Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

ISLAM DAN KETATANEGARAAN

Disusun oleh:

Pandu Ahmad Ghifara (40011221060003)

Siti Syarifa Yasmin (40011221060028)

Alfiani Salsabillah Budiyanti (40011221060033)

Muhammad Bagas Wicaksono (40011221060051)

PROGRAM STUDI D3 HUBUNGAN MASYARAKAT


SEKOLAH VOKASI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur selalu dipanjatkan kehadirat Allah SWT, yang melimpahkan


rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul siyasah syari’ah

Makalah ini disusun berdasarkan tugas yang telah diberikan oleh yang
terhormat Bapak Muhyidin, S.Ag.M.Ag.MH selaku dosen pengampu mata kuliah
Pendidikan Agama Islam di PSDKU Universitas Diponegoro. Selain itu, makalah
ini juga disusun untuk memenuhi nilai tugas kami pada mata kuliah Pendidikan
Agama Islam.

Dengan disusunnya makalah ini diharapkan mahasiswa Universitas


Diponegoro PSDKU Sekolah vokasi D3 Hubungan Masyarakat dapat mengetahui
mengenai Islam dan Ketatanegaraan. Sehingga mahasiswa yang beragama Islam
dapat memahami bagaimana hubungan antara Islam dan Ketatanegaraan dan dapat
menjalankannya sesuai ajaran Islam.

Kami menyadari bahwa hasil penyusunan makalah ini masih terdapat


banyakkelemahan, karena itu kritik dan saran konstruktif sangat diperlukan demi
perbaikan di kemudian hari. Semoga ini merupakan hasil yang dapat memberikan
manfaat bagi kita semua.

Batang, 9 November 2021

Kelompok 6

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................................................5
1.4 Metode Penulisan.....................................................................................................6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Siyasah Syariah..........................................................................................7
2.2 Definisi Politik.........................................................................................................8
2.3 Konsep Politik Dalam islam,....................................................................................9
2.4 Dasar Hukum.........................................................................................................12
2.5 Manfaat Mempelajari siyasah syari’ah..................................................................11

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................................................21
3.2 Saran.......................................................................................................................21
3.3 Daftar Pustaka........................................................................................................22

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Realitas problematika yang dihadapi umat Islam pasca meninggalnya


Rasulullah Saw. adalah pertanyaan tentang siapa yang akan melanjutkan
kepemimpinan umat Islam pada waktu itu. Hal ini terjadi karena sumber utama
hukum Islam, yaitu Alquran dan hadis tidak secara tegas dan detail yang
memberikan penjelasan pola suksesi kepemimpinan. Karena itu, pola suksesi
pengangkatan kepemimpinan, bentuk dan sistem pemerintahan negara merupakan
wilayah ijtihadi yang diberikan kepada umat manusia untuk menata kehidupannya
berdasarkan realitas tantangan kehidupan yang dihadapinya.
Disisi lain, dalam perkembangan sejarah, keragaman aliran politik telah
melahirkan pula berbagai praktik ketatanegaraan yang berbeda antara umat Islam.
Perbedaan ini semakin mengental ketika Islam menghadapi kolonialisme Barat
pada abad ke-19 M. Kolonial Barat yang telah menginvansi berbagai daerah-
daerah Islam, juga melakukan hegemoni ideologis terhadap suatu wilayah negara-
bangsa. Berbagai macam ragam respon umat Islam terhadap konsep negara
modern yang dipropagandakan oleh orang Barat. Ada yang menerima dan
mengadopsinya secara total, ada yang menolak secara fundamental, dan ada yang
mengapresiasi secara kritis dan realitas dengan menyaring untuk menyesuaikan
dengan norma-norma keislaman.
Tiga sikap ini lahir dari tiga pandangan yang berbeda tentang Islam dan
ketatanegaraan ini. Sikap pertama lahir dari pemikiran bahwa Alquran tidak
memiliki konsep legislatif yang baku dan Muhammad dimaksudkan oleh Allah
untuk menciptakan kekuasaan politik. Tugas Muhammad hanyalah sebagai
penyampai wahyu tanpa pretensi untuk mendirikan negara. Karena itu, umat Islam
harus meniru Barat untuk mencapai kemajuan mereka.

4
1.2 Rumusan Masalah
Penyusunan beberapa masalah yang akan dibahas pada makalah ini sebagai
batasan dalam pembahasan bab isi. Beberapa masalah tersebut antara lain adalah
sebagai berikut.
2.1 Apa definisi siyasah syari’ah
2.2 Apa definisi dari Politik/ketatanegaraan?
2.3 Apa saja konsep bentuk negara Islam?
2.4 Apa saja dasar-dasar pembentuk hukum islam?
2.5 Apa saja manfaat mempelajari konsep hukum islam?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dalam penyusunan
makalah ini sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui apa definisi dari Politik/ketatanegaraan.
1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana hubungan Islam dan ketatanegaraan.
1.3.3 Untuk mengetahui apa saja tujuan politik dalam Islam.
1.3.4 Untuk mengetahui bagaimana prinsip politik dalam Islam.
1.3.5 Untuk mengetahui apa saja konsep hukum Islam.
1.3.6 Untuk mencari manfaat dalam mempelajari konsep hukum islam.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah
dengan mengkaji dan mempertimbangkan dari beberapa sumber tertulis yang ada
di internet dengan atmosfer ruang lingkup pengkajian menurut kesepakatan dari
kelompok kami.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Siyasah Syar’iah

Secara sederhana siyasah syar’iyah diartikan sebagai ketentuan


kebijaksanaan pengurusan masalah kenegaraan yang berdasarkan syariat. Khallaf
merumuskan siyasah syar’iyah denganPengelolaan masalah-masalah umum bagi
pemerintah islam yang menjamin terciptanya kemaslahatan dan terhindarnya
kemudharatan dari masyarakat islam,dengan tidak bertentangan dengan ketentuan
syariat islam dan prinsip-prinsip umumnya, meskipun tidak sejalan dengen
pendapat para ulama mujtahid.

Definisi ini lebih dipertegas oleh Abdurrahman taj yang merumuskan


siyasah syariyah sebagai hukum-hukum yang mengatur kepentingan Negara,
mengorganisasi permasalahan umat sesuai dengan jiwa (semangat) syariat dan
dasar-dasarnya yang universal demi terciptanya tujuan-tujuan kemasyarakatan,
walaupun pengaturan tersebut tidak ditegaskan baik oleh Al-Qur’an maupun al-
sunah.

Bahansi merumuskan bahwa siyasah syar’iyah adalah pengaturan


kemaslahatan umat manusia sesuai dengan tuntutan syara. Sementara para fuqaha,
sebagaimana di kutip khallaf, mendefinisikan siysah syariyah sebagai kewenangan
penguasa/pemerintah untuk melakukan kebijakan-kebijakan politik yang mengacu
kepada kemaslahatan melalui peraturan yang tidak bertentangan dengan dasar-
dasar agama, walaupun tidak terdapat dalil yang khusus untuk hal itu.

6
Dengan menganalisis definisi-definisi yang di kemukakan para ahli di atas
dapat ditemukan hakikat siyasah syar’iyah, yaitu:

1. Bahwa siyasah syar’iyah berhubungan dengan pengurusan dan pengaturan


kehidupan manusia.

2. Bahwa pengurusan dan pengaturan ini dilakukan oleh pemegang kekuasaan(ulu


ai-amr)

3. Tujuan pengaturan tersebut adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan


menolak kemudharatan.

4. Pengaturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan syariat islam.

Berdasarkan hakikat siyasah syar’iyah ini dapat disimpulkan bahwa


sumber-sumber pokok siyasah syar’iyah  adalah al quran dan ai sunnah. Kedua
sumber inilah yang menjadi acuan bagi pemegang pemerintahan untuk
menciptakan peraturan-peraturan perundang-undangan dan mengatur kehidupan
bernegara

2.2 Definisi Politik

Politik (bahasa Yunani: politiká; Arab: siyasah), yang berarti dari, untuk,


atau yang berkaitan dengan warga negara), adalah proses pembentukan dan
pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud
proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan
upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda
mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional
maupun secara nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari
sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

 politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama (Teori Klasik Aristoteles).

 politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan


negara.

7
 politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan di masyarakat.

 politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan


pelaksanaan kebijakan publik.

Dalam Islam sendiri penyebutan politik dikenal dengan istilah Siyasah.


Jika yang dimaksud politik adalah siyasah mengatur segenap urusan umat, maka
Islam sangat menekankan pentingnya siyasah. Bahkan Islam sangat mencela
orang-orang yang tidak mau tahu terhadap urusan umat.

Tetapi jika siyasah diartikan sebagai orientasi kekuasaan, maka


sesungguhnya Islam memandang kekuasaan hanya sebagai sarana
menyempurnakan pengabdian kepada Allah. Tapi Islam hanya menjadi sarana
dalam masalah kekuasaan.

Sifat terbuka Islam dalam masalah politik ini tidak terlepas dari kenyataan
bahwa Islam tidaklah menetapkan konsep politiknya secara amat rinci. Dalam hal
ini, Islam memang harus memiliki corak politik. Akan tetapi, politik bukanlah
satu-satunya corak yang dimiliki oleh Islam. Sebab jika Islam hanya bercorak
politik tanpa ada corak Iain yang seharusnya ada, maka Islam yang demikian ialah
Islam yang parsial.

2.3 Konsep Politik Menurut Islam

Di dalam wacana keIslaman terdapat perbedaab antara politik dan politik


Islam. Kata politik selalu dihubungkan dengan konsep-konsep dan tatanan
kehidupan masyarakat yang berakar pada keilmuan dan tradisi Barat. Sedangkan
istilah politik Islam adalah suatu istilah khas yang merujuk pada konsep-konsep
Islam terutama istilah-istilah yang muncul pada masa Nabi Muhammad dan para
pengikutnya. Praktek politik Islam dirujuk pada cara-cara bagaimana Nabi
Muhammad dan periode-periode setelahnya yangni pada periode Khulafaur
Rasyidin.

Orientasi utama politik Islam terkait dengan masalah kekuasaan yaitu


tegaknya hukum-hukum Allah dimuka bumi, hal ini menunjukkan bahwa

8
kekuasaan tertinggi ialah kekuasaan Allah. Sementara, manusia pada dasarnya
sama sekali tidak memlliki kekuasaan. Bahkan Islam menentang adanya
penguasaan Absolut  seorang manusia atas manusia yang lain. Wallahu A’lam.

Islam adalah agama universal, meliputi semua unsur kehidupan, dan


politik, Negara dan tanah airi adalah bagian dari islam. tidak ada yang namanya
pemisahan antara agama dan politik. karena politik bagian dari risalah Islam
yang sempuran.[4] Seperti ungkapan bahwa tidak ada kebaikan pada agama
yang tidak ada politiknya dan tidak ada kebaikan dalam politik yang tidak ada
agamanya.

Di dalam Islam pun, politik mendapat kedudukan dan tempat yang


hukumnya bisa menjadi wajib. Para ulama kita terdahulu telah memaparkan nilai
dan keutamaan politik. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa
Dunia merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali
dengan dunia. memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau
tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah saudara kembar
dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan).

Lengkapnya Imam Al- Ghazali mengatakan: “Memperjuangkan kebaikan


ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara
kembar. Agama adalah dasar perjuangan, sedang penguasa kekuasaan politik
adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan
runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia”.[5] Dari
pandangan Al-Ghazali itu bisa disimpulkan bahwa berpolitik itu wajib karena
berpolitik merupakan prasyarat dari beragama dengan baik dan nyaman.
Begitulah islam memandang pollitik.

Dalam kaitan inilah ada kaidah ushul fiqh yang menyebutkan “Ma la
yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” (Jika ada satu kewajiban yang tidak bisa
dilaksanakan kalau tidak ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain wajib
juga diadakan/ dipenuhi). Dengan kata lain, “jika kewajiban mensyiarkan nilai
kebaikan Islam tak bisa efektif kalau tidak berpolitik, maka berpolitik itu
menjadi wajib pula hukumnya.” Inilah yang menjadi dasar, mengapa sejak awal

9
turunnya Islam, muslimin itu sudah berpolitik, ikut dalam kegiatan bernegara,
bahkan mendirikan Negara, dan Rasulullah, SAW, Khulafaur Rasyidin serta
para pemimpin islam terdahulu telah membuktikanya.

2.4 Dasar-dasar Politik Dalam islam

Pengkategorian dasar politik islam memiliki banyak sudut pandang (tafsir


qur’an) dari setiap tokoh atau Lembaga yang menerbitkan tafsirannya. Dalam
kasus ini dapat diambil beberapa sumber yang menjadi acuan dalam dasar politik
yang diajadikan dasar ideologi dari setiap pembuatan system dalam islam.

I. Dasar hukum menurut Al-Qur’an

َ‫ت فَظًّا َغلِ ْيظ‬ َ ‫ت لَهُ ْم ۚ َولَ ْو ُك ْن‬ َ ‫ة ِّم َن هّٰللا ِ لِ ْن‬dٍ ‫فَبِ َما َرحْ َم‬
ْ‫ف َع ْنهُ ْم َوا ْستَ ْغفِر‬ ُ ‫ك ۖ فَا ْع‬ َ ِ‫ب اَل ْنفَضُّ ْوا ِم ْن َح ْول‬ ِ ‫ْالقَ ْل‬
‫ت فَتَ َو َّكلْ َعلَى‬ َ ‫اورْ هُ ْم فِى ااْل َ ْم ۚ ِر فَا ِ َذا َع َز ْم‬ ِ ‫لَهُ ْم َو َش‬
‫هّٰللا ِ ۗ اِ َّن هّٰللا َ ي ُِحبُّ ْال ُمتَ َو ِّكلِي َْن‬
Yang artinya : “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka
dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”
Qs Ali Imran (159)

Dasar ayat diatas tidak semerta-merta dijadikan dan disepakati menjadi semua
dasar pembuatan hukum islam, tentu saja melewati beberapa tafsiran. Berikut
adalah beberapa tafsiran tersebut :

a. Tafsir Al-Maraghi
Al-Maraghi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini menjelaskan
sikap Rasulullah SAW terhadap para sahabatnya dalam me ngambil keputusan.

10
Me nurut beliau, banyak di antara para sahabat Nabi orang-orang yang berhak
men dapat - kan celaan dan perlakuan keras menurut karakter umum manusia. Hal
ini menurut mufassir ini karena mereka para sahabat Nabi telah melakukan
kesalahan dalam 48 JURNAL AQLAM -- Journal of Islam and Plurality --
Volume 1, Nomor 1, Juni 2016 melaksanakan strategi perang dengan me
ngabaikan perintah yang sudah disepakati sebelumnya. Kesalahan para sahabat ini
tidak mengurangi peng hargaan Rasulullah kepada para sahabat dalam mendengar
kan dan berdiskusi dalam ber bagai masalaha bersama.

Dalam tafsir nya al-Maraghi, beliau menjelaskan bahwa Nabi selalau


berpegang kepada musyawarah selama hidupnya dalam meng hadapi semua
persoalan. Beliau selalu ber musyawarah dengan mayoritas kaum muslimin.4 Al-
Maraghi memberikan beberapa contoh musyawarah yang pernah dilaku kan
Rasulullah dalam sejarah.

Musyawarah pada waktu perang Badar. Hal ini di laku kan setelah
Rasulullah menge tahui bahwa orang-orang Quraish telah keluar dari Mekah
untuk berperang. Nabi yang berada di Medinah tidak langsung me ngambil
keputusan untuk ber perang langsung menerima sikap perang yang ditunjukkan
oleh bangsa Quraish yang menentang Nabi pada waktu itu. Keputusan perang
Badar antara Nabi dengan kaum Ansar dan Muhajirin terjadi setelah Nabi
bermusyawarah dengan mereka dan me nyepakati isi perjanjian perang tersebut.
Tafsir al-Maraghi juga menjelaskan bahwa Rasulullah tidak menetapkan kaidah-
kaidah dalam bermusyawarah. Menurut beliau, kaidah-kaidah musyawarah ber
beda antara satu tempat dengan tempat yang lain dan satu masa ke masa yang lain.
Yang penting diperhatikan dalam musyawarah tersebut adalah ke ter libatan
mereka yang terkait dengan keputusan yang akan diambil dalam 4 Ahmad
Mushthafa, Tafsir al-Maraghi, 1987. Diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar Lc,
Drs Hery Noer Aly, dan K Anshori Umar Sitanggal. Semarang: Karya Toha Putra,
hlm. 196.

Musyawarah tersebut, seperti melibatkan kaum Ansar dan kaum Muhajirin


dalam perang Badar di atas karena kedua kaum tersebut terlibat langsung dalam
keputusan perang yang akan dijalani. Al-Maraghi dalam tafsir ayat ini juga men

11
jelaskan bahwa musyawarah merupa kan sikap politik yang terabaikan setelah
Rasulullah meninggal. Beliau me - lihat bahwa hanya pada masa Abu Bakar
musyawarah masih dijalankan ter utama ketika Abu Bakar diterima secara
musyawarah, menurut beliau, sebagai khalifah pertama, pengganti ke pemimpinan
Rasulullah SAW. Setelah itu, apalagi pada masa khalifah Abbasiyah, umat Islam,
menurut al-Maraghi, tidak lagi melakukan musya warah dalam kegiatan politik.
Oleh karena itu, Al-Maraghi men jelas - kan bahwa jika banyak orang menilai
bahwa kepemimpinan dalam Islam itu mendukung pemimpin dictator, maka
pandangan itu bukan berdasarkan prilaku politik Islam berdasarkan AlQuran.5

Tafsir Al-Maraghi, lebih jauh, menjelas kan manfaat musyawarah dalam


mengambil kebijakan politik. Pertama, musya warah akan menunjukkan keterbuk
an informasi dalam mencapai kebijakan untuk kemash lahatan umum. Musya
warah akan membuat opini, pendapat dan pemiki ran yang mendukung atau
menolak serta mempertimbangkan satu kebijakan bersifat terbuka dan diketahui
semua peserta musyawarah. Dari keter buka an opini, pendapat dan pemiki ran
tersebut akan terlihat, menurut Al-Maraghi, keikhlasan dan kecinta an sese orang
terhadap kepen tingan umum, bukan ke pentingan pribadi dan 5 Ahmad
Mushthafa, Tafsir al-Maraghi...hlm. 197. 49 POLITIK ISLAM DALAM AL-
QUR’AN -- Delmus Puneri Salim kelompok. Manfaat musyawarah kedua
menurut Tafsir Al-Maraghi adalah munculnya panda ngan yang beragam dari
semua peserta musyawarah. Munculnya pan dangan yang beragam ini kemudian
akan me mungkin kan munculnya kelebihan dari satu pandangan daripada
pandangan yang lain. Yang mungkin saja me nurut beliau pandangan yang
memiliki kelebihan tersebut bukan berasal dari para pemimpin atau penguasa di
masyarakat. Tafsir al-Maraghi kemudian menjelaskan manfaat musyawarah ketiga
yaitu pengujian opini, pendapat dan pemikiran.

b. Tafsir Al-Azhar
Buya Hamka memulai menafsirkan ayat 159 surat Ali Imran ini dengan
menggunakan kata pujian untuk menjelaskan sikap Rasulullah dalam memimpin.
Menurut beliau, Rasulullah sebagai pemimpin umat Islam sangat menunjukkan
bahwa sikap lemah lembut dalam memimpin mem buat beliau bisa menuntun dan

12
mem bina umat Islam dengan baik.6 serta sikap bermusyawarah dengan umat
disekelilingnya dalam menghadapi persalan besama.

Lebih lanjut Buya Hamka menunjukkan bahwa tafsir utama ayat 159 surat
Ali Imran ini adalah tentang Ilmu memimpin dalam Islam.7 Ilmu Memimpin yang
beliau maksudkan adalah bahwa ayat ini meng haruskan pemimpin dalam Islam
untuk bersikap lemah lembut dalam memimpin. Menurut beliau, pemimpin yang
kasar, keras hati dan kaku sikapnya, bukan saja pemimpin yang tidak sesuai
dengan Al-Qur’an tetapi juga akan dijauhi banyak orang. Pemimpin seperti ini,
menurut beliau, juga tidak akan berhasil dalam memimpin.

Namun demikian, Buya Hamka juga menggaris bawahi bahwa sikap


lemah lembut seperti yang dianjurkan oleh ayat ini bukan berarti bersikap tidak
tegas. Beliau menekan kan pandangannya ini 6 Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta:
Pustaka Panjimas, 2007. hlm. 129. 7 Hamka. Tafsir Al-Azhar...hlm. 130. 50
JURNAL AQLAM -- Journal of Islam and Plurality -- Volume 1, Nomor 1, Juni
2016 ini dengan mencontoh kan sikap tegas Rasulullah SAW dalam beberapa
kasus.

Misalnya, ketika Rasulullah SAW bersikap tegas ter hadap kelompok yang
tidak menyepakati hasil perjanjian Hudaibiyah; ketika beliau tegas mendiktekan
apa yang harus dicatat oleh Ali Ibn Abi Thalib; dan ketika tegas memerintahkan
umat Islam untuk mencukur rambut, membayar denda dan menanggal kan pakaian
ihram ketika umat Islam batal melaksanakan ibadah haji pada tahun itu.

Kembali pada penjelasan utama ayat 159 surat Ali Imran, Buya Hamka
memberikan contoh detail hasil kesepakatan musyawarah yang dilaku kan
Rasulullah SAW dengan para sahabat. Seorang sahabat yang bernama ‘Al-Habbib
bin AlMundzir bin Al-Jumawwah meng kritik Rasulullah SAW akan inisiatif nya
untuk menghentikan pasukan perang di tempat yang jauh dari sumber air. Asal
kritikan sahabat tersebut dan kepentingan bersama, Rasulullah SAW bergerak
bersama pasukannya menuju sumber air dan menguasai tempat tersebut sebelum
musuh mereka menguasaina terlebih dahulu.8 Buya Hamka menyebutkan inti
amalan dari ayat ini adalah musyawarah sebagai dasar politik Islam dan
pemerintahan Islam.

13
c. Tafsir Al-Misbah
Muhammad Quraish Shihab menjelaskan ayat ini dengan menunjukkan
kemampuannya dalam memahami kaidah dan tata Bahasa Arab dengan baik.
Beliau men jelaskan bahwa katamadi awal ayat tersebut sebagai bentuk infinitive
(nakirah) dari kata rahmat sesudahnya. Beliau juga menjelaskan arti kata lauw,
pada lanjutan ayat berikut,yang diartikan sekiranya, adalah kata Bahasa Arab yang
digunakan untuk sesuatu yang bersyarat, tetapi syarat yang tidak dapat terjadi.
Beliau mencontohkan dengan perkataan ‘sekiranya ayah saya hidup, saya akan
menamatkan kuliah’ dari seorang anak yang sudah meninggal ayahnya10 .

Kemampuan penafsir dalam menguasai Bahasa Arab juga terlihat ketika


beliau menjelaskan dalam tafsir Al-Misbah asal kata musyawarah. Kata ini
dijelaskan berasal dari akar kata syawara yang memiliki arti dasar mengeluarkan
madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian ber kembang, termasuk mencakup
segala 10 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah...hlm. 311. 51 POLITIK ISLAM
DALAM AL-QUR’AN -- Delmus Puneri Salim sesuatu yang dapat diambil atau
di keluar - kan dari yang lain, termasuk pen dapat seseorang. Oleh karena itu,
menurut beliau, musyawarah hanya akan melahirkan sesuatu yang baik dan manis,
seperti madu.

Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat 159 surat Ali Imran
ini mengimplisit kan syarat-syarat seorang pemimpin yang akan berhasil dalam
ber musya warah.11 Pertama, bersikap lemah lembut, tidak kasar dan tidak berhati
keras. Menurut mufassir ini, mitra musyawarah akan menjauh jika seorang
pemimpin bersikap tidak sesuai dengan disebutkan tadi. Sikap yang kedua yang
harus dimiliki pemimpin agar berhasil dalam musyawarah adalah memberi maaf
dan membuka lembaran baru dalam ber interaksi dengan mereka yang telah
melaku kan kesalahan.

Terakhir, musyawarah tidak hanya membutuhkan logika dan akal sehat


tetapi juga hati. Quraish Shihab menekankan bahwa hati yang sehatlah yang bisa

14
menangkap sesuatu pendapat dan pikiran dari orang lain yang bisa saja pendapat
dan pikiran tersebut datang sekejap dan tidak terduga.12 Mufassir ini bahkan
mengembangkan penjelasan ayat 159 surat Ali Imran ini dengan menyebutkan
hal-hal yang perlu dimusyawarahkan, yaitu urusan rumah tangga dan
kemasyarakatan. Menurut beliau, di dukung oleh ayat lain tentang musyawarah
seperti surat Al-Baqarah 11 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah...hlm. 313. 12
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah...hlm. 314. ayat 223, musyawarah
seharusnya dilaku kan di dalam keluarga, terutama suami istri dalam mengambil
keputusan bersama.

II. Dasar Hukum Menurut Hadist


Menurut bahasa kata as-sunnah berarti jalan atau tuntunan, baik yang
terpuji atau tercela, sesuai dengan sabda Nabi
“Barang siapa yang memberi contoh tuntunan perbuatan yang baik, ia akan
mendapatkan pahala perbuatan tersebut serta pahala mereka yang
mengikutinya sampai hari kiamat. Dan baarang siapa yang memberikan
contoh perbuatan yang buruk, ia akan mendapatkan siksaan perbuatan
tersebut dan siksaan mereka yang menirunya sampai hari akhir”. (H.R.
Muslim)
Dalam islam hadist menjadi alat bantu dalam menjalankan dan
mengartikan setiap ayat Al Qur’an yang diturunkan oelh Allah SWT kepada nabi
Muhammad SAW sebagai bentuk wahyu-Nya. Berikut ini beberapa fungsi hadits
sebagai sumber hukum Islam :

1. Bayan At-Taqrir (Memperjelas Isi Al-Qur’an)

Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam yang pertama yakni adalah
Bayan At-Taqrir atau memperjelas isi Al-Qur’an. Hadits berfungsi untuk
memperjalas isi Al-Qur’an, agar lebih mudah dipahami dan menjadi petunjuk
umat manusia dalam menjalankan perintah dari Allah SWT.

Fungsi Hadist sebagai bayan al- taqrir berarti memperkuat isi dari Al-
Qur’an. Sebagai contoh hadits yang diriwayatkan oleh H.R Bukhari dan Muslim
terkait perintah berwudhu, yakni:

15
“Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima shalat seseorang yang berhadats
sampai ia berwudhu” (HR.Bukhori dan Abu Hurairah)

Hadits diatas mentaqrir atau menjelaskan dari surat Al-Maidah ayat 6 yang
berbunyi:

‫س ُك ْم َواَ ْر ُجلَ ُك ْم‬


ِ ‫س ُح ْوا ِب ُر ُء ْو‬ ِ ِ‫سلُ ْوا ُو ُج ْو َه ُك ْم َوأَ ْي ِد يَ ُك ْم اِلَى ا ْل َم َراف‬
َ ‫ق َوا ْم‬ ّ ‫َيااَيُّ َهاالَّ ِذ يْنَ اَ َمنُ ْوااِ َذاقُ ْمتُ ْم اِلَى ال‬
ِ ‫صلَو ِة فَا ْغ‬
‫اِلَى ا ْل َك ْعبَ ْي ِن‬

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan


shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS.Al-
Maidah:6)

Contoh lainnya dari Bayan at-Taqrir adalah terkait perintah sholat. Allah
SWT berfirman, “Sungguh, sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya
atas orang-orang yang beriman”. (QS. 4/An-Nisa`: 103)

“Bacalah Kitab (Al-Quran) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad)


dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari
(perbuatan) keji dan juga mungkar.” (QS. 29/Al-Ankabut: 45).

Dalam dua ayat diatas Allah SWT tidak memberikan penjelasan tentang
jumlah rakaat didalam shalat dan juga bagaiman tata cara pelaksanaannya. Maka
dari itu Rosulullah SAW menjelaskan dengan berupa perbuatan/praktek ataupun
dengan perkataan. Rasulullah SAW bersabda, ” Sholatlah kalian sebagaimana
kalian melihat aku sholat. ” (HR. Bukhori).

2. Bayan At-Tafsir (Menafsirkan Isi Al-Qur’an)

Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam berikutnya yakni sebagai


Bayan At-Tafsir atau hadits berfungsi untuk menafsirkan isi Al-Qur’an.

Fungsi hadist sebagai bayan at-tafsir berarti memberikan tafsiran


(perincian) terhadap isi Al-Qur’an yang masih bersifat umum (mujmal) serta

16
memberikan batasan-batasan (persyaratan) pada ayat-ayat yang bersifat mutlak
(taqyid). Contoh hadist sebagai bayan At- tafsir adalah penjelasan nabi
Muhammad SAW mengenai hukum pencurian.

َ ‫ق فَقَطَ َع يَ َدهُ ِمنْ ِم ْف‬


ِّ‫ص ِل ا ْل َكف‬ َ ِ‫أَتَى ب‬
ِ ‫سا ِر‬

Artinya : “Rasulullah SAW didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka


beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan”

Hadist diatas menafsirkan surat Al-maidah ayat 38:

َ ‫سا ِرقَةُ فَا ْقطَ ُع ْوااَ ْي ِد يَ ُه َما َج َزا ًء بِ َما َك‬


ِ‫سبَا نَ َكاالً ِمنَ هللا‬ َّ ‫ق َوال‬
ُ ‫سا ِر‬
َّ ‫َوال‬

Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah


tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah” (QS.Al-Maidah:38)

Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan hukuman bagi seorang pencuri


dengan memotong tangannya. Ayat ini masih bersifat umum, kemudian Nabi
SAW memberikan batasan bahwa yang dipotong dari pergelangan tangan.

3. Bayan At-Tasyri’ (Memberi Kepastian Hukum Islam yang Tidak


Terdapat dalam Al-Qur’an)

Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam berikutnya yakni adalah


sebagai Bayan At-Tasyri’, yang dimana hadits sebagai pemberi kepastian hukum
atau ajaran-ajaran islam yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an. Biasanya Al-
Qur’an hanya menjelaskan secara general, kemudian diperkuat dan dijelaskan
lebih lanjut dalam sebuah hadits. Sebagaimana contohnya hadist mengenai zakat
fitrah, dibawah ini:

َ ‫صا عًا ِمنْ تَ َم ٍراَ ْو‬


ْ‫صا عًا ِمن‬ َ ‫س‬ ِ ‫ضانَ َعلَى النَّا‬ َ ‫ض َز َكا ةَ الفِ ْط ِر ِمنْ َر َم‬ َ ‫سلَّ َم َف َر‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬
ُ ‫اِنَّ َر‬
ْ ‫ش ِع ْي ٍر َعلَى ُك ِّل ُح ٍّر اَ ْو َع ْب ٍد َذ َك ٍر أَ ْو أُ ْنثَى ِمنَ ْال ُم‬
َ‫سلِ ِميْن‬ َ

17
Artinya : “Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan
Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, beik merdeka atau
hamba, laki-laki atau perempuan”(HR. Muslim).

4. Bayan Nasakh (Mengganti Ketentuan Terdahulu)

Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam berikutnya yakni sebagai


Bayan Nasakh atau mengganti ketentuan terdahulu. Secara etimologi, An-Nasakh
memiliki banyak arti diantaranya at-taqyir (mengubah), al-itbal (membatalkan),
at-tahwil (memindahkan), atau ijalah (menghilangkan).

Para ulama mendefinisikan Bayan An-nasakh berarti ketentuan yang


datang kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang terdahulu, sebab ketentuan
yang baru dianggap lebih cocok dengan lingkungannya dan lebih luas.

Untuk fungsi hadist sebagai Bayan Nasakh ini masih terjadi perdebatan di
kalangan ulama. Para ulama Ibn Hazm dan Mutaqaddim membolehkan menasakh
al-Qur’an dengan segala hadits walaupun hadits ahad.

Kelompok Hanafiyah berpendapat boleh menasakh dengan hadist masyhur


tanpa harus matawatir.  Sedangkan para mu’tazilah membolehkan menasakh
dengan syarat hadist harus mutawatir. Selain itu, ada juga yang berpendapat
Bayan Nasakh bukanlah fungsi hadist.

Salah satu contoh dari Bayan Nasakh ini yakni :

ٍ ‫صيَّةَ لِ َوا ِر‬


‫ث‬ ِ ‫الَ َو‬

 Artinya : “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”

Hadits ini menasakh surat QS.Al-Baqarah ayat 180:

َ‫ف َحقًّا َعلَى ال ُمتَّقِيْن‬


ِ ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َد ْي ِن َو ْاألَ ْق َربِيْنَ بِا ْل َم ْع ُر ْو‬
ِ ‫ض َر اَ َح َد ُك ْم ال َم ْوتُ اِنْ تَ َر َك َخ ْي َرال َو‬ َ ‫ُكتِ َب َعلَ ْي ُك ْم اِ َذ‬
َ ‫اح‬

18
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabat secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang
yang bertaqwa” (QS.Al-Baqarah:180)

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, hadist mempunyai kedudukan


sebagai sumber hukum islam kedua. Dalam Al-Qur’an juga telah dijelaskan
berulang kali perintah untuk mengikuti ajaran Rasulullah SAW, sebagaimana
yang terangkum firman Allah SWT di surat An-Nisa’ ayat 80:

َ ‫سو َل فَقَ ْد أَطَا َع هَّللا َ ۖ َو َمنْ تَ َولَّ ٰى فَ َما أَ ْر‬


‫س ْلنَا َك َعلَ ْي ِه ْم َحفِيظًا‬ ُ ‫َمنْ يُ ِط ِع ال َّر‬

Artinya : “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati


Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”(QS.An-Nisa: 80)

Hubungan hadits dengan Al-Qur’an tentunya memiliki hubungan yang


cukup erat. Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an. Allah
SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam
pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan. Pengalaman hukum Allah
diberi penjelasan oleh Nabi.

Dengan demikian bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan Allah


dalam Al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat. Sebagian besar
ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara
amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan
demikian keterkaitan hadits dengan Al-Qur’an yang utama adalah berfungsi untuk
menjelaskan Al-Qur’an. 

III. Dasar Hukum Menurut Ijma


Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi
dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil pertama
setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali
hukum-hukum syara’

19
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ itu
sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits,
mereka berijtihad dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri
(Al-Qur’an dan Hadits).
Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat
untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah
sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum
yang telah disepakati

IV. Dasar Hukum Menurut Qiyas


Pengertian Qiyas menurut para ulama ushul fiqh ialah menetapkan hukum suatu
kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua
kejadian atau peristiwa itu.
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat
sependapat bahwa Qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam
menetapkan hukum dalam ajaran Islam.
Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan Qiyas atau macam-
macam Qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang
membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu
barulah melakukan Qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak
diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.

Adapun rukun-rukun Qiyas sebagai berikut:

1. Al-ashlu (pokok). Sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan


tentang hukum, atau wilayah tempat sumber yaitu masalah yang menjadi ukuran
atau tempat yang menyerupakan.

Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu


permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqis ‘alaihi), dan musyabbah bih
(tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang
telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.

Imam Al-Amidi dalam al-Mathbu’ mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu


yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri.

20
Contoh, pengharaman ganja sebagai Qiyas dari minuman keras adalah
keharamannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu
dibutuhkan. Dengan demikian maka al-aslu adalah objek qiyas, dimana suatu
permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.

2. Al-far’u (cabang). Al-far’u adalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nash. Fara'
yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya
karena tidak adanash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis
(yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang
dibandingkan).
3. Al- Hukum. Al- Hukum adalah hukum yang dipergunakan Qiyas untuk
memperluas hukum dari asal ke far’ (cabang). Yaitu hukum dari ashal yang telah
ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara'
seandainya ada persamaan 'illatnya.
4. Al-‘illah (sifat) Illat adalah alasan serupa antara asal dan far’ ( cabang)., yaitu
suatu sifat yang terdapat pada ashl, dengan adanya sifat itulah , ashl mempunyai
suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula, terdapat cabang disamakan
dengan hukum ashl.

Contoh menggunakan narkotika adalah suatu perbuatan yang perlu ditetapkan


hukumnya, sedang tidak ada satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar
hukumnya.

Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari


perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, yaitu
perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasarkan firman Allah SWT yang
artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,


(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan." (QS. al-Ma’idah: 90).

Antara menggunakan narkotika dan minum khamr ada persamaan ‘illat, yaitu
sama-sama berakibat memabukkan para penggunanya, sehingga dapat merusak
akal

2.5 Manfaat Mempelajari Siyasah Syariah


1. mengatur peraturan dan perundangan-undangan dalam mewujudkan kemashalatan
bersama yang sesuai dengan hukum ALLAH
2. mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat dalam membangun negara sesuai
dengan hukum ALLAH
3. mengatur penentuan hukum negara secara umum sesuai dengan hukum ALLAH

21
4. digunakannya sumber-sumber hukum islam dan pemikiran ulamaulama pilitik
islam dalam penentuan kebijakan negara
5. terhapusnya sistema batil yang dapat mendatangakn kemudhorotan bila diterapkan
dalam negara

Bab III

PENUTUP

1.3 Kesimpulan

Dengan demikian kami selaku penyusun dapat menyimpulkan bahwa hubungan


islam dan politik itu sangat berkaitan karena telah dijelaskan sebagaimana yang
kami cantumkan diatas. Dengan menyertakan bukti otentik yang tidak hanya
berasal dari Al Quran dan Hadist saja yang sudah ditafsirkan, kami selaku penulis
juga mencantumkan bukti menurut ijma dan juga qiyas.

maka dari itu daiharapkan para pembaca sekalian dapat mengambil nilai penting
dari apa yang coba kami cantumkan yang itu adalah berupa toleransi dan
perjuangan memperjuangkan kebenaran di jalan Allah dengan saling mengasihi
antar manusia, umat beragama, dan juga setiap makhluk hidup.

1.2 Saran

Dengan uraian di atas kita dapat menyadari bahwa apapun sistem politik yang di
gunakan di setiap negara akan percuma kalau tidak didasari dengan kesadaran
iman dan taqwa kepada Allah SWT oleh setiap pemimpin di rakyatnya. Sebagai
umat islam kita harus tahu dan ikut berpartisipasi dalam kepolitikan islam, agar
menjadikan Indonesia yang lebih baik dan maju. Dalam menghadapi kondisi
seperti ini, islam semestinya dapat hadir menjadi suatu alternatif dalam

22
mengembangkan sains kea rah yang lebih bijak. Mengajarkan beberapa budaya
islam yang seharusnya dan patut kita lestarikan dan kita hormati.

1.3 Daftar Pustaka

Ishomuddin. 2013. https://media.neliti.com/media/publications/11298-ID-


pemahaman-politik-islam-studi-tentang-wawasan-pengurus-dan-simpatisan-partai-
pol.pdf. Malang

Wikipedia. 2021. https://id.wikipedia.org/wiki/Politik. Politik Dunia. Jakarta.

Ashari, Azis. 2018. https://alkhairat.ac.id/2018/09/30/politik-dalam-islam/.


Pamekasan.

Salim, Delmus Puneri. 2016. https://media.neliti.com/media/publications/240918-


politik-islam-dalam-al-quran-tafsir-siya-22b70f01.pdf. POLITIK ISLAM DALAM
AL-QUR’AN

(Tafsir Siyasah Surat Ali Imran Ayat 159). Manado.

23

Anda mungkin juga menyukai