Anda di halaman 1dari 12

Mengenal Ilmu Kalam.

Ilmu kalam tidak tumbuh sekaligus, akan tetapi melalui berbagai fase, yang pertumbuhannya
berasal dari pertengahan kedua dari abad pertama Hijriyyah. Pada awalnya, ilmu kalam
muncul dalam bentuk persoalan-persoalan yang didorong oleh kondisi-kondisi tertentu,
kemudian mulai tersusun secara sistematik dan teratur sehingga pada tahun-tahun pertama
abad ketiga Hijriyyah menjadi suatu ilmu pengetahuan yang mempunyai metode dan objek
pembahasan. Kelompok-kelompok keagamaan dianggap sebagai perintis yang
membentangkan jalan bagi ilmu pengetahuan ini. Kelompok-kelompok itu pada umumnya
berlandaskan pada prinsip politik –dimana khilafah merupakan masalah terpenting yang
paling ramai dipertentangkan seperti oleh kelompok Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah. Dan
melalui jalur politik, kelompok-kelompok tersebut beralih kedalam kajian tentang prinsip-
prinsip agama. Oleh sebab itu, setiap kelompok memiliki teolognya masing-masing.

Perlu diketahui bahwa ilmu kalam, seperti halnya kajian-kajian lain, tumbuh dalam miliu
Islam dan terpengaruh oleh berbagai kondisi dan kajian miliu tersebut. Dalam arti ilmu kalam
pun terembesi pemikiran-pemikiran musuh yang merayap kedalam dunia Islam. Sebagian
analis Timur dan kaum orientalis berusaha untuk menghubungkan pemikiran dan pandangan
teologi Islam (kalamiah) dengan pandangan dan pemikiran serupa yang ada pada kelompok-
kelompok dari berbagai agama dan aliran Timur, atau dalam filsafat Barat. Kajian-kajian
mereka tentang hal ini terus berkembang sampai tahun-tahun terakhir abad yang lampau dan
membentang hingga kini. Kajian-kajian itu secara khusus berusaha masuk kedalam kajian-
kajian teologi Islam. Hal ini perlu diketahui karena memang ada hubungannya dengan
problematika ketuhanan. Dalam setiap ilmu terdapat hipotesa-hipotesa yang melandasinya.
Nilai hipotesa ilmiah terletak pada kesesuaiannya dengan kenyataan atau jika dikonfirmasikan
oleh teks dan peristiwa sejarah.

1. Pengertian Ilmu Kalam.


Beberapa pengertian mengenai ilmu kalam diantaranya adalah Ilmu kalam dalam bahasa
Arab biasa diartikan sebagai ilmu tentang perkara Allah dan sifat-sifat-Nya. Oleh sebab
itu ilmu kalam biasa disebut juga sebagai ilmu ushuluddin atau ilmu tauhid ialah ilmu
yang membahas tentang penetapan aqoid diniyah dengan dalil (petunjuk) yang kongkrit.
Al-Farabi mendefinisikan ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang membahas Dzat dan
sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan
masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin Islam. Stressing
akhirnya adalah memproduksi ilmu ketuhanan secara filosofis. Sedangkan, Ibnu Khaldun
mendefinisikan ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang mengandung berbagai
argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional. Melihat dari kedua
definisi tersebut ilmu kalam bisa juga di definisikan sebagai ilmu yang membahas
berbagai masalah ketuhanan dengan menggunakan argumentasi logika atau filsafat. Oleh
sebab itu sebagian teolog membedakan antara ilmu kalam dengan ilmu tauhid.
Ilmu Kalam artinya Ilmu Pembicaraan; karena dengan pembicaraan-pembicaraanlah
pengetahuan ini dapat dijelaskan, dan dengan pembicaraan yang tepat menurut undang-
undang berbicaralah kepercayaan yang benar dapat ditanamkan.

Ilmu kalam ialah rangkaian argumentasi rasional yang disusun secara sistematik untuk
memperkokoh kebenaran akidah agama Islam.

Disebut ilmu kalam karena yang dibahas adalah kalam Tuhan dan kalam manusia. Jika
yang dimaksud dengan kalam adalah firman Tuhan, maka kalam Tuhan (Al-Qur’an)
pernah menimbulkan perdebatan sengit di kalangan umat Islam pada abad kedua dan
ketiga Hijriyyah. Salah satu perdebatan itu adalah tentang apakah kalam Allah baru atau
Qadim?. Karena firman Tuhan pernah diperdebatkan, maka dinamakan ilmu kalam. Jika
yang dimaksud kalam adalah kata-kata manusia, maka kaum teolog dalam Islam selalu
menggunakan dalil-dalil logika untuk mempertahankan pendapat dan pendirian masing-
masing. Kaum teolog dalam Islam memang dinamakan mutakallimin karena mereka ahli
debat yang pintar memainkan kata-kata.

