Anda di halaman 1dari 12

PENDEKATAN TEOLOGI(ILMU KALAM)

A. Definisi Teologi
Istilah teologi, dalam bahasa Yunani adalah "theologia". Istilah yang berasal dari gabungan dua kata "theos,
Allah" dan "logos, logika". Arti dasarnya adalah suatu catatan atau wacana tentang, para dewa atau Allah.
Bagi beberapa orang Yunani, syair-syair seperti karya Homer dan Hesiod disebut "theologoi". Syair mereka
yang menceritakan tentang para dewa yang dikategorikan oleh para penulis aliran Stoa (Stoic) ke dalam
"teologi mistis". Aliran pemikiran Stois yang didirikan oleh Zeno (kira-kira 335-263 sM.) memiliki pandangan
"teologi natural atau rasional", yang disebut oleh Aristoteles, dengan istilah "filsafat teologi", sebutan yang
merujuk kepada filsafat teologi secara umum atau metafisika.
Teologi dalam islam disebut juga ‘ilm al-tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu atau esa dan
keesaan dalam pandangan islam, sebagai agama monteisme, merupakan sifat yang terpenting di
antara sifat-sifat Tuhan. Selanjutnya Teologi Islam disebut juga ‘ilm al-kalam’. Kalam adalah kata-
kata. Teologi Islam yang di ajarkan di Indonesia umumnya, adalah Teologi dalam bentuk Ilmu
Tauhid. Ilmu Tauhid biasanya member pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat
dan paham dari aliran-aliran atau golongan-golongan lain yang ada dalam Teologi Islam.
Teologi berasal dari kata “ology” dan “theos” dan dijadikan Bahasa Indonesia maka menjadi
teologi. “ology” berakar dari kata Greek yang kemudian menjadi “logos” berarti “percakapan”,
“pengkajian” dan “penelitian”. Tujuan yang terpenting penelitian adalah logos itu sendiri dari pada
benda-benda yang menjadi subjeknya. Sedangkan theos dalam bahasa greek berarti “Tuhan” dan
atau sesuatu yang berkenaan dengan Tuhan. Jadi Teologi dalam bahasa greek adalah penelitian
secara rasional segala sesuatu yang berkenaan dengan ke-Tuhanan. Jadi, Teologi merupakan salah
satu cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan tentang hakekat Tuhan serta keberadaan-Nya.
Oleh sebab itu berbicara tentang teologi, maka dengan sendirinya kita membicarakan tentang
Tuhan yang dari dahulu sampai sekarang selalu aktual untuk dibicarakan. Hal ini menunjukkan
bahwa manusia memerlukan Tuhan dalam menjawab dan memaknai segala aspek kehidupannya,
terutama sekali yang berhubungan dengan moral dan imu pengetahuan.
Maka pendekatan teologi adalah pembahasan eksistensi Tuhan dan Tuhan-tuhan dalam konsep
nilai-nilai keTuhanan yang terkonstruksi dengan baik, sehingga pada akhirnya menjadi sebuah
agama atau aliran kepercayaan.
B. Sejarah Teologi
Para filosof islam terdahulu menjadikan Tuhan, alam, dan manusia (Theo, chosmes, and
antrophos) sebagai alat untuk menganalisa dirinya sendiri yang tidak dimiliki pada makhluk
lainnya. Sebab dengan metode ini para ahli teologi tidak hanya membicarakan bagaimana
sesungguhnya manusia berbicara tentang Tuhan; teologi juga berbicara lebih jauh tentang bentuk-
bentuk ekspresi yang lebih baik dan ekspresi yang lebih buruk serta mencari definisi yang
berimbang mengenai pembicaraan khusus tentang Tuhan. Jan Hendrik Rapar mengungkapkan
bahwa, “teologi merupakan salah satu cabang filsafat dan mencari hakekat, makna, dan eksistensi
Tuhannya, oleh karena itu pembicaraan tentang Tuhan menjadi tetap aktual setiap waktu yang
tak lesu.” Menurut Juhaya S. Praja bahwa sejarah teologi terbagi tiga periode.
Berdasarkan tiga orde periodesasi sejarah perkembangan ilmu teologi ini, meliputi tiga unsur
pokok : Tuhan, manusia, dan alam. Dimana ketiga komponen ini saling keterkaitan tidak bisa
dipisahkan walaupun memiliki unsur-unsur yang berbeda.

