya politisasi agama untuk memenangkan Anies Baswedan. Ketika pada
akhirnya Ahok dinyatakan bersalah dan divonis dua tahun penjara, perhatian mengenai masa
depan demokrasi Indonesia tambah dipertanyakan. Amnesti Internasional menyatakan vonis
atas Ahok menodai reputasi Indonesia sebagai bangsa yang toleran. Beberapa poin penting
yaitu:

1. Religius dan Propaganda: Anies-Sandi mengadopsi pesan yang lebih religius dalam
kampanye mereka, yang diaangap sebagai bentuk propaganda. Hal ini membantu mereka
menang dukungan dari kelompok agama tertentu, tetapu meningkatkan ketegangan dalam
masyarakat. Contoh konkret dari strategi kampanye Anies-Sandi yaitu: Pernyataan Agama
selama kampanye, Isu Agama dalam Materi Kampanye, Dukungan dari Kelompok Agama
Konservatif, seperti dapat dukungan kuat dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan ormas
Front Pembela Islam (FPI). Contoh ini mencerminkan cara anies-Sandi memanfaatkan isu-isu

8
agama dalam kampanye mereka untuk memenangkan dukungan dari kelompok agama
tertentu. Hal ini merupakan contoh konkret dari bagaimana kampanye berfokus pada pesan
religius dapat memengaruhi dinamika politik dan sosial di suatu negara.

2. Kasus Ahok: Ahok, petahana yang kontroversial, akhirnya dinyatakan bersalah dan
divonis dua tahun penjara. Ini memicu kekhawatiran tentang masa depan demokrasi di
Indonesia dan repurtai negara sebagai agama yang toleran. Contoh kasus Ahok penghinaan
agama, hal tersebut menjadi peristiwa yang sangat bersejarah di Indonesia. Kasus ini
menimbulkan banyak diskusi tentang isu-isu seperti keadilan, toleransi, dan poilitisasi hukum
di Indonesia.

3. Amenesti Internasional: Organisasi seperti Amnesti Internasional menyatakan


keprihatianan mereka atas vonis Ahok, yang dianggap merusak citra Indonesia sebagai
negara yang toleran.

Sebagai respon atas situasi politik yang kian memanas, Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan
pernyataan yang cukup kontroversial. Jokowi menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia
sudah melenceng terlalu jauh. Karena itu paham politik ekstrim seperti liberalisme,
radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, dan terorisme yang bertentangan dengan
Pancasila bisa muncul dan diartikulasikan. Menurut Jokowi, penegakan hukum merupakan
kunci untuk menghentikan demokrasi ini untuk melenceng terlalu jauh.

Pernyataan tersebut kemudian memunculkan banyak pertanyaan. Apakah demokrasi di


Indonesia memang telah melenceng terlalu jauh? Apabila demikian, demokrasi seperti apa
yang bisa dikategorikan sebagai demokrasi yang ideal?

Pertanyaan seputar demokrasi di Indonesia dianggap sebagai demokrasi yang ideal penting
untuk diperdebatkan. Beberapa poin dari pernyataan Jokowi dalam diskusi ini:

1. Batasan Demokrasi: Pertanyaan mengenai apakah demokrasi di Indonesia telah


melenceng jauh mengingat isu-isu seperti politisasi agama dan keadilan hukum. Hal ini
memunculkan pertanyaan tentang di mana harus ditarik batas antara demokrasi yang
berfungsi dengan baik dan permasalahan yang dapat mengancam hak asasi
manusia,kebebasan sipil, dan toleransi.

2. Partisipasi Publik: Partispasi public yang kuat, transparansi dan akuntabilitas dalam
pemerintahan adalah unsur penting dalam demokrasi yang ideal. Warga sipil juga harus
memiliki akses yang sama untuk memengaruhi proses politik dan mengawasi Tindakan
pemerintah.

Demokrasi yang ideal adalah sebuah konsep abstrak, dan dapat bervariaso tergantung pada
pandangan politik, budaya, dan nilai-nilai yang berlaku dalam Masyarakat tertentu.

Demokrasi bersifat cair dan dinamis. Demokrasi tidak statis dan tidak bisa diperlakukan
sebagai sebuah produk yang kaku. Meski kontestasi, konflik, dan konfrontasi terjadi antar
kelompok, bukan berarti demokrasi di Indonesia sudah melenceng jauh. Demokrasi
menyediakan ruang untuk berbagai macam ideologi, ide, moralitas, dan juga identitas.

