Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MATA KULIAH

STUDI AL-QUR’AN HADITS TEORI  NASIKH MANSUKH


Asumsi Dasar Berbagai Pergeseran Paradigma Polemik Ada Tidaknya Nasikh Mansukh,
Contoh dan Implikasi Dalam Penafsiran Al-Qur’an

Dosen Pengampu
Dr. Muhammad Syaifullah, M.Pd.I

Disusun Oleh :

Zakiyah (211220032)
Nanda Fitriana Lukya (211220025)

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF NAHDLATUL ULAMA ( IAIM NU)
METRO LAMPUNG
2021
A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan wahyu sekaligus risalah yang diturukan Allah kepada Rasul-
Nya untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Terlepas dari berbagai pendapat
tentang validitas dan keontetikan Al-Qur’an terkait sejarah pewahyuan dan kodifikasinya, Al-
Qur’an merupakan mukjizat bagi Rasulullah SAW dalam menyampaikan risalahnya melalui
keindahan susunan bahasanya yang levelnya tidak dapat dijangkau oleh nalar para ahli bahasa
dan sastra dan bahasa arab terhebat pada masa itu.
Selain itu Al-Qur’an merupakan sumber utama agama Islam dengan segala aspeknya.
Menyandang status sebagai sumber utama, Al-Qur’an bersifat baku da universal astinya
keberadaan Al-Quran tetap orisinil sepanjang masa dan tidak mengalami perubahan
sedikitpun. Di sisi lain, Al-Qqur’an selalu up to date terhadap perkembangan zaman yang
ditandai dengan berkembanganya sains dan teknologi.
Denagn universalitas Al-Qur’an, segala bentuk penjelasan, penafsiran hingga
penerjemahan adalah upaya menyingkap tabir makna utuk mendapat petunjuk maupun pesan
yang terkandung didalamnya terkhusus hal-hal yang berhubungan dengan aturan atau hukum
yang mengatur umat mausia baik dalam hubungannya yang bersifat vertikal maupun
horizontal. Untuk mendapatkan petunjuk atau pesan hukum yang terkandung dalam Al-
Qur’an, diperlukan berbagai upaya dan metode untuk menggalinya, slah satunya dengan
konsep Nasikh-Mansukh dalam kajian Al-Qur’an.
B. NASIKH MANSUKH
1. Pengertian Nasikh Mansukh
Secara etimologi, kata “nasikh” merupakan isim fail dari kata nasakha yang
memiliki beberapa makna antara lain menghilangkan (al izati), mengganti (al tabdil),
membatalkan (al ibthal), mengalihkan (al tahwil) dan memindahkan (al naql). Sehingga
kata Nasikh bisa bermakna penghilang, pengganti, pemindah, dan penyalin. Sedangkan
Mansukh yang merupakan bentuk isim maf’ulnya, menghasilkan makna sesuatu yang
dihilangkan, diganti, dibatalkan, dipindah, dan disalin.1

Ayat Al Quran yang menjadi pijakan adanya naskh adalah surat Al Baqarah ayat 106:

1
Mohammad Umar Said, “Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an; teori dan Implikasi dalam Hukum Islam”,
Maghza: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Purwokerto: Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN
Purwokerto, Volume 5, Nomor 2, Januari-Juni, 2020. Hlm. 175

2
‫يئ قَ ِد ْيٌر‬ َّ ‫ت خِب َرْيٍ ِمْن َها اَْو ِمثْلِ َها أَمَل َت ْعلَ ْم أ‬
ٍ ‫َن الَّلهَ علَى ُك ِّل َش‬ ِ ْ‫ما َنْنسخ ِمن اَاي ٍة اَو نُْن ِسها نَأ‬
َ ْ َ ْ َْ َ
Ayat yang kami batalkan atau kami hilangkan dari ingatan, pasti kami ganti dengan
yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu?
Secara terminologi, Ushuliyyun dan Fuqoha mendefinisikan an Naskh dengan arti
“rof’u as syaari’ hukman syar’iyyuan bi dalilin sya’iyyin mutaraakhin ‘anhu” yaitu
pengangkatan (penghapusan) oleh as Syari’ (Allah Swt) terhadap hukum syara’ yang
terbaru. Yang dimaksud dengan pengangkatan hukum syara’ adalah penghapusan
kontinuitas pengamalan hukum tesebut dengan mengamalkan hukum yang ditetapkan
terakhir. 2
Sedangkan makna naskh dalam terminologi syara’, Wahbah Zuhaily dalam ushul
fiqihnya menyampaikan bahwa di kalangan ushuliyyin terdpat 2 pemaknaan terkait
naskh. Pertama, naskh merupakan penjelasan tentang berakhirnya masa berlaku suatu
hukum syar’i dengan adanya metode syar’i yang datangnya belakangan, dengan kata lain
ketetapan hukum yang terdahulu tidak berlaku lagi dengan adanya ketetapan hukum yang
baru. Kedua, naskh merupakan penghapusan sebuah hukum syar’i sebab adanya dalil
syar’i yang muncul setelahnya, atau bisa dikatakan bahwa hukum yang terdahulu sudah
tidak relevan untuk diterapkan.3
Al Zarqani menyatakan bahwa dari sekian banyak perbedaan definisi naskh di
kalangan para ulama, poin utamanya adalah bahwa naskh merupakan penghapusan
hukum syara’ dengan dalil syar’i yang lain. Yang dimaksud dengan terminologi
“penghapusan” dalam definisi tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus
dari seorang mukallaf dan bukan terhapusnya hubungan subtansi hukum itu sendiri. Dari
beberapa pemaparan tentang definisi dari teori naskh, konsep naskh ala Al Zarqani
mungkin yang paling cocok untuk dijadikan pijakan, karena pada intinya proses naskh itu
tak lain sebagai alternatif dalam penetapan hukum yang sudah tidak relevan untuk
diterapkan pada situasi atau kondisi yang lain, serta yang perlu digaris bawahi dalam

2
Abdul Rahman Malik, “Abrogasi dalam Alquran: Studi Nasikh dan Mansukh”, Jurnal Studi Al-Qur’an;
Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Volume 12, Nomor 1 , 2016.
Hlm. 99
3
Mohammad Umar Said, “Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an; teori dan Implikasi dalam Hukum Islam”,
Hlm. 176

3
konsep dasar ini adalah putusnya pemberlakuan hukum atas seorang mukallaf tanpa
menghapus subtansi hukum itu sendiri. Di sisi lain, apa yang disampaikan oleh Az
Zarqani sudah mewakili pemaknaan naskh baik dari kalangan ushuliyyin maupun
mufassirin.4
2. Syarat-syarat Naskh Mansukh
Menurut Manna' al-Qathan, syarat-syarat naskh itu sebagai berikut:5
a. Hukum yang dinaskh itu adalah hukum syar'i.
b. Dalil mengenai terhapusnya hukum itu berupa khithab syara' yang datang sesudah
khithab yang dinaskh hukumnya.
c. Khithab yang dihapuskan hukumnya tidak terikat dengan waktu tertentu. Jika tidak,
maka hukum itu terhenti disebabkan berakhirnya waktu dan ini tidak dianggap sebagai
nask.
Sebagian ulama ada yang memperluas syarat-syarat terjadinya naskh menjadi
beberapa poin yaitu:6
a. Hukum yang terkandung pada nasikh bertentangan dengan hukum pada mansukh.
b. Yang mansukh harus lebih awal dari Nasikh. Walau Al-Qur’an tersusun rabi sejak masa
Nabi SAW dan terpelihara suusnanya, namun bukan berarti bahwa ayat yang diletakkan
pertama adalah yang lebih dahulu turun.
c. Hukum yang di-nasakh mesti hal-hal yang menyangkut dengan perintah, larangan, dan
hukuman.
d. Hukum yang di-nasakh tidak terbatas waktu tertentu, mesti berlaku sepanjang waktu.
e. Hukum yang terkandung dalam mansukh telah ditetapkan sebelum munculnya nasikh.
f. Status nash nasikh mesti sama dengan nash mansukh. Maka nash yang zhanni tidak bisa
menasakh-kan yang qath’i. Tentu tidak sah pula dalil yang besifat ahad untuk me-
nasakh-kan dalil yang mutawatir.
Dari situ diketahui bahwa hanya terjadi pada Amr (perintah) dan Nahyi (larangan),
baik secara shorih (jelas) dalam perintah ataupun dengan lafadz khabar (berita) yang

4
Mohammad Umar Said, “Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an; teori dan Implikasi dalam Hukum Islam”,
Hlm. 176
5
Noor Rohman Fauzan, “Urgensi Nasikh-Mansukh Dalam Legislasi Hukum Islam”, ISTI’DAL; Jurnal
Studi Hukum Islam, Jepara: Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember
2014, hlm. 207
6
Abdul Rahman Malik, “Abrogasi dalam Alquran: Studi Nasikh dan Mansukh”, hlm. 99

4
mengandung makna perintah dan larangandengan syarat tidak berhubungan dengan urusan
akidah yang merujuk kepada dzat dan sifat Allah Swt, kitab-kitab, para rasul, hari akhir,
atau kepada etika berakhlak dan prinsip-prinsip dasar ibadah dan mu’amalah. Karena
keseluruhan syari’at tidak bisa terlepas dari prinsip dasar tersebut dan itu merupakan hal
yang sudah disepakati (muttafaq ‘alaih).7 Karena akidah adalah prinsp dasar yang
seharusnya bersifat mantap di dalam hati, pengubahannya mengakibatkan pengubahan
prinsip sekaligus menggoyahkan keyakinan.8
3. Ruang Lingkup Nasikh Mansukh
Naskh hanya terjadi pada larangan dan perintah, baik yang diungkapkan dengan
tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna
amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan
persoalan akidah, yang berfokus kedapda Zat Allah, sifat-sifat-Nya, para Rasul-Nya dan
hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-
pokok ibadah dan mu’amalah. Hal ini karena semua syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-
pokok tersebut. Sedang dalam masalah pokok (usul) semua syari’at adlah sama. Naskh
juga tidak terjadi dalam berita, khabar, yang jelas-jelas tidak bermakna talab (tuntunan;
perintah atau larangan) seperti janji (al-wa’d) dan ancaman (al wa’id).9
Secara kuantitas, terjadinya nasikh mansukh dalam al Qur’an maupun al-Hadis
merupakan suatu kasus yang jumlahnya tidak banyak. Terdapat perselisihan pendapat di
kalangan ulama’ tentang jumlah ayat al-Qur’an yang nasikh dan mansukh; demikian pula
al-Sunnah. An-Nahas menyatakan bahwa jumlah ayat mansukh ada seratus ayat lebih.
Kemudian menurut al-Suyuthi ayat mansukh sebanyak dua puluh ayat saja. Setelah beliau
berusaha mempersesuaikan sejumlah besar ayat-ayat yang tak dapat disesuaikan oleh
mufassirin yang lain, sementara al-Svaukani bependapat hanya 12 ayat yang mansukh.10
Akhirnya Al- Sayukany dapat memperkecil lagi jumlah ayat-ayat tersebut menjadi 8 ayat
saja. Bahkan, sebagaimana disimpulkan al-Dahlawy yang membatasi ayat-ayat mansukh
hana 5 ayat saja.11

7
Abdul Rahman Malik, “Abrogasi dalam Alquran: Studi Nasikh dan Mansukh”, hlm. 99-100
8
M. Quraish Shihab. Kaidah Tafsir. (Tangerang: Lentera Hati, 2015), hlm. 287
9
Manna Khalil al-Qattan. Studi Ilmu Qur’an. (Bogor: Litera Antar Nusa, 2009), hlm. 328
10
Subaidi, “Historisitas Nasikh Mansukh Dan Problematikanya Dalam Penafsiran Al- Qur’an”,
Hermeunetik, Jepara: UNISNU. Vol. 8, No. 1, Juni 2014, hlm. 61-62
11
Noor Rohman Fauzan, “Urgensi Nasikh-Mansukh Dalam Legislasi Hukum Islam”, hlm. 212

5
4. Pedoman Mengetahui Naskh dan Hikmah Naskh

Untuk mengetahui adanya naskh baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadis dapat
digunakan informasi melalui:

a. Penjelasan al-Qur’an sendiri vang menunjukkan adanya pembatalan (naskh) seperti


dalam al-Qur’an Surat al-Anfal ayat 65 – 66 tentang perilaku ahli Kitab.
b. Sabda Nabi yang menjelaskan adanya pembatalan sebagaimana riwayat Aisyah tentang
adanya ayat al Qur’an tentang sepuluh kali susuan sebagai kadar yang menjadikan
hubungan kemahraman kemudian dihapus dengan ketentuan baru sebanyak lima kali
susuan.
c. Perbuatan Nabi yang menghapuskan sabdanya, yaitu hanya merajam dan tidak mendera
100 kali kepada Maiz yang melakukan zina
d. Ijma’ Shahabat tentang suatu hukum sebagal Nasikh dan yang lain sebagai mansukh
e. Perlawanan dua dalil yang tidak bisa dikompromikan12
Naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan pada ijtihad, pendapat mufasir atau
keadan dalil-dalil yang secara lahir nampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman salah
seorang dari dua perowi.13
Hikmah naskh adalah14 :
a. Memelihara kepentinga hamba
b. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah
dan perkembangan kondisi umat manusia.
c. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal
yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal
yang lebih ringan maka ia mengandudnag kemuadahan dan keringanan.
5. Macam-macam Naskh
Naskh dalam Al-Qur’an ada tiga macam:

12
Subaidi, “Historisitas Nasikh Mansukh Dan Problematikanya Dalam Penafsiran Al- Qur’an”, hlm. 100
13
M. Quraish Shihab. Kaidah Tafsir. Hlm. 330
14
M. Quraish Shihab. Kaidah Tafsir. Hlm. 339

6
1) Naskh hukm wa al-tilawah. Yaitu hilangnya tekh al-Qur’an dan hukumnya. Misalnya
apa yang diriwayatkan oleh Muslim dan yang lain, dari Aisyah, ia berkata:
“Diantara yang diturunkan kepada Nabi adalah sepuluh kali isapan susuan yang
diketahui diharamkan. Kemudian ketentuan ini di nasikh oleh “lima isapan susuan
yang maklum”. Maka setelah Nabi wafat, lima susunan ini termasuk ayat al-Qur‟an
yang di baca”.
Kata-kata Aisyah, “lima susuan ini termasuk ayat Al-Quran yang dibaca”, pada
tilawah-nya menunjukkan bahwa lahirnya masih tetap. Tetapi tidak demikian halnya,
karena ia tidak terdapat dalam mushaf Usmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa
yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika bealiau menjelang
wafat. Bahkan sejumlah riwayat mengatakan bahwa surat al-Ahzab/33, yang didalam
mushaf Usmani hanya 73 ayat, dikabarkan pada mulanya memiliki sekitar 200 ayat
atau sepanjang surat al-Baqarah/2. begitu juga surat al-Taubah/9 dan surat al-
bayyinah/98, dikabarkan pada awalnya memiliki jumlah ayat yang lebih banyak dari
mushaf Usmani. Yang lebih fantastik adalah ungkapan al-Thabrani bahwa Umar ibn
Khattab pernah mengatakan kalau al-Qur‟an itu terdiri dari 1.027.000 kata atau ayat. 15
Akan tetapi jenis Nasikh seperti ini sangat sulit untuk diterima, baik secara aqli
maupu naqli. Kalaulah kita mau menerima Nasikh jenis ini, maka kita akan
berhadapan dengan persolan utama ; Pertama, bagaimana dengan pernyataan al-
Qur‟an bahwa “sesungguhnya telah kami turunkan al-Qur‟an, dan sesungguhnya
Kami niscaya akan memeliharanya?” Kedua, berita mengenai riwayah-riwayah diatas,
adalah berdasarkan riwayah yang masih kondusif untuk kemungkinan adanya kritik
sanad dan matan. Dan Ketiga, jika diasumsikan bahwa tilawah dan hukum-nya sudah
mansukh, maka kita pada dasarnya tidak memiliki kepentingan praktis untuk
mengamalkannya.
2) Nasikh al-Tilawah Dun al-Hukm, tulisan dihapus tetapi hukumnya tetap ada. Dalam
hal ini juga ayatnya tidak tercantum dalam mushaf. Seperti ketentuan hukuman rajam
bagi pelaku zina mukhsan (yang berkeluarga)16

15
Abu Bakar, Kontraversi Nasikh Dan Mansukh Dalam Al-Qur’an, Jurnal Madania, Volume 6, Nomor 1,
2016. Hlm. 57
16
Subaidi, “Historisitas Nasikh Mansukh Dan Problematikanya Dalam Penafsiran Al- Qur’an”, hlm. 65

7
3) Naskh al-Hukm Dun al-Tilawah, hukumnya dihapus, tetapi tulisannya tidak sehingga
masih tercantum dalam mushaf. Seperti ketentuan tentang iddah (masa tunggu)
perempuan yang ditinggal mati suaminya dahulunya selama 1 (satu) tahun (QS. al-
Baqarah:240) diganti menjadi 4 (empat) bulan sepuluh hari (al-Baqarah: 234)
6. Pembagian Naskh
Secara umum terdapat 4 (empat) pola nasikh - mansukh vaitu:17
1) Al-Qur’an di naskh oleh al-Qur’an, ini disepakati oleh semua ulama’ . Beberapa
contoh misalnya:
a) QS. a1-Baqarah : 115 tentang kebolehan menghadap ke arah mana saja dalam
shalat di naskh oleh QS. al-Baqarah :l44 yang menegaskan tentang ketentuan
menghadap Ka’bah (Qiblat) dalam shalat.
b) QS. al-Baqarah : 217 ketidakbolehan berperang pada bulan-bulan tertentu
(Muharram, Rajab, Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah) di naskh oleh QS. a1-Taubah :36
tentang kebolehan memerangi orang Musyrik yang mengadakan peperangan di
bulan tersebut.
2) Al-Qur’an dinaskh dengan Sunnah, jenis ini ada dua model yaitu pertama, al-Qur’an
dinaskh oleh hadis ahad yang dalam hal ini jumhur ulama menolak. Kedua, al-Qur’an
di naskh oleh hadis mutawatir, dalam hal ini Imam Syaf’ai menolak, tetapi Imam
Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam suatu riwayat menerima Nasikh
al-Sunnah, Mansukh al-Qur’an, seperti ,
1) QS al-Nur:2 tentang hukuman dera bagi pezina di naskh dengan hadis Nabi SAW
tentang rajam bagi pezina muhsan.
2) QS. aI-Baqarah: 180 tentang wasiyat bagi kerabat dan karib secara baik di naskh
dengan hadis Nabi SAW
3) Al-Sunnah dinaskh oleh al-Qur’an, dalam hal ini jumhur ulama’ menerima dan
sepakat. Seperti,
a) Menghadap kiblat ke baitul maqdis yang ditetap al-Sunnah di naskh dengan QS.
al-Baqarah : l44
b) Kewajiban puasa hari Asyura menurut al-Sunnah, di naskh QS. al-Baqarah :185

17
Subaidi, “Historisitas Nasikh Mansukh Dan Problematikanya Dalam Penafsiran Al- Qur’an”, hlm. 63-64

8
4) Al-Sunnah di naskh oleh al-Sunnah, yang dalam hal ini ada 4 model : pertama, hadis
mutawatir dinaskh oleh hadis mutawatir, kedua, hadis ahad dinaskh oleh hadis ahad,
ketiga, hadis ahad dinaskh dengan hadis mutawatir dan keempat hadis mutawatir
dinaskh dengan hadis ahad. Contoh sabda Nabi yang diriwayatkan Ibnu Majah tentang
Ziarah kubur yang dulunya dilarang kemudian diperbolehkan. Pola pertama, kedua
dan ketiga diterima oleh jumhur ulama’ sedang pola terahir ditolak oleh jumhur.
C. POLEMIK ADA TIDAKNYA NASIKH MANSUKH
Pada garis besarnya, para Ulama’ dalam menyikapi problem nasikh - mansukh ada dua
golongan, yakni golongan yang menerima adanya nasikh - mansukh. dengan berbagai
variannya. dan golongan ulama’ yang menolak adanya nasikh - mansukh dengan berbagai
argumentasinya.
2. Jumhur ulama. Mereka berpendapat naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan
telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’. 18 Beberapa ulama’ yang menerima adanya
nasikh - mansukh adalah : al- Syafi’i (w. 204 H.), al-Nahas (w. 388 H.), al-Suyuthi (w. 911
H.) dan al-Syaukani (w.1280 H).19 Ibn Katsir menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi kita
untuk menafikan Nasikh-Mansukh, karena ia menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan
melakukan apa saja sesuai dengan keinginan-Nya. Hal ini, pula ditegaskan oleh Quraish
Shihab, bahwa Allah tidak menasakh dalam arti membatalkan suatu hukum yang
dikandung oleh satu ayat, kecuali Allah akan mendatangkan ayat lain yang mengandung
hukum lain yang lebih baik atau serupa.20
Para ulama’ yang menerima adanya nasikh - mansukh dalam Islam mempunyai
argumentasi rasioal maupun nash (naqli). Diantaranya yang bersifat rasional adalah:21
a. Kehendak Allah SWT bersifat mutlak, absolut, sehingga Allah SWT bebas menyuruh
hambanya untuk melakukan sesuatu atau melarangnya. Demikian juga Allah SWT
bebas menetapkan sebagian hukum-hukumNya atau menghapus (menasakh), karena
Allah SWT Maha Tahu kemaslahatan terhadap hamba-Nya dibalik pembatalan tersebut.

18
Manna Khalil al-Qattan. Studi Ilmu Qur’an. Hlm. 333
19
Subaidi, “Historisitas Nasikh Mansukh Dan Problematikanya Dalam Penafsiran Al- Qur’an”, hlm. 65
20
Abu Bakar, Kontraversi Nasikh Dan Mansukh Dalam Al-Qur’an, hlm. 59-60
21
Subaidi, “Historisitas Nasikh Mansukh Dan Problematikanya Dalam Penafsiran Al- Qur’an”, hlm. 67

9
b. Syariat Islam ternyata memerintahkan sesuatu perbuatan yang dibatasi dengan waktu
tertentu, seperti puasa Ramadlan, sehingga dengan datangnya bulan syawal berarti
perintah puasa terhapus
c. Risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW diperuntukkan kepada umat manusia
secara keseluruhan (kafah). Sedang sebelumnya telah ada syariat para Rasul yang
terdahulu. Dengan datangnya Islam syariat agama terdahulu terhapus (mansukh).
Logikanya, jika tidak ada naskh terhadap hukum syariat, berarti hukum syariat agama
yang terdahulu masih berlaku. Jika demikian berarti risalah Islamiyah tidak kafah
d. Tidak ada dalil naqli (Nash) yang jelas melarang. Oleh sebab itu logis dimungkinkannya
adanya nasakh dan mansukh.
Adapun argumentasi yang bersifat naqli antara lain ialah :
a. Syari’at para Rasul terdahulu di-naskh dengan syariat Rasul yang kemudian, seperti
dibolehkannya nikah dengan saudara sekandung pada syariat Nabi Adam AS, kemudian
di-naskh oleh syariat sesudahnya baik Yahudi, Nasrani maupun Islam. Syariat Nabi
Ya’qub membolehkan mengawini dua wanita bersaudara sekaligus, kemudian dinaskh
pada syariat Nabi Musa AS, dan lain sebagainya
b. Beberapa ayat al-Qur’an menunjukkan secara eksplisit tentang absahnya naskh dalam
Islam seperti : QS. Al Baqarah :106, QS. al-Nahl: 101, QS. al-Ra’d : 39, QS. al-Nisa’ :
160
c. Kesepakatan ulama salaf tentang adanya nasikh – mansukh
d. Bukti riil (nyata) dalam al-Qur’an dan al-Sunnah banyak terdapat nasikh - mansukh.
3. Sedang ulama yang menolak adanya nasikh - mansukh adalah Abu Muslim al-Isfahani (w.
322 H.), al-Fahrur Rozi (w. 606 H.), Muhammad Abduh (w. 1325) H, Rasyid Ridho (w.
1354 H.) dan Taufiq Sidqi (w. 1298 H).22
Mengenai argumentasi ulama’ yang menolak adanya nasikh - mansukh dalam al-
Qur’an dan al-Sunnah dapat diringkaskan sebagai berikut:23
a. Berdasarkan pertimbangan rasio, yakni :
1) Syariah adalah bersifat kekal abadi sampai hari qiyamat, hal ini menghendaki
hukumnya herlaku sepanjang masa, tidak ada yang di nasakhkan

22
Subaidi, “Historisitas Nasikh Mansukh Dan Problematikanya Dalam Penafsiran Al- Qur’an”, hlm. 66
23
Subaidi, “Historisitas Nasikh Mansukh Dan Problematikanya Dalam Penafsiran Al- Qur’an”, hlm. 67-68

10
2) Kebanyakan bentuk hukum dalam al-Qur’an bersifat kulli dan ijmal (global), bukan
juz’i (parsial) dan tafsil (terperinci). Hal ini agar supaya bisa fleksibel, sehingga tidak
perlu naskh
3) Tidak ada ayat al-Qur’an maupun al-Sunnah yang jelas tentang adanya naskh
4) Pendapat ulama’ tidak sama tentang jumlah ayat-ayat yang mansukh
5) Ayat-ayat yang kelihatannya berlawanan ternyata dapat dikompromikan, baik dengan
teknik `am dan takhsis maupun ijmal dan tafshil
6) Tidak ada hikmah yang didapat dari ffenomena naskh
b. Berdasarkan argumen naqli yang dikemukakan oleh ulama’ yang menolak nasikh dan
mansukh ialah :
1) Pernyataan QS. Fushshilat: 42 bahwa Dalam al-Qur’an tidak ditemukan adanya
kebatilan, padahal hukum Tuhan yang dibatalkan adalah kebatilan.
2) Redaksi dalam kitab Taurat Nabi Musa AS
3) Redaksi dalam Sabda Nabi Isa AS
4) Penafsiran Surat al-Baqarah:106 bahwa Allah tidak mengganti ayat atau membuat
manusia lupa tentang ayat kecuali Allah menggantikan yang lebih baik. Kelompok
ini memahami bahwa kata “ayat” disitu diartikan “mu’jizat” atau ayat pada kitab
sebelum al-Qur’an yang di-naskh oleh alQur’an
D. IMPLIKASI DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Pertama, konsep naskh yang digagas oleh Quraish Shihab adalah laisa li al abad (tidak untuk
selamanya), maksudnya dalam menetapkan ayat-ayat yang nāsikh dan mansūkh beliau tidak
menetapkan ayat ini nāsikh dan ayat itu mansūkh selamanya, melainkan menyesuaikan
dengan kondisi yang terjadi saat itu. Hal ini karena beliau menganggap bahwa tidak ada ayat
al-Qur‟an yang disfungsi. Dengan demikian, dalam menafsirkan ayat-ayat yang terlihat
bertentangan, beliau mengompromikan ayat-ayat tersebut sehingga tidak lagi terlihat adanya
pertentangan antar ayat.24
Jika konsep naskh yang digagas Quraish Shihab digunakan oleh umat muslim saat ini
sangatlah relevan dan sangat baik. Hal ini terlihat dari konsep naskh-nya yang matang dan
tidak kaku dengan mengambil banyak pertimbangan dari referensi-referensi ulama terdahulu

24
Neng Rahmila Muslimah, Implikasi Naskh Dalam Penafsiran Al Qur’an: Melacak Komparatif Pemikiran
Quraish Shihab Dan Abdullah Ahmad An-Naim, Jurnal al-Fath, Banten: Universitas Islam Negeri Sultan Maulana
Hasanuddin Banten. Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2021. Hlm.54

11
maupun masa kini. Walaupun ada sedikit inkonsisten dalam menggunakan konsep naskh yang
dibangunnya tetapi tujuan beliau terlihat relevan dengan apa yang dimaksud oleh al-Qur‟an
sendiri.
Kedua, Abdullah Ahmad an-Naim, sebagaimana konsep naskh yang digagas Quraish
Shihab, konsep naskh an-Naim juga terlihat laisa li al-abad (tidak untuk selamanya). Hal ini
terlihat dari pendapatnya yang menganggap naskh berarti penangguhan, yaitu untuk
menangguhkan pengaplikasian ayat-ayat makiyyah dan memberlakukannya kembali pada
zaman ini karena perbedaan kondisi zaman dan objek sasarannya.25
Jika dibandingkan dengan konsep naskh an Naim, konsep naskh ulama mutaqaddimīn
lebih baik secara metodologi, sebagaimana yang disebutkan pada poin-poin sebelumnya.
Konsep naskh an Naim terlihat mentah, dangkal dan prematur. Hal ini terlihat dari
pernyataannya yang mengatakan bahwa ayat-ayat makiyyah merupakan ayat-ayat universal
legetarian-demokrakik,sedangkan ayat-ayat madaniyyah merupakan ayat-ayat sektarian-
deskriminatif. Hal ini tentu tidak ada dasarnya sama sekali dan menunjukkan ketergesa-
gesaan atau pemaksaan dalam mengambil kesimpulan.26
Adapun implikasinya terhadap penafsiran al-Qur‟an, konsep naskh yang digagas
Quraish Shihab jika digunakan oleh umat muslim saat ini sangatlah relevan dan sangat baik.
Hal ini terlihat dari konsep naskh-nya yang matang dan tidak kaku karena beliau berusaha
menghilangkan ta’arudh antar ayat dengan memberikan alasan - alasan yang logis yang bisa
diterima oleh akal. Sementara konsep naskh an-Naim terlihat mentah, kaku, dan prematur.
Hal ini terlihat dari pernyataannya yang mengatakan bahwa ayat-ayat makiyyah merupakan
ayat-ayat universal-legetarian demokrakik, sedangkan ayat-ayat madaniyyah merupakan ayat-
ayat sectarian-deskriminatif

25
Neng Rahmila Muslimah, Implikasi Naskh Dalam Penafsiran Al Qur’an: Melacak Komparatif Pemikiran
Quraish Shihab Dan Abdullah Ahmad An-Naim. Hlm. 55
26
Neng Rahmila Muslimah, Implikasi Naskh Dalam Penafsiran Al Qur’an: Melacak Komparatif Pemikiran
Quraish Shihab Dan Abdullah Ahmad An-Naim. Hlm. 55

12
E. KESIMPULAN
Menurut Al Zarqani bahwa dari sekian banyak perbedaan definisi naskh di kalangan
para ulama, poin utamanya adalah bahwa naskh merupakan penghapusan hukum syara’
dengan dalil syar’i yang lain. Terdapat dua golongan yang menyikapi nasikh mansukh yakni
golongan yang menerima adanya nasikh - mansukh. dengan berbagai variannya. dan golongan
ulama’ yang menolak adanya nasikh - mansukh dengan berbagai argumentasinya. Beberapa
ulama’ yang menerima adanya nasikh - mansukh adalah : al- Syafi’i (w. 204 H.), al-Nahas (w.
388 H.), al-Suyuthi (w. 911 H.) dan al-Syaukani (w.1280 H). Sedang ulama yang menolak
adanya nasikh - mansukh adalah Abu Muslim al-Isfahani (w. 322 H.), al-Fahrur Rozi (w. 606
H.), Muhammad Abduh (w. 1325) H, Rasyid Ridho (w. 1354 H.) dan Taufiq Sidqi (w. 1298
H)
Adapun implikasinya terhadap penafsiran al-Qur‟an, konsep naskh yang digagas
Quraish Shihab jika digunakan oleh umat muslim saat ini sangatlah relevan dan sangat baik.
Hal ini terlihat dari konsep naskh-nya yang matang dan tidak kaku karena beliau berusaha
menghilangkan ta’arudh antar ayat dengan memberikan alasan - alasan yang logis yang bisa
diterima oleh akal. Sementara konsep naskh an-Naim terlihat mentah, kaku, dan prematur.
Hal ini terlihat dari pernyataannya yang mengatakan bahwa ayat-ayat makiyyah merupakan
ayat-ayat universal-legetarian demokrakik, sedangkan ayat-ayat madaniyyah merupakan ayat-
ayat sectarian-deskriminatif

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan. Manna Khalil., Studi Ilmu Qur’an. Bogor: Litera Antar Nusa. 2009
Bakar, Abu., Kontraversi Nasikh Dan Mansukh Dalam Al-Qur’an, Jurnal Madania, Volume 6, Nomor 1,
2016
Fauzan, Noor Rohman., “Urgensi Nasikh-Mansukh Dalam Legislasi Hukum Islam”, ISTI’DAL; Jurnal
Studi Hukum Islam, Jepara: Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara, Vol. 1, No.
2, Juli-Desember 2014
Malik, Abdul Rahman., “Abrogasi dalam Alquran: Studi Nasikh dan Mansukh”, Jurnal Studi Al-Qur’an;
Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Volume
12, Nomor 1 , 2016.
Muslimah, Neng Rahmila., Implikasi Naskh Dalam Penafsiran Al Qur’an: Melacak Komparatif
Pemikiran Quraish Shihab Dan Abdullah Ahmad An-Naim, Jurnal al-Fath, Banten: Universitas
Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2021.
Said, Mohammad Umar., “Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an; teori dan Implikasi dalam Hukum Islam”,
Maghza: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Purwokerto: Fakultas Ushuluddin Adab dan
Humaniora IAIN Purwokerto, Volume 5, Nomor 2, Januari-Juni, 2020
Shihab, M. Quraish., Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati. 2015
Subaidi, “Historisitas Nasikh Mansukh Dan Problematikanya Dalam Penafsiran Al- Qur’an”,
Hermeunetik, Jepara: UNISNU. Vol. 8, No. 1, Juni 2014

14

Anda mungkin juga menyukai