Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

POLITIK, DEMOKRASI DAN HAM DALAM ISLAM


DOSEN PENGAMPU: HJ. MAISARAH, S.PD.I, M.PD.

Disusun Oleh:
Kelompok 3

Asti Putri Ananta 2111014320002


Ismail Ragi Alfarugi 2111014210009
Misdalipah 2111014220004
Noor Asyiah 2111014320003
Rahmad Dani Nugroho 2111014210007
Tarisa Ananda 2111014320007

PROGRAM STUDI S-1 FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini yang berjudul “Politik, Demokrasi dan HAM dalam Islam”
dengan tepat waktu. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Agama Islam.
Penyusunan makalah ini semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung
bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya.
Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah terlibat dan membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah
sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu kami
sebagai penyusun makalah ini memohon kritik serta saran dari semua pembaca
makalah ini terutama dosen mata kuliah Agama Islam sebagai bahan evaluasi untuk
kami kedepannya.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
khususnya kepada Ibu Hj. Maisarah S.Pd.I, M.Pd selaku dosen pengampu mata
kuliah Agama Islam yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini bermanfaat. Terima kasih. Wassalamu’alaikum


Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Banjarbaru, 20 April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................3
2.1 Politik ............................................................................................................3
2.2 Demokrasi .....................................................................................................9
2.3 HAM ...........................................................................................................14
BAB III PENUTUP ..............................................................................................21
3.1.Kesimpulan .................................................................................................21
3.2.Saran ...........................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Politik, demokrasi, dan HAM menjadi isu penting dalam kehidupan


berbangsa dan bernegara serta saling terikat satu sama lain. Di zaman Nabi
Muhammad SAW., selain kekuasaan agama beliau juga memegang kekuasaan
politik. Rasulullah pernah mempersatukan seluruh penduduk Madinah dalam
satu sistem sosial-politik. Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur
tatanan kehidupan manusia, termasuk sistem politik, demokrasi, dan HAM.
Namun Islam tidak menentukan secara konkret bentuk kekuasaan politik seperti
apa yang dianjurkan, sehingga timbullah perdebatan.
Dewasa ini, sering terjadi perdebatan yang menyangkut kehidupan
masyarakat Indonesia dan masyarakat luar negeri, salah satunya yakni
perdebatan mengenai Politik, Demokrasi, dan HAM dalam Islam. Oleh karena
itu, kami selaku mahasiswa yang berjiwa Islam mencoba untuk mengkilas balik
ilmu tentang Politik, Demokrasi, dan HAM dalam Islam yang berkaitan dengan
konsep umum maupun agama. Yang melatar belakangi topik bahasan kami
adalah tugas dari mata kuliah Pendidikan Agama Islam mengenai Politik,
Demokrasi, dan HAM dalam Islam.

1.2.Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari politik dan demokrasi?

2. Bagaimana paradigma politik dan demokrasi dalam islam?

3. Bagaimana etika politik dan demokrasi?

4. Apa saja tujuan sistem politik islam?

5. Bagaimana kriteria pemimpin berdasarkan sifat Nabi Muhammad SAW?

6. Bagaimana hubungan demokrasi antara Islam dan Barat?

2
7. Apa itu HAM menurut Islam dan HAM menurut barat, serta apa

perbedaannya?

8. Bagaimana sejarah HAM di dunia?

9. Bagaimana HAM dalam Al-Qur‟an?

10. Apa saja studi kasus yang berhubungan dengan isu pelanggaran HAM di

11. Indonesia?

1.3.Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:


1. Mahasiswa dapat mempelajari dan memahami materi yang telah disajikan
dalam bentuk makalah ini.
2. Mahasiswa dapat memahami hak-hak asasi manusia menurut pandangan
dalam Islam.
3. Mahasiswa dapat menjalankan syariat Islam berdasarkan hukum Islam.
4. Mahasiswa dapat memahami peran yang berjiwa Islam dan berjiwa
kebangsaan.
5. Mahasiswa dapat mengaplikasikan materi dari makalah ini dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. POLITIK

2.1.1. Pengertian Politik

Kata politik berawal dari Bahasa Yunani atau Bahasa latin politicos
yang memiliki arti relating to citizen. Dapat diartikan juga sebagai hubungan
sosial yang melibatkan otoritas atau kekuasaan dan mengacu pada peraturan
urusan publik dalam suatu unit politik dengan metode serta taktik yang
digunakan untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan yang telah
disepakti. Dalam KBBI, politik sendiri diartikan sebagai (pengetahuan)
mengenai ketatanegaraan (seperti sistem pemerintahan, dasar pemerintahan).

2.1.2. Paradigma Politik dalam Islam

Dalam Islam juga mengenal yang namanya politik atau disebut juga
dengan siyasahn. Kata ini berasal dari akar kata “sasa-yasusu” yang berarti
mengemudikan, mengendalikan, mengatur dan sebagainya. Politik islam
terdiri dari dua aspek yakni politik dan islam. Politik berarti suatu cara
penguasa mempengaruhi perilaku kelompok yang dikuasai sesuai dengan
keinginannya. Sedangkan Islam berarti organisasi penataan menurut ajaran
Allah Swt, yaitu Al-Qur’an dan sunah rasulnya. Politik islam dapat diartikan
sebagai suatu cara mempengaruhi anggota masyarakat, agar berperilaku
sesaui dengan ajaran Allah Swt.
A. Paradigma Integralistik (Unified Paradigm)

Paradigma pertama ini mengajukan konsep bersatunya agama dan


negara. Agama (Islam) dan negara, dalam hal ini tidak bisa dipisahkan
(integrated), wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya,
menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan
sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar
kedaulatan Ilahi (devine cofereignty), karena memang kedaulatan itu
berasal dan berada di tangan Tuhan.

4
Secara teoritis, penguasa sebuah negara Islam ini tidak memiliki
kekuasaan mutlak, demikian juga parlemen ataupun rakyat, karena
kekuasaan mutlak itu hanya milik Allah semata, dan hukum-Nya harus
tetap berkuasa. Memakai terminologi kekinian, konstitusi Islam hanya
memiliki dua organ penting: eksekutif dan yudikatif. Organ ketiga
yang memungkinkan—yakni legislatif—secara konstitusional tidak diberi
batasan, karena undang-undang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an oleh
Allah. Tugas pemerintah adalah untuk melaksanakannya, dan bukan
merubahnya demi untuk kepentingannya sendiri.
Demikian kentalnya ragam pemikiran tersebut dengan otoritas
kedaulatan Tuhan, serta menganggap ajaran Rosulullah sebagai agama
yang komprehensif, maka kemudian muncullah istilah al Islam huwa al-
din wa al-daulah dalam pelataran politik Islam. Dan sebagai komitmen
logis dari paradigma integralistik ini, negara Islam harus ditegakkan
demi terlaksananya hukum-hukum Allah dengan dipimpin seorang imam
atau khalifah.
B. Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm)

Dalam pandangan ini, hubungan agama dan negara terdapat interaksi


timbal balik dan saling membutuhkan. Agama memerlukan negara, karena
dengan negara agama dapat berkembang. Agama akan berjalan baik
dengan melalui institusi negara, sementara pada posisi yang lain, negara
juga tidak bisa dibiarkan berjalan sendirian tanpa agama, karena dengan
agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral
spiritual. Keterpisahan agama dari negara dapat menimbulkan kekacauan
dan a-moral.
Secara sepintas pandangan ini tidak berbeda dengan konsep negara
integralistik seperti talah dikemukakan di atas. Akan tetapi bacaan secara
kritis atas wacana ini, akan menemukan perbedaan yang cukup signifikan.
Teori simbiostik membiarkan tuntutan tuntutan realitas sosial politik yang
berkembang, tetapi agama kemudian memberikan justifikasinya. Agama
tidak harus menjadi dasar negara. Negara, Dalam pandangan ini
tetap merupakan lembaga politik yang mandiri. Dengan demikian,

5
paradigma simbiostik di satu pihak bersifat teologis, tetapi pada sisi lain
bersifat pragmatik.Jadi, pandangan simbiostik tetap memberi peluang
bagi hak-hak masyarakat, meskipun tetap dibatasi oleh norma-
norma agama.
C. Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm)

Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun


hubungan simbiostik antara agama dan negara. Sebagai gantinya,
paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan negara.
Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara
pada Islam atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk
tertentu dari negara.
Menurut paradigma ini Islam hanya mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara pengaturannya diserahkan sepenuhnya
kepada umat manusia. Masing-masing entitas dari keduanya mempunyai
garapan dalam bidangnya sendiri. Sehingga keberadaannya
harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi.
Berdasarkan pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif
yang berlaku adalah hukum yang benar benar berasal dari kesepakatan
manusia malalui social contrac dan tidak ada kaitannya dengan hukum
agama (syari‘ah).

2.1.3. Etika Berpolitik Dalam Islam

Etika (ing:ethies) ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan


bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan apa
yang buruk. Etika bukan suatu tambahan bagi ajaran moral, melainkan
merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan
pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran, jadik etika
dan moral tidak berada di tingkat yang sama. Ajaran moral dapat diibaratkan
dengan petunjuk bagaimana manusia harus memperlakukan sepeda motor
dengan baik, sedangkan etika memberikan pemahaman tentang struktur dan
teknologi sepeda motor. Moral mencoba menjawab pertanyaan “apa yang

6
harus saya lakukan”, sedangkan etika ingin menjawab pertanyaan
“bagaimana hidup yang baik”.
Dalam dunia perpolitikan, Etika yang baik sangatlah diperlukan. Untuk
menjalankan sutau alur politik Etika yang sesuai sangatlah penting, karena
dari suatu proses untuk menjalankan suatu tugas atau mandat, sesuai dengan
norma dan aturan akan mendapatkan suatu hasil yang diinginkan secara
maksimal dan tujuan yang telah disepakati bersama. Karena dalam suatu
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah bersumber dari kerja dari
lembaga yang diberi kewenangan untuk membentuknya, yang mana etika
baik juga berpengaruh terhadap kebijakan itu. Jadi hal-hal kecil dalam
pelaksanaan dalam dunia politik harus diperhatikan guna menuju suatu
keadilan sebagai manusia yang telah diberikan kewenangan dan kekuasaan.
Etika politik mengandung tiga tuntutan yaitu pertama upaya hidup baik
bersama dan untuk orang lain, kedua upaya memperluas lingkup kebebasan,
ketiga untuk membangun institusi-institusi yang adil.
Etika Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia, menjelaskan
dan mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia
dengan sesamanya serta dengan alam lingkungan. Islam telah banyak
mengatur etika dan moral kepemimpinan, baik di dalam Alquran maupun
hadis Nabi Muhammad saw serta ijma para ulama. Semua ajaran etika dan
moral dalam kehidupan masyarakat adalah merupakan etika dan moral
kepemimpinan, namun inti dari semua itu adalah amanah dan keadilan
sebagaimana firman Allah swt dalam QS. An-Nahl/16:90.
Alquran adalah petunjuk bagi umat manusia, maka tidak berlebihan
apabila alquran dijadikan sebagai konsep etika politik, dimana etika ingin
menjawab “bagaimana hidup yang baik”. Kandungan QS. Al-Imran/3:159
tersebut di atas menerangkan tentang etika dan moral kepemimpinan yang
diperlukan untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi umat, antara lain
memiliki sifat lemah lembut dan tidak menyakiti hati orang lain dengan
perkataan atau perbuatan, serta memberi kemudahan dan ketentraman kepada
masyarakat.

7
2.1.4. Tujuan Politik Dalam Islam

Tujuan sistem politik Islam ialah untuk membangunkan sebuah


sistem pemerintahan dan kenegaraan yang tegak di atas dasar untuk
melaksanakan seluruh hukum syari'at Islam. Tujuan utamanya ialah untuk
menegakkan sebuah negara Islam atau Darul Islam.Dengan adanya
pemerintahan yang mendukung syari'ah, maka akan tertegaklah al Din dan
berterusanlah segala urusan manusia. Menurut untutan-tuntutan al Din
tersebut. Para fuqaha Islam telah menggariskan sepuluh perkara penting
sebagai tujuan kepada sistem politik dan pemerintahan Islam.
1. Memelihara keimanan menurut prinsip-prinsip yang telah disepakati
oleh 'ulama' salaf daripada kalangan umat Islam
2. Melaksanakan proses pengadilan di kalangan rakyat dan
menyelesaikan masalah di kalangan orang-orang yang berselisih
3. Menjaga keamanan daerah-daerah Islam agar manusia dapat hidup
dalam keadaan aman dan damai
4. Melaksanakan hukuman -hukuman yang ditetapkan syara' demi
melindungi hak-hak manusia
5. Menjaga perbatasan negara dengan pelbagai persenjataan bagi
menghadapi kemungkinan serangan daripada pihak luar
6. Melancarkan jihad terhadap golongan yang menentang Islam 7.
Mengendalikan urusan pengutipan cukai, zakat dan sedekah sebagai mana
yang ditetapkan oleh syara'
7. Mengatur anggaran belanjawan dan perbelanjaan daripada
perbendaharaan negara agar tidak digunakan secara boros ataupun secara
kikir

8
2.2. DEMOKRASI

2.2.1. Pengertian Demokrasi

Secara etimologis, demokrasi merupakan gabungan antara dua kata dari


bahasa Yunani, yaitu Demos yang berarti rakyat dan Cratein atau Cratos yang
berarti kekuasaan. Jadi secara terminologis demokrasi berarti kedaulatan
yang berada di tangan rakyat. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat
mengandung pengetian bahwa sistem kekuasaan tertinggi dalam sebuah
negara dibawah kendali rakyat.

2.2.2. Paradigma Demokrasi dalam Islam

Di dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang terkait dengan prinsip-


prinsip utama demokrasi contohnya Q.S Ali Imran: 159. Jika dilihat basis
empiriknya, menurut Aswab Mahasin, agama dan demokrasi memang
berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari
pergumulan pemikiran manusia, dengan demikian agama memiliki
dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan
bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Adapun elemen-elemen
pokok demokrasi dalam perspektif Islam meliputi:
A. As-Syura
As-Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan
keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam Al-Qur’an. Misalnya
saja disebut dalam QS. As-Syura: 38. Begitu pentingnya arti musyawarah
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara, sehingga
Nabi sendiri juga menyerahkan musyawarah kepada umatnya.
B. Al-‘Adalah
Al-‘Adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum
termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan
secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya
penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah
SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl: 90.

9
C. Al-Musawah
Al-Musawah adalah kesejajaran, egaliter, artinya tidak ada pihak
yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan
kehendaknya. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi
menghindari hegemoni penguasa atas rakyat. Diantara dalil al-Quran yang
sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13.
D. Al-Amanah
Al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan
seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah
tersebut harus dijaga dengan baik. Persoalan amanah ini terkait dengan
sikap adil. Sehingga Allah SWT. menegaskan dalam surat An-Nisa’: 58.
E. Al-Mas’uliyyah
Al-Mas’uliyyah adalah tanggung jawab. Kekuasaan dan jabatan itu
adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus
disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau
penguasa harus dipenuhi. Sebagaimana Sabda Nabi: Setiap kamu adalah
pemimpin dan setiap pemimpin dimintai pertanggung jawabannya.
F. Al-Hurriyyah
Al-Hurriyyah dalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap
warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan
pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan
memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l
ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa
untuk mencegahnya. Dalam sabda Nabi yang berbunyi: “Barang siapa
yang melihat kemunkaran, maka hendaklah diluruskan dengan tindakan,
jika tidak mampu, maka dengan lisan dan jika tidak mampu maka dengan
hati, meski yang terakhir ini termasuk selemah-lemah iman”.

10
2.2.3. Etika Berdemokrasi Dalam Islam

Menurut Yusuf Al-Qardhawi, menurut beliau substansi demokrasi


sejalan dengan Islam, hal ini bisa dilihat dari beberapa hal misalnya: Dalam
demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat
seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka.
Tentu saja mereka tidak boleh memilih sesuatu yang tidak mereka sukai.
Demikian juga dengan Islam, Islam menolak seseorang menjadi imam sholat
yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya. Usaha setiap rakyat untuk
meluruskan penguasa yang tirani juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar
makruf dan nahi mungkar serta memberikannasihat kepada pemimpin adalah
bagian dari ajaran Islam.
Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu barang
siapa yang tidak menggunakan hak pilihnya, sehingga kandidat yang
mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada
kandidat yang sebenarnya tidak layak. Berarti ia telah menyalahi perintah
Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak
bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang
tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan
sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah
berdasarkan suara terbanyak. Sementara lainnya yang tidak terpilih harus
tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga mereka harus
memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibn
Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam
masalah khilafiyah. Tentu saja suara mayoritas yang diambil ini adalah
selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas. Juga kebebasan
pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat serta otoritas pengadilan
merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
2.2.4. Kriteria Pemimpin Berdasarkan Sifat Nabi

Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai


kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya
dengan menggunakan kekuasaan dan juga mempengaruhi sesamanya untuk

11
bekerjasama dalam mencapai tujuan. Sedangkan pemimpin yang demokratis
merupakan pemimpin yang mempunyai gaya kepemimpinan yang di mana
pemimpin suatu organisasi maupun kelompok menerima pendapat atau saran
dari setiap anggotanya untuk menentukan suatu keputusan bersama dalam
organisasi demi mencapai suatu tujuan.
Dalam Islam kepemimpinan identik dengan istilah khalifah. Kata
dasar khalifah bermakna pengganti atau wakil. Imam dan khalifah adalah dua
istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk pemimpin. Kata imam
terambil dari kata amma, yaummu, yang berarti menuju, menumpu dan
meneladani. Lalu dalam Islam, suri teladan yang paling sempurna terdapat
pada diri Nabi Muhammad saw., seorang yang mempunyai sifat-sifat yang
selalu terjaga dan dijaga oleh Allah swt. Allah berfirman dalam surat Al-
Ahzab ayat 21, yang artinya: “Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Sifat
yang dimaksud dikenal dengan sebutan sifat wajib Rasul. Sifat wajib Rasul
merupakan pencerminan karakter Nabi Muhammad saw. dalam menjalankan
tugasnya sebagai pemimpin umat.
A. Shiddiq (jujur)
Seorang pemimpin wajib berlaku jujur dalam melaksanakan
tugasnya. Jujur dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak
mengada-ngada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji dan
lain sebagainya. Rasulullah SAW., menegaskan: “Hendaklah kalian selalu
berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan
mengantarkan seseorang ke surga. Dan apabila seorang selalu berlaku
jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang
yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa
seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke
neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan
maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta.” (HR. Bukhari dan
Muslim). Kejujuran ini pula yang semestinya tertanam dalam diri setiap

12
pemimpin. Pemimpin yang jujur tidak akan membohongi rakyat dan jauh
dari pencitraan.
B. Amanah (tanggung jawab)
Amanah yang artinya mampu menjalankan sekaligus menjaga
kepercayaan yang diembankan di pundak secara profesional. Sikap
amanah ini sudah mengakar kuat pada diri Rasulullah semenjak beliau
masih berusia sangat belia. Pemimpin yang amanah akan menyadari
bahwa ia mengemban amanah untuk melayani kepentingan rakyat, bukan
menjadi pelayan kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, kepentingan
partai, kepentingan pemilik modal, atau bahkan kepentingan asing.
Rasulullah SAW. bersabda: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika
berbicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika diberi amanah ia
berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
C. Tabligh (menyampaikan)
Tabligh yang berarti menyampaikan kebenaran dan berani
mengungkap kebathilan. Kepemimpinan Rasulullah ditopang oleh sikap
transparansi, keterbukaan, dan selalu menyuarakan kebenaran apa pun
risikonya. Seorang pemimpin harus memiliki sifat tabligh, selain berani
menyuarakan kebenaran dan berani dinilai secara kritis oleh rakyat,
pemimpin yang tabligh tidak akan bisa dibeli dengan kekuatan apa pun. Ia
tegas dalam pendirian dan tegar dalam prinsip membela kebenaran.
D. Fathanah (Cerdas)
Fathanah merupakan sifat Rasul yaitu sangat cerdas. Seorang
pemimpin juga harus memiliki emosi yang stabil, tidak gampang berubah
dalam dua keadaan, baik itu dimasa keemasan dan dalam keadaan terpuruk
sekalipun. Menyelesaikan masalah dengan tangkas dan bijaksana. Sifat
pemimpin adalah cerdas dan mengetahui dengan jelas apa akar
permasalahan yang dia hadapi serta tindakan apa yang harus dia ambil
untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada umat.

13
2.2.5. Hubungan Demokrasi Islam dan Barat

Menurut Muhammad Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara


mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi
kekuasaan legislative (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak
berada di tangan rakyat. Sementara dalam sistem syura (Islam) kekuasaan
tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum
tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan
hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk
sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas
kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles setelah Tuhan menciptakan alam,
Dia membiarkanya. Dalam filsafat Barat manusia memiliki kewenangan
legislatif dan eksekutif. Sementara dalam pandangan Islam, Allah lah
pemegang otoritas tersebut. Allah berfirman dalam (surat Al-Araf: 54).
Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah, Maha suci Allah
Tuhan semesta alam. Inilah batasan yang membedakan antara sistem syariah
Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum
atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum
dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.

2.3. Hak Asasi Manusia (HAM)

Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang melekat pada manusia
secara kodrati sebagai anugerah dari Allah SWT., yang harus dihormati,
dilindungi dan tidak layak untuk dirampas oleh siapapun. Hak Asasi Manusia
(HAM) atau sering disebut Human Right juga merupakan suatu istilah statemen
empat dasar hak dan kewajiban yang fundamental bagi seluruh manusia yang
ada di permukaan bumi ini, baik laki-laki maupun wanita, tanpa membedakan
ras, keturunan, bahasa, maupun agama.

14
2.3.1. Sejarah HAM

Konsep tentang hak asasi manusia sebenarnya sudah ada sejak


masa filosuf dan politikus Yunani, Solon ( abad 6 SM), yang membuat
undang-undang bagi penduduk Athena tentang pelarangan perbudakan,
pemberian hak atas tanah bagi petani dan pemberian hak waris bagi
perempuan ( Subhi Mahmasani, 1979: 8). Tiga abad kemudian Plato dan
Aristoteles berhasil membuat peraturan Undang-undang
untuk penduduk Athena yang isinya antara lain penghormatan terhadap
sesama warga, kebebasan berbicara dan persamaan kedudukan dimuka
umum. Kemudian, abad 2 SM, Cicero, seorang ahli hukum Romawi,
berpendapat bahwa semua manusia mempunyai kedudukan yang sama di
muka hukum alam dan dilahirkan dalam keadaan bebas merdeka.
Untuk abad-abad selanjutnya, konsep tentang HAM ini
mengalami perkembangan terutama setelah abad VIII M. Magna Charta
(1215), merupakan pelegalisasian HAM yang termuat dalam konstitusi
kenegaraan di Inggris. Dalam konstitusi Amerika setelah
kemerdekannya tahun 1776, hak-hak asasi manusia juga dimuat dalam
konstitusi negara. Revolusi Perancis (1785) juga melahirkan
Deklarasi Tentang Hak Asasi Manusia. Konstitusi dari ketiga negara
tersebut, yaitu Inggris, Amerika dan Perancis dalam pembukaannya
masing-masing selalu menyebut pernyataan Declaration of Human
Rights dan kemudian disempurnakan pada akhir abad 18 M ( 1791).
Pada dasarnya konsep-konsep hak asasi manusia pernah
disampaikan oleh Rasulullah saw dalam khutbah wada’nya pada abad 7
M. di antara salah satu isinya adalah bahwa semua manusia mempunyai
kedudukan yang sama, yang membedakannya di sisi Allah hanyalah
taqwa. Namun yang sudah menjadi klaim masyarakat Barat adalah
konsep dasar hak asasi manusia pertama kalinya adalah Magna Charta
di Inggris (1215) yang disusun enam ratus tahun setelah
kebangkitan Islam. Menurut Maududi, sebenarnya Barat tidak
mempunyai konsep tentang hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga
negara. Karena menurutnya, apa yang termuat dalam Magna Charta

15
pada dasarnya tidak memuat prinsip prinsip hak asasi manusia. Baru
pada abad 17 orang Barat mulai mengkaitkan-kaitkan antara Magna
Charta dan HAM. Sampai akhir abad 18 konsep tersebut mendapat
tempat praktis dalam konstitusi Amerika Serikat dan Perancis pada tahun
1791.
Pada tanggal 10 Desember 1948 Majelis Umum PBB
mengesahkan Deklarasi HAM di Paris. Pengesahan tersebut merupakan
pengakuan secara internasional terhadap hak bagi masing-masing
individu, golongan maupun bangsa yang termuat dalam pasal-pasalnya,
dan selayaknya untuk diaplikasikan secara menyeluruh dan konkrit baik
bagi penduduk dan negara anggota PBB, maupun penduduk yang berada
di bawah kekuasaan negara tersebut. Deklarasi itu sendiri sebenarnya
lebih merupakan suatu “penghargaan”, bukan merupakan kesepakatan
yang mengikat dalam wujud hukum internasional. Namun makna dan
gagasan baru tersebut merupakan langkah awal dalam perjuangan umat
manusia yang akhirnya justru akan mengatur dunia.

2.3.2. Konsep HAM dalam Islam dan Barat

Konsep dalam perspektif Islam sebagai mana yang dikonsepsikan


Alquran, Hak Asasi Manusia bersesuaian dengan Hak hak Allah swt. Hal
ini menunjukkan bahwa konsep Hak Asasi Manusia dalam pandangan
Islam bukanlah hasil evolusi apapun dari pemikiran manusia, namun
merupakan hasil dari wahyu Ilahi yang telah diturunkan melalui para
Nabi dan Rasul dari sejak permulaan eksistensi ummat manusia di atas
bumi. Dengan kata lain huquuqullah dan huquuqul‘ibad adalah tetap dari
Allah swt. Manusia bertanggung jawab atas kedua kategori hak tersebut
di hadapan Allah swt. Dengan demikian, Hak Asasi Manusia dalam
Islam merupakan hak-hak yang diberikan oleh Allah swt. Hak Asasi
Manusia tidak sebanding dengan sanksi dari Allah swt.
HAM yang mendapatkan konotasi dan makna konkretnya dalam
Deklarasi HAM PBB, diakui atau tidak, didasarkan pada asumsi pokok
yang dibelakangnya berdiri paham sekulerisme. Bukti paling sederhana

16
namun kasat mata dari asumsi sekuleristik ini tampak dalam tidak adanya
perujukan yang tegas pada justifikasi filosofis atau agama tertentu dalam
deklarasi tersebut. Lebih dari itu, secara keseluruhan wacana HAM
dalam deklarasi tersebut memandang masyarakat manusia dalam kaca
mata sekulerisme, dan agama tidak dapat didefinisikan sebagai tatanan
yang mengikat masyarakat, negara, atau hubungan internasional.
Hukumhukum dipandang sekuler, independen dari otoritas agama
tertentu.

2.3.3. HAM Dalam Al-Qur’an


Dalam bahasa Arab, HAM adalah al-huqūq al-insaniyyah. Akar
kata Haqq (jamaknya Huqūq). Haqq memiliki beberapa arti, antara lain
milik, ketetapan, dan kepastian. Juga mengandung makna “menetapkan
sesuatu dan membenarkannya“, seperti yang terdapat dalam Q.S. Yasin
(36): 7, “menetapkan dan menjelaskan“. Dalam definisi ini sudah
terkandung hak-hak Allah dan hak-hak hamba. Adapun kata al-
insāniyah atau “kemanusiaan“ berarti “orang yang berakal dan terdidik“.
Terdapat perbedaan dalam penelusuran akar katanya: (1) dari kata nasiya
- yansā artinya “lupa“. Arti ini merujuk kepada perkataan Ibnu Abbās
(sesungguhnya manusia disebut insān karena lupa terhadap janjinya
kepada Tuhannya). (2) dari kata ins yang berarti “ras manusia“, atau dari
uns yang berarti “kemampuan bersosialisasi“. (3) dari kata nāsa-yanūsu
yang berarti “kekacauan dan kebimbangan“. Ketiga makna dasar dari
Insān di atas menunjukkan tabiat dasar manusia yaitu lupa, bersosialisasi
dan gerakan.
Wahyu dan akal menempati posisi tertingggi sebagai sumber
gagasan tentang HAM. Kemudian dari sumber tersebut diidentifikasi dua
ruang gagasan tentang HAM, yaitu hak-hak asasi yang bersifat individual
dan hak-hak asasi yang bersifat sosial. Dari dua ruang inilah gagasan
HAM dalam Alquran tersebut dijabarkan lebih jauh sejauh nalar mampu
mengesplorasi pesan-pesan HAM dalam Alquran. Jadi posisi sejajar
antara wahyu dan akal dalam konstruksi ini bukan dalam ranah teologis

17
tetapi dalam ranah metodologis. Baik hak-hak yang bersifat asasi
maupun yang bersifat politis harus bersumber dari wahyu. Dengan kata
lain, hak-hak apapun yang dijabarkan dari hak asasi yang dimaksud
dalam ayat al-Quran adalah sah dikatakan sebagai gagasan HAM dalam
Alquran (Islam). Sebaliknya, hak-hak apapun yang dijabarkan dari hasil
penalaran tidak sah disebut HAM Islam.
Prinsip-Prinsip HAM dalam Alquran dapat dijabarkan dari tiga
istilah, yaitu al-istiqrār, yakni hak untuk hidup mendiami bumi hingga
ajal menjemput. HAM dalam Alquran melahirkan gagasan bahwa hidup
tidak dapat dipisahkan dengan agama atau kepercayaan dan karenanya ia
juga asasi. Kemudian al-istimtā‘, yakni hak mengeksplorasi daya dukung
terhadap kehidupan. Jadi, istilah ini juga sangat terkait dengan hak hidup.
Berikutnya adalah al-karāmah. Istilah ini mengandung makna
kehormatan yang identik dengan setiap individu tetapi berimplikasi
sosial, karena kehormatan diri hanya bisa berjalan jika ada orang lain
yang menghormati martabat kemanusiaan seseorang, maka pengertian
ini melahirkan hak persamaan derajat. Dari al-karāmah juga menurunkan
hak kemerdekaan, di mana filsafat kosmopolitan menegaskan bahwa
tidak seorang pun berhak merendahkan martabat orang lain. Dengan
prinsip-prinsip HAM dalam Alquran, maka muncul beberapa hak bagi
manusia untuk dijunjung tinggi dan bila tidak maka termasuk
pelanggaran HAM. Hak-hak itu antara lain hak hidup, hak menggunakan
dan memelihara air dan udara, hak kebebasan memilih bagi manusia atas
perbuatannya, dan hak menjunjung tinggi pluralitas.

2.3.4. Studi Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia

Corona Virus Disease atau umumnya disebut Covid-19 ini bermula


muncul di Wuhan, China pada tanggal 8 Desember 2019 lalu.1 Dengan
cepat virus ini merambat ke berbagai negara di seluruh dunia. Sampai
pada akhirnya di tanggal 11 Maret 2020 World Health Organization
(WHO) atau Badan Kesehatan Dunia menyatakan bahawa status Covid-
19 ini menjadi pandemik global.2 Worldometers secara real time

18
menyatakan bahwa per tanggal 12 Juli 2021 yang positif Covid-19 di
dunia mencapai 187.681.587 orang, dengan jumlah kematian 4.050.192
orang.3 Hal ini terjadi karena selalu ada peningkatan jumlah seseorang
yang terjangkit virus ini setiap harinya.
Sudah hampir 16 bulan Indonesia mengalami masa yang membuat
keadaan tidak berjalan seperti biasanya, yaitu masa pandemi Covid-19.
Indonesia memiliki jumlah angka positif Covid-19 per tanggal 11 Juli
2021 sebanyak 2.527.203 orang, sembuh sebanyak 2.084.724 orang dan
jumlah kematian sebanyak 66.464 orang.8 Angka ini akan terus naik jika
tidak segera diatasi dengan cara yang tegas. Sejak dinyatakan bahwa
Indonesiamemiliki kasus positif orang yang terjangkit virus ini,
Pemerintah mulai mewantiwanti agar virus ini segera ditangani agar
tidak menyebar ke banyak orang yang mengakibatkan membuat seluruh
Indonesia terjangkit virus ini.
Upaya pencegahan meliputi penciptaan kondisi yang layak bagi
kesehatan, baik menjamin ketersediaan pangan dan pekerjaan,
perumahan yang baik, dan lingkungan yang sehat. Sedangkan upaya
penyembuhan dilakukan dengan penyediaan pelayanan kesehatan yang
optimal. Pelayanan kesehatan meliputi aspek jaminan sosial atas
kesehatan, sarana memadai, tenaga medis yang pembiayaan pelayanan
yang kesehatan yang berkualitas, dan terjangkau oleh masyarakat.
Kenyataannya, saat pengimplementasiannya sendiri banyak sekali
terjadi pelanggaran terhadap jaminan yang telah disebutkan sebelumnya.
Pelanggaran paling dasar dan fatal yang terjadi adalah pada aspek
jaminan pembiayaan pelayanan yang terjangkau oleh masyarakat. Dalam
kasus ini, beberapa oknum pemerintahan yang memanfaatkan keadaan
dengan menjual seperti obat-obatan, handsanitizer, masker dan
penunjang kesehatan lainnya dengan harga yang melambung. Selain itu,
ada juga beberapa pelayanan Kesehatan yang mempersulit pembiayaan
dan administrasi yang ada, sehingga cukup banyak masyarakat yang
kesulitan dalam mendapatkan pelayanan Kesehatan. Satu hal terakhir
mengenai hal ini adalah kasus di korupsinya BanSos untuk masyarakat

19
dikala pandemic Covid-19 ini dan lagi, hal itu dilakukan oleh oknum
dalam pemerintahan itu sendiri. Mereka yang membuat jaminan kepada
masyarakat namun mereka juga yang melanggar. Pelanggaran yang
mereka lakukan termasuk kedalam kategori pelanggaran HAM karena
terhambatnya jaminan yang telah diberikan oleh negara.

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjabaran yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwasanya


politik islam tidak jauh berbeda dengan politik pada umumnya, hanya saja
politik islam menitikberatkan Al-Qur’an, hadits dan sunnha rasul sebagai acuan
atau sumber utama dalam menjalankan politiknya.
Demokrasi secara terminologis berarti kedaulatan yang berada di tangan
rakyat. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat mengandung pengetian bahwa
sistem kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara dibawah kendali rakyat. Agama
berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran
manusia, dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Kendati
demikian, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan
demokrasi.
Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang melekat pada manusia
secara kodrati sebagai anugerah dari Allah SWT., yang harus dihormati,
dilindungi dan tidak layak untuk dirampas oleh siapapun. Pada dasarnya konsep-
konsep hak asasi manusia pernah disampaikan oleh Rasulullah saw dalam
khutbah wada’nya pada abad 7 M. di antara salah satu isinya adalah bahwa
semua manusia mempunyai kedudukan yang sama, yang membedakannya di sisi
Allah hanyalah taqwa.

B. Saran

Penulis bersedia menerima kritik dan saran yang positif dari pembaca.
Kritik dan saran tersebut sebagai bahan pertimbangan yang memperbaiki
makalah ini di kemudian hari. Semoga makalah berikutnya dapat penulis
selesaikan dengan hasil yang lebih baik lagi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Al-Fatih. S., & Felinda. I. A. 2021. Tanggung Jawab Negara dalam Kasus Covid
19 Sebagai Perwujudan Perlindungan HAM. Jurnal HAM. 12(3).
Aminah. S. 2010. Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Perspektif Al-Quran. Jurnal
Hukum Diktum. 8(2). 161-173.
Dahlan. D. 2021. Etika Politik Dalam islam (Konstruksi dan Persfektif). Menara
Ilmu. 15(1). 42-50.
Defrizal. Mgs. A., Achmad. Z., & Solihin.2020. Demokrasi dalam Islam :
Tinjauan Tafsir Maudhu’i. Jurnal Dakwah dan Kemasyarakatan. 1(1). 1-14.
Fitria. V. 2007. Islam dan Hak Asasi Manusia. Jurnal UNY. 1(1). 1-11.
Jufri. A. 2018. Konsepsi Politik Islam dan Realitas Islam dan Negara Di Indonesia
Pascaredormasi. Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah.
18(2). 42-55.
Maloko. M. T. 2013. Etika Politik dalam Islam. Al-daulah. 1(2). 50-59.
Rangkuti. A. 2018. Demokrasi dalam Pandangan Islam dan Barat. Jurnal Ilmiah
Penegakan Hukum. 5(2). 49-59.
Sukring. 2019. Politik Islam Suatu Tujuan Atas Prinsip Keadilan. Jurnal Andi
Djemma. 3(1). 116-128.
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/warda/article/download/7275/3348/
Diakses pada Rabu, 20 April 2022 pukul 20.30 WITA.

22

Anda mungkin juga menyukai