I. LATAR BELAKANG
Konteks syar’iyyah di dalam al-Qur’an dan al-Hadits merupakan dua
sumber hukum yang redaksinya menetapkan hukum syar’i. Konteks al-Qur’an dan
Hadits tersebut bisa berupa lafadz umum atau khusus. Lafadz yang umum atau
al-‘Aam ketetapan hukumnya harus diartiakan kepada semua satuannya secara pasti
bila disana tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Jika terdapat dalil yang
mengkhususkan maka mengenai arah hukumnya apakah pasti (Qoth’iy) atau dugaan
(Dzonny), terdapat perbedaan pendapat ulama, yaitu antara golongan ulama jumhur
(Syafi’iyyah, Malikikyyah, Hanbaliyyah, Hanafiyyah). Pembahasan tentang dalil
takhsis atau yang mengkhususkan lafad ‘Aam akan diuaraikan pada bab takhsis.
Nash al-Qur’an dan al-Hadits juga ada yang berupa lafadz khusus atau khas,
maka hukum bisa ditetapkan secara pasti selama tidak ada dalil yang mentakwilkan
atau yang mengindahkan dan menghendaki arti yang lain. Dalam lafadz khas ini
terdapat lafadz muqtlak yang dapat menetapkan hukum secara absolute dengan
catatan tidak ada dalil yang mengikatnya. Jika lafadz itu berbentuk perintah (Amar),
maka obyek yang diperintahkannya wajib, atau berbentuk larangan (Nahi) maka
obyek yang dilarang itu haram. Hal tersebut bila tidak ada dalil yang merubah dari
keharusannya atau ketidakbolehannya.
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Aam
Al-Am menurut istilah Ushul Fiqih adalah
Ushul Fiqih | 1
Atau lafadz ‘Aam adalah lafadz yang digunakan untuk menunjukkan suatu
makna yang dapat terwujud pada satuan-satuan yang banyak dan tidak terbatas.
Atau dengan kata lain lafadz ‘Aam adalah lafadz yang mengandung arti
umum tidak dibatasi suaatu kekhususan. Jadi, lafadz tadi sifatnya umum, segala
yang cocok dan sesuai dengan arti lafadz itu, semuanya terkena dalam artian
yang luas, seperti lafadz Al-Insan (Manusia), lafadz ini memasukkan semua jenis
yang pantas disebut dengan manusia, tercakup semua ini, semua jenis manusia
daam arti seluass-luasnya tanpa batas.1
Menurut Muhammad Adib Saleh, Lafal Umum adalah lafadz yang
diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri
tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.2
لُك ُّ َع ْق ٍد ي ُْشرَت َ ُط اِل نْ ِع َقا ِد ِه َا ْه ِل َّي ُة الْ ّعا ِقدّ ْي َن
Dalam kaidah para fuqaha’ : Setiap perikatan untuk sah nya disyaratkan adanya
kecakapan dua orang yang mengadakan perikatan.
adalah lafadz ‘Aam yang menunjukkan kepada apa saja yang disebut perikatan
tanpa terbatas pada perikatan tertentu. Juga lafadz “Man Alqa” dalam hadits yang
berbunyi :
)َم ْن َالْ َقى ِس َال َح ُه فَه َُو ۤا ۤا ِم ٌن (رواه مسمل
“Barang Siapa meletakkan senjatanya maka dia adalan aman.”
adalah lafadz ‘Aam yang menunjukkan seluruh perseorangan yang meletakkan
senjata, tanpa terbatas kepada perseorangan tertentu.3
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, lafadz ‘Aam adalah lafadz yang
diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri
tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.
B. Bentuk-bentuk ‘Aam
1. Bentuk lafadz yang mengandung makna Aam:
a. Isim istifham/pertanyaan, ما – اين – مىت – اي- منmisalnya:
1
Drs. H. Zen Amiruddin,M.Si, Ushul Fiqih, Penerbit TERAS : Yogyakarta, 2009, hlm.129
2
Prof. DR. Satria Effendi,M.Zein,M.A, Ushul Fiqih, PRENADA MEDIA : Jakarta, 2005, hlm. 196
3
Prof.Dr.Mukhtar Yahya, Prof.Drs.Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,
PT Alma’arif : Bandung, 1997, hlm.218
Ushul Fiqih | 2
َايْنَ َما تَ ُك ْون ُْوايُ ْذ ِرمُك ُ امل َ ْو َت
“Dimana saja (dalam arti umum) kita bisa menemui kematian”
b. Isim syarat, misalnya :
َم ْن اَك َن يُ ْؤ ِم ُن اِب اهّلل ِ َوالْ َي ْو ِم ا َال ِخ ِرفَالْ ُي َك ّ ِر ْم ضَ ْي َف ُه
“Siapapun juga (tanpa pilih-pilih) yang menyatakan beriman kepada Allah
dan hari akhir supaya mneghormati tamunya”
c. Lafadz kulun, jami’un, ma’syara, kaffah. Misalnya:
اب – لُك ُّ َم ْودِل ٍ ي ُ ْودَل ُ عَىَل الْ ِف ْط َر ِة َّ َ اَي َم ْعرَش
ُ الش َب
“Setiap anak (dalam arti umum tanpa kecuali) dilahirkan dalam keadaan
suci. Wahai pemuda (tanpa pengecualian)
d. Isim mufrod dan jama’ yang dima’rifatkan dengan alif lam (al), misalnya:
C. Pembagian ‘Aam
Lafadz umum seperti dijelaskan Musthofa Sa’id Al-Khin, guru besar Ushul
Fiqih Universitas Damaskus dibagi, 3 macam :
Ushul Fiqih | 3
1. Lafadz umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi
yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis atau pengkhususan.
Misalnya ayat
Artinya : “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah
lah yang member rezekinya dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu
dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata
(Lauh Mahfuzh)” (QS. Hud/11:6)
2. Lafadz umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada
indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya ayat 120 Surat at-
Taubah :
Artinya : “Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang
Arab Baduwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai
Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih
mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul.” (QS.At-
Taubah/9:120)
3. Lafadz umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang
dimaksud adalah makna umumnya atau adalah sebagian cakupannya.
Contohnya ayat 228 surat Al-Baqarah :
. . .
Artinya : “Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru.” (QS.Al-Baqarah/2:228)
4
Drs.H. Zen Amiruddin, M.Si, Ushul Fiqh, ( Penerbit Teras : Yogyakrta), hal.129-131
Ushul Fiqih | 4
Ushul Fiqh sepakat, seperti yang disebutkan Abu Zahrah, bahwa lafal khas
dalam nash syara’, menunjuk kepada pengertiannya yang khas secara qath’i
(pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti (qath’i) selama tidak ada
indikasi yang menunjukkan pengertian lain. Contoh lafal khash adalah ayat
89 Surat al-Maidah :
5
Prof. Dr. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Ushul Fiqh, ( Jakarta : PRENADA MEDIA), hal. 205
Ushul Fiqih | 5
Yang dimaksud dengan takhsis adalah mengeluarkan sebagian dari satuan-
satuaan yang dikandung lafadz ‘Aam atau mengkhususkan keumuman
lafadz ‘Aam, misalnya : ال اهل ااّل هللا, maka yang disebut tuhan hanya
Ushul Fiqih | 6
ayat tersebut bersifat umum tentang kewajiban shaum bagi orang yang
melihat bulan tetapi bentuk perkatannya yang bersambung dan manddiri
setelahnya mengecualikan orang yang sakit dan sedang berpergian.
Munfashil atau terpisah. Yakni mukhossisnya terdapat pada tempat lain,
tidak bersama dengan lafadz yang umum. Khas Munfashil juga terdapat
berbagai macam :
a. Takhsis al-Qur’an dengan al-Qur’an. Seperti QS.At-Talaq : 4 yang
men takhsis QS.Al-Baqarah : 234.
b. Takhsis al-Qur’an dengan as-Sunnah. Seperti QS.Al-Ma’idah : 83 yang
di takhsis dengan hadits tentang nishab sariqah.
Ushul Fiqih | 7
d. Takhsis as-Sunnah dengan as-Sunnah. Seperti kalimat dalam hadits ال
ة أوسقkkزاكة فاميدون مخس (tidak wajib zakat pada hasil panen yang
IV. KESIMPULAN
1. Lafadz ‘Aam adalah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai
dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.
2. Bentuk-bentuk ‘Aam : Isim istifham/pertanyaan( ما – اين – مىت – اي-)من, Isim
syarat, Lafadz kulun-jami’un- -ma’syara-kaffah, Isim mufrod dan jama’ yang
dima’rifatkan dengan alif lam (al), Isim nakirah dengan susunan nafi
(meniadakan/mengingkari), Isim maushul ()اذلى – اذلين الىت.
3. Pembagian ‘Aam : 1) Lafadz umum yang dikehendaki keumumannya karena ada
dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis atau
pengkhususan. 2) Lafadz umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus
karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. 3) Lafadz umum yang
terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna
umumnya atau adalah sebagian cakupannya.
4. Lafadz khas adalah lafadz yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu arti
khusus, misalnya satu orang/hal/barang tertentu. Terkait dengan lafadz khas ini
adalah perihal : Takhsis, Mukhassis.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami susun semoga dapat bermanfaat
dalam kegiatan pembelajaran ‘Ushul Fiqih’ dengan judul: Metode Istinbat Dari Segi
Bahssa (‘Am dan Khas). Tentu saja dalam pembuatan makalah masih banyak
kekeliruan, oleh karena itu kami mohon maaf sebesarnya. Terima kasih atas segala
kritik dan saran yang membangun.
6
Drs. H.zen Amiruddin,M.Si, Ushul Fiqih, Penerbit TERAS : Yogyakarta, 2009, hlm.131-134
Ushul Fiqih | 8