Harry Austryn Wolfson berpendapat bahwa istilah Kalam adalah terjemahan dari karya-
karya filosof Yunani, logos, yang dapat diartikan kata atau argumen. Istilah kalam juga
digunakan untuk menunjukkan keahlian dalam menguasai cabang ilmu tertentu,
sehingga orang yang menguasai ilmu itu disebut mutakallim. Ashhab al-kalam al-Tabi’i
berarti dia ahli fisika, begitu juga ashhab al-kalam al-Ilahi atau al-mutakallimun fi al-
Ilahi adalah para teolog. Namun, pada perkembangan selanjutnya istilah kalam dalam
Islam lebih dititiktekankan pada aliran teologi, seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyyah.

Khalid Al-Walid mendefinsikan teologi sebagai ilmu tentang ketuhanan dalam


bentuknya kemudian berkembang menjadi ilmu yang menjelaskan dan membela
konsepsi-konsepsi agama Islam, dan ketika terjadi pergesekan kepentingan politik dan
persentuhan dengan agama-agama lain melahirkan Teologi Islam yang dalam istilah
khusus disebut Ilmu al-Kalam.

Teologi Islam diisitilahkan oleh berbagai pakarnya dengan beragam nama, antara lain:
Abu Hanifah (d.150H/767M) memberinya nama dengan istilah ‘ilmu fiqh al-akbar.
Imam Syafi’ie (d.204H/819 M), Imam Malik (d.179H/795M), dan Imam Ja’far al-Sadiq
(148H/765M) memberinya nama dengan istilah ‘Ilmu al-Kalam. Ilmu Kalam/Teologi
Islam, adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan-Nya secara rasional. Berkenaan dengan itu, maka objek forma teologi yaitu
permasalahan ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Sementara
metodologinya, yaitu upaya memahami ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah secara
mendalam diikuti elaborasi pemahaman dengan fakta-fakta empirik. Biasa dikenal
dengan istilah dialog ilmiah keagamaan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, teologi Islam,
berada pada satu rumpun dalam disiplin ilmu Pemikiran dalam Islam (Teologi Islam,
Filsafat Islam,dan Tasawuf).

Dari beberapa nama yang menjadi istilah, — berkembang selama ini –, tidak dapat
dipungkiribahwa sebenarnya istilah ilmu kalam itu merupakan transformasi dari
pemikiran teologi (‘Ilmu al-Lahut), yang telah berkembang di dunia Barat pada masa
sebelumnya.

Berkenaan dengan itu, terdapat pakar yang mendefinisikan ilmu kalam/Ilmu al-lahut
sebagai discourse or reason concerning God ( diskursus atau pemikiran tentang Tuhan).
Bahkan dengan mengutip istilah yang diberikan oleh William Ockham, L Reese
menyatakan bahwa Theology to be a discipline resting on revealed truth and
independent of both philosophy and science (Teologi merupakan sebuah disiplin ilmu
yang meletakkan kebenaran wahyu, lewat argumen filsafat dan ilmu pengetahuan yang
independen). Dengan nada yang hampir sama Ibn Khaldun seperti dikutip oleh
Mushthafa Abd. Al-Raziq mendefinisikan ‘Ilmu kalam sebagai ‘Ilmu al-Kalam huwa
‘Ilmun yatadlammanu al-hujjaja ‘an ‘aqa idi al-Imaniyyah bi al-adillah al-’aqliyyah
(Ilmu kalam yaitu sebuah disiplin ilmu berkaitan dengan keimanan yang diperkuat
dengan menggunakan argumentasi-argumentasi rasional).

2. Latar Belakang Ilmu Kalam.


Secara historis, teologi Islam — yang di Barat dikenal dengan istilah teologi — bermula sebagai
sebuah advokasi keagamaan terhadap ketimpangan sosial (teologi sebagai sebuah
axiologi/Theology as Axiology) yang berkembang pada masanya. Untuk kepentingan ini, doktrin
keagamaan diinterpretasikan secara rasional, sehingga dapat dijadikan argumen teologis untuk
membacking pemikiran/gagasan/idea yang substansinya menentang ketimpangan sosial yang
sedang terjadi. Terhadap masalah ini, Philip Bob Cock14 menyatakan Theology is (A) Rational
interpretation of religious faith, practice, and exercise (teologi yaitu upaya memahami
keyakinan, perbuatan, dan pengalaman keagamaan secara rasional).

Pada masa-masa berikutnya, barulah teologi berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu
(Theology as Science). Sebagai sebuah disiplin ilmu, di dunia Islam, teologi Islam
berkembang sejak Abu Hasyim dan kawannya Imam al-Hasan bin Muhammad bin
Hanafiah, para tokoh Mu’tazilah. Adapun orang pertama yang membentangkan pemikiran
ilmu kalam secara lebih baik lewat logikanya yaitu Imam al-Asy’ari, seorang tokoh teologi
Suni.

Berkenaan dengan itu, — di dunia Barat — seorang teolog, menyatakan bahwa di dalam
teologi berkembang istilah Teologia Systematika. Teologi ini menguraikan tentang
dogmatika, etika, dan filsafat agama. Ada juga istilah Teologia Historica. Teologi ini
menguraikan tentang kitab suci, sejarah Gereja, sejarah dogma, dan sejarah agama. Juga
ada istilah Teologia Practica. Teologi ini menguraikan tentang homeletik, katechetik, dan
liturgi.

Pada akhir-akhir ini teologi Islam, telah berusaha menjadi sebuah advokasi bagi
permasalahan sosial, atau teologi menjadi sebuah axiologi. Hal ini tampak dengan
berkembangnya istilah-istilah seperti teologi feminisme, teologi gender, teologi
kemiskinan, teologi kaum tertindas, teologi transformatif, teologi pembebasan, dan
berbagai macam istilah lagi. Semua peristilahan itu pada dasarnya merupakan sebuah
kajian ilmiah yang di dalamnya berbicara mengenai ayat-ayat al-Qur’an dan sunah Rasul-
Nya sebagai sumber primer keagamaan Islam yang — secara tematik — mengadvokasi
hal-hal yang berkait dengan ketimpangan sosial.

Pendekatan dari teologi-teologi itupun telah mengalami perkembangan. Maksudnya, teolog


ini bukan menggunakan pendekatan teologi lagi, tetapi sudah merambah dengan
menggunakan pendekatan empirik berupa sains, dan filsafatnya.

Munculnya ilmu kalam menurut Harun Nasution, dipicu oleh persoalan politik yang
menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan
Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dan persoalan kalam yang pertama kali
muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa
yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap Islam.

BAB II

Generasi-generasi Ilmu Kalam.

1. Mu’tazilah.
Orang-orang Mu’tazilah adalah pendiri yang sebenarnya bagi ilmu kalam (teologi Islam).
Hampir setiap pemikiran penting dalam ilmu kalam ditemukan landasannya di kalangan
mereka. Mereka telah membahas sebagian dari problematika ilmu kalam ini pada tahun-
tahun pertama abad ke-2 Hijriyyah. Mu’tazilah memang merupakan aliran rasional dalam
Islam yang paling banyak memiliki teori dan tokoh. Mereka membahas secara filosofis
hal-hal yang tadinya belum diketahui melalui metode filsafat. Mereka memberikan
pemecahan atas problematika-problematika pelik semisal teori kammun, tafrah dan
tawallud, dengan menampilkan pemecahan-pemecahan baru. Dengan nama studi tentang
akidah, mereka membahas masalah moral, politik, fisika dan metafisika. Mereka
membentuk suatu pemikiran filsafat yang berkonsentrasi membahas masalah Tuhan, alam
dan manusia, yang merupakan filsafat Islam itu dan selama dua atau tiga abad melahirkan
sejumlah tokoh-tokoh.

Aliran Mu’tazilah mengalami dua fase yang berbeda, fase Abbasiah (100 H-237 M) dan
fase Bani Buwaihi (334 H-447M). Pada awalnya selama 2 abad Mu’tazilah lebih memilih
untuk bersikap tidak bermadzhab, mengutamakan sikap netral dalam pendapat dan
tindakan. Konon ini merupakan satu sebab mengapa mereka disebut Mu’tazilah.
Mu’tazilah tidak mengisolir diri dalam menanggapi problematika imamah – sebagai
sumber perpecahan pertama tetapi mengambil sikap tengah dengan mengajukan teori al-
Manzilah bin al-Manzilatain (tempat diantara dua tempat).

Ciri khas paling khusus dari Mu’tazilah ialah bahwa mereka meyakini sepenuhnya
kemampuan akal. Mereka tidak mengingkari naql (teks Al-Qur’an dan Hadits), tetapi
tanpa ragu-ragu menundukkan naql kepada hukum akal. Mereka menetapkan bahwa
fikiran-fikiran (akal) adalah sebelum sam’i. Maka itu, mereka menakwilkan ayat-ayat
mutasyabihat, menolak hadits-hadits yang tidak diakui oleh akal. Prinsip mereka adalah
“menganalogikan yang tak terlihat kepada yang terlihat”.

2. Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.


1. Asy’ariyyah.

Kaum Asy’ariyyah adalah aliran sinkretis yang mengambil sikap tengah-tengah


antara dua kutub akal dan naql, antara kaum salaf dan Mu’tazilah. Hal ini dengan
sendirinya mampu memberi kesan bahwa Asy’ariyyah di satu sisi tidak
menyetujui kedua belah pihak, karena orang yang melakukan perpaduan bisa
cenderung ke kanan atau ke kiri. Akan tetapi dari sisi lain orang yang memadukan
itu berusaha untuk menyelaraskan dan menghubungkan antara pandangan-
pandangan dari kedua belah kubu yang saling berlawanan. Puncak tujuannya
adalah bahwa hubungan ini harus sempurna dalam bentuk yang bisa diterima.
Praktis, jangkauan kreativitasnya terbatas. Pada kenyataannya jika
membandingkan kaum Asy’ariyyah dengan Mu’tazilah dalam aspek ini, maka
didapati kaum Mu’tazilah lebih kreatif dibanding Asy’ariyyah, dimana mereka
mengajukan teori-teori baru yang belum pernah dikemukakan oleh pihak lain.
Mereka juga mengkritik dan membuktikan bahwa pandangan-pandangan Salaf itu
salah. Kaum Asy’ariyyah puas dengan menyelaraskan antara kedua belah pihak,
mencapai pandangan tengah-tengah yang akhirnya dijadikan prinsip yang
dipegangi secara teguh oleh generasi kemudian dan menjadi mantap khususnya di
abad-abad terakhir.

Gerakan Asy’ariyyah dimulai pada abad ke-4 H. Ia terlibat dalam konflik dengan
kemlompok-kelompok lain , khususnya Mu’tazilah. Dalam konflik keras ini, al-
Baqilani, yang dianggap sebagai pendiri kedua aliran Asy’ariyyah ini memberikan
andil besar. Permusuhan ini mencapai puncaknya pada abad ke-5 H atas prakarsa
Al-Kundari (456 H/1064M), yang membela Mu’tazilah.

Madzhab Asy’ariyyah bertumpu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka


berpegang teguh kepada Al-Ma’sur. “Ittiba lebih baik daripada ibtida’, (membuat
bid’ah)”. Al-Asy’ari mengatakan: “pendapat yang kami ketengahkan dan akidah
yang kami pegangi adalah sikap berpegang teguh kepada Kitab Allah, Sunnah
Nabi-Nya SAW dan apa yang diriwayatkan dari Sahabat, Tabi’in dan Imam-imam
Hadits. Kami mendukung semua itu, kami mendukung pendapat Ahmad bin
Hanbal –semoga Allah mencemerlangkan wajahnya, mangangkat derajatnya dan
meneguhkan kedudukannya. Sebaliknya, kami menjauhi orang-orang yang
menyalahi pendapatnya.

Kaum Asy’ariyyah juga tidak menolak akal, karena sebagaimana firman Allah
yang memang menjadi rujukan mereka mengenai anjuran melakukan kajian-
rasional:

óOs9urr&
(#rãÝàZtƒ
’Îû
ÏNqä3n=tB
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚö‘F{$#ur

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi…”

Kaum Asy’ariyyah awal menerbitkan buku-buku kalam (teologis) mereka dengan pasal
“Tentang Analisa Rasional dan Hukum-hukumnya”, Fi Al-Nazar wa Ahkamihi, Metode
mereka diikuti oleh orang-orang kemudian.

Pada prinsipnya, kaum Asy’ariyyah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada


akal seperti yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah, sehingga mereka tidak
memenangkan dan menempatkan akal diatas naql (teks-teks agama). Bahkan
sebaliknya, mereka secara umum berprinsip bahwa naql menempati posisi teratas. Akal
dianggap sebagai pelayan bagi naql. Akal dan naql saling membutuhkan. Naql bagaikan
matahari yang bersinar sedangkan akal laksana mata yang sehat. Dengan akal kita akan
bisa meneguhkan naql dan membela agama. Al-Asy’ari telah memperkenalkan
bagaimana cara memanfaatkan metode rasional, yang dicanangkan oleh kaum
Mu’tazilah itu, untuk membela dan meneguhkan masalah-masalah keagamaan.
Keberhasilan Al-Asy’ari dalam memaparkan dan mendebatkan metode rasional ini tidak
kalah dibandingkan kesuksesan yang ia raih dalam kecenderungan sinkretisnya.

1. Maturidiyyah.

Al-Maturidiyyah merupakan salah satu sekte Ahlu As-Sunnah Wa Al-Jama’ah yang


tampil bersama dengan Asy’ariyyah. Keduanya dilahirkan oleh pemikiran dan kondisi
sosial yang sama. Keduanya datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang
menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis dimana yang
berada di barisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum tekstuallis
dimana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabillah (para pengikut
Imam Ibnu Hanbal). Kedua aliran ini berusaha mengambil sikap tengah diantara kedua
aliran ekstrim itu. Memberikan banyak sendi dan sarana bagi sikap mengambil jalan
tengah ini.
Keduanya berbeda pendapat hanya dalam hal yang menyangkut masalah cabang dan
detailitas. Pada awalnya kedua aliran ini dipisahkan oleh jarak, yakni Asy’ariyyah di
Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas ke Mesir, sedangkan aliran Maturidiyyah di
Samarqand dan di daerah-daerah seberang sungai (Oxus-pen). Kedua aliran ini bisa
hidup dalam lingkungan yang kompleks dan membentuk satu madzhab. Nampak jelas
bahwa perbedaan sudut pandang mengenai masalah-masalah Fiqh kedua aliran ini
merupakan faktor pendorong untuk berlomba dan survive. Orang-orang Hanafiah (para
pengikut Imam Hanafi) membentengi aliran Maturidiyyah, dan mereka kaitkan akarnya
sampai pada Imam Abu Hanifah sendiri. Sementara itu para pengikut Imam Asy-
Syafi’ie dan Imam Malik mendukung kaum Asy’ariyyah, dan memperjuangkannya
sehingga aliran ini bisa meluas ke Andalusia dan Afrika Utara, yang segera menjadi
akidah resmi bagi semua Ahlu As-Sunnah Wa Al-Jama’ah bahwa persaingan antara dua
aliran ini tidak memberikan ruang gerak kepada salah seorang syekh dari kalangan
pengikut Abu Hanifah di Mesir, Al-Imam At-Tahawal (321 H/933 M) yang hidup
semasa dengan Al-Maturidi dan Al-Asy’ari, yang juga merasakan kebutuhan yang
dirasakan oleh kedua tokoh ini untuk menyatukan barisan, menghilangkan sebab-sebab
yang membuat mereka bertikai dan mengambil sikap tengah antara kaum tekstualis dan
kaum rasionalis.

Pada dasarnya, kaum Al-Asy’ari dan kaum Al-Maturidi memiliki komitmen yang sama
yakni memegang teguh teks-teks agama. Adapun yang membedakan diantara keduanya
ialah beberapa hal mengenai problematika ketuhanan seperti misalnya kaum
Asy’ariyyah menganggap (sifat) Baqa’ (Maha Kekal) sebagai sifat tambahan bagi Zat
(Allah), sementara kaum Maturidiyyah menolak sifat ini, dan berbagai macam
perbedaan lainnya yang oleh para analis diangkat hingga menjadi sekitar 20-an.

BAB III

Kontroversi Sekitar Ilmu Kalam.

Seperti halnya kajian-kajian lain dalam dunia keilmuan Islam maupun dunia ilmu
pengetahuan lainnya, ilmu kalam pun tak lepas dari kontroversi-kontroversi bahkan penolakan
terhadapnya. Baik dari pihak sesama maupun pihak luar.

 
1. Filsafat Islam dan Ilmu Kalam.
Ahmad Fuad Al-Ahwani menguraikan bahwa Filsafat pada dasarnya adalah pemikiran
dan pembahasan mengenai alam wujud dan manusia. Dan mengingat apa yang dikatakan
olehnya dalam pengertian ilmu kalam pada bab sebelumnya bahwa ilmu kalam ialah
rangkaian argumentasi rasional yang disusun secara sistematik untuk memperkokoh
kebenaran akidah agama Islam.

Hal membedakan ini dilakukan oleh Al-Ahwani dikarenakan merujuk pada apa yang
dikatakan oleh Professor Tarashand bahwa “…Filsafat tersebut tumbuhan dari kebutuhan
Islam kepada argumentasi dalam diskusi keagamaan untuk mempertahankan prinsip-
prinsip ajarannya. Pada dasarnya filsafat tersebut menekankan perhatian kepada
kepentingan memperkokoh sendi-sendi akidah Islam, atau untuk mengungkapkan dasar-
dasar filsafatnya, atau untuk menumbuhkan dan membentuk pemikiran keagamaan secara
teologis”. Dan sebab-sebab lain yang menjadikan Al-Ahwani ini membedakan diantara
keduanya antara lain ialah pertama, dasar-dasar ilmu kalam jelas bersifat keagamaan, jadi
merupakan ilmu keagamaan. Pada zaman itu di Eropa terdapat ilmu serupa dengan ilmu
kalam, yaitu ilmu lahut atau teologi dalam agama Nasrani. Tentunya banyak perbedaan
antara ilmu kalam dalam agama Islam dengan ilmu lahut dalam agama Nasrani. Namun
tidak ada perselisihan pendapat, bahwa filsafat adalah suatu bentuk studi dan sama sekali
berbeda dengan ilum lahut atau ilmu kalam, baik metodanya maupun problematikanya.
Metode filsafat adalah pembuktian mengenai dalil-dalil aqli (rasional) sebagaimana yang
dilakukan oleh para ahli fikir Islam dan Yunani pada zaman dahulu. Sedangkan metode
ilmu kalam adalah diskusi keagamaan. Problema yang menjadi objek pemikiran filsafat
ialah alam semesta dan manusia, termasuk pandangan mengenai prinsip eksistensi dan
sebab musababnya. Lain halnya dengan problema yang menjadi objek ilmu kalam, atas
dasar pengakuan eksistensi Tuhan beserta sifat-Nya dan hubungan-Nya dengan alam
semesta serta manusia yang hidup di muka bumi sesuai dengan ketentuan Ilahi yang
ditetapkan bagi hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu para ahli ilmu kalam dari kaum
Muslimin menetapkan akidah Islam – sebagaimana yang telah diajarkan oleh wahyu Ilahi
dan termaktub didalam Al-Qur’an al-Karim – sebagai kebenaran yang pasti dan tidak
diragukan lagi.

Kedua, filsafat adalah istilah Yunani yang masuk kedalam Bahasa Arab dan diucapkan
sebagaimana aslinya. Al-Farabi mengatakan: “nama filsafat berasal dari bahasa Yunani,
masuk kedalam bahasa Arab. Orang-orang Yunani mengucapkannya filasufia yang
berarti mengutamakan hikmah. Kata tersebut dalam bahasa mereka berasal dari dua kata,
fila yang berarti mengutamakan dan sufia yang berarti hikmah. Kata filosof diambil dari
kata filsafat dalam bahasa Yunani disebut filosofus. Perubahan suara pengucapan dari
akar kata seperti itu banyak terjadi didalam bahasa Yunani. Kata filosofus bermakna
orang yang mengutamakan hikmah. Dari sini, dapat dimengerti bahwa maksud dari
uraian Al-Ahwani ini ialah menunjukkan adanya unsur asing didalam filsafat Islam yakni
yang diambil dari kalangan orang Yunani. Sedangkan sebutan ilmu kalam itu sendiri
menunjukkan tidak adanya unsur asing dan ilmu kalam itu memang sepenuhnya asli
sebagai ilmu agama Islam. Pada umunya orang membenarkan bahwa ilmu kalam tumbuh
dari diskusi mengenai persoalan Qur’an sebagai Kalamullah (Firman Allah), apakah
Qur’an itu qadim (azali) ataukah makhluq (Ciptaan Allah). Dalam kurun waktu yang
panjang, yakni pada masa awal pertumbuhan daulah Abbasiyyah, persoalan tersebut
menjadi buah pemikiran di kalangan kaum Muslimin. Mengenai persoalan ini para
pemikir Islam dari kaum Mu’tazilah, kaum Hanbal dan kaum Asy’ariyyah saling berbeda
pendapat. Pembahasan mengenai Kalamullah itu tetap dalam lingkarannya sebagai salah
satu sifat Allah SWT., jadi bukan filsafat, melainkan sebagai ilmu lahut atau teologi
menurut istilah Nasrani dan sebagai ilmu kalam menurut istilah Islam.

Ketiga, pada masa permulaan munculnya filsafat dalam Islam, yaitu pada akhir abad ke-2
dan awal abad ke-3 Hijriyyah, terdapat para ahli fikir Islam yang terkenal dengan sebutan
filosof. Seperti Al-Kindi. Dan pada masa itu pula terdapat para ahli ilmu kalam yang
terkenal seperti An-Naddzam, Abul-Huzail Al-Allaf, Al-Jiba’i dan lainnya, akan tetapi
tak seorangpun dari mereka yang disebut sebagai filosof. Terlebih lagi pada masa itu
terjadi pertengkaran antara kaum filosof dan para ahli ilmu kalam. Para kaum filosof
mengecam dan tidak dapat membenarkan pendapat para ahli ilmu kalam yang dituduh
lemah dan berfikir tanpa arah yang benar. Keadaan seperti itu berlangsung hingga
berabad-abad, hingga akhirnya pada abad ke-6 Hijriyyah muncullah Al-Ghazali yang
pada mulanya ia adalah ahli fikir kaum Asy’ariyyah menulis seuah buku yang terkenal
berjudul “Tahafutul-Falasifah“, yang berarti “Kebangkrutan Kaum Filosof”. Dan
sezaman dengan kemunculannya, hadir pula Ibn Rusyd seorang ahli filosof yang
membela kebenaran filsafat dan kaum filosof terhadap tuduhan Al-Ghazali dengan
menulis sebuah buku yang terkenal pula berjudul “Tahafutul-Tahafut“, yang berarti
“Kebangkrutannya Kebangkrutan”. Maka dari itu, adanya sekelompok kaum filosof
Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi Ibn Sina, Ibn Thufail dan Ibn Rusyd yang berselisih
dengan kelompok lain dari kalangan para ahli ilmu kalam seperti An-Naddzam, Al-’Allaf
dan Al-Asy’ari, tanpa diragukan lagi hal ini menunjukkan bahwa filsafat Islam adalah
suatu studi yang sama sekali berbeda dengan ilmu kalam, kendati tidak “bertentangan”.

2. Ilmu Kalam adalah Bid’ah.


Terdapat sebagian orang kaum Muslimin sendiri yang sebenarnya memandang salah atau sesat
pada beberapa istilah seperti filsafat, ilmu kalam dan ilmu mantiq yang digunakan untuk
memahami Islam.

Beberapa diantara mereka yang menentang hal ini berpendapat bahwa Di antara bid`ah
besar yang mempurukan kaum muslimin kembali ke alam jahiliyah yang amat kelam
adalah bid`ah filsafat, ilmu kalam atau ilmu mantiq Yunani dalam memahami Islam.
Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu philos dan sophia.

Filsafat yang merupakan manhaj orang-orang Yunani dalam berfikir dan merenung untuk
mendapatkan kebenaran dan kebaikan telah menipu sebagian kaum muslimin yang lemah
iman dan jahil. Padahal Islam sama sekali tidak membutuhkan ilmu filsafat, ilmu kalam
atau mantiq dalam memahami dan menerapkannya. Logika sehat ini telah menjadi aqidah
yang sangat dalam di kalangan kaum muslimin di masa sahabat, tabi`in dan tabi`t-tabi`in.
Apa yang disebut ilmu kalam tidak pernah ada pada masa Nabi SAW atau pada masa
sahabatnya. Ilmu ini muncul setelah berbagai kebudayaan asing diterjemahkan kedalam
bahasa Arab, khususnya filsafat dan ilmu mantiq Yunani. Sebagian besar kaum Muslimin
yang menyibukkan diri dalam membahas ilmu kalam sebenarnya tidaklah menjadi kafir
akibat perbuatan tersebut. Tujuan mereka dalam membahas ilmu tidak lain hanya ingin
menjelaskan hal-hal yang menyangkut akidah Islam serta mempertemukan antara metode
ilmu mantiq dengan apa yang mereka anggap kontroversial dari nash-nash syara’. Hanya
saja mereka tersesat dan menyibukkan fikiran mereka dan orang lain terhadap
pembahasan-pembahasan yang akal mereka sendiri tidak sanggup menjangkaunya. Padahal
langkah yang benar bagi mereka semestinya membatasi pembahasan hanya pada nash-nash
syara’, yaitu berdasarkan wahyu semata.

Adapun beberapa hal yang menjadi rujukan penolakan mereka antara lain:

1. Islam yang termaktub dalam Al Qur`an dan hadits-hadits Rosulullah SAW sama sekali
tidak memerintahkan atau menganjurkan umatnya untuk memahami Islam melalui
ilmu filsafat, ilmu kalam atau logika.
2. Kaum salafus solih (para ulama yang hidup di 3 kurun terbaik umat Islam) sama sekali
tidak mengenal ilmu kalam apalagi untuk digunakan sebagai alat memahami
kebenaran atau kebaikan hakiki.
3. Ilmu kalam dilahirkan oleh logika dan mantiq orang-orang musyrik yang sama sekali
tidak beriman kepada Allah SWT. Ilmu kalam, filsafat atau mantiq merupakan aturan
logika yang dilahirkan oleh para filosof Yunani (plato, aristoteles dengan teori
filsafatnya masing-masing). Mereka adalah masyarakat paganisme (musyrikin) yang
tidak sama sekali mengenal ajaran para nabi dan rosul.
4. Perlu diingat dengan sangat tegas bahwa saat seorang muslim lari dari jalan Al-Qur`an,
As-Sunnah dan pemahaman Salaf As-Salih ternyata yang lahir setelah itu adalah
kumpulan kegelisahan, kegamangan dan kebingungan. Kebingungan orang-orang
berotak cerdas.
5. Metode-metode ilmu kalam (mantiq) yang telah dilahirkan oleh generasi yang datang
setelah sahabat (khalaf) adalah teramat jauh berbeda dengan metode sebelumnya yaitu
metode sahabat (salaf).
6. Metode mereka adalah keliru. Metode tersebut tidak dapat membentuk iman bagi
seseorang apalagi menguatkannya. Metode ini hanya menghasilkan sekedar
pengetahuan tertentu, bahkan dapat dikatakan pengetahuan yang salah dan meragukan,
karena merupakan pengetahuan tentang sesuatu yang tidak pernah diberitahukan
kepada manusia. Juga karena panca indera kita tidak sanggup menjangkaunya.
7. Metode ulama kalam dalam menentukan bukti didasarkan pada ilmu mantiq, bukan
kepada penginderaan. Hal ini menjadikan seorang muslim sangat memerlukan belajar
ilmu mantiq agar ia dapat membuktikan eksistensi Allah. Ini berarti bagi seorang yang
belum mengetahui ilmu mantiq maka ia tidak boleh membahas akidah Islam. Padahal
jauh sebelum adanya ilmu mantiq, kaum Muslimin mengembangkan risalah Islam
dengan cara yang terbaik serta memberikan bukti-bukti yang meyakinkan terhadap
segala hal yang menyangkut akidah mereka, tanpa memerlukan pembahasan ilmu
mantiq dalam menentukan bukti apapun terhadap akidah Islam.
8. Metode yang digunakan para mutakallimin adalah dengan menjadikan akal sebagai
patokan dalam membahas segala hal yang berkaitan dengan masalah iman, bahkan
sampai-sampai menjadikan akal sebagai standar untuk memahami hal-hal yang ghaib
pula. Mereka telah menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan pertimbangan akal. Mereka
telah merujuk kepada akal dalam menafsirkan ayat-ayat yang dari segi lahirnya
dianggap kontroversial. Akal juga dijadikan sebagai standar pemutus terhadap hal-hal
yang mutasyabihat. Bahkan mereka telah menakwilkan ayat-ayat yang tidak sesuai
dengan pendapat yang mereka pilih. Sikap penakwilan ini selalu digunakan karena
mereka bertolak dari akal, bukannya dari wahyu (Al-Qur’an). Mereka beranggapan
bahwa ayat-ayat Al-Qur’an harus ditakwilkan dan disesuaikan dengan ketentuan akal.
9. Para mutakallimin telah menjadikan sikap pertikaian dengan para filosof sebagai dasar
pembahasan mereka. Para mutakallimin telah keluar dari realita bahkan melampaui
batas hingga hal-hal di sebalik alam semesta (metafisika).
10. Ayat-ayat mutasyabihat yang bersifat global dan tidak memberikan pemahaman yang
jelas bagi pembacanya telah turun dengan penjelasan yang umum tanpa memberi
perincian. Ayat-ayat tersebut dapat berupa penjelasan tentang segala sesuatu secara
garis besar atau berupa ketentuan terhadap fakta/keadaan yang kelihatannya tidak bisa
dibahas, ditelaah dan dijadikan patokan sehingga pembacanya tidak bisa memalingkan
diri darinya. Walaupun membahasnya, namun ia tidak dapat mengetahui hakikat
tujuan makna-maknanya kecuali hanya sebatas apa yang tersurat dalam lafadz-
lafadznya.
11. Pembahasan ulama kalam ini telah menyebabkan munculnya banyak firqah-firqah
yang keluar dari Islam. Mereka termasuk dalam golongan-golongan yang disebutkan
oleh Rasulullah dalam sabdanya: “Kaum Yahudi telah terpecah belah menjadi tujuh
puluh satu golongan, semuanya masuk neraka. Sedangkan kaum Muslim terpecah
belah menjadi tujuh puluh tiga golongan yang semuanya juga masuk neraka kecuali
satu. Para sahabat bertanya: ‘siapakah dia, ya Rasulullah?’ Beliau menjawab:
‘golongan yang mengikuti aku dan para sahabatku’.” (Tirmidzi: 2642-2643, Abu
Daud: 4596-4597, Imam Ahmad no. 1024).

BAB IV

Kesimpulan.

Sebagaimana diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Kalam adalah salah satu ilmu
yang didalamnya mengkaji ke-eksistensi-an Allah SWT melalui Kalam-Nya (Al-Qur’an) dengan
menggunakan kemampuan berfikir akal. Dalam arti untuk kemudian memahami Kalam (Firman)
Allah SWT kemudian mendiskusikannya dalam pembicaraan.

Ilmu ini juga terkenal bahkan ramainya dikenal sebagai ilmu teologi (istilah ilmu dalam bidang
yang sama dari kaum Nasrani) yang diketahui bahwa ilmu teologi merupakan ilmu ketuhanan
atau ilmu yang membicarakan atau membahas tentang ketuhanan. Dan jika ditilik dari segi
bahasa, ilmu kalam itu sendiri dapat diartikan dengan kalam yang berarti ucapan atau kata-kata,
maka jika yang dimaksud dengan kalam dalam ilmu kalam adalah Firman Allah maka ilmu
kalam berarti ilmu yang membicarakan atau membahas tentang Firman-firman Allah (Al-
Qur’an).

Akan tetapi pengertian ini terasa menjadi rancu jika mengingat latar belakang munculnya ilmu
ini yaitu dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin
Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dan
persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang
bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap Islam
(Harun Nasution).

Alih-alih diantara pemuka-pemuka pada ilmu kalam ini sebagaimana telah dibahas bahwa
beberapa diantara pemeran penting dalam lingkup ilmu kalam ini yang mesti dikenal ialah
beberapa aliran dalam Islam seperti aliran Mu’tazilah, dimana aliran ini bisa disebut atau
dianggap sebagai pelopor atau pencetus lahirnya ilmu kalam, dengan berbagai tokohnya yang
terkenal dan paling banyak diantara aliran yang lain seperti Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.

Ilmu kalam pada intinya membicarakan sekitar ketuhanan, baik Firman-firman-Nya maupun
eksistensi-Nya. Tidak lain hal ini dianggap perlu karena diharapkan dengan adanya dan
dipelajarinya ilmu kalam ini mampu melahirkan atau meneguhkan serta menguatkan iman-iman
para Muslim kepada Allah SWT.

Akan tetapi sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa ilmu kalam pun tak lepas dari
kontroversi-kontroversi yang muncul terhadapnya. Seperti misalnya sebagian orang memandang
ilmu kalam dan filsafat Islam (filsafat Arab) sebagai hal yang sama sedangkan sebagian yang
lain memandangnya berbeda. Atau hal yang menjadi kontroversi lainnya seperti pandangan
bahwa ilmu kalam (seperti halnya filsafat dan ilmu mantiq) merupakan sebuah kekeliruan atau
kesalahan, atau sebuah ilmu yang salah bahkan dipandang sebagai bid’ah. Wallahu A’lam

Anda mungkin juga menyukai