9
Sehingga ruang perbedaan ini harus dicari jalan tengahnya dan dibangun melalui kontestasi
politik.

Dari pernyataan Presiden Jokowi di atas, kita bisa melihat bahwa presiden nampaknya
menganut paham demokrasi deliberatif. Di mana keputusan-keputusan konsensual, identitas
kolektif, dan universalitas merupakan kunci atas terciptanya demokrasi yang ideal. Persatuan
juga dianggap sebagai kebaikan bersama sehingga ketika terjadi hubungan konfliktual seperti
yang terjadi antara Ahok dan kelompok Islam radikal, hal tersebut dinilai sebagai gangguan
atas terciptanya demokrasi yang ideal. Paham Jokowi terhadap demokrasi yang ideal
tercermin melalui kebijakannya mencekal Hizbut Tahrir Indonesia atas dasar menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa. Berangkat dari fakta tersebut, penulis menawarkan perspektif
baru untuk melihat kasus Ahok versus kelompok Islam radikal, yaitu melalui konsep
Demokrasi Agonis oleh Chantal Mouffe.

Chantal Mouffe mengkritik keras ide Habermas tentang demokrasi deliberatif dengan
menawarkan konsep Demokrasi Agonis atau Pluralisme Agonis. Mouffe juga mengkritik
bagaimana Habermas begitu mengagung-agungkan konsensus dalam idenya. Demokrasi
deliberatif mungkin saat ini menjadi konsep yang paling populer diuganakan untuk
menganalisis demokrasi di dunia, tetapi Mouffe sendiri percaya bahwa demokrasi deliberatif
merupakan konsep yang belum matang dan kontraproduktif, mempertimbangkan
kedekatannya dengan liberalisme. Pendekatan Demokrasi Agonis oleh Chantal Mouffe yang
telah dijelaskan dalam konteks kasus Ahok versus kelompok Islam radikal selama pemilihan
Gubernur DKI Jakarta 2017 memberikan pandangan baru dalam memahami konflik dan
perbedaan dalam politik. Berikut adalah contoh-contoh yang mencerminkan prinsip
Demokrasi Agonis:

1. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta: Dalam proses kampanye pemilihan gubernur,


kedua pasangan calon, Ahok-Djarot dan Anies-Sandi, menggunakan sebagai
metodekampanye yang berbeda. Ini mencerminkan pluralisme politik dan
memungkinkan warga Jakarta untuk memilih berdasarkan prefensi politik mereka.

2. Demokrasi Aksi Bela Islam: Meskipun demonstrasi besar terjadi oleh kelompok
islam radikal yang menuntut hukuman bagi ahok atas tuduhan penghinaan agama,
demonstrasi berlangsung tanpa kekerasan. Demonstran menjalankan hak mereka
untuk menyuarakan ketidak setujuan mereka, dan ini mencerminkan keberadaan
shared symbolic space yang dijelaskan oleh Mouffe.

3. Konser (Konser Gue Dua): Konser yang diadakan oleh pendukung Ahok sebagai
bagian dari kampanye mereka adalah contoh lain dari cara berbagai pihak
mengartikulasikan suara mereka. Ini mencerminkan keragaman dalam ekspresi politik
dan kebebasan berpendapat.

Dalam semua contoh diatas, meskipun terdapat perbedaan pendapat dan konflik antara
kelompok yang berbeda, konsep Demokrasi Agonis mengajak kita untuk melihat perbedaan
sebagai sesuatu yang alami dan untuk mengelola konflik dengan cara yang lebih inklusif dan
damai. Hal ini sangat beragam pendapat dan identitas untuk tetap ada sambil meminimilakan
resiko konfrontasi yang merugikan stabilitas dan harmoni sosial.

Dalam konsep Pluralisme Agonis, kunci dari harmoni bukan konsensus ataupun kesatuan,
melainkan transformasi relasi sosial dan relasi kuasa yang antagonis ke relasi yang agonis.

10
Mengeliminasi kelompok tertentu bukanlah sebuah opsi dan memupuk keberagaman
dianggap lebih penting. Sebab dalam bentuk yang paling mendasar, perbedaan dan
keberagaman bersifat alami, begitu juga dengan narasi “kita versus mereka”. Hal yang
membedakan antara relasi agonis dan relasi antagonis adalah bagaimana kita memposisikan
“kami” dan “mereka” dalam narasi “kita versus mereka”. Dalam relasi antagonis, imaji
musuh akan dibuat untuk menyerang “mereka” sehingga konfrontasi akan cenderung berakhir
pada eksklusi dan koersi. Sementara itu dalam relasi yang agonis, “mereka” akan dilihat
sebagai lawan. Kehadiran “mereka” berdampingan dengan “kita”. “Mereka” akan selalu
menjadi berbeda. Akan tetapi, perbedaan yang “mereka” miliki tidak membuat “kita”
menentangnya. “Kita” akan tetap menghargai perbedaan tersebut, hidup berdampingan, dan
bahkan bekerja sama dengan “mereka”.

Indonesia merupakan rumah bagi pluralisme, di mana perbedaan dan keberagaman ada sejak
lama. Narasi “kita versus mereka” memang tidak dapat dihindarkan. Kita juga bisa
melihatnya dalam kasus Ahok versus kelompok Islam radikal yang terjadi selama Pemilihan
Gubernur DKI Jakarta kemarin. Kelompok Islam radikal sebagai mayoritas memposisikan
diri mereka sebagai “kita”. Sementara itu, Ahok diposisikan sebagai “mereka”. Melihat relasi
antara kedua pihak tersebut, kita bisa mengatakan bahwa keduanya bekerja sebagai lawan
dalam relasi yang agonis. Kedua pihak memang memperebutkan suatu hal yang sama, yakni
kemenangan dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Namun, mereka tetap berjalan di
bawah sebuah koridor yang disebut Mouffe sebagai shared symbolic space. Shared symbolic
space adalah ruang mengekspresikan perbedaan pendapat dan ketidaksetujuan antar warga
negara. Dalam kasus ini, shared symbolic space yang dimaksud adalah dinamika Pemilihan
Gubernur DKI Jakarta, terutama pada masa kampanye. Hal tersebut adalah ruang yang
digunakan oleh kedua belah pihak untuk mengartikulasikan suara mereka masing-masing.

Kedua pasangan calon telah melalui masa kampanye secara fair. Aksi Bela Islam 411, yang
diliput berbagai media internasional, juga legal menurut UUD 1945 ayat 28, dan UU no. 9
tahun 1998. Tidak ada hukum yang dilanggar oleh kedua belah pihak. Aksi demonstrasi
tersebut juga berlangsung tanpa kekerasan. Para demonstran bahkan menggelar shalat Jum’at
berjamaah di Masjid Istiqlal dan Monas yang juga diikuti oleh Presiden Jokowi dan Calon
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono. Sementara itu,
pendukung Ahok melakukan metode kampanye yang berbeda. Beberapa musisi legendaris
seperti Slank, Tompi, Sandhy Sandoro, Once dan lainnya menggelar konser bertajuk “Konser
Gue Dua” untuk menyampaikan dukungan kepada Ahok dan Djarot.

Dari kampanye tersebut, terlihat bahwa para kandidat Gubernur DKI Jakarta mengusung
proses kampanye yang nir-kekerasan. Meskipun kedua kelompok membawa gagasan yang
berbeda dalam kampanye. Kelompok Anies Baswedan, terdiri atas mayoritas kelompok Islam
radikal, menekankan bahwa memilih pemimpin Non-Muslim dilarang dalam Islam. Sangat
jelas terlihat bahwa propaganda tersebut ditujukan supaya pemilih Muslim tidak mendukung
Ahok yang notabene adalah seorang Non-Muslim. Biarpun begitu, kelompok pendukung
Ahok merespons dengan menggaungkan pluralisme, membawa prestasi-prestasi Ahok-Djarot
sebagai pasangan inkumben, serta “Jakarta untuk Semua”, sebagai strategi kampanye mereka
untuk menarik pemilih.

Pada akhirnya, kedua kelompok berhasil membuktikan bahwa walaupun mereka membawa
prinsip yang bertentangan, kampanye tetap bisa dihelat secara damai dan fair. Kedua
kelompok bekerja sebagai lawan dalam konteks adversary dengan cara fokus pada pesan
yang masing-masing ingin sampaikan kepada para pemilih. Ketika media asing melihat
kemenangan Anies Baswedan sebagai pertanda bahwa demokrasi dan pluralisme di Indonesia

11
mengalami kemunduran, penulis percaya bahwa demokrasi di Indonesia, pada kenyataannya,
sangat sehat dan produktif. Apabila kita melihat dari kaca mata Demokrasi Agonistik oleh
Mouffe, yang menitikberatkan pada pemupukan keberagaman melalui relasi agonis dalam
narasi “kita versus mereka”.

Mengingat bahwa keberagaman telah menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat di


Indonesia, penulis percaya bahwa Jokowi seharusnya melihat kasus Ahok versus kelompok
Islam radikal melalui kacamata demokrasi agonis dan bukan lagi menggunakan demokrasi
deliberatif. Apabila kita melihat melalui kaca mata demokrasi deliberatif, Pemilihan
Gubernur DKI Jakarta kemarin akan mengesankan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami
kemunduran. Karena dalam konsep tersebut, kelompok-kelompok yang bebeda dalam
masyarakat diharapkan mampu untuk mengubur dalam-dalam ego dan ide yang mereka
miliki. Kemudian membawa ide-ide moral universal yang sekiranya bisa diterima semua
kalangan ke permukaan. Dengan begitu, konsensus seolah-olah telah tercapai. Walaupun
yang sebenarnya terjadi adalah pengorbanan ide-ide yang berbeda demi ide yang menurut
pihak tertentu, dapat diterima secara universal. Padahal, kontestasi ide, apabila mampu
dipelihara dengan tepat dapat memberikan dinamika konstruktif kepada demokrasi.
Pencekalan Hizbut Tahrir Indonesia, contohnya, hanyalah usaha untuk menciptakan
konsensus semu. Karena seperti kasus kontestasi Ahok dan kelompok Islam radikal di
belakang Anies Baswedan, Presiden Jokowi melihat bahwa konsensus dan kesatuan sebagai
elemen demokrasi mulai terkikis.

Pada akhirnya, penulis percaya bahwa sudah saatnya Presiden Jokowi mengubah arah
poitiknya dalam mengelola demokrasi di Indonesia. Pekerjaan rumah pemerintah saat ini
bukan untuk mencari cara bagaimana menyeragamkan masyarakat atau menyatukan berbagai
macam ide, moral, dan identitas. Mengeksklusi kelompok tertentu dalam rangka
memperbaiki konsensus kolektif yang dipaksakan tidak akan memperbaiki apapun. Inilah
saatnya memupuk keberagaman dan perbedaan, sehingga relasi agonis yang terjalin antar
kelompok mampu terpelihara dengan baik, dan tidak berubah menjadi relasi yang antagonis.

12
KESIMPULAN

Secara etimologis “ demokrasi” terdiri dari dua kata Yunani, yaitu demos, yang berarti rakyat
atau penduduk suatu tempat, dan cratein atau cratos, yang berarti kekuasaan atau kedaulatan.
atau dengan kata lain sistem pemerintahan dari, oleh, untuk rakyat.

Pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017 menjadi pemilihan yang terkotor, mempolarisasi,
dan paling memecah belah. Di mana pasangan Anies-Sandi berhasil mengalahkan Ahok-
Djarot, karena di dukung olles parti islam sayap kanan seperti, PKS, PPP, dan FPI. Pemilihan
gubernur menjadi perhatian dunia karena beberapa alasan, yaitu :

1. Proses kampanye yang controversial


2. Keberhasilan pasangan anies-sandi
3. Dukungan dari kelompok islam pada Antes-Sandi
4. Kekhawatiran akan penurunan toleransi dan pluralisme

Strategi kampanye Anies-Sandi menjurus ke propaganda yang menyebabkan ketegangan hal


tersebut disebabkan oleh banyak agenda politik dan strategi politisasi identitas dan agama
yang digunakan. Aksi yang menuntut ahok dipenjara atas tuduhan penghinaan agama menjadi
salah satu upaya memenangkan Anies-Sandi.
Beberapa poin penting yang perlu digaris bawahi :

1. Religious dan Propaganda : Anies-Sandi mengadopsi pesan religious dalam


kampanye mereka yang dianggap sebagai bentuk propaganda
2. Kasus penghinaan ahoi terhadap agama islam
3. Amenesti International : organises yang menyatakan keprihatinan atas ovnis ahok
yang dianggap merusak citra indonesia sebagai negara yang toleran

Menurut jokowi, penegakan hukum dan demokrasi merupakan kunci untuk menghentikan
permasalahan ini.
Kesimpulan dari pernyataan diatas ini adalah bahwa demo Agonis atau Pluralisme Agonis
seperti yang di sampaikan oleh Chantal Mouffe, memberikan presepktif baru dalam
memahami konflik dan perbedaan dalam politik. Di Indonesia, terutama dalam kasus Ahok
versus Islam radikal selama pemilihan Gubernur DKI Jakarta, terlihat bahwa demokrasi bisa
tetap sehat dan produktif meskipun terdapat perbedaan pendapat antara kelompok-kelompok
yang berbeda.

Kunci dari demokrasi Agonis yaitu fokus pada transformasi relasi sosial yang Antagonis
menjadi relasi yang Agonis. Ini berarti mengelola perbedaan konflik dengan cara inklusif
dan, damai tanpa mengorbankan identitas atau ideologi kelompok tertentu. Sebagai negara
Pluralisme yang kaya, Indonesia dapat mengambil paduan dari konsep ini untuk memupuk
keberagaman dan mendorong dialog yang konstruktif.

13
Selain itu, penulis berpendapat bahwa Presiden Jokowi seharusnya mengubah pendekatan
dalam mengelola demokrasi di Indonesia, menghindari upaya untuk menyatukan ideologi dan
identitas secara paksa, dan lebih fokus pada pemeliharaan relasi agonis antar kelompok.
Dalam pandangan penulis, keberagaman dan perbedaan harus dilihat sebagai kekayaan yang
perlu dipelihara, bukan sebagai masalah yang harus diselesaikan dengan memaksakan
konsensus semu. Dengan demikian, demokrasi Indonesia dapat terus berkembang dalam
suasana yang inklusif dan harmonis

14
Daftar Pustaka

https://agil-asshofie.blogspot.com/2010/04/demokrasi.html

http://digilib.uinsa.ac.id/32883/1/Nur%20Istiqlaliyah_E93215130.pdf

● al-Jazeera. Hizbut Tahrir Indonesia Banned ‘to protect unity’. July 19, 2017.
http://www.aljazeera.com/news/2017/07/indonesia-hizbut-tahrir-group-banned-
protect-unity-170719050345186.html (accessed September 13, 2017).
● Harvey, Katheryn. Democratic Agonism: Conflict and Contestation in Divided
Societies. October 22, 2012. http://www.e-ir.info/2012/10/20/democratic-agonism-
conflict-and-contestation-in-divided-societies/ (accessed June 1, 2017).
● Ihsanuddin. Jokowi: Demokrasi Kita Sudah Kebablasan. February 2, 2017.
http://nasional.kompas.com/read/2017/02/22/12031291/jokowi.demokrasi.kita.sudah.
kebablasan (accessed June 1, 2017).
● Mouffe, Chantal. Chantal Mouffe: Agonistic Democracy and Radical Politics. 2009.
http://pavilionmagazine.org/chantal-mouffe-agonistic-democracy-and-radical-politics/
(accessed June 1, 2017).
● Mouffe, Chantall. “Deliberative Democracy or Agonistic Pluralism.” Political
Science Series 72, December 2000: 1-13.
● Tempo.co. Amnesty International Slams Ahok’s Guilty Verdict. May 10, 2017.
https://en.tempo.co/read/news/2017/05/10/055874018/Amnesty-International-Slams-
Ahoks-Guilty-Verdict (accessed June 1, 2017).
● The Jakarta Post. Editorial: Vote for our dignity. April 8, 2017.
http://www.thejakartapost.com/academia/2017/04/18/editorial-vote-for-our-
dignity.html (accessed June 1, 2017).
● The New York Times. Election Tests Indonesian Democracy. April 27, 2017.
https://www.nytimes.com/2017/04/27/opinion/election-tests-indonesian-
democracy.html?mcubz=0 (accessed June 1, 2017).

15

Anda mungkin juga menyukai