1. Periode Pertama
Pada periode ini para ahli teologi hanya menggambarkan hakekat ketiga unsur diatas (Tuhan,
manusia, dan alam) apa adanya.

a. Tuhan

Pengenalan manusia dengan Tuhan melalui berbagai cara, ada yang langsung bertemu dengan
Tuhannya dan ada yang melalui penggambaran batin. Maka dalam penggambaran dan pertemuan
tersebut, manusia mengenal Tuhannya melalui dualisme teologi : monotheisme dan polytheisme.
Monotheisme adalah paham bahwa Tuhan itu satu, Polytheisme adalah paham bahwa Tuhan itu
banyak.

b. Manusia

Kajian ilmu tentang manusia disebut antropologi, yang berasal dari Yunani berarti orang,
sedangkan logos berarti ilmu. Jadi antropologi adalah kajian membahas tentang manusia serta hal-
hal yang berkaitan dengannya. Oleh sebab itu kajian tentang hakekat manusia itu sendiri ternyata
dari dahulu sampai sekarang belum habis-habisnya untuk di bahas.ini menunjukan bahwa manusia
adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang misterius.

c. Alam

Ilmu tentang alam dikenal kosmologi yang membahas tentang hakekat alam semesta serta
menyikap tentang ekstensinya yang tersembunyi dibalik bentuk fisiknya.sesuatu yang berkaitan
dengan eksistensi alam, asalnya, tujuannya dan bagaimana ia terjadi dan berevolusi. Kehadiran
alam semesta didunia ini memberikan inspirasi bagi manusia itu sendiri tentang hakekat kebenaran
Tuhannya.

2. Periode Kedua

Pada periode ini Teologi berupa mencari jawaban atas orientasi dalam kehidupan, bagaimana
manusia menghadapi kebutuhan dalam menghadapi kehidupan.

3. Periode Ketiga

Periode ini mendirikan bangunan yang dibuat dengan hati-hati dalam upaya melayani kebutuhan
manusia kontemporer.

C. Pendekatan Teologi
Pendekatan teologi sering disebut juga sebagai perspektif timur, pendekatan teologi berarti
pendekatan kewahyuan atau pendekatan keyakinan peneliti itu sendiri. Dimana agama tidak lain
merupakan hak prerogatif Tuhan. Realitas sejati dari agama adalah sebagaimana yang dikatakan
oleh masing-masing agama. Pendekatan seperti ini biasanya dilakukan dalam penelitian suatu
agama untuk kepentingan agama yang diyakini peneliti tersebut untuk menambah pembenaran
keyakinan terhadap agama yang dipeluknya itu.
Yang termasuk kedalam penelitian teologi ini adalah penelitian-penelitian yang dilakukan oleh
ulama-ulama, pendeta, rahib terhadap suatu subjek masalah dalam agama yang menjadi tanggung
jawab mereka, baik disebabkan oleh adanya pertanyaan dari jamaah maupun dalam rangka
penguatan dan mencari landasan yang akurat bagi suatu mazhab yang sudah ada.
Pendekatan teologis memahami agama secara harfiah atau pemahaman yang menggunakan
kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu
keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.
Amin Abdullah dalam bukunya metodologi study islam mengatakan, bahwa teologi,
seba¬gaimana kita ketahui, tidak bisa tidak, pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas
terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang
bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri
yang melekat pada bentuk pemikiran-teologis.
Pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada
bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-
simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya
sebagai salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar
sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir,
murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun
menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah
proses saling meng-kafir-kafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara
satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah
1ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat
memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih-lebih lagi kenya¬taan
demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya memang tidak pernah berdiri
sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung
keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran
teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas masyarakat tertentu.
Bercampur aduknya doktrin teologi dengan historisitas institusi sosial kemasyarakatan yang
menyertai dan mendukungnya menambah peliknya persoalan yang dihadapi umat beragama.
Uraian di atas bukan berarti kita tidak memerlukan pendekatan teologi dalam memahami agama,
karena tanpa adanya pendekatan teologis, keagama¬an seseorang akan mudah cair dan tidak jelas
identitas dan pelembagaannya. Proses pelembagaan perilaku keagamaan melalui mazhab-mazhab
sebagai¬mana halnya yang terclapat dalam teologi jelas diperlukan. Antara lain berfung¬si untuk
mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam
rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama. Tetapi, ketika tradisi agama
secara sosiologis mengalami reifikasi atau pengentalan, maka bisa jadi spirit agama yang paling
hanif lalu terkubur oleh simbol-simbol yang diciptakan dan dibakukan oleh para pemeluk agama
itu sendiri. Pada taraf ini sangat mungkin orang lalu tergelincir menganut dan meyakini agama
yang mereka buat sendiri, bukan lagi agama yang asli, meskipun yang bersangkutan tidak
menyadari.
Sikap eksklusifisme (ketertutupan) teologis dalam memandang perbedaan dan pluralitas agama
sebagaimana tersebut di atas tidak saja merugikan bagi agama lain,tetapi juga merugikan diri
sendiri karena sikap semacam itu sesungguhnya mempersempit masuknya kebenaran-kebenaran
baru yang bisa membuat hidup ini lebih lapang dan lebih kaya dengan nuansa.
Tiga Macam Pendekatan dalam Memahami Agama
a. Pendekatan Teologis Normatif

Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama, ialah upaya memahami agama dengan
menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik
dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar bila dibandingkan dengan yang
lainnya. Model pendekatan ini, oleh Muh. Natsir Mahmud, disebut sebagai pendekatan teologis-
apologis. Sebab cenderung mengklaim diri sebagai yang paling benar, dan memandang yang
berada di luar dirinya sebagai sesuatu yang salah, atau minimal keliru.
Menurut Amin Abdullah, teologi tidak bisa tidak, pasti mengacu pada agama tertentu. Loyalitas
terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang
bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri
yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.

Dari pemikiran tersebut di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologis normatif dalam
pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-
simbol keagamaan yang masing-masing dari bentuk forma simbol-simbol keagamaan tersebut
mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi yang
satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar, sedangkan paham lainnya adalah
salah, sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya.
Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir itupun menuduh kepada pihak lain
sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling
mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian antara satu aliran dengan
aliran yang lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan,
sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan pengkotak-kotakan.

Penelitian terhadap agama tertentu dengan menggunakan pendekatan teologi normatif banyak
ditemukan dalam karya-karya orientalis Kristen, yang cenderung mendiskreditkan Islam.
Mc.Donal umpamanya, seperti yang dikutip oleh M. Natsir Mahmud mengatakan bahwa Islam
pada mulanya adalah ajaran Kristen yang diselewengkan oleh keadaan patologis (penyakit jiwa)
Muhammad, Islam menurutnya adalah bagian pemikiran ketimuran. Karakteristik pemikiran
ketimuran menurutnya, ada dua :

1. Menghargai fakta dan diikuti oleh fantasi yang bebas, tetapi di sisi lain terkungkung.
2. Tidak menghargai kebebasan berpikir dan kebebasan intelektual.

Contoh tersebut hanyalah contoh kecil dari sederetan pandangan subjektif Islamolog Kristen dalam
memandang Islam. Pandangan seperti itu, didasarkan pada pandangan subjektivitas tentang
kebenaran agama tertentu yang dianutnya.

Amin Abdullah, dalam hal ini mengomentari bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat
memecahkan esensial pluralitas agama dewasa ini. Terlebih-lebih lagi kenyataan demikian harus
ditambahkan bahwa doktrin teologi pada dasarnya tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari
jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya.
Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah
mengelompok dan mengkristal dalam suatu komunitas masyarakat tertentu.

Uraian di atas bukan berarti bahwa pendekatan teologis normatif dalam memahami agama hampir
tidak dibutuhkan. Proses pelembagaan perilaku keagamaan melalui mazhab-mazhab sebagaimana
halnya yang terdapat dalam teologi, jelas diperlukan, yang antara lain berfungsi untuk
mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam
rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama.
Jadi pendekatan teologis normatif dalam agama adalah melihat agama sebagai suatu kebenaran
yang mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikit pun dan nampak bersifat ideal. Dalam kaitan
ini, agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas.

Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk
bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan,
tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi,
agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran dan saling menguntungkan.

Demikianlah agama tampil sangat ideal dan ada yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang
terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.

b. Pendekatan Teologis–Dialogis

Pendekatan teologis–dialogis seperti yang telah dijelaskan ialah mengkaji agama tertentu dengan
mempergunakan perspektif agama lain. Model pendekatan ini, banyak digunakan oleh orientalis
dalam mengkaji Islam.
Seorang Islamolog Barat, Hans Kung, seperti yang disinyalir oleh Dr. M. Natsir Mahmud, dalam
berbagai tulisannya dalam pengkajian Islam menggunakan pendekatan teologis-dialogis, yakni
bertolak dari perspektif teologi Kristen. Kung menyajikan pandangan-pandangan teologi Kristen
dalam melihat eksistensi Islam, mulai dari pandangan teologis yang intern sampai pandangan yang
toleran, yang saling mengakui eksistensi agama masing-masing agama.

Dalam melengkapi komentarnya, pertanyaan teologis yang diajukan Kung adalah, bahwa apakah
Islam merupakan jalan keselamatan ? pertanyaan ini menjadi titik tolak untuk melihat apakah
Islam sebuah agama yang menyelematkan penganutnya bila dilihat dari teologi Kristen. Kung
mengemukakan pandangan beberapa teolog Kristen, misalnya, Origan, yang mengeluarkan
pernyataan yang terkenal dengan Ekstra Gelesiam Nulla Sulus, artinya tidak ada keselamatan di
luar gereja.

Selain itu, pendekatan teologis dialogis juga digunakan oleh W. Montgomery Watt. Hakikat
dialog menurut Watt, sebagai upaya untuk saling mengubah pandangan antar penganut agama dan
saling terbuka dalam belajar satu sama lain. Dalam hal ini Watt bermaksud menghilangkan sikap
merendahkan agama seseorang oleh penganut agama yang lain serta menghilangkan ajaran yang
bersifar apologis dari masing-masing agama.
C.W. Trell mengomentari penjelasan Watt tersebut dalam tiga hal: (1) masing-masing penganut
agama saling mengakui bahwa mereka adalah pengikut Tuhan yang beriman, (2) sebagai
konsekwensi dari yang pertama, perlu merevisi doktrin masing-masing agama untuk dapat
membawa pada keimanan kepada Tuhan secara damai, (3) melakukan kritik-kritik yang
menghasilkan visi baru. Watt dalam hal ini berusaha melakukan reinterpretasi terhadap ajaran
agama yang mengandung nada apologis terhadap agama lain.

c. Pendekatan Teologis-Konvergensi

Pendekatan teologi konvergensi" adalah merupakan metode pendekatan terhadap agama dengan
melihat unsur-unsur persamaan dari masing-masing agama atau aliran. Maksudnya dari
pendekatan ini ialah ingin mempersatukan unsur-unsur esensial dalam agama-agama, sehingga
tidak nampak perbedaan yang esensial. Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya dapat
disatukan dalam satu konsep teologi universal dan umatnya disatukan sebagai satu umat beragama.

Dalam hal pendekatan teologi konvergensi ini, Wilfred Contwell Smith sebagai penganut
pendekatan ini menghendaki agar penganut agama-agama dapat menyatu, bukan hanya dalam
dunia praktis tetapi juga dalam pandangan teologis. Sehubungan dengan hal tersebut, Smith
mencoba membuat pertanyaan di mana letak titik temu keyakinan agama-agama itu untuk
mencapai sebuah konvergensi agama ? Dalam hal ini Smith terlebih dahulu membedakan antara
faith (iman) dengan belief (kepercayaan). Di dalam faith agama-agama dapat disatukan, sedang
dalam belief tidak dapat menyatu. Belief seringkali normatif dan intoleran. Belief bersifat histotik
yang mungkin secara konseptual berbeda dari satu generasi ke generasi yang lain. Dari masalah
belief itulah penganut agama berbeda-beda, dan dari perbedaan itu akan menghasilkan konflik.
Sebaliknya dalam faith umat beragama dapat menyatu. Jadi orang bisa berbeda dalam kepercayaan
(belief), tetapi menyatu dalam faith. Sebagai contoh, dalam masyarakat Islam terdapat berbagai
aliran teologis maupun aliran fiqih. Mereka mungkin penganut aliran al-Asy'ariyah atau Mu'tazilah
atau pengikut Imam Syafi'i atau Imam Hambal. Belief mereka berbeda yang mungkin
menimbulkan sikap keagamaan yang berbeda, tetapi mereka tetap satu dalam faith (iman).
Demikian pula antara penganut agama, mereka berbeda dalam belief dan respon keagamaan yang
berbeda, tetapi hakikatnya menyatu dalam faith.

Dari ketiga metode pendekatan teologis tersebut di atas, maka yang paling akurat dipergunakan
menurut analisa penulis adalah pendekatan teologis konvergensi, di mana pendekatan ini telah
tercakup di dalamnya nilai-nilai normatif dan dialogis. Lain halnya hanya dengan menggunakan
metode pendekatan normatif atau dialogis saja, belum tentu terdapat unsur konvergensi di
dalamnya.

