Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ISLAM DAN DEMOKRASI

Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah


Pengembangan Pemikiran Islam

Dosen Pengampu :

Dr. Syahrullah M.Pd.


Dr. Siti Uswatun Hasanah, MA

Oleh:

Kelompok : XII
Asri Dewantoro (5122019)

Resmi Astuti (5122023)

Apri Cendrawasih (5122039)

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik yang berjudul Islam dan Demokrasi.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman kita


tentang Islam dan Demokrasi. Dalam penyusunan makalah ini, kami telah
mengumpulkan dan menganalisis berbagai sumber referensi yang relevan dengan
topik yang dibahas. Kami juga berusaha untuk menyajikan informasi dengan
bahasa yang mudah dipahami dan disertai dengan contoh-contoh yang dapat
memperjelas konsep-konsep yang dibahas.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna,
namun kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi
pembaca yang ingin memperdalam pemahaman tentang Islam dan Demokrasi.

Akhir kata, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian makalah ini, terutama
kepada dosen pengampu mata kuliah yang telah memberikan bimbingan dan
masukan yang sangat berharga.

Jakarta, 19 Juli 2023

Penyusun

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Satu pertanyaan krusial yang belum terurai secara memuaskan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara adalah bagaimana agama dibawa ke dalam
ruang-ruang demokrasi agar kehadirannya tidak kontra produktif dengan prinsip-
prinsip dasar ketatanegaraan kita?
Islam dan demokrasi seringkali dianggap sebagai dua hal yang tidak dapat
berjalan bersama, seperti yang diungkapkan oleh Huntington (dalam Mujani, dkk,
2002, hlm. 65) yang mengklaim bahwa partsisipasi politik merupakan konsep
yang asing dalam masyarakat Islam. Jika ada partisipasi politik dalam masyarakat
Islam, maka hal itu pasti terkait dengan kegiatan keagamaan, bukan kegiatan
politik non-keagamaan. Hal ini dikarenakan dalam Islam tidak ada pembedaan
antara komunitas keagamaan dan komunitas politik.
Di Islam, pengaruh seorang kiai tentu saja begitu luas. Sebagai pemegang
otoritas keagamaan, otoritas dan kekuasaannya dalam masyarakat tidak hanya
terbatas pada hubungan sosial saja, tetapi juga dapat diterapkan dalam dunia
politik. Keberhasilan kiai dalam memimpin masyarakat, menjadikannya semakin
tampak sebagai orang yang berpengaruh, termasuk dalam ranah politik, sehingga
mampu mempengaruhi dan menggerakkan aksi atau tanggapan emosional para
pengikutnya (Bisri, 2000, hlm. 85).
Mengenai ulama dan politik yang tidak lepas dari islam dan umatnya, pada
tahun 1980-an umat Islam pernah ada semacam anjuran dari para tokohnya agar
tidak mencampurkan agama dengan politik terutama di Indonesia, berangkat dari
hal tersebut memberikan kesan bahwa umat Islam tidak perlu berpolitik apalagi
dalam masyarakat lingkungan ulama semisal di lingkung pesatren dan karena
itulah orang islam dan para tokohnya menjadi phobia berbicara soal politik.
Konstitusi kita memang tidak melarang siapa pun untuk membawa agama ke
ranah politik-demokrasi. Namun, penafsiran dan penempatan yang salah atas
agama dalam ruang-ruang demokrasi bukan hanya dapat mengantarkan bangsa ini

1
pada involusi peradaban, melainkan juga pada tebing kehancuran. Oleh karena
itu, bangsa ini harus cerdas mengkonstruk pola relasi agama demokrasi yang tepat
agar kehadiran agama benar-benar bisa menjadi rahmat bagi semua dan
membimbing bangsa ini ke arah lebih baik.
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan sebelumnya, penulis
melihat begitu kompleksnya kehidupan politik dan Islam. Maka penulis
bermaksud mengambil judul makalah tentang Islam dan Demokarasi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem pemerintahan dalam Islam?
2. Apa hubungan demokrasi dan musyawarah dalam pandangan Islam?
3. Bagaimana etika berdemokrasi dalam Islam?
4. Bagaimana relasi Islam dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat serta
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sistem Pemerintahan dalam Islam


