Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Tasyri’ pada Masa Rasulullah

Diajukan Sebagai Tugas


Pada Mata Kuliah Tarikh Tasyri
Jurusan Syariah
Prodi Akhwalul Syakhsiyah Semester III (Tiga)

Dosen Pengampu :
Dr. Munawir Haris, S.H.I., M.S.I

Disusun Oleh
Nurhalimah Sri Dwiyanti Mey

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SORONG


2018/2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-
Nyalah kami selaku penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat
serta salam tak lupa kami junjungkan kepada nabi besar Muhammad Saw, yang telah
mengantarkan kita menuju zaman yang penuh ilmu pengetahuan.

Makalah ini di buat demi memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri’. Dalam
menyelesaikan makalah ini sedikit banyak kami telah belajar mengenai Tasyri’ pada masa
Rasulullah. Dengan adanya makalah ini kami berharap dapat membantu dalam proses belajar
mengajar serta menambah wawasan kita mengenai syariah.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karna itu, kami mengharapkan kritik serta saran yang
membangun guna menyempurnakan makalah ini agar dapat menjadi acuan dalam menyusun
makalah-makalah atau tugas-tugas selanjutnya.

Kami juga memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan
pengetikan dan kekeliruan sehingga membingungkan pembaca dalam memahami maksud
penulis.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Sorong, 7 oktober 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................. ii

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang ........................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………. 4

Bab II Pembahasan

A. Sistem dan Prinsip Tasyri’ pada Periode Rasulullah ................................ 5


B. Ijtihad Nabi Muhammad saw ...................................................................... 5
C. Ijtihad Sahabat pada Periode Rasulullah saw ............................................. 10
D. Karakteristik Perundang-undangan pada Masa Kerasulan………………

Bab III Penutup

A. Kesimpulan ............................................................................................. 11
B. Saran ....................................................................................................... 11

Daftar Pustaka ..................................................................................................... 12


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Syariah islam ialah tata cara pengaluran tentang perilaku hidup manusia untuk mencapai
keridhaan allah SWT. Seperti yang dirumuskan dalam al-qur’an surat As-Syu’ara ayat 13 yang
artinya:

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh
dan apa yang teah kami wahyukan kepada ibrahim, musa, dan isa”.sebagian dari syariat
terdapat aturan tentang ibadah, baik ibadah khusus maupun ibadah umum. Sumber syariat
adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan hal-hal yang belum diatur secara pasti didalam
kedua sumber tersebut digunakan ra’yu (ijtihad). Syariat dapat dilaksanakan apabila pada diri
seseorang telah tertanam aqidah atau keimanan. Semoga dengan bimbingan syariah hidup kita
akan selamat dunia akhirat.

B. Rumusan Masalah
1. Sistem dan Prinsip Tasyri’ pada Periode Rasulullah
2. Ijtihad Nabi saw.
3. Ijtihad Sahabat pada Periode Rasulullah
4. Karakteristik Perundang-undangan pada Masa Kerasulan

C. Tujuan Penulisan
1. Agar kita dapat mengetahui sistem dan prinsip pada periode Rasulullah
2. Agar kita dapat mengetahui ijtihad Nabi saw.
3. Agar kita dapat mengetahui ijtihad sahabat pada periode Rasulullah
4. Agar kita dapat mengetahui karakteristik perundang-undangan pada masa kerasulan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sistem dan Prinsip Tasyri’ pada Periode Rasulullah


Al-qur’an sebagai Way of Live bagi manusia, selain memuat ajaran-ajaran ketuhanan
yang menjelaskan tentang keesaan dan kemahakuasaan Allah lengkap dengan berbagai
argumentasi rasionalnya, juga memuat seperangkat aturan hukum yang senantiasa harus
ditaati. Kepatuhan atas undang-undang hukum al-qur’an dijadikan tolak ukur manifestasi
prinsip ideologi umat Islam, dalam beberapa ayat al-qur’an “amamu” hampir selalu hadir
dengan kalimat “wa amilu al-shalihat” (mengerjakan kebajikan).
Dalam menjalankan fungsi idiologi diatas, sistem tasyri’ yang digagas oleh
Rasulullah dalam menetapkan suatu persoalan hukum yang dihadapi umatnya adalah
pertama, beliau menanti datangnya wahyu berupa satu atau beberapa ayat yang memuat
hukum yang dimaksud. Kedua, jika wahyu tidak turun, maka Rasul memahaminya bahwa
Allah menyerahkan penentuan hukum itu kepada beliau melalui pintu ijtihad. Lalu beliapun
melakukan ijtihad baik secara fardi (individual) maupun secara jama’i (kolektif) bersama
sahabat-sahabat beliau dangan berlandaskan ruh (jiwa) syariat yakni kemaslahatan umat.
Salah satu keistimewaan ajaran Islam adalah sisi univerlitasnya dan cakupannya lintas
umat manusia (kaffah li alamin). Dalam merealisasikan unversalitas undang-undang, syariat
Islam memiliki prinsip-prinsip/dasar sistem tasyri’ sebagai berikut:
1. Adam al-Haraj (tidak mempersulit), dalam menetapkan syariah Islam al-quran
senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dalam melaksanakannya, hal ini
bisa dilihat pada peluang dan kelonggaran (tasamu wa rukhsah) kepada manusia, agar
bisa menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang dimilikinya. Prinsip ini
secara tegas telah dijelaskan dalam al-qur’an surat al-baqarah ayat 286. Al-Syatibi
dalam muwafaqat menyatakan bahwa kesanggupan manusia merupakan syarat mutlak
dalam menerima ketetapan hukum
2. Tadriji/berangsur-angsur/bertahap dalam menetapkan hukum, baik dari waktu
maupun materi hukum materinya. Dari segi waktu, terlihat bahwa hukum-hukum
Allah dan RasulNya tidaklah ditetapkan dalam satu waktu sekaligus, tapi berangsur
selama 22 tahun lebih. Dan masing-masing hukum memiliki sejarah dan sebab khusus
yang melatarbelakangi penetapannya. Sedangkan dari segi materi hukum, taklif yang
ditetapkan juga diberikan secara bertahap, pada awalnya umat Islam belum
diwajibkan mendirikan sholat 5 kali sehari dengan jumlah rakaat yang ditentukan,
melainkan hanya diwajibkan mendirikan sholat wajib di waktu pagi dan sore. Saat itu
mereka belum diwajibkan mengeluarkan zakat, puasa, khamr, berjudi dan berbagai
macam akad seperti pernikahan, riba dan transaksi- transaksi muamalah.
3. Taqlid al-taklif (memudahkan dan meringankan beban), prinsip ini jelas terlihat
dalam syariat Islam yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan umat, sedangkan
hikmah disyariatkannya suatu ketetapan hukum selalu berorientasi pada kelonggaran
dan kemudahan, sebagaimana firman Allah dalam surat al- Baqarah 185 (Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesempitan bagimu) dan
an-Nisa ayat 28 (Allah menghendaki keringanan kepadamu, sebab manusia
diciptakan bersifat lemah). Hal ini bisa dilihat salah satunya dalam proses penetapan
dan perubahan waktu iddah bagi istri yang ditinggal mati suaminya yakni satu tahun
menjadi empat bulan sepuluh hari. Adanya perubahan, penggantian bahkan
penghapusan hukum. Menjadi bukti bahwa syariat Islam selalu berorientasi pada
kemudahan dan kemaslahatan umat manusia.
4. Sejalan dengan kemaslahatan universal. Manusia sebagai subjek legislasi hukum al-
Qur’an, maka seluruh hukum dalam al-Quran selalu diperuntukan bagi kepentingan
dan perbaikan umat baik dari sisi agama, jiwa, akal, kehormatan, keturunan, hartan
dan lingkungannya. Sehingga dalam setiap penerapan hukumnya, alquran senantiasa
memperhitungkan ketujuh aspek diatas, dengan kata lain, dimana ada kemaslahatan
manusia, disitu ada hukum.
5. Musawa dan ‘adalah. Persamaan dan keadilan adalah persyaratan mutlak dalam
hukum, baik dalam persoalan muamalah maupun ibadah. Persamaan ini secara
otomatis berimplikasi keadilan, persamaan dan keadilan adalah dua hal yang tidak
terpisahkan dalam penetapan hukum demi terpeliharanya martabat manusia
(basyariyah insaniyah).1

1
H.A. Hasyim Nawawie, Tarikh Tasyri’, (Surabaya: Jenggala Pustaka Utama, 2014) hlm. 48,49,50
B. Ijtihad Nabi Muhammad SAW
Yang dimaksud dengan ijtihad Nabi saw. adalah mengeluarkan hukum syariat yang
tidak ada nash-nya. Ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya Rasulullah saw. ke
dalam dua kelompok besar:
Pertama, kalangan Asy’ariyah ahli sunnah dan mayoritas Mu’tazilah. Mereka
berpegang teguh bahwa Nabi saw. tidak boleh berijtihad sendiri. Diantara dalil yang mereka
gunakan adalah firman Allah swt. dalam al-qur’an surat an-Najm ayat 3-4 “Dan tiadalah
yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan.”
Ayat ini menafikan bahwa baginda Rasulullah saw. menetapkan sebuah hukum
berdasarkan pendapat pribadi yang tidak ada wahyu tentang itu karena setiap permasalahan
yang muncul, baginda selalu berharap ada wahyu yang turun menjelaskan hukumnya dan
ketika wahyu turun maka itu pasti benar tidak ada yang salah, dan jika baginda berijtihad
dengan pendapatnya sendiri maka ijtihadnya itu ada kemungkinan benar atau salah, dan jika
ia memang benar atau lebih dekat kepada kebenaran maka tidak boleh ditinggalkan lalu
mengamalkan yang masih belum pasti selama yang pertama masih bisa diamalkan.

Dalil ini disanggah karena hujjah (alasan) yang disebutkan tidak dapat diterima,
sebab kata ganti “huwa” dalam ayat “in huwa illa wahyun yuha” (Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan) kembali kepada al-qur’an, karena ayat ini turun sebagai
jawaban terhadap ucapan orang kafir yang mengatakan bahwa al-qur’an adalah rekayasa
Muhammad saw. ayat ini turun dengan sebab khusus, sehingga makna yang sesuai adalah
bahwa ayat yang dibaca oleh Muhammad saw. bukan keluar dari hawa nafsu melainkan
wahyu dari Allah. Oleh karena itu, ayat tersebut hanya khusus umtuk kasus al-qur’an, dan
tidak dapat digeneralisir pada keseluruhan ucapan Nabi saw.

Seandainya kita sepakat ada makna umum, maka ijtihadnya Nabi saw. tidak sama
dengan ijtihadnya orang lain karena ia juga akan berakhir dengan wahyu karena jika baginda
tepat dalam ijtihadnya, pastilah wahyu akan mengakuinya dan jika ia salah maka wahyu akan
selalu mengarahkannya.
Kedua, mayoritas ulama ushul mengatakan boleh bagi Rasulullah saw. untuk
berijtihad dalam setiap urusan, baginda boleh berijtihad dalam semua perkara yang tidak ada
nash-nya.

Nabi Muhammad saw. diperintahkan untuk berijtihad dengan keumuman firman


Allah swt.:“maka carilah pelajaran wahai orang-orang yang berakal”. Artinya, bandingkan
antara kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian yang sudah ada hukumnya, jika
ada kemiripan antara keduanya dalam illat dan ini adalah salah satu bentuk ijtihad.

Nabi Muhammad saw. sangat mengetahui illat-illat (sebab) setiap nash dan hikmah
dari setiap pensyariatan, dan setiap orang yang mengetahui hal ini seharusnya
menerapkannya untuk masalah furu’ yang ada kemiripan alasan, dan pekerjaan ini adalah
menetapkan hukum pada masalah dasar untuk masalah cabang dan inilah yang dinamakan
qiyas dan ini juga adalah ijtihad dan dengan begitu maka boleh bagi baginda Rasulullah saw.
untuk berijtihad.

Fakta juga membuktikan bahwa Rasulullah saw. pernah melakukan ijtihad dalam
banyak kejadian, di antaranya bahwa ada seorang lelaki dari kabilah Ju’tsum datang kepada
baginda dan berkata, “Ayah saya masuk Islam, namun ia sudah sangat tua, tidak bisa menaiki
kendaraan dan melaksanakan haji yang diwajibkan kepadanya, apakah boleh saya
menghajikannya?” Baginda menjawab, “Apakah kamu anaknya yang paling besar?” Ia
menjawab, “Ya.” Baginda menjawab, “Apakah yang akan kamu lakukan jika ayahmu ada
utang, lalu kamu membayarnya apakah itu boleh?” Ia menjawab, “Tentu.” Nabi bersabda,
“Hajikan ayahmu.” Rasulullah saw. disini meng-qiyas-kan haji dengan utang untuk
diwakilkan dalam pelaksanannya.

Ada sejumlah riwayat dari baginda rasulullah saw. yang menjelaskan bahwa beliau
diberi hak memilih dalam beberapa kejadian:

a. Sabda Rasulullah saw: Seandainya tidak terlalu memberatkan umatku, niscaya akan aku
perintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak sholat. Hadis ini menerangkan bahwa
baginda telah meletakkan suatu hukum kepadanya, selain itu hadis ini menjelaskan
seandainya tidak ada masyaqqah (kesusahan) dalam praktik pelaksanaan siwak setiap
jelang shalat pada diri kaum muslimin, pastilah Rasulullah saw. akan memerintahkan
mereka untuk siwak. Disini, Rasulullah saw. urung memerintahakan siwak setiap
sebelum shalat setelah berpikir dan ijtihad dalam permasalahan ini. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa Allah swt. telah memberi Rasulullah saw. ruang untuk memilih
dalam sebagian urusan.
b. Sabda Rasulullah saw: Kalau bukan karena kaummu masih dekat dengan zaman
kekufuran pastilah aku mendirikah ka’bah sesuai dengan bangunan Ibrahim. Hadis ini
menjelaskan bahwa baginda diberi pilihan dalam sebagian urusan, diantaranya dalam
menghadapi masalah yang satu ini.
Dari dalil-dalil dan argumentasi diatas, jelaslah bahwa Rasulullah saw. mungkin saja
melakukan ijtihad, apalagi terdapat banyak riwayat yang mengatakan bahwa beliau pernah
melakukan ijtihad dan Allah mengakui yang benar dan meluruskan yang salah walaupun
baginda juga mendapat celaan terhadap kesalahan ini.
Contoh ijtihad Rasulullah saw. antara lain ketika beliau memberikan izin kepada
orang-orang munafik yang meminta izin untuk tidak turut berpatisipasi dalam Perak Tabuk,
maka turunlah Surah at-Taubah ayat 43 : Semoga Allah memaaflkanmu. Mengapa kamu
memberikan izin kepada mereka, sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar dan
sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?
Selain itu, Nabi saw. juga pernah mengharamkan untuknya sebagian yang dihalalkan
oleh Allah untuk satu kemaslahatan menurutnya, lalu Allah swt. sigap menjauhkan baginda
dari hal tersebut dengan firman Allah swt. dalam surah at-Tahrim ayat 1-2 : Hai Nabi,
mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu, kamu mencari kesenangan
hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Sesungguhnya Allah
telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah
pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dari sini jelaslah bahwa ijtihad Nabi saw. memang telah terjadi dalam perkara yang
tidak nash-nya, dan semua ijtihad ini dikelilingi oleh wahyu dari segala sisi, jika baginda
salah dalam salah satu ijtihadnya maka wahyu tidak akan membiarkannya begitu saja tetapi
akan meluruskannya sebab semua yang dibawa Rasulullah saw. adalah syariat bagi umatnya,
maka perlu ada peringatan dari wahyu terhadap kesalahan tersebut dan menjelaskan yang
benar agar menjadi sebuah syariat yang bisa mereka amalkan.2

2
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Lagalisasi Hukum Islam, cet 3, (Jakarta: AMZAH, 2010) hlm. 48,49,50,51
C. Ijtihad Sahabat Pada Periode Rasulullah SAW
Kitab al-Ma’rikah dicatat beberapa ijtihad sahabat yang dilakukan pada zaman Nabi
Muhammad saw. adalah sebagai berikut:
a. Suatu hari sahabat Nabi saw. berkunjung ke Bani Quraizlhah. Kepada mereka, Nabi
bersabda, “La Yushaliyanna ahadukum al-‘Ashra illa fi Bani Quraizhah” artinya: jangan
sekali-kali kamu melaksanakan shalat Asar kecuali di Bani Quraizhah. Sebelum sampai
ke Bani Quraizah, waktu asar hampir habis. Sebagian sahabat berijtihad dengan
melakukan shalat di perjalanan. Berdasarkan ijtihadnya, perintah tersebut supaya sahabat
melakukan perjalanan secara cepat hingga sampai di Bani Quraizhah sebelum waktu
shalat asar habis. Sebagian sahabat berpegang kepada makna tersurat sabda Nabi saw.
tersebut, sehingga mereka shalat asar di Bani Quraizhah pada malam hari. Menurut Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah, mereka adalah ahl al-zhahir pertama dan ahl al-ma’na pertama
(Mana’ al-Qathan, 1989: 84). Muhammad Salam Madkur (1974: 85) mengatakan, ketika
berita ikhtilaf itu sampai kepada Nabi saw. beliau membenarkan kedua tindakan tersebut.
b. Dua orang sahabat melaksanakan perjalanan. Ketika waktu shalat tiba, mereka tidak
mendapatkan air untuk berwudhu. Keduanya bertayamum kemudian shalat. Setelah
shalat selesai, mereka mendapatkan air. Seorang sahabat berwudhu kemudian shalat
kembali, sedangkan sahabat yang satunya lagib tidak. Kemudian keduanya datang kepada
Rasul saw. dan menceritakan pengalamannnya. Kepada yang tidak berwudhu dan tidak
mengulangi shalat, Nabi saw. bersabda: “Ashabta al-sunnah: engkau mengerjakan
sesuatu dengan sunnah”. Sedangkan kepada sahabat yang berwudhu dan mengulangi
shalat, Nabi saw. bersabda: “Al-ajr Marratain: engkau mendapatkan pahala dua kali.”3

D. Karakteristik Perundang-undangan pada Masa Kerasulan


Karakteristik Perundang-undangan pada Masa Kerasulan sebagai berikut:
a. Sumber perundang-undangan pada zaman ini hanya berasal dari wahyu dengan dua
bagiannya baik yang terbaca, yaitu al-Qur’an, atau yang tidak terbaca, yaitu hadis.

3
H.A. Hasyim Nawawie, Tarikh Tasyri’, (Surabaya: Jenggala Pustaka Utama, 2014), hlm. 54,55
b. Referensi utama untuk mengetahui hukum-hukum syara’ pada zaman ini adalah
Rasulullah saw. sendiri, sebab Allah telah memilihnya untuk menyampaikan risalah,
sebagaimana firman Allah swt. dalam surah al-Maidah ayat 67: “Wahai Rasul,
sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dan Tuhanmu dan jika kamu tdak
melaksanakan maka kamu tidak menyampaikan risalah-Nya dan Allah akan menjagamu
dari (gangguan) manusia.”
Hal ini tidak bertentangan dengan ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat karena
sumbernya adalah Rasulullah, jika mereka benar maka Rasulullah akan mengakuinya
kemudian menjadi sebuah sunnah dan jika salah maka Rasulullah akan meluruskannya
dan koreksian ini pada akhirnya juga menjadi sebuah sunnah. Jadi, semua produk hukum
perundang-undangan yang lahir pada zaman ini dinisbatkan kepada kitab Allah (alqur’an)
dan sunnah Rasulullah saw.
c. Perundang-undangan Islam pada masa ini telah sempurna hukumnya, telah dikukuhkan
kaidah dan dasarnya sesuai dengan firman Allah swt. dalam surah al-Maidah ayat 3 :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan
kepada nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
Ayat ini turun ketika Rasulullah saw. melaksanakan haji wada’ tiga bulan
sebelum Rasulullah saw. wafat dan tidak ada lagi ayat halal haram yang turun setelah itu
seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama.
Baginda Rasulullah saw. juga telah menjelaskan bahwa syariat telah sempurna
dan terhimpun dalam dua sumber, yaitu kitab al-qur’an dan sunnah Rasulullah
berdasarkan hadis dari Rasulullah saw. “Aku tinggalkan bagi kalian jika kalian
berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu kitab
Allah dan sunnah Rasululllah saw.”
d. Kesempurnaan syariat dapat dilihat dari aspek manhaj yang unik dan metode yang
khusus, dimana kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw. memuat beberapa kaidah dan
dasar-dasar yang kokoh dan membuka pintu ijtihad kepada para ulama untuk
mengeksplorasi kembali serta berjalan diatas bahteranya yang memuat produk
perundang-undangan yang elastis dan sesuai untuk segala kondisi dan zaman sehingga
sangat mudah bagi para mujtahid untuk mengembangkan kaidah-kaidah umum tersebut
dan menerapkannya dalam masalah cabang berdasarkan illat hukum yang ada sehingga
tidak ada satu masalah baru muncul kecuali jawabannya ada dalam kitab Allah swt.
e. Fiqh Islam dengan pengertian secara terminologinya belum muncul pada zaman ini sebab
semua sumber hukum dalam setiap permasalahan yang muncul adalah penyampai.
f. Pada masa Rasulullah saw. jika ada yang bertanya tentang hukum sesuatu maka
Rasulullah akan menjawabnya, dan ketika Rasulullah sedang tidak ada di tempat maka
para sahabat akan berijtihad sendiri kemudian mengembalikan keputusannya kepada
Rasulullah untuk ditetapkan atau dibtalkan.
g. Belum terlihat pada zaman ini ada masalah-masalah yang bersifat iftiradhiyah (hipotesis),
semua masalah lahir dari realitas hidup yang perlu dijelaskan hukumnya. Hal ini
dijelaskan baginda Rasulullah dalam salah satu sabdanya, Sesungguhnya Allah telah
menetapkan beberapa kewajiban maka janganlah kalian menyia-nyiakannya, dan
menetapkan beberapa batasan maka janganlah kalian langgar, dan mendiamkan
beberapa perkara sebagai kasih sayang bukan karena lupa maka janganlah kalian
mencari-carinya.
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai