Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SISTEM POLITIK DALAM ISLAM & HAM

DISUSUN OLEH:

RAMA ANANDA RESTA (2001016059)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA

1
DAFTAR ISI

COVER............................................................................................................................................1

DAFTAR ISI....................................................................................................................................2

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................................5
1.3 Tujuan...............................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................6
2.1 Pengertian Sistem dan Politik Islam.................................................................................................6
2.2 Ruang Lingkup dan Dasar Pembentukan.........................................................................................7
2.3 Hubungan antara Islam dan Politik.................................................................................................10
2.4 Prinsip Pemerintahan Islam............................................................................................................12
2.5 Nilai-nilai dasar Politik dalam Islam....................................................................................17
2.6 Demokrasi dan Syuro.....................................................................................................................20
2.7 Kontribusi Umat Islam terhadap Implementasi Politik Islam di Indonesia....................................22
2.8 Kedudukan Islam terhadap Penegakan Hukum..............................................................................23
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................28
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................................28
3.2 Saran...............................................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................29
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah Pendidikan Agama Islam dengan judul “Sistem Politik dalam Islam dan HAM” tepat pada
waktunya.

Makalah sederhana ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak M. Hasyim M, S. Ag., M.Ed selaku Dosen pengampu mata
kuliah Pendidikan Agama Islam. Dan pihak-pihak yang telah membagi pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah kami.

Dalam makalah ini membahas tentang pengertian sistem dan politik dalam Islam, ruang lingkup dan dasar
pembentukan sistem politik dalam Islam, hubungan antara Islam dan politik, dan masih banyak lagi. Kami
berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi diri kami sendiri selaku pembuat makalah dan khususnya
pembaca pada umumnya.

Demikian yang dapat kami sampaikan, dan mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan
yang belum kami ketahui. Maka dengan kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat
kami harapkan dari teman-teman maupun dosen guna peningkatan kualitas makalah ini dan makalah lainnya pada
waktu mendatang.

Balikpapan, 26 April 2021

Penyusun
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Politik merupakan hal yang tidak terlepas dari kekuasaan sehingga dalam berpolitik dibutuhkan
penguasa yang dipercaya oleh rakyat dan untuk rakyat. Politik memiliki sistem yang didalamnya memiliki
unsur-unsur yang saling berkaitan dan saling bergantung. Sedangkan politik berarti berbagai macam
kegiatan yang terjadi di dalam suatu negara yang berkaitan dengan proses menetapkan tujuan dan bagaimana
cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Politik Islam memiliki corak yang berbeda dari politik Barat. Ciri umum politik ketatanegaraan
Islam pada masa klasik ditandai oleh pandangan mereka yang bersifat khalifah sentris. Kepala negara atau
khalifah memegang peranan penting dan memiliki kekuasaan yang sangat luas. Rakyat dituntut untuk
mematuhi kepala negara, bahkan di kalangan sebagian pemikir sunni terkadang sangat berlebihan.

Konsep kepatuhan mutlak kepada kepala negara dan menganggapnya sebagai bayang-bayang Tuhan
di muka bumi mengakibatkan lemahnya kontrol rakyat terhadap kekuasaan. Karena lemahnya kontrol
terhadap pemerinah yang berkuasa, dalam pemikiran politik klasik dan pertengahan tidak terdapat gugatan
terhadap bentuk pemerintahan kerajaan (dinasti, monarki). Bahkan ada di antara pemikir yang secara
eksplisit menganggap bahwa kerajaan adalah bentuk kerajaan ideal.

Begitu pula dengan sosial politik yang berkembang sampai ke Nusantara (Indonesia). Pada awalnya tidak
serta merta berada pada puncak sistem politik Islam sekalipun bersifat kerajaan. Pengaruh Islam yang mengubah
semua politik yang bersifat kepercayaan nenek moyang dulu secara perlahan berubah dengan nilai-nilai
keIslaman.