Secara etimologi, pemerintahan berasal dari: (a) Kata dasar “pemerintah”
berarti melakukan pekerjaan menyeluruh. (b) Penambahan awalan “pe” menjadi
“pemerintah” berarti badan yang melakukan kekuasaan memerintah. (c)
Penambahan akhiran “an” menjadi “pemerintahan” berarti perbuatan, cara, hal
atau urusan daripada badan yang memerintah tersebut.1
Pemerintahan memang tidak identik dengan negara, karena negara bersifat
statis, sedangkan pemerintahan bersifat dinamis. Namun antara negara dengan
pemerintahan tidak dapat dipisah karena pemerintahlah yang berfungsi
melaksanakan urusan-urusan kenegaraan. Suatu pemerintahan menentukan corak
sistem yang dianut oleh negara, apakah teokrasi, nomokrasi dan sebagainya.
Corak pemerintahan melahirkan bentuk sebuah negara. Bentuk negara menjadi
penting bila pemerintah suatu negara menjadi mesin kekuasaan yang dijalankan
oleh seorang pemimpin.
Menurut Hasan al-Banna sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abdul Qadir
Abu Faris, pemerintahan Islam adalah pemerintah yang terdiri dari pejabat-pejabat
pemerintah yang beragama Islam, melaksanakan kewajiban-kewajiban agama
Islam dan tidak melakukan maksiat secara terang-terangan, melaksanakan hukum-
hukum dan ajaran-ajaran agama Islam.2
Sistem pemerintahan yang pernah dipraktikkan dalam Islam sangat terkait
dengan kondisi konstektual yang dialami oleh masing-masing-umat. Dalam
rentang waktu yang sangat panjang sejak abad ke-7 Masehi hingga sekarang, umat
Islam pernah mempraktekkan beberapa sistem pemerintahan. Sistem
pemerintahan dalam Islam disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, namun tidak

1
Sirajuddin, Politik Ketatanegaraan Islam Studi Pemikiran. A. Hasjmy, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 114.
2
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Fiqih Politik Hasan al-Banna, Terj. Odie alFaeda,
Solo: Media Insani, 2003, hlm. 39

3
ada satu bentuk pemerintahan yang ditetapkan secara khusus dalam Islam. Berikut
beberapa bentuk pemerintahan dalam Islam yang pernah ada:
1. Khalifah: Pada awalnya, Khalifah merupakan bentuk pemerintahan yang
dipilih oleh umat Islam untuk menggantikan Nabi Muhammad setelah
wafatnya. Khalifah memiliki otoritas tertinggi dalam pemerintahan dan
memimpin umat Islam secara politik dan spiritual. Dalam bahasa Ibn
Khaldun, kekhalifahan adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum
muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan
memikul da’wah Islam ke seluruh dunia. Menurut Mohammed S. Elwa
bahwa siapa saja terlibat dalam sebuah riset tentang prinsip-prinsip sistem
politik Islam dan sejarahnya, maka harus menerima kenyataan bahwa
Rasulullah Saw adalah yang pertama kali membentuk pemerintahan Islam,
sesudah hijrah dari Mekkah ke Madinah.3
2. Monarki: Pada masa kejayaan Islam, beberapa negara Muslim dipimpin
oleh raja-raja atau sultan-sultan yang memerintah atas dasar agama Islam.
Raja atau sultan tersebut memiliki hak istimewa dalam menjalankan
pemerintahan, namun tetap harus mematuhi prinsip-prinsip Islam.
3. Republik: Beberapa negara Islam modern mengadopsi sistem pemerintahan
republik, seperti di Indonesia dan Turki. Dalam sistem pemerintahan
republik, kekuasaan berada di tangan rakyat melalui pemilihan umum.

Dalam Islam, prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi rakyat dalam


pemerintahan dianggap sangat penting. Oleh karena itu, Sistem pemerintahan
dalam Islam memiliki beberapa konsep dan prinsip yang penting, di antaranya:
a. Kepemimpinan (imamah): Pemimpin dalam Islam harus dipilih oleh umat
Islam dan harus memiliki kualitas moral dan intelektual yang baik.
Pemimpin harus bertanggungjawab kepada rakyat dan berusaha
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat.

3
Mohammed S. Elwa, Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam, Terj. Anshori Thayib,
Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983, hlm. 19

4
b. Syura: Prinsip syura adalah prinsip konsultasi dan musyawarah dalam
pengambilan keputusan. Prinsip ini menekankan bahwa keputusan harus
dibuat berdasarkan kesepakatan bersama antara pemimpin dan rakyat.
c. Hukum Islam (syariah): Sistem pemerintahan dalam Islam didasarkan pada
hukum Islam, yang mencakup seluruh aspek kehidupan, baik yang bersifat
ibadah maupun yang bersifat muamalah.
d. Adil dan merata: Pemerintah dalam Islam harus bertindak adil dan merata
terhadap seluruh rakyat, tanpa membedakan suku, agama, atau ras.
e. Perlindungan hak asasi manusia: Sistem pemerintahan dalam Islam
menjamin perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak kebebasan
beragama, hak kebebasan berekspresi, hak atas hak milik, dan hak-hak
lainnya.
f. Pemisahan kekuasaan: Dalam Islam, kekuasaan dibagi menjadi tiga:
kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Pemisahan kekuasaan ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

B. Demokrasi dan Musyawarah dalam Pandangan Islam


Salah satu wacana yang cukup kontroversial di kalangan intelektual
Muslim adalah demokrasi. Kontroversi di seputar wacana demokrasi memang
wajar terjadi. Sebab, demokrasi adalah barang asing yang datang bukan dari
dunia Islam. Demokrasi datang dari dunia Barat yang memiliki akar historis dan
pandangan dunia (worldview) yang berbeda dengan dunia Islam. Lebih jauh
bahkan ada yang berpandangan bahwa demokrasi memiliki landasan
substansial yang berbeda dengan Islam. Kalau Islam bersumber pada Al-
Qur’an dan Sunnah, maka demokrasi murni hasil pemikiran manusia.4

Dalam hal perdebatan wacana tentang demokrasi, intelektual Muslim terbagi


ke dalam beberapa kelompok. Pertama, mayoritas masyarakat Islam tidak
memisahkan antara Islam dan demokrasi. Hubungan antara Islam dan

4
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. (Jakarta: Gema Insani
Press,1996), hlm. 43.

5
demokrasi dalam perspektif kelompok ini5 menggambarkan hubungan simbiosis-
mutualisme, yakni hubungan yang saling membutuhkan dan saling mengisi.
Artinya, kehadiran Islam selalu memberikan pandangan moral yang benar
bagi tindakan manusia. Islam merupakan sebuah totalitas sempurna yang
menawarkan ajaran-ajaran yang dapat memecahkan semua masalah
kehidupan. Kelompok ini ingin mendasarkan seluruh kerangka kehidupannya,
termasuk dalam urusan politik ataupun demokrasi, pada ajaran Islam6.
Kedua, sebagian masyarakat Islam menegaskan bahwa ada hubungan yang
canggung antara Islam dan demokrasi, bahkan mereka mengatakan bahwa Islam
bertentangan dengan demokrasi. Hubungan antara Islam dan demokrasi dalam
perspektif kelompok ini 7menggambarkan hubungan antagonistik. Menurut
kelompok ini, Islam bertentangan dengan demokrasi yang datang dari dunia
Barat. Islam mempunyai konsep tersendiri dalam mengatur pemerintahan,
yang dikenal dengan konsep syura. Kelompok ini membuat garis perbedaan
yang tegas antara konsep demokrasi Barat dengan konsep syura, walaupun
keduanya sama-sama merupakan konsep dalam mengatur pemerintahan.8
Ketiga, sebagian masyarakat Islam lainnya menerima adanya hubungan
antara Islam dan demokrasi, tetapi dengan memberikan catatan kritis. Mereka
tidak sepenuhnya menerima dan tidak seutuhnya menolak hubungan antara
Islam dan demokrasi. Bahkan, ada beberapa intelektual Muslim Indonesia yang
berusaha mengembangkan sintesis hubungan antara Islam dan demokrasi.
Hubungan antara Islam dan demokrasi dalam perspektif kelompok

