Anda di halaman 1dari 3

BATASAN-BATASAN IPTEK DAN SENI DALAM ISLAM

Sumber pengetahuan pada hakekatnya adalah Allah SWT karena Dialah yang memberikan berbagai
macam pengetahuan kepada manusia. Dalam perkembangannya manusia banyak belajar dan memperoleh
pengetahuan dari proses pemikirannya dengan melihat berbagai fenomena lingkungan dan alam
sekitarnya. Oleh karena itu dalam pemikiran Islam, terdapat dua sumber ilmu, yaitu wahyu dan alam,
dalam istilah lain disebut ayat-ayat Quraniyyah dan ayat-ayat Kauniyyah. Manusia diberi kebebasan
dalam mengembangkan akalnya dengan catatan dalam pengembangannya tetap terikat dengan wahyu dan
tidak bertentangan dengan syari‟at. Dalam perkembangan keilmuan Islam sampai akhir abad ke-2 H,
belum ada pembedaan antara pengetahuan agama dan non agama, sebab yang berkembang memang baru
pengetahuan yang bersumber dari al-Quran, seperti akidah, ibadah dll. Pembagian keilmuan menurut
beberapa intelektual muslim sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Tholhah Hasan (2005), adalah
sebagai berikut:
1. Menurut Jabir ibnu Hayyan (160 H)
Dalam bukunya al-Hudud dikatakan bahwa ada dua macam penegtahuan, yaitu pengetahuan agama („ilm
ad-Diin) dan pengetahuan duniawi (ilm ad-dunya). Barangkali Jabir Ibnu Hayyan menyusun klasifikasi
dengan urutan pengetahuan agama lebih dulu daripada pengetahuan duniawi, didasarkan kronologi
historisnya yang memang perkembangan keilmuan agama mendahului perkembnagan keilmuan duniawi.
2. Menurut Al-Kindy (260 H)
Al-Kindi membagi sistematika epistemologi dalam teoritis (nazhariyah) dan praktis. Pengetahuan teoritis
(nazhariyah) dibagi menjadi dua kategori, yaitu pengetahuan teologis (ilmu al-umuur al-Ilaahiyah) dan
pengetahuan kemakhlukan (ilmu al-umuur al-Masmuu‟ah) atau ilmu kauniyah. Dalam bukunya ar-
Rasaail Al-Kindi juga membedakan antara pengetahuan yang diperoleh secara emanasi („uluum al-
Anbiyaa‟) yang tidak memerlukan pengujian rasional atau matematis, dengagn pengetahuan yang
diperoleh melalui proses edukasi („uluum al-basyar) yang dikaji secara manthiqi (logis). Klasifikasi Al-
Kindy ini memberi kesan pentingnya pengetahuan agama dalam percaturan keilmuan masa itu.
3. Al-Faraby (339 H)
Al-Farabi adalah salah satu filosof muslim yang banyak menulis tentang kategori dan klasifikasi
pengetahuan, melalui karya-karya tulisnya seperti: Ikshaa‟ al-Uluum, at-Tanbiih „ala Sabiil as-Sa‟adah,
al-Jam‟u bayna Ra‟yi alhakimaini dll. Meskipun tidak jelas-jelas menempatkan kedudukan pengetahuan
agama dalam sistem klasifikatori keilmuan yang dihadapkan dengan pengetahuan lain, tapi al-Faraby
dengan tegas mengatakan bahwa salah satu sumber pengetahuan itu ada yang langsung dari Tuhan.
4. Al-Khawarizmy (387 H)
Dalam buku Mafaatih al-„Uluum membagi keilmuan menjadi ilmu pengetahuan syara‟ dan kesusasteraan
Arab (al-„Uluum asy-Syar‟yyah wa maa yaqtarinu bihaa min al-„uluum al-Arabiyah) dan yang lain
disebut ilmu pengetahuan luar, Yunani dan lain-lain („uluum al-„Ajam min al-Yunaniyyiin wa ghairihim
min al-umam), termasuk di dalamnya filsafat, logika, kedokteran, kimia, dan lain sebagainya. Disitu al-
Khawarizmi memberi gambaran secara klasifikatoris antara pengetahuan yang berasal dari Arab dan yang
berasal dari luar Arab yang dikembangkan dalam cakrawala intelektual Islam pada masa itu.
5. Al-Ghazali (505 H)
Dalam karya besarnya Ihya‟ Ulumuddin lebih terperinci dalam pembagian keilmaun itu menjadi dua
macam yaitu: pengetahuan agama dan pengetahuan non-agama (syar‟iyah wa ghairu syar‟iyah) Yang
dimaksud dengan pengetahuan agama ialah pengetahuan yang diperoleh dari para nabi dan tidak dapat
ditunjuk hanya dengan rasio (akal) saja seperti ilmu hitung dan tidak dapat dieksperimentasikan semacam
ilmu kedokteran, juga tidak dapat diterima secara acoustic seperti ilmu bahasa. Sedangkan yang dimaksud
dengan ilmu pengetahuan non agama terbagi dalam tiga macam yaitu ilmu yang terpuji (mamduuh) yaitu
pengetahuan yang menyangkut kemaslahatan duniawi seperti ilmu kedokteran dan ilmu hitung. Kedua
ilmu yang tercela (madzmuum) yaitu pengetahuan destruktif seperti ilmu sihir, perdukunan dan lain lin.
Dan yang diperbolehkan adlah seperti ilmu sejarah, dongen dan puisi.
6. Ibnu Khaldun (808 H)
Dalam bukunya “Mukaddimah” juga mengklasifikasikan pengetahuan ke dalam dua kelompok. Yaitu
Ulum hukmiyah falsafiyah,yaitu pengethauan yang alamiah bagi manusia yang dapat diperiolehnya
melalui potensi penalarannya, yang mungkin dapat dikuasai oleh manusia dengan kemampuan
penalarannya yang alamiah dan subjek permasalahan, argumentasi,dan aspek metodologisnya dapat
dipecahkan sendiri oleh intelek manusaiawinya, sehingga kebenaran atau keasalahannya analisis-analisis
kajiannya. Dan yang kedua adalah pengetahuan Naqliyah Wadh‟iyah ang seluruhnya di dasarkan
informasi (khabar) dari Tuhan, dan tidak ada otorita bagi rasio untuk mencampurnya selain aplikasi
masalah furu‟(,asalah detail) yang dikaitkan dengna prinsipil (ushul).
Dari berbagai pendapat ilmuan Islam di atas pada hakekatnya pembagian ilmu pengeatahuan dapat dibagi
menjadi dua, yaitu ilmu agama (ulumuddin) dan ilmu non agama. Pada dasarnya Islam tidak mengenal
pemisahan antara ilmu agama dan ilmu non agama atau memakai istilah Al-Gahzali ulum syar‟iyah dan
„ulum ghair syar‟iyyah. Islam tidak mengenai dikotomi atau pemisahan antara ilmu agama dan ilmu yang
bukan agama karena pada dasarnya menuntut ilmu adalah kewajiban terlepas dari apakah itu ilmu agama
atau bukan agama. Ilmu agama adalah ilmu yang menjadi landasan segala cabang ilmu.
Teknologi adalah aplikasi dari prinsip-prinsip keilmuan, sehingga menghasilkan sesuatu yang berarti bagi
kehidupan manusia. Aplikasi prinsip-prinsip ini dapat dalam lapangan teknik maupun sosial. Melalui
aplikasi inilah, ilmu menemukan arti sosialnya, bukan hanya demi kepuasan intelektual ilmuan semata-
mata. Dalam perkembangan kemudian, bukan hanya teknologi yang menggantungkan diri pada
penemuan-penemuan ilmu (sains), melainkan perkembangan sains mengikuti irama perkembangan
teknologi. Hal ini sangat jelas kelihatan pada sains dalam penegrtian “hard siences”. Dengan
memanfaatkan hasil-hasil inovasi, teknologi, penelitian sains semakin berkembang cepat, dan berbagai
perspektif baru semakin terbuka lebar. Interaksi dan interdepensi antara sains dengan teknologi membuat
keduanya tidak dapat dipisahkan (Supriadi, 1999:122).
Teknologi adalah salah satu produk budaya, karena teknologi merupakan aplikasi ilmu pengetahuan
dalam bentuk alat atau wahana kehidupan. Dengan teknologi sesuatu yang sulit dilakukan menjadi
mudah, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan menjadi mungkin. Teknologi selain merupakan aktualisasi
ilmu pengetahan, juga merupakan wujud peradaban manusia dalam setiap zamannya.Teknologi yang
dihasilkan oleh suatu bangsa tidak selalu sama dengan yang dihasilkan oleh bangsa yang lainnya.
Semakin tinggi kepedulian bangsa terhadap pengembangan ilmu, semakin tinggi pula peradaban yang
dicapai bangsa itu.
Seni atau kesenian dalam pengertian yang luas adalah segala hasil daya cipta atau buah pikiran manusia
yang bersifat indah. Jadi, apa saja yang merupakan hasil ungkapan pikiran dan daya cipta itu asalkan ia
yang berbentuk, memiliki sifat keindahan disebut seni. Adapun jika kata seni itu ditambah dengan kata
Islam, maka kesenian Islam adalah segala hasil usaha dan daya upaya, buah pikiran dari kaum muslim
untuk menghasilkan sesuatu yang indah. Seni Islam dapat juga diberi batasan sebagai suatu seni yang
dihasilkan oleh seniman muslim atau dapat juga berupa seni yang sesuai dengan apa yang dibayangkan
oleh seorang muslim yang sesuai dengan ungkapan pandangan hidup seorang muslim.
Kesenian Islam bertujuan untuk menggambarkan sikap pengabdian kepada ajaran atau petunjuk Islam
(Situmorang, 1988:9). Menurut Ernst Diez dalam Muhammad Abdul Jabbar ( 1988: 2) ciri-ciri seni Islam
atau seni Islamis adalah seni yang mengungkapkan sikap pengabdian kepada Allah. Demikianlah, seni
atau kesenian adalah ekspresi jiwa dalam bentuk keindahan. Keindahan dapat diwujudkan ke dalam
bentuk lisan, tulisan, kata-kata, ukiran, musik, gerakan (tarian) dan lain-lain.
Berdasarkan pengertian di atas suatu benuk kesenian menjadi islamis jika hasil seni itu sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Maka, hukum asal seni adalah mubah, sebab seni sendiri adalah kendahan. Allah yang
Maha Indah mencintai keindahan. Dan manusia sebagai hamba Allah yang memiliki misi untuk
mengaktualisasikan sifat-sifat Allah di muka bumi, salah satu sifat Allah adalah indah. Oleh karena itu
bagaimana manusia dapat mengekspresikan keindahan dalam segala aktifitasnya.
Dalam Islam ipteks merupakan hasil oleh fikir dan olah rasa manusia. Ipteks selalu berkembang sesuai
dengan perkembangan akal budi manusia. Oleh sebab itu kebenaran ipteks sangat relatif. Sumber ipteks
dalam Islam adalah wahyu Allah. Ipteks yang islami selalu mengutamakan kepentingan orang banyak dan
kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Untuk itu ipteks dalam pandangan Islam tidak bebas nilai.
Integrasi ipteks dengan agama merupakan suatu keniscayaan untuk menghindari terjadinya proses
sekularisasi yaitu pemisahan antara doktrin-doktrin agama dengan pengembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni (Mansoer, 2004: 93).

Anda mungkin juga menyukai