D. Sejarah Timbulnya Aliran- aliran Teologi Islam

Aliran- aliran dalam teologi Islam ini muncul setelah wafatnya Rasulullah Muhammad SAW,
karena begitu sentralnya tokoh seorang pribadi Muhammad SAW disamping sebagai Nabi,Rasul
Beliau juga seorang kepala Negara dan kepala pemerintahan, ahli Negara (Negarawan), sehingga
ketika Beliau wafat masyarakat madinah sibuk memikirkan pengganti Beliau untuk mengepalai
Negara yang baru lahir itu. Sampai hal ini mengganggu prosesi pemakaman beliau dan
mengganggap pemakaman Nabi merupakan soal kedua bagi mereka waktu itu. Selanjutnya
muncul persoalan ‘Khilafah’ soal pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala Negara.
Sejarah mencatat bahwa Abu Bakar lah yang disetujui oleh masyarakat Islam diwaktu itu untuk
menjadi Khalifah pertama (pengganti Rasul). Kemudian Abu Bakar digantikan ol.eh Umar Ibn al-
Khattab dan Umar tergantikan oleh Usman Ibn Affan.
Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya, kaum keluarganya dari golongan
masyarakat aristocrat/ bangsawan Mekkah yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang
dagang, admistrasi. Pengetahuan mereka ini sangat bermanfaat dalam memimpin administrasi
daerah- daerah diluar Semenanjung Arabia yang masuk dibawah kekuasaan Islam.
Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup mementang
ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Tindakan –tindakan politik yang
dilakukan Usman kerap kali mengangkat mereka (kerabat keluarganya) menjadi Gubernur-
gubernur di daerah yang tunduk kepada kekeuasaan Islam. Selanjutnya perasaan tidak senang
muncul di daerah akibat dari tindakan politik yang dilakukan Usman ini. Di Mesir sebagai reaksi
dijatuhkannya Umar Ibn al-Khattab yang digantikan oleh Abdullah Ibn Sa’d Ibn abi Sarh salah
satu anggota kerabat keluarga Usman sebagai Gubernur mesir. 500 pemberontak berkumpul dan
kemudian bergerak ke Madinah.
Perkembangan di Madinah selanjutnya membawa persoalan pada pembunuhan Usman oleh
pemuka-pemuka pemberontakan dari mesir ini. Setelah Usman wafat Ali Ibn Abu Thalib sebagai
calon terkuat menjadi khalifah ke-empat. Tetapi segera setelah memimpin ia mendapat tantangan
dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi Khalifah terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah
yang mendapat sokongan, dorongan dari Aisyah ra. Tantangan dari Aisyah, talhah, Zubeir ini
dipatahkan ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak di tahun 656 H. Talhah dan Zubeir mati
terbunuh dalam pertempuran ini dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Tantangan kedua datang dari Muawwiyah. Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat dengan
Usman sebagaimana halnya Talhah dan Zubeir mereka tidak mau mengakui Ali Ibn Thallib
sebagai Khalifah. Ia menuntut kepada Ali agar menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan
ia menuduh Ali turut andil dalam pembunuhan itu¹ .
Dalam pertempuran ini (Perang Siffin) tentara Ali dapat mendesak tentara Muawwiyah. Namun
tangan kanan Muawwiyah Amr Ibn ash yang terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan
mengangkat al-quran ke atas. Qurra yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran
itu dan dicarilah perdamaian dengan mengadakan Arbitrase (Tahkim). Sebagai perantara/ utusan
diangkatlah orang-orang kepercayaan yakni: Amr bin Ash dari pihak Muawwiyah dan Abu Musa
al Asy’arydari pihak Ali.
Fakta sejarah
Ketika Rasul Muhammad SAW. Wafat (632 M), para sahabat disibukkan dengan pembahasan
mengenai pengganti Rasul sebagai kepala negara, sehingga penguburan Nabi adalah permasalahan
kedua. Dari hal ini lahir permasalahan khilafah. Perseteruan antara Ali bin Abi Thalib dengan
Muawiyah bin Abi Sufyan merupakan titik balik dari pergeseran permasalahan politik menjadi
permasalahan teologi.
Perseteruan tersebut diselesaikan dalam perang Shifin yang dimenangkan oleh kelompok
Muawiyah dengan jalan Tahkim atau Arbitrase. Kelompok Ali diwakili Abu Musa Al-Asy’ari,
sedangkan kelompok Muawiyah diwakili Amr Ibn Al-‘As. Peristiwa Tahkim tersebut,
menguntungkan pihak Muawiyah, sebab penjatuhan Ali Bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang
Sah dan Muawiyah sebagai gubernur Damaskus yang memberontak, hanya penjatuhan Ali yang
disepakati oleh Amr Ibn As.
Dampak dari peristiwa Tahkim yaitu Kubu Ali bin Abi Thalib terpecah menjadi dua golongan,
yakni:

1. Golongan pendukung Ali bin Abi Thalib, terkenal dengan nama Syi’ah
2. Golongan yang menyatakan keluar dari kelompok Ali, terkenal dengan nama Khawarij
3. Golongan yang menjauhkan diri dari golongan Syi’ah dan golongan Khawarij, terkenal
dengan nama golongan Murjiah

Kaum Khawarij berpandangan bahwa Sikap Ali yang menerima tipu muslihat dari Amr Bin As
adalah salah, sebab putusan hanya datang dari Allah SWT melalui hukum-hukumnya dalam al-
Qur’an. Menurut Khawarij “La hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain dari Allah).
Persoalan Dosa Besar
Kaum Khawarij berpandangan Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah, Amr Bin AS, Abu Musa Al-Asy’ari dan seluruh
orang yang menerima Arbitrase adalah berdosa besar dan Kafir dalam arti keluar dari islam dan harus
dibunuh.

Pandangan ini bertolak pada Surah Al-Maidah: 44 yang menyatakan “Siapa yang tidak menentukan hukum
dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT. adalah kafir.”

Persoalan dosa besar seperti pandangan kaum Khawarij di atas, selanjutnya bergeser menjadi
permasalahan teologi.
Dalam perkembangan selanjutnya persoalan dosa besar (murtakib al-kabir) mempunyai pengaruh besar
dalam pertumbuhan aliran teologi dalam islam. Permasalahan utamanya adalah, “bagaimanakah status
sesorang yang berdosa besar, apakah mukmin atau kafir?”

E. Lahirnya Aliran-aliran Teologi


Dari persolan murtakib al-kabir lahir beberapa aliran teologi. Aliran tersebut adalah sebagai berikut.
a. Aliran Khawarij
Aliran Khawarij berpandangan bahwa orang berbuat dosa besar adalah kafir dan wajib di bunuh. Kaum
Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan kampong halamannya untuk
mengabdikan diri kepada Allah dan rasulnya.
 Terpecah menjadi golongan-golongan kecil :
1. Al-Muhakkimah
2. Al-Azariqah
3. Al-Najdat
4. Al-‘Ajaridah
5. Al-Sufriah
6. Al-Ibadiah
7. Al-Baihasiyyah
8. Al-Sa’alibah

b. Aliran Murji’ah
Aliran Murjia’ah adalah aliran Islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan Khawarij. Ini
tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khawarij. Pengertian murji'ah sendiri ialah
penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi,
mereka tak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman
terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT. sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar,
dalam kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat.1)
1). Harun Nasution,Teologi Islam, Hal 24-25.

Sebagai aliran teologi, kaum Murji’ah mempunyai pendapat yang moderat dan ekstrim.
 Murji’ah Moderat
Orang yang melakukan dosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum
sesuai dengan dosa yang dilakukan.
 Murji’ah Ekstrim
Orang islam yang percaya pada Tuhan,kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi
kafir, karena kafir dan iman tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia tetapi dalam hati sanubari. Iman
tempatnya di hat, ia tidak bertambah dan tidak berkurang karena perbuatan apapun dan amal tidak punya
pengaruh apa-apa terhadap iman.
Secara garis besar, ajaran-ajaran pokok Murji'ah adalah:

1. Pengakuan iman cukup hanya dalam hati. Jadi pengikut golongan ini tak dituntut
membuktikan keimanan dalam perbuatan sehari-hari. Ini merupakan sesuatu yang janggal
dan sulit diterima kalangan Murjites sendiri, karena iman dan amal perbuatan dalam Islam
merupakan satu kesatuan.
2. Selama meyakini 2 kalimah syahadat, seorang Muslim yang berdosa besar tak dihukum
kafir. Hukuman terhadap perbuatan manusia ditangguhkan, artinya hanya Allah yang
berhak menjatuhkannya di akhirat.

Tokoh utama aliran ini ialah Hasan bin Bilal Muzni, Abu Sallat Samman, dan Diror bin 'Umar.
Dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini terbagi menjadi kelompok moderat (dipelopori Hasan
bin Muhammad bin 'Ali bin Abi Tholib) dan kelompok ekstrem (dipelopori Jaham bin Shofwan).

c. Aliran Mu’tazilah
Aliran ini berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula
mukmin. Namun mereka terletak di antara dua posisi kafir dan mukmin. Dalam teologi mu’tazilah,
orang seperti ini dikatakan “tanzilu baina manzilatain.”

d. Aliran Qodariah

Aliran ini terkenal dengan pemikiran Free Will dan Free act (kebebasan berkehendak dan berbuat).

e. Aliran Jabariah
Aliran ini memiliki pandangan yang menyatakan manusia mempunyai kebebasan berkehendak dan
berbuat, sebaliknya aliran Jabariah berpandangan manusia dalam segala tingkah lakunya bertindak
atas dasar paksaan dari Allah at au dengan kata lain manusia tidak mempunyai kemerdekaan
menentukan kehendak dan perbuatan.
Paham ini selanjutnya terkenal dengan predestination atau fatalism.

f. Aliran Asy’ariah
Aliran Asy’ariah merupakan aliran teologi tradisional yang di susun oleh Abu Hasan al-Asy’ari
(935 M). Pada awalnya Abu Hasan al-Asy’ari merupakan orang Mu’tazilah yang merasa tidak
puas dengan teologi Mu’tazilah. Dalam satu riwayat keluarnya Abu Musa al-Asy’ari dari
Mu’tazilah dikarenakan ia pernah bermimpi bahwa Mu’tazilah di cap Nabi Muhammad sebagai
ajaran yang sesat.

g. Aliran Maturidiah
Aliran yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (944 M).
Dalam perkembangan selanjutnya dua aliran terakhir yakni Asyari’ah dan Maturidiah di kenal
dengan nama aliran Ahlus Sunah Wal Jamaah. Kedua aliran ini dibedakan dalam lapangan hukum
Islam. Aliran Asyariah lebih cenderung dengan pendekatan Imam Syafi’I, sedangkan aliran
Maturidiah cenderung pada pendekatan Imam Hanifah.

F. Faktor-faktor pendukung lahirnya Ilmu Kalam


Pada zaman Abbasiyah, telah banyak berlaku pembahasan di dalam perkara-perkara akidah termasuk
perkara-perkara yang tidak wujud pada zaman Nabi s.a.w. atau zaman para sahabatnya. Berlaku
pembahasan tersebut dengan memberi penumpuan agar ia menjadi satu ilmu baru yang diberi nama
Ilmu Kalam. Ilmu ini muncul dan berkembang atas faktor-faktor internal dan eksternal.

 Faktor-faktor internal
Berikut ini adalah faktor-faktor internal yang menjadi puncak munculnya ilmu Kalam:
1. Al-Quran di dalam seruannya kepada tauhid membentangkan aliran-aliran penting dan agama-agama
yang bertebaran pada zaman Nabi s.a.w., lalu al-Quran menolak perkataan-perkataan mereka. Secara
tabi’I, para ulamak telah mengikut cara al-Quran di dalam menolak mereka yang bertentangan, di mana
apabila penentang memperbaharui cara, maka kaum muslimin juga memperbaharui cara menolaknya.
2. Pada zaman pemerintahan Bani Umaiyah, hampir-hampir keseluruhan umat Islam di dalam keimanan
yang bersih dari sebarang pertikaian dan perdebatan. Dan apabila kaum muslimin selesai melakukan
pembukaan negeri dan kedudukannya telahpun mantap, mereka beralih tumpuan kepada pembahasan
sehingga menyebabkan berlaku perselisihan pendapat di kalangan mereka.
3. Perselisihan di dalam masalah politik menjadi sebab di dalam perselisihan mereka mengenai soal-soal
keagamaan. Jadilah parti-parti politik tersebut sebagai satu aliran keagamaan yang mempunyai
pandangannya sendiri. Parti (kelompok) Imam Ali r.a. membentuk golongan Syiah, dan manakala mereka
yang tidak bersetuju dengan Tahkim dari kalangan Syiah telam membentuk kelompok Khawarij. Dan
mereka yang membenci perselisihan yang berlaku di kalangan umat Islam telah membentuk golongan
Murji’ah.

 Faktor-faktor eksternal

Berikut ini adalah faktor-faktor eksternal yang menjadi puncak munculnya ilmu Kalam:
Ramai orang yang memeluk agama Islam selepas pembukaan beberapa negeri adalah terdiri dari
penganut agama lain seperti yahudi, Nasrani, Ateis dan lain-lain. Kadangkala mereka menzahirkan
pemikiran-pemikiran agama lama mereka berbalutkan pakaian agama mereka yang baru (Islam).
Sebutan yang biasa dipakai tentang kalam adalah:
1. Ilm al-fiqh al-akbar digunakan oleh Imam Abu Hanifah abad ke 2H/8M.
2. Ilm al-kalam dipergunakan oleh Ja’far Alshadiq (wafat 148H/75M), Malik (wafat 179H/795M) dan Syafi’i
(wafat 204H/819M).
3. Ilm ushul al-din digunakan oleh Asy’ari (wafat 324H/935M), Al-Baghdadi (wafat 42H/1037M).
4. Ilm al-aqaid digunakan oleh Al-Thahawi (wafat 331H/942M) dan Al Gazali (wafat 505H/111M).
5. Ilm al-nazhar wa al-istidlal digunakan oleh Taftazani didalam buku Syarh Al-Aqa’id Al Nasafiyyah
membahas tyentang metode ilmu kalam.
6. Ilm al-tauhid wa al-shifat digunakan Taftazani untuk membahas pentingnya keesaan dan sifat-sifat
Tuhan.
7. Ilm al-tauhid membahas bagian terpenting dalam Islam dipergunakan oleh Muhammad Abduh (wafat
1323H/1905M).