5
Kelompok ini diwakili oleh tokoh-tokoh Muslim seperti Deliar Noer, Ahmad Syafi’i
Ma’arif, Aswab Mahasin, dan Abdurrahman Wahid.
6
Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien
Rais (Jakarta: Teraju, 2005), hlm. 7-8
7
Kelompok ini diwakili oleh tokoh-tokoh Muslim yang tergabung dalam Hizbut
Tahrir, seperti Syaikh Ali Belhaj dan Abdul Qadim Zallum. Salah satu tokoh yang cukup
vokal menentang demokrasi adalah Abdul A’la al-Maududi. Al-Maududi sangat menentang
konsep kedaulatan rakyat ala demokrasi Barat. Demokrasi Barat mengajarkan bahwa kedaulatan
mutlak ada di tangan rakyat. Padahal menurut al-Maududi, walaupun rakyat punya wewenang
untuk menetapkan sebuahkeputusan, tetapi keputusan tersebut tunduk di bawah kedaulatan Tuhan.
Dalam istilah al-Maududi disebut theo-democracy. Lihat M. Amien Rais, “Kata Pengantar”,
dalam Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan
Islam, terj. Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 23-24.
8
Idris Thaha, Demokrasi Religius, hlm. 8-9.

6
ini 9 menggambarkan hubungan reaktif-kritis atau resiprokal-kritis. Bagi
kelompok ini, Islam memiliki nilai-nilai etis yang berkaitan dan mendukung
demokrasi, seperti prinsip al-‘adalah, al-musawah, dan asy-syura. Walaupun
prinsip-prinsip ini memiliki nilai-nilai etis yang sama dengan demokrasi Barat,
tetapi dalam penerapannya berbeda.10
Demokrasi dan musyawarah memiliki hubungan erat karena keduanya
merupakan prinsip-prinsip penting dalam pengambilan keputusan yang baik
dalam suatu masyarakat.
Demokrasi adalah suatu bentuk sistem pemerintahan yang memberikan
kekuasaan kepada rakyat dalam pengambilan keputusan. Dalam demokrasi, rakyat
memiliki hak untuk memilih pemimpin dan wakilnya, serta terlibat dalam proses
pengambilan keputusan melalui mekanisme pemungutan suara atau voting.
Prinsip demokrasi sangat penting untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang
berdasarkan pada keadilan dan kebebasan.
Sementara itu, musyawarah adalah suatu proses konsultasi atau diskusi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu masalah untuk mencapai
kesepakatan bersama. Dalam musyawarah, setiap pihak memiliki hak untuk
menyampaikan pendapatnya dan memperjuangkan kepentingannya, namun pada
akhirnya diharapkan mampu mencapai kesepakatan yang adil dan saling
menguntungkan.
Dalam sistem pemerintahan Islam, musyawarah dianggap sebagai prinsip
penting dalam pengambilan keputusan. Konsep musyawarah dalam Islam
dipandang sebagai salah satu bentuk penerapan prinsip syura, atau konsultasi,
dalam pengambilan keputusan yang lebih adil dan lebih baik. Prinsip musyawarah
juga dapat diterapkan dalam praktek demokrasi untuk memastikan bahwa
keputusan yang diambil mewakili kehendak mayoritas dan tidak merugikan
minoritas. Dalam kesimpulannya, demokrasi dan musyawarah memiliki hubungan
yang erat karena keduanya bertujuan untuk mencapai keputusan yang lebih adil,

9
Intelektual Muslim yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Bachtiar Effendy,
M. Amien Rais, dan Nurcholish Majdid.
10
Idris Thaha, Demokrasi Religius, hlm. 9-10

7
lebih demokratis, dan lebih memperhatikan kepentingan rakyat secara
keseluruhan.
C. Etika Berdemokrasi
Etika berdemokrasi adalah seperangkat nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip
yang harus dipatuhi oleh seluruh pemangku kepentingan dalam sebuah sistem
demokrasi. Beberapa nilai dan prinsip yang menjadi bagian dari etika
berdemokrasi antara lain:
1. Menghormati hak asasi manusia
Setiap individu memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam proses
demokrasi dan berbicara sesuai dengan keyakinannya tanpa adanya tekanan
atau intimidasi.
2. Transparansi dan akuntabilitas
Seluruh proses dan keputusan dalam sistem demokrasi harus transparan dan
dapat dipertanggungjawabkan, sehingga masyarakat dapat memahami
alasan dibalik keputusan yang diambil oleh para pemimpin dan perwakilan
mereka.
3. Keterlibatan aktif
Warga negara harus terlibat secara aktif dalam proses demokrasi, baik
melalui partisipasi dalam pemilihan umum, aksi sosial, maupun dialog
dengan para pemimpin dan perwakilan.
4. Penerimaan hasil pemilihan
Hasil pemilihan harus dihormati dan diterima secara baik oleh semua pihak,
tanpa adanya kekerasan atau tindakan yang merugikan kepentingan
masyarakat.
5. Kepentingan bersama
Keputusan yang diambil harus didasarkan pada kepentingan bersama dan
tidak merugikan kepentingan kelompok tertentu atau kepentingan individu.
6. Penghargaan terhadap perbedaan
Setiap individu dan kelompok memiliki hak untuk berbeda pendapat dan
memiliki keyakinan yang berbeda, sehingga perlunya penghargaan terhadap
perbedaan tersebut.

8
7. Keadilan dan kebebasan
Sistem demokrasi harus mampu memberikan perlindungan dan jaminan
terhadap kebebasan dan hak-hak warga negara, serta mampu menciptakan
tata kelola yang adil dan merata bagi seluruh warga negara.
Kesimpulannya, etika berdemokrasi merupakan suatu pandangan bahwa
dalam menjalankan sistem demokrasi, dibutuhkan sikap dan perilaku yang
menghargai hak asasi manusia, transparansi, keterlibatan aktif masyarakat,
penerimaan hasil pemilihan, kepentingan bersama, penghargaan terhadap
perbedaan, serta menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebebasan bagi seluruh
warga negara.
D. Implikasi Islam dalam berkehidupan berbangsa dan bermasyarakat
Manusia dengan segenap aspek multikulturalis yang mendampinginya,
merupakan suatu entitas yang unik. Realita keragaman manusia, baik dari segi ras,
suku, bangsa, agama dan ideologinya menjadi keniscayaan, tidak dapat dihindari,
dan harus diterima sebagai fakta empiris-realistis. Sikap dewasa dan bijaksana
menjadi sikap yang harus selalu menyertai dalam menghadapi realitas masyarakat
yang majemuk. Islam sebagai salah satu pranata sosial yang tidak memungkiri
fakta keragaman masyarakat ini bahkan menganjurkan kepada setiap pemeluknya
untuk saling mengenal, berdialog, berinteraksi dan bersama-sama membangun
kehidupan sejahtera di muka bumi tanpa memandang kondisi sosio kultural,
gender, agama.11
Sejarah mencatatkan peran Nabi Muhammad dalam membangun ikatan
emosional dan persatuan di antara kabilah-kabilah Arab yang majemuk.
Perbedaan suku di kalangan masyarakat Arab sering menimbulkan konflik
berkepanjangan.12 Piagam Madinah yang merupakan konsensus masyarakat arab
yang plural menjadi simbol persatuan yang berhasil memberikan kehidupan aman,
Makmur, dan sejahtera bagi masyarakat Madinah yang plural saat itu.13

11
Lihat QS. Al-Hujurat: 13
12
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasat Islamiyah II, Jakarta: Rajawali Press,
2004, hal. 24
13
Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Revolusi Terpimpin (1959-
1965), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998.

9
Nabi Muhammad telah meletakkan dasar-dasar kehidupan bernegara untuk
masyarakat majemuk dalam hal suku dan agama. Dalam konteks ke-Indonesia-an,
Piagam Madinah dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam Indonesia secara
khusus dan seluruh rakyat Indonesia secara umum. Di samping konstitusi dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku secara positif, Piagam Madinah yang
merupakan salah satu dari doktrin religius yang tidak hanya berupa qaul (ucapan),
namun lebih jauh harus mampu diimplementasikan dalam kehidupan umat
muslim sebagai bentuk kepatuhan terhadap ajaran agama. Piagam Jakarta yang
menjadi cikal bakal lahirnya Pancasila sendiri bahkan dalam perjalanannya
menghadapi kritik dan konflik pemikiran yang menuntut kedewasaan berfikir para
pendiri negara (founding fathers) dalam membangun kehidupan berbangsa,
bernegara dan beragama yang ideal. Hingga pada akhirnya, melalui kedewasaan
berfikir dan kesadaran akan pluralisme kita, agama dan negara mampu
dikawinkan melalui ikatan Pancasila yang mampu mengimplementasikan ajaran
agama dan penegakan syariat secara inklusif.14
Perumusan Pancasila dan konstitusi memang berupa kristalisasi dari nilai-nilai,
kebudayaan dan tradisi yang telah mengakar kuat dalam jiwa bangsa (volkgeist),15
sehingga mampu bertahan dan dilestarikan oleh masyarakat Indonesia meskipun
di berada dalam badai globalisasi dan perubahan atau pergeseran nilai. Terlepas
dari konflik saat perumusannya, Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang
Maha Esa” menjadi jiwa bagi setiap sila-sila selanjutnya. Setiap pengamalan sila-
sila Pancasila tentu tidak boleh terlepas dari unsur transeden, yang artinya harus
sesuai dengan ketentuan ajaran agama, dimana penganut agama Islam terikat pada
ketentuan ajaran Islam, pun terhadap agama-agama lain yang ada di Indonesia
yang terikat dengan ajaran agamanya masing-masing. Tujuan dari pengamalan
Pancasila ini tidak lain adalah untuk mencapai tujuan perlindungan (Protect
Goal), kesejahtaraan (Welfare Goal), pencerdasan (Educational Goal) dan
ketertiban (Peacefull Goal) sebagaimana telah dirumuskan dalam Pembukaan
UUD 1945.

14
Zain Abidin, Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin Dan Sejarah, Jurnal Humaniora Vol.4
No.2 Oktober 2013, hlm. 1287).
15
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma Press, hlm. 8.

10
Upaya negara dalam mencapai tujuan ini tentu bukan hal mudah, dan tidak
jarang menghadapi hambatan dan rintangan. Konflik atas nama agama sering
dituding menjadi salah satu sumber permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pun demikian, meskipun memiliki dasar dan prinsip keyakinan
(akidah) yang berbeda, setiap agama mengajarkan pada kebaikan. Pada taraf ini,
kita perlu kembali membangun kesadaran bahwa setiap agama memiliki ajaran
atau prinsip yang berbeda yang tidak -akan pernah- bisa disatukan dan
dipersamakan. Namun dalam hal hubungan atau interaksi sosial, tentu setiap
orang mengharapkan kehidupan sosial yang baik dan dalam hubungan kebangsaan
setiap orang menginginkan tercapainya tujuan hidup bersama sebagai bangsa yang
satu.
Islam mengajarkan bahwa dalam kehidupan sosial, kebermanfaatan terhadap
orang lain merupakan hal yang menentukan kualitas pribadi seorang muslim.
Kualitas pribadi tersebut dapat dilihat dari sikap bagaimana seorang muslim
memperlakukan keluarganya, saudaranya, tetangganya dan orang-orang yang ada
di sekitarnya tanpa memandang ras, suku, bangsa dan agamanya. Bahkan dalam
hadis lain, sikap pribadi muslim merupakan cerminan dari keimanannya.
Islam memiliki aplikasi yang luas dalam berkehidupan berbangsa dan
bermasyarakat. Berikut ini adalah beberapa contoh aplikasi Islam dalam
berkehidupan berbangsa dan bermasyarakat:
1. Menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kesetaraan: Islam menekankan
pentingnya keadilan dan kesetaraan dalam segala aspek kehidupan. Oleh
karena itu, dalam berkehidupan berbangsa dan bermasyarakat, Islam
mengajarkan untuk memperlakukan semua orang dengan adil dan tidak
melakukan diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, dan jenis kelamin.
2. Berperilaku sopan dan santun: Islam menekankan pentingnya berperilaku
sopan dan santun dalam berinteraksi dengan sesama. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara mengucapkan salam, memperhatikan etika dalam
berbicara, dan tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain.
3. Menjaga hubungan sosial yang baik: Islam mengajarkan pentingnya
menjaga hubungan sosial yang baik dengan orang lain. Hal ini dapat

11
dilakukan dengan cara memperhatikan hak-hak orang lain, menghormati
orang lain, dan tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain.
4. Menjaga lingkungan hidup: Islam juga mengajarkan untuk menjaga
lingkungan hidup. Hal ini dapat dilakukan dengan cara tidak melakukan
tindakan yang merusak lingkungan, memelihara kebersihan lingkungan,
dan menghargai alam sekitar.
5. Berpartisipasi dalam kegiatan sosial: Islam mengajarkan pentingnya
berpartisipasi dalam kegiatan sosial untuk membantu orang yang
membutuhkan, seperti memberikan bantuan kepada yatim piatu, fakir
miskin, dan orang sakit.
6. Memperjuangkan hak-hak orang lain: Islam mengajarkan untuk
memperjuangkan hak-hak orang lain yang dirugikan, seperti hak-hak
kaum minoritas, hak-hak buruh, dan hak-hak perempuan.
7. Menjaga keamanan dan ketertiban: Islam menekankan pentingnya
menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara menghormati hukum dan peraturan yang berlaku,
serta tidak melakukan tindakan yang merugikan keamanan dan ketertiban
masyarakat.

Kesimpulannya, Islam memiliki banyak aplikasi dalam berkehidupan


berbangsa dan bermasyarakat, seperti menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan
kesetaraan, berperilaku sopan dan santun, menjaga hubungan sosial yang baik,
menjaga lingkungan hidup, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, memperjuangkan
hak-hak orang lain, dan menjaga keamanan dan ketertiban. Hal-hal tersebut dapat
membantu menciptakan masyarakat yang harmonis, adil, dan sejahtera.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam dan demokrasi bukanlah dua hal yang saling bertentangan. Sebagai
agama yang menyeluruh, Islam memberikan prinsip-prinsip yang sesuai
dengan nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan berpendapat, kesetaraan, dan
keadilan. Oleh karena itu, Islam dapat menjadi dasar yang kuat untuk
mendukung penerapan sistem demokrasi di suatu negara.
Namun, dalam penerapannya, perlu adanya pemahaman yang benar dan
akurat tentang ajaran Islam serta prinsip-prinsip demokrasi. Pemahaman yang
salah atau kurang tepat dapat menghasilkan interpretasi yang salah terhadap
ajaran Islam atau demokrasi, yang pada akhirnya dapat mengarah pada
penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antara pemerintah, tokoh agama,
dan masyarakat untuk membangun pemahaman yang benar dan akurat tentang
ajaran Islam dan demokrasi, serta mengimplementasikan prinsip-prinsip
tersebut dengan baik dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Dengan
demikian, Islam dan demokrasi dapat menjadi solusi bagi negara-negara yang
ingin mencapai kesejahteraan masyarakatnya secara berkelanjutan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Thaba, 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta:
Gema Insani Press.
Badri Yatim, 2004. Sejarah Peradaban Islam: Dirasat Islamiyah II, Jakarta:
Rajawali Press.
Idris Thaha, 2005. Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan
M. Amien Rais. Jakarta: Teraju.
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma Press.
Mohammed S. Elwa,1983. Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam, , Surabaya:
PT Bina Ilmu.
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, 2003. Fiqih Politik Hasan al-Banna, Solo:
Media Insani.
Sirajuddin, 2007. Politik Ketatanegaraan Islam Studi Pemikiran: A. Hasjmy,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syafii Maarif, 1998. Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Revolusi
Terpimpin (1959-1965), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.
Zain Abidin, 2013. Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin Dan Sejarah, Jurnal
Humaniora.

14

Anda mungkin juga menyukai