Menurut ilmuan barat, Islam tersebar di Indonesia secara massal ke seluruh wilayah Nusantara
terjadi pada abad ke-13 M, yang dianggap sebagai awal masuknya Islam ke Nusantara. Menyebarnya Islam
di Nusantara sejak abad ke-13 ditandai dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam di berbagai daerah, seperti kerajaan Islam pertama yang berdiri di Indonesia yaitu
kerajaan Samudra Pasai di pesisir Utara Sumatera, Gresik, Demak, Gowa, Banten, Cirebon, Buton, dan
Ternate dan lain-lain. Hal yang menarik konversi masyarakat Nusantara ke agama Islam ini dimotori
sendiri oleh para raja, sehingga dorongan bagi penduduk setempat untuk mengikutinya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengetian sistem dan politik Islam ?
2. Apa saja ruang lingkup dan dasar pembentukan sistem politik dalam Islam ?
3. Bagaimana hubungan antara Islam dan politik ?
4. Bagaimana prinsip pemerintahan Islam ?
5. Apa saja nilai-nilai dasar politik dalam Islam ?
6. Apakah yang dimaksud dengan demokrasi dan syuro ?
7. Bagaimana kontribusi umat Islam terhadap implementasi politik Islam di Indonesia ?
8. Bagaimana kedudukan Islam terhadap penegakkan HAM ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui mengenai pengertian sistem dan politik Islam.
2. Mengetahui ruang lingkup dan dasar pembentukan sistem politik dalam Islam.
3. Memahami hubungan antara Islam dan politik.
4. Memahami prinsip pemerintahan Islam.
5. Mengetahui nilai-nilai dasar politik dalam Islam.
6. Mengetahui mengenai demokrasi dan syuro.
7. Memahami kontribusi umat Islam terhadap implementasi politik Islam di Indonesia.
8. Memahami kedudukan Islam terhadap penegakkan HAM.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sistem dan Politik Islam

Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang berarti kota atau negara kota. Turunan dari kata
tersebut yaitu: polites berarti warga negara. Secara umum politik dapat diartikan sebagai kebijakan yang
digunakan dan dipakai dalam setiap urusan dan tindakan. dalam kosa kata bahasa Indonesia terdapat kata
“siasat”, yang berasal dari kata bahasa Arab „siyasah‟, karena itu kata politik atau siasat sangat luas
jangkauannya.

Dalam kamus bahasa Arab „siyasah‟ secara etimologi mempunyai beberapa arti yaitu: mengatur,
mengurus, memerintah, memimpin, membuat kebijaksanaan, pemerintahan dan politik. Sedang secara
istilah (termologi), Ibnu al-Qayim memberi arti siyasah adalah suatu perbuatan yang membawa manusia dekat
kepada kemaslahatan dan terhindar dari kerusakan walaupun Rasul tidak menetapkannya dan Allah
tidak mewahyukannya, baik kepentingan agama, sosial dan politik.

Secara tersirat dalam pengertian siyasah terkandung dua dimensi yang berkaitan satu sama lain, yaitu:
“Tujuan” yang hendak di capai melalui proses pengendalian, “Cara” pengendalian menuju tujuan
tersebut.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kata atau istilah “politik” berkaitan dengan
kekuasaan dan penggunaannya, baik itu terbatas pada kelompok masyarakat tertentu dengan skala kecil,
maupun dalam skala yang lebih besar dalam suatu negara, bahkan dalam skala internasional dan meliputi
bagaimana ia (kekuasaan) itu diperoleh dan bagaimana ia dikelola sesuai dengan aturan-aturan yang telah
disepakati dalam masyarakat, negara, atau antar negara di mana ia diterapkan. Singkatnya, politik adalah
ketatanegaraan.( 0J. Suyuthi Pulungan. 2002)

Maka penting untuk dikemukakan bahwa dalam kajian Islam, hakikat kekuasaan itu adalah milik
mutlak dari Sang Khalik, Allah swt. Dia jugalah yang menjadi sumber dari kekuasaan. Ialah yang memberi
atau menarik kekuasaan ke atau dari hamba yang Ia kehendaki. Ini sesuai dengan pernyataan dalam QS.
Ali Imran/3: 26 sebagai berikut :
Terjemahnya: Katakanlah (Muhammad) “Wahai Tuhan Pemilik Kekuasaaan, Engkau berikan kekuasaan
kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau
kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa pun yang
Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu.

2.2 Ruang Lingkup dan Dasar Pembentukan

Politik dalam Islam adalah suatu kebijakan untuk mengatur suatu pemerintah yang berdaulat atau
masyarakat dalam bernegara. Pembahasan sistem politik Islam (siyasah) ada tiga bagian, yaitu :

1. Siyasah Dusturiyah

Ruang lingkup dalam Fiqih Siyasah Dusturiyah (Politik Tata Negara) merupakan
hubungan antara pemimpin disatu pihak dengan rakyatnya dipihak lain, dan kelembagaan-
kelembagaan yang ada didalam masyarakatnya.

Ruang lingkup Fiqih Siyasah Dusturiyah meliputi :

a. Persoalan Imamah (Kepala Negara), Hak Dan Kewajibannya

Menurut Al-Mawardi penertian imamah adalah suatu kedudukan atau jabatan yang diadakan untuk
mengganti tugas kenabian didalam memelihara agama dan mengendalikan dunia. Hak yang
dimiliki oleh imam yaitu, hak untuk ditaati dan dibantu. Kewajiban imam menurut Al-
Mawardi adalah memelihara agama, mentahfidzkan hukum-hukum diantara orang-orang yang
bersengketa dan menyelesaikan perselisihan, memelihara dan menjaga keamanan, menegakkan
hukum-hukum Allah, menjaga tapal batas dengan kekuatan yang
cukup, menentang orang-orang yang menentang Islam setelah diadakan dakwah kepada
mereka dengna baik-baik, menetapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk orangorang yan
berhak, memungut fa‟i dan sadaqah sesuai dengan ketentuan.

b. Persoalan Rakyat, Status, dan Hak-Haknya

Rakyat terdiri dari muslim dan non muslim (kafir dzimi dan musta‟min). Kafir dzimi adalah
warga non muslim yang menetap selamanya. Sedangkan musta‟min adalah orang asing
yang menetap untuk sementara. Kafir dzimi memiliki hak-hak kemanusiaan, sipil, dan
hak-hak politik sedangkan musta‟min tidak memiliki hak-hak politik. Hak-hak yang
dimiliki rakyat adalah perlindungan terhadap kehidupan, harta, dan kehormatannya; perlindungan
terhadap kebebasan pribadi; kebebasan menyampaikan pendapat dan berkeyakinan; serta
jaminan akan kebutuhan pokoknya (tidak membedakan kelas dan kepercayaan). Sementara
itu, hak imam adalah untuk ditaati dan mendapatkan bantuan serta partisipasi dari rakyat.

c. Persoalan Bai‟at

Bai‟at adalah membai‟atkan seorang amir dan mengikatkan perjanjian, mereka meletakkan tangan-
tangan mereka ditangannya untuk menguatkan perjanjian (jual-beli).

d. Persoalan Waliy Al-Ahdi, Sumber Kekuasaan dan Kriteria Imam

Imamah dapat dipilih dengan dua cara, yaitu dengan pemilihan ahl al-all wa al- aqdi dan
dengan janji (penyerahan kekuasaan) imam yang sebelumnya. Cara yang kedua inilah yang
disebut dengan waliyul ahdi. Kriteria atau syarat-syarat imam antara lain adil, berilmu, sehat
panca indranya, sehat anggota badan, memiliki kecerdasan dan kemampuan untuk
mengatur rakyat demi kemaslahatan, serta menjunjung tinggi kebenaran, rasa tanggung jawab,
dan tabah.
e. Persoalan Perwakilan dan Ahl Ai-Hall Wa Al-Aqdi

Ahl Ai-Hall Wa Al-Aqdi adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang mempunyai


wewenang memilih dan membaiat imam, mengarahkan kehidupan masyarakat kepada maslahat,
membuat UU yang mengikat seluruh umat didalam hal yang tidak diatur secara tegas oleh
Al-Qur‟an dan Hadis, mengawasi jalannya pemerintahan dan segabai tempat konsultasi imim
didalam menentukan kebijakannya.

2. Siyasah Dauliyah

Titik berat pembicaraan Siyasah Dauliyah atau hukum Tata Negara adalah sekitar hubungan
antara negara dan orang-orang yang tercakup dalam hukum internasional.

Materi pokok pembahasan fiqih siyasah dauliyah antara lain :

a. Korps diplomatik
Korps diplomatik adalah kepala negara asing yang berkuasa di Darukufar atau di wilayah
negeri nono muslim termasuk tamu-tamu sahabat dan perwakilan negara asing (staf Kepala
Negara di waktu mereka berada di negara Darussalam).

b. Tawanan perang
Tindakan terhadap tawanan perang ada dua, yaitu membebaskan tawanan itu dengan baik
(manna) dan menukarkan tawanan itu dengan tebusan (fida‟).

c. Perjanjian damai
Perjanjian yang dilakukan oleh Darussalam dengan negara lainnya salam keadaan perang itu
disebut perjanjian damai atau gencatan senjata.

d. Penyerahan penjahat antar negara Darusalam


Menurut teori fiqih siasah setiap negara yang termasuk darusalam dipandang sebagai wakil yang
mutlak bagi negara lain untuk menjalankan hukum Islam.
3. Siyasah Maliyah
Di dalam Siyaasah Maliyah dibicarakan bagaimana cara-cara yang harus diambil untuk
mengharmoniskan orang-orang kaya dan orang-orang miskin agar tidak terjadi kesenjangan. Dalam
Siyasah Maliyah ada beberapa hal yang menjadi pembahasan, antara lain persoalan hak milik, zakat,
harta wakaf, perpajakan, dan bea cukai. (Abdullah Zawawi, S.Pd., MM., M.Pd.(2015, Maret 1))

2.3 Hubungan antara Islam dan Politik


Sistem pemerintahan Islam dalam berpolitik tidak dapat diragukan lagi karena berkaitan erat dengan
pertumbuhan Islam itu sendiri. Bahkan apabila kita pertimbangkan Islam adalah “Din wa siasah”, pada dasarnya
pada Islam tidak terdapat pemisahan antara agama dengan politik (yang selanjutnya disebut dengan
sekuralisme), karena politik integral dari Islam.

Al Ghazali menyatakan hubungan antara agama dengan politik sebagai berikut : ” Sultan (disini
berarti kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib untuk ketertiban
agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. Inilah tujuan sebenarnya para Rasul. Jadi wajib
adanya imam merupakan kewajiban agama dan tidak ada jalan untuk meninggalkannya.”

Selanjutnya Al-Ghazali berpendapat, dunia adalah ladang untuk mengumpulkan perbekalan bagi
kehidupan akhirat, dunia sebagai wahana untuk mencari ridha Tuhan. Pemanfaatan dunia tujuan ukhrawi
hanya mungkin kalau terdapat ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan yang merata. Pada saat itu diperlukan
seorang pemimpin Negara yang ditaati, yang membagikan tugas dan tanggung jawab kepada masing-masing
warga Negara dan yang memberi alternatif bagi warganya tugas yang paling sesuai, dan mengelola segala urusan
kenegaraan. (Rivandipputra)

Islam sebagai agama samawi yang komponen dasarnya 'aqidah dan syari'ah, punya korelasi erat dengan
politik dalam arti yang luas. Sebagai sumber motivasi masyarakat, Islam berperan penting menumbuhkan
sikap dan perilaku sosial politik. Implementasinya kemudian diatur dalam syari'at, sebagai katalog lengkap dari
perintah dan larangan Allah,
pembimbing manusia dan pengatur lalu lintas aspek-aspek kehidupan manusia yang kompleks.

Islam dan politik mempunyai titik singgung erat, bila keduanya dipahami sebagai sarana menata
kebutuhan hidup rnanusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan
dan pengaruh dari masyarakat semata. Politik juga tidak hanya dipahami sekadar sebagai sarana menduduki
posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan.

Hubungan antara agama dan politik secara umum dapat dilihat dan diamati dari kedudukan agama
dan perannya dalam kehidupan masyarakat. Menurut Watt, agama mempunyai kedudukan sentral dalam
kehidupan seseorang, karena agama memberikan tujuan umum kehidupan dan membantu memusatkan energinya
dalam usaha menempuh tujuan-tujuan tersebut. Jika agama bagi seseorang diyakini tidak sekedar anutan
dalam nama saja.

Pertama, pemikiran keagamaanya akan membentuk kerangka intelektual dalam segala kegiatannya;
dan kedua, karena agama membawa kesadaran akan keadaan yang lebih luas, dimana tujuan kehidupan
seseorang telah diletakkan dan ditentukan, maka agama seringkali menggerakan motif-motif kegiatannya.
Jadi, tanpa motif-motif yang diberikan oleh agama itu, kegitan-kegitan tersebut tidak akan dapat
dilaksanakan. Islam sejak awal mulanya telah memilki relevansi dengan organisasi politik dan social
di masyarakat, karena Islam yang disebutkan di dalam Alqur'an dan Sunnah, yang dikenal umat salaf
maupun khalaf adalah Islam yang saling melengkapi dan utuh, yaitu Islam yang bermuatan rokhani, ahlak,
pemikiran, pendidikan, jihad, sosial, ekonomi, dan politik, sehingga politik dalam Islam berhubungan
erat dengan agama.

Hubungan politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari
hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak
terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan
manusia yang paling banyak membutuhkan legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah yang
dipercayai mampu memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat dan sumbernya yang
transcendent.

Agama secara hakiki berhungan dengan politik. Kepercayaan agama dapat mempengaruhi
hukum, perbuatan yang oleh rakyak dianggap dosa, seperti sodomi dan incest, sering tidak legal.
Seringakali agamalah yang memberi legitimasi kepada pemerintahan. Agama sangat melekat dalam
kehidupan rakyat dalam masyarakat industri maupun nonindustri, sehingga kehadirannya tidak mungkin tidak
terasa di bidang politik. Sedikit atau banyak, sejumlah pemerintahan di seluruh dunia menggunakan agama
untuk memberi legitimasi pada kekuasaan politik.
1. Keharusan menepati janji

“Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah,
setelah diikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu).
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Al-Nahl : 91)

2. Wajibnya pemimpin untuk bertanggung jawab atas kepemimpinannya

Dari Ibnu Umar r.a, Rasulullah bersabda : “Setiap kau adalah pemimpin, dan sertiap pemimpin itu
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam yang menjadi pemimpin rakyat
bertanggung jawab terhadap rakyatnya, dan setiap suami bertanggung jawab atas rumah tangganya.”
(H.R. Bukhari dan Muslim)

3. Keharusan menjadikan kecintaan dalam persaudaraan sebagai dasar hubungan timbal balik antara
pemimpin dengan pengikut

Dari Auf bin Malik, Rasulullah bersabda : “Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai
kamu dan kamu mencintainya, mendo‟akan kamu dan kamu mendo‟akan mereka, sedangkan
pemimpin yang jelek adalah pemimpin yag kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknat
mereka dan mereka melaknat kamu.” (H.T. Muslim)

4. Keharusan pemimpin berfungsi sebagai perisai

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya pemimpin itu ibarat perisai yang dibalinya
digunakan untuk berperang dan berlindung. Apabila pemimpin memerintah berdasarkan ketakwaan
terhadap Allah „Azza wa Jalla dan berlaku adil, maka baginya ada pahala, apabila memerintah dengan
dasar selain itu, maka dosanya akan dibalas.” (H.R. Muslim)
5. Kemestian pemimpin untuk berlaku adil

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda : “Ada tujuh golongan yang dinaungi Allah SWT, dibawah
naungan-Nya pada hari kiamat dan tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yang pertama
adalah imam yang adil….” (H.R. Bukhari Muslim)

2.4 Demokrasi dan Syuro

Demokrasi

Secara etimologis kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani (demokratia). Terdiri dari dua bagian,
demos artinya rakyat dan kratos atau kratien yang berarti kekuasaan. Jadi konsep dasar demokrasi itu adalah
“kekuasaan rakyat (hukmu as-sya‟ab), atau kekuasaan milik rakyat (al-hukmu li as-sya‟ab) atau government
of rule by the people”. Jadi, istilah demokrasi secara singkat diartikan sebagai, suatu kekuasaan politik
yang kedaulatan pemerintahnya berasal dari rakyat baik secara langsung maupun melalui perwakilan.

Dalam kamus filsafat dijelaskan beberapa pengertian demokrasi yang diantaranya, demokrasi
(pemerintahan oleh rakyat) Semula dalam pemikiran Yunani berarti bentuk politik dimana rakyat sendiri
memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik. Ini mereka usulkan untuk menentang pemerintahan oleh
satu orang saja (monarki) atau oleh kelompok yang memiliki hak-hak istimewa (aristrokasi) dan bentuk-bentuk
yang jelek dari kedua jenis pemerintahan ini (tirani dan oligarki). Sedangkan demokrasi dalam kamus besar
Bahasa Indonesia memiliki dua arti;
a. Bentuk atau sistem pemerintahan yg seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan
wakilnya;
b. pemerintahan rakyat;
b. Gagasan atau pandangan hidup yg mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yg
sama bagi semua warga negara.

Kendati kata demokrasi memiliki beragam arti, namun yang paling nampak penunjukan
maknanya adalah dalam persoalan politik yang kerap digunakan dalam bahasa serta filsafat dulu hingga hari ini;
bahwa ia merupakan aliran politik yang dibangun atas pondasi pemberian kesempatan pada rakyat untuk
menyelenggarakan urusan politik dalam
negara, dimana keputusan tertinggi ada ditangan rakyat dan tidak ada yang leibih tinggi darinya. Dengan
kata lain, rakyatlah yang berhak membuat undang-undang untuk diri mereka dan lebih berhak untuk
menghukum diri mereka sendiri. Karena itu, sistem pemerintahan demokrasi dipakai sebagai lawan dari
sistem pemerintahan tirani, otokrasi, pespotisme, totaliterisme, aritrokasi, oligarki dan theokrasi.

Syuro ( Musyawarah)

Secara etimologi kata “syura” berasal dari kata sya-wa-ra yang berarti mengeluarkan madu dari sarang
lebah. Kata musyawarah, berasal dari bahasa Arab yang
merupakan Bentuk isim mashdar dari kata kerja . Kata ini terambil dari akar
kata sya, wa, ra yang bermakna pokok mengambil sesuatu, menampakkan dan menawarkan sesuatu.
Syura berarti mengeluarkan nasehat kepada yang dinasehati diminta atau tidak diminta.
Kata syura dalam bahasa Arab berarti menjaring ide-ide terbaik dengan mengumpulkan
sejumlah orang yang diasumsikan memiliki akal, argumentasi, pengalaman, kecanggihan pendapat, dan
prasyarat-prasayarat lain yang menunjang mereka untuk memberikan pendapat yang tepat dan keputusan yang
tegas. Kata tersebut sama sekali tidak menunjukkan pada perolehan pendapat mayoritas atas satu keputusan
lewat pemungutan suara. Dari sisni, bisa kita jumpai dalam bahasa Arab istilah syara al-a‟sal yang berarti
mengeluarkan madu dari sarangnya, atau memetik, lalu mengambilnya dari sarang dan tempatnya.

