Anda di halaman 1dari 8

METODE ISTINBAT DARI SEGI BAHASA (‘AM DAN KHAS)

I. LATAR BELAKANG
Konteks syar’iyyah di dalam al-Qur’an dan al-Hadits merupakan dua
sumber hukum yang redaksinya menetapkan hukum syar’i. Konteks al-Qur’an dan
Hadits tersebut bisa berupa lafadz umum atau khusus. Lafadz yang umum atau
al-‘Aam ketetapan hukumnya harus diartiakan kepada semua satuannya secara pasti
bila disana tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Jika terdapat dalil yang
mengkhususkan maka mengenai arah hukumnya apakah pasti (Qoth’iy) atau dugaan
(Dzonny), terdapat perbedaan pendapat ulama, yaitu antara golongan ulama jumhur
(Syafi’iyyah, Malikikyyah, Hanbaliyyah, Hanafiyyah). Pembahasan tentang dalil
takhsis atau yang mengkhususkan lafad ‘Aam akan diuaraikan pada bab takhsis.
Nash al-Qur’an dan al-Hadits juga ada yang berupa lafadz khusus atau khas,
maka hukum bisa ditetapkan secara pasti selama tidak ada dalil yang mentakwilkan
atau yang mengindahkan dan menghendaki arti yang lain. Dalam lafadz khas ini
terdapat lafadz muqtlak yang dapat menetapkan hukum secara absolute dengan
catatan tidak ada dalil yang mengikatnya. Jika lafadz itu berbentuk perintah (Amar),
maka obyek yang diperintahkannya wajib, atau berbentuk larangan (Nahi) maka
obyek yang dilarang itu haram. Hal tersebut bila tidak ada dalil yang merubah dari
keharusannya atau ketidakbolehannya.

II. RUMUSAN MASALAH


A. Apakah pengertian dari ‘Aam?
B. Apa sajakah bentuk-bentuk ‘Aam?
C. Apa sajakah pembagian ‘Aam?
D. Apakah pengertian dan macam-macam Khas?

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Aam
Al-Am menurut istilah Ushul Fiqih adalah

ْ ُ‫َالل َّ ْفظُ ْال‬


‫مس َت ْغ ِر ُق ِل َج ِم ْيع ِ َما ي َ ْصلُ ُح هَل ُ َوضْ َع َوا ِح ٍد َدفْ َع ًة‬
“lafadz yang mengandung satuan-satuan yang banyak tanpa batas.”

Ushul Fiqih | 1
Atau lafadz ‘Aam adalah lafadz yang digunakan untuk menunjukkan suatu
makna yang dapat terwujud pada satuan-satuan yang banyak dan tidak terbatas.
Atau dengan kata lain lafadz ‘Aam adalah lafadz yang mengandung arti
umum tidak dibatasi suaatu kekhususan. Jadi, lafadz tadi sifatnya umum, segala
yang cocok dan sesuai dengan arti lafadz itu, semuanya terkena dalam artian
yang luas, seperti lafadz Al-Insan (Manusia), lafadz ini memasukkan semua jenis
yang pantas disebut dengan manusia, tercakup semua ini, semua jenis manusia
daam arti seluass-luasnya tanpa batas.1
Menurut Muhammad Adib Saleh, Lafal Umum adalah lafadz yang
diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri
tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.2
‫لُك ُّ َع ْق ٍد ي ُْشرَت َ ُط اِل نْ ِع َقا ِد ِه َا ْه ِل َّي ُة الْ ّعا ِقدّ ْي َن‬
Dalam kaidah para fuqaha’ : Setiap perikatan untuk sah nya disyaratkan adanya
kecakapan dua orang yang mengadakan perikatan.
adalah lafadz ‘Aam yang menunjukkan kepada apa saja yang disebut perikatan
tanpa terbatas pada perikatan tertentu. Juga lafadz “Man Alqa” dalam hadits yang
berbunyi :
)‫َم ْن َالْ َقى ِس َال َح ُه فَه َُو ۤا ۤا ِم ٌن (رواه مسمل‬
“Barang Siapa meletakkan senjatanya maka dia adalan aman.”
adalah lafadz ‘Aam yang menunjukkan seluruh perseorangan yang meletakkan
senjata, tanpa terbatas kepada perseorangan tertentu.3
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, lafadz ‘Aam adalah lafadz yang
diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri
tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.

B. Bentuk-bentuk ‘Aam
1. Bentuk lafadz yang mengandung makna Aam:
a. Isim istifham/pertanyaan, ‫ ما – اين – مىت – اي‬-‫ من‬misalnya:

1
Drs. H. Zen Amiruddin,M.Si, Ushul Fiqih, Penerbit TERAS : Yogyakarta, 2009, hlm.129
2
Prof. DR. Satria Effendi,M.Zein,M.A, Ushul Fiqih, PRENADA MEDIA : Jakarta, 2005, hlm. 196
3
Prof.Dr.Mukhtar Yahya, Prof.Drs.Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,
PT Alma’arif : Bandung, 1997, hlm.218

Ushul Fiqih | 2
‫َايْنَ َما تَ ُك ْون ُْوايُ ْذ ِرمُك ُ امل َ ْو َت‬
“Dimana saja (dalam arti umum) kita bisa menemui kematian”
b. Isim syarat, misalnya :
‫َم ْن اَك َن يُ ْؤ ِم ُن اِب اهّلل ِ َوالْ َي ْو ِم ا َال ِخ ِرفَالْ ُي َك ّ ِر ْم ضَ ْي َف ُه‬
“Siapapun juga (tanpa pilih-pilih) yang menyatakan beriman kepada Allah
dan hari akhir supaya mneghormati tamunya”
c. Lafadz kulun, jami’un, ma’syara, kaffah. Misalnya:
‫اب – لُك ُّ َم ْودِل ٍ ي ُ ْودَل ُ عَىَل الْ ِف ْط َر ِة‬ َّ َ ‫اَي َم ْعرَش‬
ُ ‫الش َب‬
“Setiap anak (dalam arti umum tanpa kecuali) dilahirkan dalam keadaan
suci. Wahai pemuda (tanpa pengecualian)
d. Isim mufrod dan jama’ yang dima’rifatkan dengan alif lam (al), misalnya:

‫الرجل السارقة‬, contohnya :


‫الس ِارقَ ُة فَا ْق َط ُع ْوا َايْ ِدهَي ُ َما‬
َّ ‫الس ِار ُق َو‬
َّ
“Pencuri laki-laki dan perempuan (tanpa kecuali) hendaknya di potong
tangannya”
e. Isim nakirah dengan susunan nafi (meniadakan/mengingkari), misalnya:
‫الوصية لوارس‬
Berarti secara umum, ahli waris itu tidak boleh menerima wasiat untuk
warisannya.
f. Isim maushul , ‫ اذلى – اذلين – الىت‬misalnya:
‫اذَّل ْي َن ي ُ ْؤ ِمنُ ْو َن اِب الْ َغ ْي ِب‬
“Orang-orang beriman yang ghaib”. Hal ini berarti masih umum siapa saja
tanpa kecuali asal beriman kepada yang gaib.

C. Pembagian ‘Aam
Lafadz umum seperti dijelaskan Musthofa Sa’id Al-Khin, guru besar Ushul
Fiqih Universitas Damaskus dibagi, 3 macam :

Ushul Fiqih | 3
1. Lafadz umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi
yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis atau pengkhususan.
Misalnya ayat
          
       
Artinya : “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah
lah yang member rezekinya dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu
dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata
(Lauh Mahfuzh)” (QS. Hud/11:6)
2. Lafadz umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada
indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya ayat 120 Surat at-
Taubah :
          
          
           
           
        
Artinya : “Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang
Arab Baduwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai
Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih
mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul.” (QS.At-
Taubah/9:120)
3. Lafadz umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang
dimaksud adalah makna umumnya atau adalah sebagian cakupannya.
Contohnya ayat 228 surat Al-Baqarah :
. . .     
Artinya : “Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru.” (QS.Al-Baqarah/2:228)

D. Pengertian dan Macam-macam Khas


1. Lafadz Khas
Lafadz khas adalah lafadz yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu
arti khusus, misalnya satu orang/hal/barang tertentu.4
Menurut Adib Saleh, lafal khas adalah lafal yang mengandung satu
pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para ulama

4
Drs.H. Zen Amiruddin, M.Si, Ushul Fiqh, ( Penerbit Teras : Yogyakrta), hal.129-131

Ushul Fiqih | 4
Ushul Fiqh sepakat, seperti yang disebutkan Abu Zahrah, bahwa lafal khas
dalam nash syara’, menunjuk kepada pengertiannya yang khas secara qath’i
(pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti (qath’i) selama tidak ada
indikasi yang menunjukkan pengertian lain. Contoh lafal khash adalah ayat
89 Surat al-Maidah :
         
         
          
         
         

89. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak


dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu,
ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa
kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang
demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah
kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan
jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-
hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).
Kata ‘asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan
sepuluh, tidak lebih tidak kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak
ada kemungkinan pengertian lain. Begitulah memahami setiap lafal khash
dalam Al-Qur’an, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada
pengertian lain seperti makna majazi (metafora).
Jika terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud bukan
mkan hakikatnya tetapi makna majazinya, maka terjadilah apa yang
dinamakan ta’wil, yaitu pemalingan arti lafal dari makna hakikinya kepada
makna majazi.5
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Lafadz khas
adalah lafadz yang mengandung suatu pengertian secara tunggal atau
beberapa pengertian yang terbatas.
2. Terkait dengan lafadz khas ini adalah perihal : Takhsis, Mukhassis.
a. Takhsis

5
Prof. Dr. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Ushul Fiqh, ( Jakarta : PRENADA MEDIA), hal. 205

Ushul Fiqih | 5
Yang dimaksud dengan takhsis adalah mengeluarkan sebagian dari satuan-
satuaan yang dikandung lafadz ‘Aam atau mengkhususkan keumuman

lafadz ‘Aam, misalnya : ‫ ال اهل ااّل هللا‬, maka yang disebut tuhan hanya

khusus Allah, selain Allah bukan tuhan.


b. Mukhassis
Yang dimaksud dengan mukhassis adalah lafadz yang menjadi dasar
adanya pengeluaran dari ketentuan ‘Aam tersebut, atau lafadz atau dalil
yang dijadikan untuk pengkhususan. Dalil-dalil pengkhususan terbagi 2 :
Dalil pengkhususan yang menyatu / ‫يص املتصةل‬kk‫ادةل التخص‬ dan Dalil

pengkhususan yang terpisah atau ‫ ادةل التخصيص املنفصل‬.


 Yakni mukhosissnya ada dalam susunan yang menjadi satu dengan
umumnya. Khas muttashil terdapat berbagai macam :
1) Istitsna’, ‫ ال يكون‬-‫ ليس‬-‫ عدا‬k-‫ حاشا‬-‫ سوي‬-‫ااّل – غري‬.
2) Syarat : ‫ ايامن‬-‫ حيسام‬-‫ من‬-‫ِان ا َذا‬
3) Sifat atau kata sifat, seperti pada kalimat ‫من فتياتمك املؤمنات‬ dalam QS.An-

Nisa’:25 yang membolehkan seorang laki-laki menikahi budak miliknya


yang beriman, jika tidak beriman maka tidak boleh dinikahi.
4) Ghayah, yaitu kata (‫ حتّى‬dan ‫) الى‬. Hukum yang setelahnya harus berbeda
dengan hukum yang sebelumnya. Contoh QS.Al-Maidah:26
           
     
26. Allah berfirman: "(Jika demikian), Maka Sesungguhnya negeri itu
diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka
akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka
janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang Fasik
itu."
5) Bad a lul ba’dhi min al-kulli (Pengganti sebagian dari keseluruhan)
seperti ungkapan : Datang suatu kaum, yaitu para pemimpinnya.
6) Hal (Keadaan). atau takhsis dengan perkataan yang bersambung dan
mandiri. Contohnya QS.Al-Baqarah:185

Ushul Fiqih | 6
        
          
            
       
      
ayat tersebut bersifat umum tentang kewajiban shaum bagi orang yang
melihat bulan tetapi bentuk perkatannya yang bersambung dan manddiri
setelahnya mengecualikan orang yang sakit dan sedang berpergian.
 Munfashil atau terpisah. Yakni mukhossisnya terdapat pada tempat lain,
tidak bersama dengan lafadz yang umum. Khas Munfashil juga terdapat
berbagai macam :
a. Takhsis al-Qur’an dengan al-Qur’an. Seperti QS.At-Talaq : 4 yang
men takhsis QS.Al-Baqarah : 234.
      
         
         

b. Takhsis al-Qur’an dengan as-Sunnah. Seperti QS.Al-Ma’idah : 83 yang
di takhsis dengan hadits tentang nishab sariqah.
         
         
  

c. Takhsis as-Sunnah dengan al-Qur’an sesuai dengan QS.An-nahl ayat


89.
           
         
    
Contoh : Pada saat terjadi perjanjian hudaibiyah, Rasul bersabda ‫ان‬
‫اليأتيك أحد منا واءن اكن عيل دينك الا رددته‬. (dengan syarat jika dating
kepadamu salah seorang dari kami meskipun menganut agamamu

maka engkau harus mengembalikannya). Pernyataan ‫ أحد‬ini mencakup


setiap laki-laki dan wanita. Kemudian ada ayat dalam QS.Al-
Mumtahanah : 10, yang mentakhsis, sehingga khusus diperuntukkan
bagi laki-laki saja.
      
        
             
         
       
          
     

Ushul Fiqih | 7
d. Takhsis as-Sunnah dengan as-Sunnah. Seperti kalimat dalam hadits ‫ال‬
‫ة أوسق‬kk‫زاكة فاميدون مخس‬ (tidak wajib zakat pada hasil panen yang

dibawah 5 wasaq) yang mentakhsis hadits ‫امء العش‬kk‫فامي سقتالس‬ (pada

tumbuhan hujan maka wajib dikeluarkan zakat 10% nya).6

IV. KESIMPULAN
1. Lafadz ‘Aam adalah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai
dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.
2. Bentuk-bentuk ‘Aam : Isim istifham/pertanyaan( ‫ ما – اين – مىت – اي‬-‫)من‬, Isim
syarat, Lafadz kulun-jami’un- -ma’syara-kaffah, Isim mufrod dan jama’ yang
dima’rifatkan dengan alif lam (al), Isim nakirah dengan susunan nafi
(meniadakan/mengingkari), Isim maushul (‫)اذلى – اذلين الىت‬.
3. Pembagian ‘Aam : 1) Lafadz umum yang dikehendaki keumumannya karena ada
dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis atau
pengkhususan. 2) Lafadz umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus
karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. 3) Lafadz umum yang
terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna
umumnya atau adalah sebagian cakupannya.

4. Lafadz khas adalah lafadz yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu arti
khusus, misalnya satu orang/hal/barang tertentu. Terkait dengan lafadz khas ini
adalah perihal : Takhsis, Mukhassis.

V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami susun semoga dapat bermanfaat
dalam kegiatan pembelajaran ‘Ushul Fiqih’ dengan judul: Metode Istinbat Dari Segi
Bahssa (‘Am dan Khas). Tentu saja dalam pembuatan makalah masih banyak
kekeliruan, oleh karena itu kami mohon maaf sebesarnya. Terima kasih atas segala
kritik dan saran yang membangun.

6
Drs. H.zen Amiruddin,M.Si, Ushul Fiqih, Penerbit TERAS : Yogyakarta, 2009, hlm.131-134

Ushul Fiqih | 8

Anda mungkin juga menyukai