G. Pemikiran Ilmu Teologi (Ilmu Kalam) Masa Kini

a. Imam Al-Farugi

Dengan pemikirannya menjelaskan tentang tauhid adalah tauhida sebagai inti agama pengalaman,
pandangan dunia, intisari Islam, prinsip sejarah, prinsip pengetahuan, prinsip metafisik, etika, tata
sosial, umamah, keluarga, tata politik, ekonomi dan estetika.

b. Imam Ahmad Hanafi

Dokrin Imam ahmad Hanafi tentang: teologi tradisional; teologi tradisional menurutnya lahir
dalam konteks sejarah kepercayaan keda Tuhan diserang oleh sikte budaya lama dengan tujuan
menahan dokrin lama, tetapi zaman sekarang sudah berubah. Kemudian beliau menawarkan
konsep perlunya rekontruksi teologi yaitu, menjadikan dogma agama yang kosong menjelma ilmu
tentang pejuang sosial dengan menjadikan keimanan tradisional memiliki fungsi aktual sebagai
landasan etika dan motivasi. Untuk melakukan rekontruksi telologi tersebut maka perlu adanya
langkah-langkah yaitu: Pertama, perlunya sebuah ideologi yang jelas ditengah-tengah pertarungan
global antara berbagai ediologi Kedua, Pentingnya rekontruksi teologi ini sebaga kepentingan
praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan sejarah,(studi atas problem
pendudukan tanah dinegra muslim). Ketiga, perlunya teologi baru yang dapat mempersatukan
umat Islam dibawah satu ide. Kemudian, untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam
teologi Islam, A. Hanafi menawarkan: Perlunya analisis bahasa dan istilah teologi sebagaimana
dalam teologi terdisional tentang iman, Allah, akhirat dan lain sebagainya. Kemudian perlunya
analisis realitas yaitu untuk mengetahui latar belakang historis dan sosiologis munculnya teologi
pada masa dahulu. Analisi ini berfungsi untuk menentukan stressing kearah mana teologi
kontemporer dioreantasikan.

c. H.M. Rasyidi

Adapun pemikiran beliau tentang ilmu kalam baru adalah: Pertama, Kritik beliau untuk Harun
Nasution tentang ilmu kalam dengan teologi, menurut beliau istilah ilmu kalam adalah teologi
khusus untuk Islam sedangkan istilah teologi itu sendiri khusus untuk kristen sebab dilihat dari
aspek sejarah ternyata teologi pada awalnya digunakan untuk kalangan gereja, mereka
menggunakan istilah sebagai suatu disiplin ilmu untuk mencaari tuhannya. Kedua, tentang iman.
Iman menurut beliau bukan hanya sekedar menuju bersatunya manusia dengan tuhannya tetapi
dapat dilihat dari segi hubungan manusia dengan manusia dan yang lebih penting adalah
kepercayaaan, ibadah dan kemasyarakatan.

d. Harun Nasution

Pemikiran beliau dengan ilmu kalam adalah pertama, tentang peran akal dalam islam memberikan
pengaruh besar. Kedua, perlunya pembaharuan teologi, maksud pembaharuan tersebut adalah
teologi islam harus mengacu pada konsep free-will, rasional, dan mandiri. Ketiga, perlunya
hubungan antara wahyu dengan akal.

Daftar Pustaka
- www.google.com
- http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2074105-aliran-teologi-dalam-
islam/#ixzz1XqBGwAIc
- http://id.wikipedia.org/wiki/Murji%27ah

- http://duwexmalless.wordpress.com/2010/09/29/makalah-pendekatan-teologi-dalam-penelitian-
agama/

- http://id.wikipedia.org/wiki/Murji%27ah

- http://blog.uin-malang.ac.id/ivageje/2011/01/01/faktor-pendukung-lahirnya-ilmu-kalam/

Anda mungkin juga menyukai