Merujuk pengertian yang telah ada, maka syura dapat diartikan dengan kata musyawarah adalah
meminta pendapat orang-orang yang berpengalaman pada suatu perkara untuk mencapai pendapat yang lebih
mendekati kebenaran. Syura (musyawarah) merupakan bagian integral dari Islam dan pada prinsipnya syura
mencakup semua lingkungan kehidupan umum, dan bahkan pribadi kaum Muslim. Ketentuan Qur‟ani
disampaikan dalam term-term yang tidak hanya berisikan masalah-masalah pemerintah tetapi juga mengenai
hubungan dalam keluarga, antar tetangga, antara mitra dalam bisnis, antar majikan dan pekerja. Dan
sebenarnya semua aspek kehidupan dimana ia dianggap bermanfaat.( M. Subhan.2013)
Rasulullah Saw menegaskan bahwa makna penting musyawarah adalah menggali petunjuk yang
berkaitan dengan berbagai urusan yang dimusyawarahkan (ma tasyawura qawmun illa huduww li arsyada
amrihim).
Mengenai permasalahan pokok syura, apakah syura sebaiknya diterapkan dalam semua permasalahan
atau dijalankannya pada dasar tertentu saja. Sebagian pakar tafsir membatasi masalah permusyawaratan hanya
untuk yang berkaitan dengan urusan dunia, bukan persoalan agama. Al-Qurthubi berpendapat bahwa musyawarah
mempunyai peran dalam agama maupun soal-soal duniawi, lebih lanjut dia menambahkan bahwa pelaku
musyawarah dalam masalah agama harus menguasai ilmu agama. Demikain pula, urusan dunia dimana
dibutuhkan suatu nasehat, pemberi nasehat harus bijaksana dan cakap agar dapat memberi nasehat yang masuk
akal. Oleh karenanya ruang lingkup musyawarah dapat mencakup persoalan-persoalan agama yang tidak ada
petunjuknya dan persoalan-persoalan duniawi yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan
yang mengalami perubahan dan perkembangan.

. BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Islam merupakan agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali di
bidang politik. Kaitan Islam dengan politik selalu mewarnai kehidupan manusia, sejak mulai hadirnya
Islam di bawah bimbingan Rasulullah Muhammad SAW sejak itu pula kehidupan berpolitik umat Islam
mulai berjalan. Selama masa kekuasaan Nabi Muhammad SAW, hampir semua permasalahan politik bisa
diselesaikan karena kearifannya dan atas petunjuk Allah SWT. Dalam perkembangannya, percaturan
politik juga berkembang seiring dengan semakin berkembang dan kompleksnya permasalahan politik yang
butuh mendapatkan perhatian dari sisi keislaman. Islam dituntut untuk lebih bisa menghadapi perkembangan
dunia politik yang semakin kompleks dengan solusi yang lebih menjanjikan

Politik merupakan pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat. Pemikiran tersebut berupa
pedoman, keyakinan hokum atau aktivitas dan informasi. Beberapa prinsip politik islam berisi: mewujudkan
persatuan dan kesatuan bermusyawarah, menjalankan amanah dan menetapkan hokum secara adil atau
dapat dikatakan bertanggung jawab, mentaati Allah, Rasulullahdan Ulill Amr (pemegang kekuasaan) dan
menepati janji. Korelasi pengertian politik islam dengan politik menghalalkan segala cara merupakan dua hal
yang sangat bertentangan.

3.2 Saran
Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh, sudah sepatutnya memiliki peran utama
dalam kehidupan politik sebuah negara. Untuk menuju ke arah integrasi kehidupan masyarakat, negara dan
Islam diperlukan ijtihad yang akan memberikan pedoman bagi anggota parlemen atau politisi dalam
menjelaskan hujahnya dalam berpolitik. Dan interaksi umat Islam yang hidup dalam alam modern ini
dengan politik akan memberikan pengalaman dan tantangan baru menuju masyarakat yang adil dan
makmur. Berpolitik yang bersih dan sehat akan menambah kepercayaan masyarakat khususnya di
Indonesia bahwa memang Islam mengatur seluruh aspek mulai ekonomi, sosial, militer, budaya sampai
dengan politik.
DAFTAR PUSTAKA

0J. Suyuthi Pulungan. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.Retrieved April 24, 2021, from
http://eprints.walisongo.ac.id/6731/3/BAB%20II.pdf

Abdullah Zawawi, S.Pd., MM., M.Pd.(2015, Maret 1). Politik Dalam Pandangan Islam. Retrieved April
24, 2021, from file:///C:/Users/USER/Downloads/2204-Article% 20Text-5855-1-10-
20160904.pdf

Rivandipputra.(2012, Oktober 31).Sistem Politik dalam Islam.Retrieved April 24, 2021, from
https://rivandipputra.wordpress.com/2012/10/31/sistem-politik-dalam-islam/

M. Subhan.2013. Gambaran Umum Tentang Syura Dan Demokrasi. Retrieved April 24, 2021 from
http://eprints.stainkudus.ac.id/562/5/FILE%205%20BAB%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai