Disusun oleh:
KATA PENGANTAR
Makalah ini disusun berdasarkan tugas yang telah diberikan oleh yang
terhormat Bapak Muhyidin, S.Ag.M.Ag.MH selaku dosen pengampu mata kuliah
Pendidikan Agama Islam di PSDKU Universitas Diponegoro. Selain itu, makalah
ini juga disusun untuk memenuhi nilai tugas kami pada mata kuliah Pendidikan
Agama Islam.
Kelompok 6
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................................................5
1.4 Metode Penulisan.....................................................................................................6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Siyasah Syariah..........................................................................................7
2.2 Definisi Politik.........................................................................................................8
2.3 Konsep Politik Dalam islam,....................................................................................9
2.4 Dasar Hukum.........................................................................................................12
2.5 Manfaat Mempelajari siyasah syari’ah..................................................................11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................................................21
3.2 Saran.......................................................................................................................21
3.3 Daftar Pustaka........................................................................................................22
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.2 Rumusan Masalah
Penyusunan beberapa masalah yang akan dibahas pada makalah ini sebagai
batasan dalam pembahasan bab isi. Beberapa masalah tersebut antara lain adalah
sebagai berikut.
2.1 Apa definisi siyasah syari’ah
2.2 Apa definisi dari Politik/ketatanegaraan?
2.3 Apa saja konsep bentuk negara Islam?
2.4 Apa saja dasar-dasar pembentuk hukum islam?
2.5 Apa saja manfaat mempelajari konsep hukum islam?
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Dengan menganalisis definisi-definisi yang di kemukakan para ahli di atas
dapat ditemukan hakikat siyasah syar’iyah, yaitu:
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional
maupun secara nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari
sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama (Teori Klasik Aristoteles).
7
politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
Sifat terbuka Islam dalam masalah politik ini tidak terlepas dari kenyataan
bahwa Islam tidaklah menetapkan konsep politiknya secara amat rinci. Dalam hal
ini, Islam memang harus memiliki corak politik. Akan tetapi, politik bukanlah
satu-satunya corak yang dimiliki oleh Islam. Sebab jika Islam hanya bercorak
politik tanpa ada corak Iain yang seharusnya ada, maka Islam yang demikian ialah
Islam yang parsial.
8
kekuasaan tertinggi ialah kekuasaan Allah. Sementara, manusia pada dasarnya
sama sekali tidak memlliki kekuasaan. Bahkan Islam menentang adanya
penguasaan Absolut seorang manusia atas manusia yang lain. Wallahu A’lam.
Dalam kaitan inilah ada kaidah ushul fiqh yang menyebutkan “Ma la
yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” (Jika ada satu kewajiban yang tidak bisa
dilaksanakan kalau tidak ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain wajib
juga diadakan/ dipenuhi). Dengan kata lain, “jika kewajiban mensyiarkan nilai
kebaikan Islam tak bisa efektif kalau tidak berpolitik, maka berpolitik itu
menjadi wajib pula hukumnya.” Inilah yang menjadi dasar, mengapa sejak awal
9
turunnya Islam, muslimin itu sudah berpolitik, ikut dalam kegiatan bernegara,
bahkan mendirikan Negara, dan Rasulullah, SAW, Khulafaur Rasyidin serta
para pemimpin islam terdahulu telah membuktikanya.
َت فَظًّا َغلِ ْيظ َ ت لَهُ ْم ۚ َولَ ْو ُك ْن َ ة ِّم َن هّٰللا ِ لِ ْنdٍ فَبِ َما َرحْ َم
ْف َع ْنهُ ْم َوا ْستَ ْغفِر ُ ك ۖ فَا ْع َ ِب اَل ْنفَضُّ ْوا ِم ْن َح ْول ِ ْالقَ ْل
ت فَتَ َو َّكلْ َعلَى َ اورْ هُ ْم فِى ااْل َ ْم ۚ ِر فَا ِ َذا َع َز ْم ِ لَهُ ْم َو َش
هّٰللا ِ ۗ اِ َّن هّٰللا َ ي ُِحبُّ ْال ُمتَ َو ِّكلِي َْن
Yang artinya : “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka
dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”
Qs Ali Imran (159)
Dasar ayat diatas tidak semerta-merta dijadikan dan disepakati menjadi semua
dasar pembuatan hukum islam, tentu saja melewati beberapa tafsiran. Berikut
adalah beberapa tafsiran tersebut :
a. Tafsir Al-Maraghi
Al-Maraghi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini menjelaskan
sikap Rasulullah SAW terhadap para sahabatnya dalam me ngambil keputusan.
10
Me nurut beliau, banyak di antara para sahabat Nabi orang-orang yang berhak
men dapat - kan celaan dan perlakuan keras menurut karakter umum manusia. Hal
ini menurut mufassir ini karena mereka para sahabat Nabi telah melakukan
kesalahan dalam 48 JURNAL AQLAM -- Journal of Islam and Plurality --
Volume 1, Nomor 1, Juni 2016 melaksanakan strategi perang dengan me
ngabaikan perintah yang sudah disepakati sebelumnya. Kesalahan para sahabat ini
tidak mengurangi peng hargaan Rasulullah kepada para sahabat dalam mendengar
kan dan berdiskusi dalam ber bagai masalaha bersama.
Musyawarah pada waktu perang Badar. Hal ini di laku kan setelah
Rasulullah menge tahui bahwa orang-orang Quraish telah keluar dari Mekah
untuk berperang. Nabi yang berada di Medinah tidak langsung me ngambil
keputusan untuk ber perang langsung menerima sikap perang yang ditunjukkan
oleh bangsa Quraish yang menentang Nabi pada waktu itu. Keputusan perang
Badar antara Nabi dengan kaum Ansar dan Muhajirin terjadi setelah Nabi
bermusyawarah dengan mereka dan me nyepakati isi perjanjian perang tersebut.
Tafsir al-Maraghi juga menjelaskan bahwa Rasulullah tidak menetapkan kaidah-
kaidah dalam bermusyawarah. Menurut beliau, kaidah-kaidah musyawarah ber
beda antara satu tempat dengan tempat yang lain dan satu masa ke masa yang lain.
Yang penting diperhatikan dalam musyawarah tersebut adalah ke ter libatan
mereka yang terkait dengan keputusan yang akan diambil dalam 4 Ahmad
Mushthafa, Tafsir al-Maraghi, 1987. Diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar Lc,
Drs Hery Noer Aly, dan K Anshori Umar Sitanggal. Semarang: Karya Toha Putra,
hlm. 196.
11
jelaskan bahwa musyawarah merupa kan sikap politik yang terabaikan setelah
Rasulullah meninggal. Beliau me - lihat bahwa hanya pada masa Abu Bakar
musyawarah masih dijalankan ter utama ketika Abu Bakar diterima secara
musyawarah, menurut beliau, sebagai khalifah pertama, pengganti ke pemimpinan
Rasulullah SAW. Setelah itu, apalagi pada masa khalifah Abbasiyah, umat Islam,
menurut al-Maraghi, tidak lagi melakukan musya warah dalam kegiatan politik.
Oleh karena itu, Al-Maraghi men jelas - kan bahwa jika banyak orang menilai
bahwa kepemimpinan dalam Islam itu mendukung pemimpin dictator, maka
pandangan itu bukan berdasarkan prilaku politik Islam berdasarkan AlQuran.5
b. Tafsir Al-Azhar
Buya Hamka memulai menafsirkan ayat 159 surat Ali Imran ini dengan
menggunakan kata pujian untuk menjelaskan sikap Rasulullah dalam memimpin.
Menurut beliau, Rasulullah sebagai pemimpin umat Islam sangat menunjukkan
bahwa sikap lemah lembut dalam memimpin mem buat beliau bisa menuntun dan
12
mem bina umat Islam dengan baik.6 serta sikap bermusyawarah dengan umat
disekelilingnya dalam menghadapi persalan besama.
Lebih lanjut Buya Hamka menunjukkan bahwa tafsir utama ayat 159 surat
Ali Imran ini adalah tentang Ilmu memimpin dalam Islam.7 Ilmu Memimpin yang
beliau maksudkan adalah bahwa ayat ini meng haruskan pemimpin dalam Islam
untuk bersikap lemah lembut dalam memimpin. Menurut beliau, pemimpin yang
kasar, keras hati dan kaku sikapnya, bukan saja pemimpin yang tidak sesuai
dengan Al-Qur’an tetapi juga akan dijauhi banyak orang. Pemimpin seperti ini,
menurut beliau, juga tidak akan berhasil dalam memimpin.
Misalnya, ketika Rasulullah SAW bersikap tegas ter hadap kelompok yang
tidak menyepakati hasil perjanjian Hudaibiyah; ketika beliau tegas mendiktekan
apa yang harus dicatat oleh Ali Ibn Abi Thalib; dan ketika tegas memerintahkan
umat Islam untuk mencukur rambut, membayar denda dan menanggal kan pakaian
ihram ketika umat Islam batal melaksanakan ibadah haji pada tahun itu.
Kembali pada penjelasan utama ayat 159 surat Ali Imran, Buya Hamka
memberikan contoh detail hasil kesepakatan musyawarah yang dilaku kan
Rasulullah SAW dengan para sahabat. Seorang sahabat yang bernama ‘Al-Habbib
bin AlMundzir bin Al-Jumawwah meng kritik Rasulullah SAW akan inisiatif nya
untuk menghentikan pasukan perang di tempat yang jauh dari sumber air. Asal
kritikan sahabat tersebut dan kepentingan bersama, Rasulullah SAW bergerak
bersama pasukannya menuju sumber air dan menguasai tempat tersebut sebelum
musuh mereka menguasaina terlebih dahulu.8 Buya Hamka menyebutkan inti
amalan dari ayat ini adalah musyawarah sebagai dasar politik Islam dan
pemerintahan Islam.
13
c. Tafsir Al-Misbah
Muhammad Quraish Shihab menjelaskan ayat ini dengan menunjukkan
kemampuannya dalam memahami kaidah dan tata Bahasa Arab dengan baik.
Beliau men jelaskan bahwa katamadi awal ayat tersebut sebagai bentuk infinitive
(nakirah) dari kata rahmat sesudahnya. Beliau juga menjelaskan arti kata lauw,
pada lanjutan ayat berikut,yang diartikan sekiranya, adalah kata Bahasa Arab yang
digunakan untuk sesuatu yang bersyarat, tetapi syarat yang tidak dapat terjadi.
Beliau mencontohkan dengan perkataan ‘sekiranya ayah saya hidup, saya akan
menamatkan kuliah’ dari seorang anak yang sudah meninggal ayahnya10 .
Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat 159 surat Ali Imran
ini mengimplisit kan syarat-syarat seorang pemimpin yang akan berhasil dalam
ber musya warah.11 Pertama, bersikap lemah lembut, tidak kasar dan tidak berhati
keras. Menurut mufassir ini, mitra musyawarah akan menjauh jika seorang
pemimpin bersikap tidak sesuai dengan disebutkan tadi. Sikap yang kedua yang
harus dimiliki pemimpin agar berhasil dalam musyawarah adalah memberi maaf
dan membuka lembaran baru dalam ber interaksi dengan mereka yang telah
melaku kan kesalahan.
14
menangkap sesuatu pendapat dan pikiran dari orang lain yang bisa saja pendapat
dan pikiran tersebut datang sekejap dan tidak terduga.12 Mufassir ini bahkan
mengembangkan penjelasan ayat 159 surat Ali Imran ini dengan menyebutkan
hal-hal yang perlu dimusyawarahkan, yaitu urusan rumah tangga dan
kemasyarakatan. Menurut beliau, di dukung oleh ayat lain tentang musyawarah
seperti surat Al-Baqarah 11 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah...hlm. 313. 12
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah...hlm. 314. ayat 223, musyawarah
seharusnya dilaku kan di dalam keluarga, terutama suami istri dalam mengambil
keputusan bersama.
Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam yang pertama yakni adalah
Bayan At-Taqrir atau memperjelas isi Al-Qur’an. Hadits berfungsi untuk
memperjalas isi Al-Qur’an, agar lebih mudah dipahami dan menjadi petunjuk
umat manusia dalam menjalankan perintah dari Allah SWT.
Fungsi Hadist sebagai bayan al- taqrir berarti memperkuat isi dari Al-
Qur’an. Sebagai contoh hadits yang diriwayatkan oleh H.R Bukhari dan Muslim
terkait perintah berwudhu, yakni:
15
“Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima shalat seseorang yang berhadats
sampai ia berwudhu” (HR.Bukhori dan Abu Hurairah)
Hadits diatas mentaqrir atau menjelaskan dari surat Al-Maidah ayat 6 yang
berbunyi:
Contoh lainnya dari Bayan at-Taqrir adalah terkait perintah sholat. Allah
SWT berfirman, “Sungguh, sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya
atas orang-orang yang beriman”. (QS. 4/An-Nisa`: 103)
Dalam dua ayat diatas Allah SWT tidak memberikan penjelasan tentang
jumlah rakaat didalam shalat dan juga bagaiman tata cara pelaksanaannya. Maka
dari itu Rosulullah SAW menjelaskan dengan berupa perbuatan/praktek ataupun
dengan perkataan. Rasulullah SAW bersabda, ” Sholatlah kalian sebagaimana
kalian melihat aku sholat. ” (HR. Bukhori).
16
memberikan batasan-batasan (persyaratan) pada ayat-ayat yang bersifat mutlak
(taqyid). Contoh hadist sebagai bayan At- tafsir adalah penjelasan nabi
Muhammad SAW mengenai hukum pencurian.
17
Artinya : “Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan
Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, beik merdeka atau
hamba, laki-laki atau perempuan”(HR. Muslim).
Untuk fungsi hadist sebagai Bayan Nasakh ini masih terjadi perdebatan di
kalangan ulama. Para ulama Ibn Hazm dan Mutaqaddim membolehkan menasakh
al-Qur’an dengan segala hadits walaupun hadits ahad.
18
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabat secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang
yang bertaqwa” (QS.Al-Baqarah:180)
19
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ itu
sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits,
mereka berijtihad dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri
(Al-Qur’an dan Hadits).
Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat
untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah
sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum
yang telah disepakati
Adapun rukun-rukun Qiyas sebagai berikut:
20
Contoh, pengharaman ganja sebagai Qiyas dari minuman keras adalah
keharamannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu
dibutuhkan. Dengan demikian maka al-aslu adalah objek qiyas, dimana suatu
permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.
2. Al-far’u (cabang). Al-far’u adalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nash. Fara'
yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya
karena tidak adanash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis
(yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang
dibandingkan).
3. Al- Hukum. Al- Hukum adalah hukum yang dipergunakan Qiyas untuk
memperluas hukum dari asal ke far’ (cabang). Yaitu hukum dari ashal yang telah
ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara'
seandainya ada persamaan 'illatnya.
4. Al-‘illah (sifat) Illat adalah alasan serupa antara asal dan far’ ( cabang)., yaitu
suatu sifat yang terdapat pada ashl, dengan adanya sifat itulah , ashl mempunyai
suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula, terdapat cabang disamakan
dengan hukum ashl.
Antara menggunakan narkotika dan minum khamr ada persamaan ‘illat, yaitu
sama-sama berakibat memabukkan para penggunanya, sehingga dapat merusak
akal
21
4. digunakannya sumber-sumber hukum islam dan pemikiran ulamaulama pilitik
islam dalam penentuan kebijakan negara
5. terhapusnya sistema batil yang dapat mendatangakn kemudhorotan bila diterapkan
dalam negara
Bab III
PENUTUP
1.3 Kesimpulan
maka dari itu daiharapkan para pembaca sekalian dapat mengambil nilai penting
dari apa yang coba kami cantumkan yang itu adalah berupa toleransi dan
perjuangan memperjuangkan kebenaran di jalan Allah dengan saling mengasihi
antar manusia, umat beragama, dan juga setiap makhluk hidup.
1.2 Saran
Dengan uraian di atas kita dapat menyadari bahwa apapun sistem politik yang di
gunakan di setiap negara akan percuma kalau tidak didasari dengan kesadaran
iman dan taqwa kepada Allah SWT oleh setiap pemimpin di rakyatnya. Sebagai
umat islam kita harus tahu dan ikut berpartisipasi dalam kepolitikan islam, agar
menjadikan Indonesia yang lebih baik dan maju. Dalam menghadapi kondisi
seperti ini, islam semestinya dapat hadir menjadi suatu alternatif dalam
22
mengembangkan sains kea rah yang lebih bijak. Mengajarkan beberapa budaya
islam yang seharusnya dan patut kita lestarikan dan kita hormati.
23