Anda di halaman 1dari 22

Ikhsan Intizam

KONSEP NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QURAN


SEBAGAI KAIDAH PENETAPAN HUKUM ISLAM

Ikhsan Intizam
STIT Muh. Kendal  ikhsan.intizam@gmail.com

Abstrak: Kajian atas fenomena penetapan hukum Islam tidak


terlepas dari kaidah nasikh dan mansukh. Pembahasan tentang
nasikh dan mansukh merupakan pembahasan yang sangat vital
bagi seorang mufassir untuk menghindari kekeliruan dan kesalahan
dalam menangkap maksud al-Quran. Tujuan pembahasan ini
adalah untuk mengetahui konsep nasikh dan mansukh dalam al-
Quran dalam penetapan hukum Islam. Metode pengumpulan data
menggunakan dokumentasi dari buku fikih dan kitab tafsir terkait
tema nasikh dan mansukh. Analisis data menggunakan analisis isi
dan analisis komparasi. Meskipun terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama mufassirin tentang ada tidaknya nasakh dalam al-
Quran, namun perlu digaris bawahi bahwa pada umumnya ulama
ittifaq tentang terjadinya naskh dalam al-Quran. Penetapan suatu
hukum, bukan berarti sudah menjadi suatu keputusan akhir, bisa
saja keputusan itu berubah seiring dengan perkembangan dan
perubahan sejarah.

Kata Kunci; Nasikh Mansukh; Penetapan Hukum Islam dalam al-


Quran.

Pendahuluan
Al-Quran merupakan sumber pertama dan otoritas utama hukum Islam,
sehingga diyakini oleh setiap Muslim bersifat abadi dan universal. Abadi
berarti terus berlaku sampai akhir zaman. Sedangkan universal berarti
syariatnya berlaku untuk seluruh dunia tanpa memandang perbedaan etnis
dan geografis. Hanya saja, dalam menjabarkan arti abadi dan universal itu
menjadi bahan diskusi para ulama karena adanya perbedaan masalah yang
menjadi penekanannya. Perbedaan pandangan adalah rahmat, yang menurut
Imam Taufiq, menunjukkan beragamnya cara pandang manusia sebagai
makhluk yang berakal, mampu memahami simbul, intelek, berilmu
pengetahuan dan normatif.1


Penulis adalah dosen tetap dan Ketua STIT Muhammadiyah Kendal.
1 Imam Taufiq. Maqamat dan Ahwal, Tinjauan Metodologis, dalam Tasawuf
dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 135

20 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Konsep Nasikh dan Mansukh dalam al-Quran
sebagai Kaidah Penetapan Hukum Islam

Pengetahuan seseorang tentang nasikh dan mansukh merupakan asas


utama dalam memahami Islam, sebagaimana ucapan Ali ibn. Abi Thalib dan
Ibnu Abbas, r.a. ketika menafsirkan kata “al-hikmah” dalam al-Quran surat al-
Baqarah ayat 269 dengan pengetahuan nasikh mansukh, muhkam dan
mutasyabihah-nya.2

             

    

“Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang


Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan
Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi
karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang
dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).

Di antara masalah rumit yang sudah lama menjadi bahan perbincangan


para ulama mufassirin adalah masalah nasikh dan mansukh. Pertanyaan
pokoknya adalah apakah ada nasikh dan mansukh dalam al-Quran ?
Nasikh dan mansukh sebagai issu sentral kajian makalah ini dikaji
dengan seksama. Metode pengumpulan data menggunakan dokumentasi dari
buku fikih dan kitab tafsir terkait tema nasikh dan mansukh. Analisis data
menggunakan analisis isi dan analisis komparasi.

Nasikh Mansukh dalam Wacana


1. Pengertian Nasikh Mansukh
Quraish Shihab, melalui penelitiannya menemukan kata nasakh di
dalam al-Quran dalam berbagai bentuk sebanyak empat kali, yaitu : Q.S. al-
Baqarah: 106, al-A`raf: 154, al-Hajj: 52, dan al-Jatsiyah: 29.3
Pengertian nasikh secara etimologis memiliki beberapa pengertian,
yaitu: penghapusan/pembatalan (al-izalah atau al-ibthal), pemindahan (al-
naql), pengubahan/penggantian (al-ibdal), dan pengalihan (al-tahwil atau al-
intiqal).4 Berkaitan dengan pengertian tersebut, maka nasikh (isim fa`il)

2 Sebagain ulama memaknai muhkam sebagai ayat yang menaskh sedang


mutasyabihah sebagai ayat yang mansukh. Lihat Imam Taufiq, Metode Ta`wil Al
Quran, (Semarang: Makalah, 1998), hlm. 2.
3 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 143.


4 Muhammad Abd al-`Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fî Ulum al-Qur`an,

(Kairo: `Isa al-Babi al-Halabi, 1957), hlm. 175. Lihat pula Jalal al-Din al-Suyuthi, al-
Itqan fî Ulum al-Qur`an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), hlm. 200. Lihat pula Supiana dan

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 21
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Ikhsan Intizam

diartikan sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan


memalingkan. Sedangkan mansukh (isim maful) adalah sesuatu yang
dibatalkan, dihapus, dipindahkan, diganti, dan dipalingkan
Terdapat perbedaan pendapat antara ulama mutaqaddimin dan
mutaakhirin dalam mendefinisikan nasakh secara terminologis. Perbedaan
pendapat tersebut bersumber pada banyaknya pengertian nasakh secara
etimologi sebagaimana dijelaskan di atas. Cakupan makna yang ditetapkan
ulama mutaqoddimin di antaranya: 1) Pembatalan hukum yang ditetapkan
sebelumnya dengan hukum yang ditetapkan kemudian; 2) Pengecualian atau
pengkhususan hukum bersifat `am atau umum oleh hukum yang lebih khusus
yang datang setelahnya; 3) Bayan atau penjelasan yang datang kemudian
terhadap hukum yang bersifat samar; 4) Penetapan syarat terhadap hukum
terdahulu yang belum bersyarat.5
Berdasarkan paparan di atas, ulama mutaqaddimin secara terminologis
mengusung makna nasakh secara luas, yaitu tidak terbatas pada berakhir atau
terhapusnya suatu hukum baru yang ditetapkan. Namun interprestasi nasakh
yang diusung oleh mereka juga menyangkut yang bersifat pembatasan,
pengkhususan, bahkan pengecualian.
Sementara menurut ulama mutaakhirin, nasakh adalah dalil yang datang
kemudian, berfungsi untuk menggugurkan dan menghilangkan hukum yang
pertama.6 Dengan demikian mereka mempersempit ruang lingkup nasakh
dengan beberapa syarat, baik yang menasakh maupun yang dinasakh. Lebih
lanjut ulama mutaakhirin mendefinisikan nasakh sebagai berikut :
ِ ِ ِ َ‫رفْع اْحلكْم الشَّر ِع ِي ِِِبط‬
ُ‫اب َش ْرع ِي ُمتَ َراحبًا َعْنه‬ ْ ُ ُ َُ
“Mengangkat (menghapus) hukum syara` dengan dalil hukum (khatab)
syara` yang datang kemudian”.7

Berdasarkan atas dasar ayat tersebut, dalil yang datang kemudian


disebut nasakh (yang menghapus). Sedangkan hukum yang pertama disebut
mansukh (yang terhapus). Sementara itu, penghapusan hukumnya disebut

M. Karman, Ulumul al-Quran dan Pengenalan Metode Tafsir, (Bandung: Pustaka


Islamika, 2002), hlm. 149.
5 Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Semarang: RaSail Media

Group, 2002), hlm. 108.


6 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 143.


7 Abi Bakar Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Hamdzani, Al-`Itibar fî al-

Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar, (Pakistan: Jami`ah al-Dirasat al-Islamiyyah


Karatisyi 1982), hlm. 52. Lihat juga Muhammad Wafa`, Ahkam al-Naskh fî al-Syari`ah
al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Thabi`ah al-Muhammadiyyah, 1984), hlm. 22-26

22 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Konsep Nasikh dan Mansukh dalam al-Quran
sebagai Kaidah Penetapan Hukum Islam

nasakh.8 Berdasarkan pengertian yang dikemukakan para ahli itu, para ulama
mutaakhirin lebih mempersempit makna nasakh dengan mendefinisikannya
sebagai amandemen sebuah ketentuan hukum atau berakhirnya masa
berlakunya ketentuan hukum oleh hukum yang datang kemudian, sehingga
hukum yang terdahulu tidak berlaku lagi.
Sementara itu, menurut az-Zarqani, sebagaimana dinukil Moh. Nur
Ichwan, yang dimaksud dengan terminologi “menghapuskan” dalam definisi
tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang
mukallaf dan bukan terhapusnya subtansi hukum itu sendiri.9 Dalam arti
bahwa semua ayat al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada
hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu karena kondisi
yang berbeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya
tetap berlaku bagi orang lain yang sama dengan kondisinya dengan mereka.

2. Syarat-syarat Nasikh Mansukh


Masalah yang penting disoroti adalah sejauh manakah jangkauan
nasakh itu ? Apakah semua ketentuan hukum di dalam syariat ada
kemungkinan terjangkau nasakh ? Dalam menjawab hal ini, Abu Anwar
memberikan batasan beberapa syarat yang diperlukan dalam nasakh, yaitu :
a. Hukum yang mansukh adalah hukum syara`. Nasakh hanya terjadi pada
perintah dan larangan. Nasakh tidak terdapat dalam akhlak, ibadah,
akidah, dan juga janji dan ancaman Allah.
b. Dalil yang dipergunakan untuk penghapusan hukum tersebut adalah kitab
syar`i yang datang kemudian.
c. Dalil yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi oleh waktu
tertentu. Sebab, jika demikian hukum akan berakhir dengan waktu
tersebut.10
Konsep ini seperti ditegaskan pada firman Allah dalam al-Quran surat
al-Baqarah ayat 109 :
11
 …       …
Ayat tersebut tidak mansukh sebab dikaitkan dengan batas waktu,
sedangkan nasakh tidak dikaitkan dengan batas waktu. Dengan

8 Kahar Mansykur, Pokok-pokok Ulumul Qur`an, (Jakarta: Rineka Cipta,


2002), hlm. 135
9 Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Semarang: RaSail Media

Group, 2002), hlm. 108.


10 Abu Anwar, Ulumul Quran, Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Amzah, 2009),

hlm. 52.
11 Artinya: “…maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah
mendatangkan perintahNya…”.

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 23
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Ikhsan Intizam

memperhatikan syarat di atas, maka jelas bahwa nasakh tidak bisa ditetapkan
sembarangan dan harus mematuhi syarat yang ada. Kecuali dalam berita,
tidak terjadi nasikh mansukh, karena mustahil Allah berdusta. Kemudian dua
dalil yang nampak kontradiksi itu datangnya tidak bersamaan, nasakh datang
lebih akhir daripada mansukh. Pada hakikatnya, nasakh adalah untuk
mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang ada sebelumnya, yang
mana ketentuan tersebut tidak dibatasi oleh waktu.
Quraish Shihab, menambahkan lagi syarat nasakh, bahwa nasakh baru
dilakukan bila : 1) Terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang,
serta tidak dapat lagi dikompromikan; 2) Harus diketahui secara meyakinkan
urutan turunnya ayat-ayat tersebut. Yang lebih dahulu dikatakan mansukh,
dan yang datang kemudian disebut nasakh.12
Beberapa penjelasan mengenai pengertian dan syarat nasakh di atas,
dapat disimpulkan nasakh mempunyai empat rukun yaitu : 1) Nasakh, yaitu
proses revisi atau penggantian hukum; 2) Nasakh, yaitu hukum pengganti,
dalam hal ini Allah SWT, yang berhak secara mutlak untuk merevisi atau
mengganti hukum tersebut; 3) Mansukh, yaitu hukum yang direvisi; dan 4)
Mansukh `anhu, yaitu orang yang dikenai hukum atau mukallaf.13

Pro Kontra Nasikh Mansukh


Konsep nasikh mansukh dalam al-Quran menimbulkan polemik para
ulama. Adapun sumber perbedaan itu berawal dari pemahaman ulama tafsir
tentang al-Quran surat an-Nisa ayat 82.14
15
              

Ayat tersebut mengandung prinsip yang diyakini keberadaanya oleh


setiap muslim, namun sebagian yang lain ada yang berpendapat bahwa dalam
menghadapi ayat-ayat al-Quran yang secara dhahir menunjukkan akan
kontradiksinya.
Menurut Yusuf Qardhawi, setidaknya ada tiga kecenderungan dalam
masalah nasakh, yaitu : 1) Ada yang meluaskan diri dalam mengklaim adanya
nasakh dalam al-Quran dan berpendapat bahwa sekian dalam surat sekian

12 Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Semarang: RaSail Media


Group, 2002), hlm. 146.
13 Ishom Elsaha dan Saiful Hadi, Sketsa al-Quran: Tempat, Tokoh, Nama dan

Istilah dalam al-Quran, (Jakarta: Lista Fariska, 2005), hlm. 555.


14 Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Team Pustaka Firdaus,

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 369


15 Artinya: “Maka Apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran? kalau

kiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan
yang banyak di dalamnya”.

24 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Konsep Nasikh dan Mansukh dalam al-Quran
sebagai Kaidah Penetapan Hukum Islam

dinasakh, sementara tidak ada dalil yang kuat terhadap pe-nasakhan itu; 2)
Sebagai antithesis dari mereka, ada yang mengingkari sama sekali adanya
nasakh dalam al-Quran; dan 3) Ada pendapat pertengahan yang mengakui
adanya nasakh, jika dalil yang sahih dan jelas, yang meyakinkan akal dan
menenangkan hati.16 Berikut adalah pendapat dari golongan yang menerima
dan menolak nasakh mansukh.

Nasakh Mansukh dalam Perspektif Pendukungnya


Salah satu ayat yang menjadi basis pembangunan teori nasakh adalah
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 106:
                   
17

Ayat 106 dalam al-Quran surat al-Baqarah tersebut dijadikan dasar naqli
bagi mayoritas ulama yang mendukung adanya nasakh dalam al-Quran.
Mayoritas ulama tanpa keraguan menetapkan ayat-ayat yang termasuk
nasakh dan mansukh tetap berlaku, akan tetapi segi hukum yang berlaku
menyeluruh sampai waktu tertentu tidak dapat dibatalkan kecuali oleh
syara`. Jadi menurut pandangan beberapa tokoh pendidikan di atas, nasikh
mansukh bisa diterima oleh akal dan telah terjadi dalam hukum syara` sesuai
dalil di atas.
Selain dalil naqli di atas, jumhur ulama pendukung nasakh juga
mendasarkan dalil naqli. Mereka berpandangan perbuatan Allah SWT. itu
adalah mutlak, tidak tergantung kepada alasan dan tujuan. Ia boleh saja
memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang
lain. Ini karena, Allah SWT. lebih mengetahui kepentingan hambanya.18
Pendapat lain yang mendasari mayoritas ulama tentang teori nasakh adalah
penetapan perintah-perintah tertentu kepada kaum muslimin di dalam al-
Quran yang menurut Rosihan Anwar, ada yang bersifat sementara dan ketika
keadaan berubah perintah tersebut dihapus dan diganti dengan perintah baru
lainnya. Namun, karena perintah-perintah itu kalam Allah, harus dibaca
sebagai bagian dari al-Quran.19

Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Quran, (Jakarta: Gama Insani Press,


16

1999), hlm. 467.


17 Artinya: “Ayat mana saja yang kami nasakhakan, atau kami jadikan manusia

lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya, atau sebanding
dengannya, tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu ”.
18 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Quran, penerjemah Mudzakir,

(Yogyakarta: Pustaka Lentera, 2001), hlm. 331.


19 Rosihan Anwar, Ulumul Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 163.

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 25
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Ikhsan Intizam

Ulama yang melopori konsep nasakh mansukh menurut Ahmad Izzan,


adalah asy-Syafi`i, al-Suyuti, al-Nahas, dan al-Syaukani.20 Persoalan nasakh
bagi kelompok pendukungnya merupakan salah satu cara menyelesaikan
beberapa dalil tersebut. Apabila tidak bisa dikompromikan, salah satunya
dinasakhan atau dibatalkan. Di samping itu, mereka berpendapat dalam al-
Quran secara implisit memang mengandung konsep bahwa nasakh. Oleh
karen itu jika seseorang ingin menafsirkan al-Quran, menurut M. Abu Zahrah,
harus terlebih dahulu mengetahui tentang nasikh dan mansukh.21
Menurut kelompok ini keberadaan nasakh dalam al-Quran selain
memiliki dasar dari al-Quran, secara praktis juga nyata dalam sejarah Islam,
dan naskh disebut secara eksplisit di dalam al-Quran. Rachmat Syafe`i
memberikan batasan terhadap ayat yang dinasakh, yaitu : (1) ayat al-Quran
yang konsekwensi hukumnya saling bertolak belakang dan tidak dapat
dikompromikan, (2) harus diketahui secara meyakinkan urutan turunnya ayat-
ayat tersebut, yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh dan yang datang
kemudian sebagai nasikh.22
Salah satu pemikir Indonesia, Munawir Sjadzali juga sependapat dengan
kelompok yang menyatakan adanya naskh, sehingga ia menggunakan metode
klasik yang disebut dengan naskh tersebut. Namun dalam praktiknya,
Munawir Sadjali menggunakannya dengan cara yang berbeda dengan ulama
klasik, sehingga menghasilkan pemahaman yang radikal dan memberikan
peran yang luas kepada akal untuk melakukan reinterpretasi terhadap hukum
atau petunjuk yang telah diberikan dalam ayat-ayat al-Quran dan hadis nabi
Muhammad saw.23 Sebagaimana disebutkan di atas, dalam pandangan ulama
klasik nasakh dimaksudkan dengan penghapusan atau penangguhan ayat yang
turun lebih dahulu oleh ayat yang turun belakangan.
Selain ulama tafsir di atas, beberapa ulama tafsir yang namanya sudah
membumi di Indonesia juga sependapat adanya naskh di dalam al-Quran.
Ibnu Katsir misalnya, dalam tafsirnya "Tafsir al-Quran al-`Azhim (Ibnu Katsir)"
menyatakan: “Sesungguhnya menurut rasio tidak terdapat sesuatu yang
menolak adanya nasakh (pembatalan) dalam hukum-hukum Allah”.24 Selain

20 Ahmad Izzan, Ulumul Quran, Telaah Tekstual dan Kontekstuals al-Quran,


(Bandung: Tafakur, 2009), hlm. 187
21 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma`sum, dkk, (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 120.


22 Rachmat Syafe`i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm.

94. Lihat juga M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Quran, Ditinjau dari Aspek Kebahasaan,
Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 146
23 Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan., (Jakarta: Paramadina Press, 1997),

hlm. 47.
24 Abi al-Fida` Isma`il ibn Katsir al-Qurasyiyyi al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur`an al-

Azhim,(Beirut: al-Maktabah al-`Ashriyyah, 2000), cet. Ke-2, hlm. 131

26 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Konsep Nasikh dan Mansukh dalam al-Quran
sebagai Kaidah Penetapan Hukum Islam

Ibnu Katsir, Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya "Tafsir al-Maraghi"


menyatakan :
“Sesungguhnya hukum-hukum itu diundangkan untuk kepentingan
manusia, dan kepentingan manusia dapat berbeda karena perbedaan
zaman dan tempat. Maka apabila suatu hukum diundangkan pada
waktu di mana memang dirasakan kebutuhan adanya hukum itu,
kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi, maka suatu tindakan bijaksana
menghapus hukum itu dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan
waktu yang terakhir”.25

Adapun Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya "Tafsir al-Manar"


menyatakan:
”Sesungguhnya syariah atau hukum itu (dapat) berbeda karena
perbedaan zaman, tempat, dan situasi. Kalau satu hukum diundangkan
pada saat dibutuhkannya hukum, kemudian kebutuhan itu tidak ada
lagi, maka suatu tindakan bijaksana menghapus hukum itu dan
menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu
yang belakangan itu.” 26

Sejalan dengan pendapat para mufasir di atas Sayyid Quthb dalam


tafsirnya "Tafsir fi Zhilal al-Qur'an" berpendapat bahwa ayat 106 dari al-Quran
surat al-Baqarah itu diturunkan (asbabun nuzul) sebagai sanggahan terhadap
tuduhan orang-orang Yahudi bahwa Nabi Muhammad saw. tidak konsisten,
baik mengenai kepindahan kiblat dari masjid al-Aqsha27 ke Masjid al-Haram,
maupun perubahan petunjuk, hukum dan perintah yang terjadi akibat
pertumbuhan masyarakat Islam, dan situasi serta kondisi masyarakat muslim
yang terus berkembang.28

25 Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Mushthada al-Babi


al-Halabi wa Awladuhu, 1969), juz I, cet. Ke-4, hlm. 187
26 Al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur`an al-Hakim (Tafsir al-

Manar), (Kairo: Dar al-Manar, t.th), juz l. hlm. 414


27 Masjid al-Aqsha, merupakan masjid yang terletak di Palestina, nama al-Aqsha

diberikan pada masjid ini pada masa kekhalifahan Umar ibn. Khattab. Oleh karena itu
dalam menafsirkan ayat tentang isra` mikraj diperlukan kemampuan memahami
simbul ayat dimaksud, demikian Fazlur Rahman. Sejalan paparan di atas terkait
dengan perpindahan kiblat diperlukan pemahaman sejarah agar diperoleh penafsiran
yang valid dan reliabel, karena masjid al-Aqsha yang dimaksud tidak bisa mengacu
pada Masjidil Aqsha di Palestina, demikian Mulyadi Kertanegara menyatakan dalam
Mozaik Khazanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina, 2000),
hlm. 185.
28 Sayyid Quthb, Tafsir fî Zhilal al-Qur`an, (Beirut: Dar al-`Arabiyyah, t.th.), juz

I, hlm. 101-102

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 27
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Ikhsan Intizam

Wahyu-wahyu Allah itu tidak turun ke dunia yang vakum, melainkan


kepada suatu kelompok manusia atau masyarakat dengan latar belakang
sejarah dan kebudayaan tertentu, serta tingkat kecerdasan tertentu. Oleh
sebab itu wajar kiranya kalau ajaran Islam yang pada dasarnya bersifat
universal itu disampaikan oleh wahyu kepada masyarakat tertentu, dalam hal
ini bangsa Arab, dengan memperhatikan situasi dan kondisi lapangan serta
kekhususan budaya masyarakat untuk siapa Islam itu diajarkan, yang antara
lain dapat dilihat dari adanya naskh dalam al-Quran dan Sunnah Nabi.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dipahami bahwa naskh (pergeseran
atau pembatalan hukum/petunjuk) itu dapat terjadi tidak hanya pada zaman
nabi Muhammad saw. tetapi juga sepeninggal beliau kalau memang kondisi
dan situasinya telah berubah. Di samping itu akal budi manusia juga dapat
berperan sebagai alat yang dapat menaskh wahyu atau membatalkan dan
menggeser hukum baik yang termaktub dalam ayat-ayat al-Quran maupun
Hadis Nabi Muhammad saw. selama hal tersebut berkaitan dengan masalah
mu'amalah (kemasyarakatan). Dengan demikian, bukan berarti al-Quran dan
Hadits yang diubah, bukan pula syari'at yang diubah, tetapi pengetrapannya
yang dapat diubah.29
Pandangan Munawir Sadzali, yang menyatakan bahwa naskh dapat
terjadi sepeninggal Nabi Muhammad saw., ini jelas-jelas bertentangan dengan
ulama yang berpegang pada pandangan klasik yang menyatakan bahwa
naskh hanya terjadi pada masa nabi Muhammad saw. atau masa tasyri'.
Demikian juga pendapatnya yang membolehkan akal budi (rasio) manusia
sebagai alat yang dapat menaskh wahyu Allah SWT. tersebut bertentangan
dengan pendapat umum.
Karena pemahaman yang telah mapan menyatakan bahwa akal
manusia tidak berwenang menghapus hukum Allah, sebab Allah adalah
musyarri`, bukan manusia. Ahmad Azhar Basyir, salah seorang tokoh
Muhammadiyah misalnya mengatakan bahwa yang berhak menaskh hukum-
hukum Allah hanya Allah sendiri. Selain Allah tidak berhak menasakh hukum-
hukum Allah. Setelah al-Quran selesai diwahyukan, nasikh mansukh sudah
berhenti. Semua pernyataan fuqaha' dan mufassirin tentang kemungkinan
terjadinya naskh, tertuju pada kurun waktu semasa al-Quran belum selesai
diwahyukan. Oleh karenanya jalan naskh tidak dapat dipergunakan untuk
membahas kemungkinan reaktualisasi ajaran Islam, setelah al-Quran
diturunkan empat belas abad yang lalu.30

29 Munawir Sjadzali, Pokok-Pokok Kebijaksanaan Menteri Agama dalam


Pembinaan Kehidupan Beragama, (Jakarta: Depag RI, 1985), hlm. 87
30 Ahmad Azhar Basyir, "Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu

Relevan", dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (ed.), Polemik Reaktualiasi Ajaran Islam,
(Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1998), cetakan Ke-10, hlm. 109. Pernyataan yang

28 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Konsep Nasikh dan Mansukh dalam al-Quran
sebagai Kaidah Penetapan Hukum Islam

Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Ali Yafie yang menyatakan


bahwa perubahan hukum-hukum (taghayyur al-ahkam) melalui jalur naskh
terjadi pada tingkat syariah (al-Quran dan Sunnah) saja. Dengan berakhirnya
periode tasyri (dengan wafatnya penerima wahyu yaitu Rasulullah saw.) maka
perubahan-perubahan hukum Islam melalui jalur naskh, sudah berakhir juga.
Maka merujuk kepada naskh dalam rangka upaya revision of the law dalam
hukum Islam tidak pada tempatnya.31
Berbeda dengan dua tokoh di atas, mengenai kemungkinan beralih dari
ayat satu ke ayat yang lain dan keterlibatan manusia dalam permasalahan
naskh, M. Quraish Shihab, mengatakan:
"Adapun jika yang dimaksud dengan naskh adalah "pergantian" seperti
yang dikemukakan di atas, maka agaknya di sini terdapat keterlibatan
para ahli untuk menentukan pilihannya dari sekian banyak alternatif
ayat hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam al-Quran
menyangkut kasus yang dihadapi. Satu pilihan yang didasarkan atas
kondisi sosial atau kenyataan objektif masing-masing orang. Ada tiga
ayat hukum yang berbeda menyangkut khamr (minuman keras).
Ketiganya tidak batal, melainkan berubah sesuai dengan perubahan
kondisi. Para ahli dapat memilih salah satu di antaranya, sesuai dengan
kondisi yang dihadapinya.32

Berdasarkan pernyataan di atas, tampaknya M. Quraish Shihab


memperbolehkan adanya pergantian hukum (naskh) oleh manusia terhadap
kasus yang dihadapinya dengan beralih pada ayat hukum yang dianggap
cocok sesuai dengan kasus yang dihadapinya tersebut. Semua ayat al-Quran
tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi
masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Ayat hukum
yang tidak lagi berlaku baginya, tetapi dapat berlaku bagi orang lain yang
kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab ketika memahami kata "kami" dalam QS.
al-Nahl (16): 101 menyatakan:
"Kata 'kami' di sini, sebagaimana halnya secara umum kata 'kami' yang
menjadi pengganti nama Tuhan dalam ayat-ayat lain, menunjukkan
adanya keterlibatan selain Tuhan (manusia) dalam perbuatan yang

menunjukkan bahwa naskh terhenti setelah berakhirnya wahyu juga diungkapkan


Muhammad Wafa`, Ahkam al-Naskh fî al-Syari`ah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar
liththiba`ah al-Muhammadiyyah, 1984), hlm. 118
31 Ali Yafie, Antara Ketentuan dan Kenyataan?, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima

(ed.), Polemik Reaktualiasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), cet. Ke-10,
hlm. 100
32 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 149-150

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 29
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Ikhsan Intizam

digambarkan oleh kata kerja pada masing-masing ayat. Ini berarti ada
keterlibatan manusia (yakni para ahli) untuk menetapkan alternatifnya
dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan oleh ayat-ayat al-Quran
yang mansukh atau diganti itu".33

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa manusia


sebagai makhluk Tuhan yang telah diberikan akal (rasio) juga mempunyai
peran dalam mengupayakan adanya nasikh dan mansukh dalam al-Quran.
Atas dasar paparan di atas, Sahiron Syamsuddin, mengemukakan bahwa
konsep naskh di dalam al-Quran, mempunyai wawasan luas dan pandangan
jauh ke depan. Sebab, dapat menunjukkan bahwa ajaran Islam senantiasa
relevan di segala situasi dan kondisi, serta mampu menjawab tantangan
zaman.34
Sungguhpun demikian, suatu hal yang tidak dapat dilupakan bahwa
untuk menggunakan konsep yang dikemukakan Sahiron Syamsuddin tersebut
kiranya tidaklah mudah. Sebab untuk menggunakannya diperlukan
kemampuan memahami secara tepat kondisi dan situasi lingkungan serta
maslahat yang dimaksudkan sehingga menghasilkan syariat atau hukum
muamalah yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan dan disepakati
bersama. Di samping itu pendapatnya bertentangan dengan pendapat ulama
ushul fikih yang menyatakan bahwa naskh tidak mungkin terjadi sepeninggal
Nabi Muhammad saw.
Lebih tegas lagi Abdullahi Ahmed An-Naim, seorang pemikir Islam asal
Sudan (sebagaimana dikutip Sahiron Syamsuddin yang juga dosen Universitas
Islam negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta) mengatakan; bahwa proses naskh itu
bersifat tentatif sesuai dengan kebutuhan. Maksudnya, ayat mana yang
dibutuhkan pada masa tertentu, maka itulah yang diberlakukan (muhkam);
sedangkan ayat yang tidak diperlukan, (karena tidak relevan dengan
perkembangan kontemporer), dihapuskan atau ditangguhkan (mansukh)
penggunaannya.35

Nasakh dan Mansukh dalam Perspektik Penolaknya


Golongan ulama yang menolak adanya nasakh dalam al-Quran
berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang kelihatan bertentangan sehingga
tidak perlu dinasakh. Kelompok penolak yang dipelopori oleh Abu Muslim al-

33M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 150
34 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Quran dan Hadits, (Yogyakarta:

eLSAQ Press, 2010), hlm. 5.


35 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Quran dan Hadits, (Yogyakarta:

eLSAQ Press, 2010), hlm. 5

30 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Konsep Nasikh dan Mansukh dalam al-Quran
sebagai Kaidah Penetapan Hukum Islam

Isfahani,36 menyatakan bahwa dalam al-Quran tidak terdapat nasakh. Jika


mengakui adanya nasakh berarti mengakui adanya kebatilan dalam al-Quran.
Abu Muslim al-Isfahani mendasarkan argumentasinya pada al-Quran
surat Fushilat ayat 42 :
37
              

Hukum-hukum yang dibawa al-Quran bersifat abadi dan universal. Jadi


tidak layak kalau di dalam al-Quran terdapat naskh. Lebih lanjut abu Muslim
al-Isfahani, sebagai mana yang dikutip Amir Syarifuddin, mengemukakan
argumentasi sebagai berikut: 1) Suatu hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT
adalah karena adanya maslahat atau mafsadat pada sesuatu yang dikenai
hukum itu. Sesuatu yang mengandung maslahat tidak mungkin beralih
menjadi mafsadat; dan 2) Kalam itu bersifat qadim, dalam arti telah ada sejak
dahulu (azali) sesuatu yang bersifat qadim tidak mungkin dicabut.38
Al-Isfahani tidak setuju dengan adanya nasakh. Al-Isfahani setuju jika
menginterpretasikan ayat yang secara zhahir terjadi kontradiksi dengan jalan
taksis (pengkhususan), untuk menghindari adanya nasakh atau pembatalan,
al-Isfahani berpendapat pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan
kemustahilan-Nya, yaitu: 1) Ketidaktahuan, sehingga perlu mengganti atau
membatalkan satu hukum dengan hukum lainnya; dan 2) Jika itu dilakukan
Allah, berarti Dia melakukan kesia-siaan dan permainan belaka.39
Berbeda dengan al-Isfahani yang cenderung kepada takhsis, Muhammad
Abduh menolak adanya nasakh, dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui
adanya tabdil (dalam pengertian: pengalihan, pemindahan ayat hukum
dengan ayat hukum lainnya). Dalam arti bahwa semua ayat al-Quran tetap
berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pengalihan hukum bagi
masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda.40

36 Nama aslinya adalah Muhammad ibn Bahr, seorang mufassir kondang


beraliran Mu`tazilah, wafat 332 H, kitabnya yang terkenal adalah Jam` al-Takwil.
Menurut Rachmat Syafe`i, sebenarnya kita sangat sulit menemukan buku/kitab karya
Abu Muslim, yang ada adalah pendapat orang tentang pemikiran Abu Muslim. Lihat
Rachmat Syafe`i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 87.
37 Artinya: “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan

maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi
Maha Terpuji”. (Q.S. Fushilat: 42). Soenarjo, dkk, Al Quran dan Terjemahnya,
(Jakarta: Depag RI, 2003), hlm. 544.
38 Amir Syarifuffin, Ushul Fiqh, jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2007), hlm.

229.
39 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 144.


40 Rachmat Syafe`i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm.

88.

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 31
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Ikhsan Intizam

Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku baginya, tetap berlaku
bagi orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka. Dalam
perspektif hikmah, pemahaman semacam ini menurut Quraish Shihab akan
sangat membantu dakwah islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang
bertahap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama dengan kondisi
umat Islam pada awal masa Islam.41
Menurut penulis, perbedaan nasakh mansukh di atas didasarkan pada
perbedaan dalam menginterpretasikan dalil-dalil hukum yang kontradiksi atau
bertentangan. Jumhur ulama menyetujui adanya nasakh dalam arti
penghapusan, sementara Abu Muslim al-Isfahani menyepakati adanya taksis,
sedangkan Muhammad Abduh lebih setuju jika nasakh diartikan dengan al-
Tabdil yaitu menggantikan.

Pedoman Mengetahui Nasikh dan Mansukh


Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ada tiga metode untuk
mengetahui nasakh mansukh. Ketiga metode tersebut adalah :
1. Berdasarkan informasi yang jelas (al-Naql al-Sharih) yang didapat dari Nabi
Muhammad saw dan sahabat. Hal ini diungkapkan dalam hadits :
“Aku dulu melarang berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah”.
2. Berdasarkan Ijma ulama bahwa hukum ini telah terjadi nasakh mansukh
3. Berdasarkan studi sejarah tentang mana ayat-ayat yang turun terlebih
dahulu (al-mutaqaddam) dan mana yang terkemudian (al-mutaakhir).42
Menurut Manna al-Qattan, nasakh tidak dapat ditetapkan berdasarkan
ijtihad atau berdasarkan pendapat mufassir, atau berdasarkan dalil-dalil yang
secara zhahir nampak kontradiktif.43 Ketiga persyaratan tersebut merupakan
faktor yang sangat menentukan adanya nasakh dan mansukh dalam al-Quran.
Jadi berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa nasakh mansukh
hanya terjadi dalam lapangan hukum, dan tidak termasuk penghapusan yang
bersifat asal (pokok).
Sedangkan kedudukan nasakh merupakan salah satu bentuk interpretasi
hukum dalam upaya menghadapi ayat atau hadits yang tampak kontradiktif
selain dari tarjih atau taksis dalam disiplin ilmu ushul Fiqh. Kuncinya terletak
pada soal historis yang menyangkut kedua ketentuan hukum tersebut. Faktor
azbabun nuzul ada dalam tingkat ini untuk mengetahui mana ayat yang
datang terdahulu dan ayat yang datang kemudian.

41 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 148
42 Abu Anwar, Ulumul Quran Sebuah Pengantar, , (Yogyakarta: Amzah, 2009),

hlm. 53.
43Supiana dan M. Karman, Ulumul al-Quran dan Pengenalan Metode Tafsir,
(Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 150.

32 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Konsep Nasikh dan Mansukh dalam al-Quran
sebagai Kaidah Penetapan Hukum Islam

Pembagian Nasakh
Dari segi nasakh atau yang berhak menghapus sebuah nash
(dalil/hukum), nasakh dikelompokkan dalam empat bagian :44
1. Nasakh al-Quran dengan al-Quran
Bagian ini disepakati oleh para pendukung nasakh. Adapun nasakh
dalam al-Quran terbagi dalam tiga kategori :
a. Ayat-ayat yang teksnya di nasakh, namun hukumnya masih tetap
berlaku. Maksudnya adalah bahwa terdapat ayat al-Quran yang turun
kepada Rasulullah yang kemudian lafadznya dinasakh tetapi hukum
yang terdapat dalam lafadz tersebut masih berlaku, contohnya ayat
tentang rajam. Hal ini seperti yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab
bahwa terdapat nasakh al-Quran yang berbunyi :
“Laki-laki tua dan perempuan tua jika berzina maka rajamlah,
keduanya secara mutlak sebagai ketetapan hukum dari Allah dan
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Lafadz itu adalah bagian dari ayat al-Quran yang telah dinasakh
bacaannya tanpa menasakh hukum yang terkandung di dalamnya.
a. Nasakh pada bacaan dan hukum yang terkandung di dalamnya.
Maksudnya bahwa terdapat ayat al-Quran yang sebelumnya telah
permanen dari sisi lafadz dan juga makna kemudian di nasakh, baik
itu lafadz maupun makna (hukum yang terkandung di dalamnya).
Contohnya riwayat Aisyah tentang persusuan, yaitu penghapusan
ayat yang mengharamkan kawin dengan saudara persusuan, karena
menetek pada ibu dengan sepuluh kali susuan, kemudian dinasakh
dengan lima kali susuan.
‫ات ُُيَ ِرْم َن‬ٍ ‫ات معلُوم‬ ٍ ‫ َكا َن فِيما اُنْ ِزَل عشر ر‬: ‫عَ ْن عا ئِشةَ ر ِضي هللا عْن ها قَالَت‬
َ ْ ْ َ ‫ض َع‬ َ َ َُ َ َْ ْ ََُ َ َ َ َ َ
‫(وُه َّن ِِمَّا يُ ْقَراُ ِم َن‬ ِ
َ : ‫صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّم‬
ِ
َ ‫َف َر ُس ْو ُل هللا‬
ٍ ٍ ‫فَنُ ِس ْخ َن ِِبَ ْم‬
ََ ‫س َم ْعلُ ْوَمات فَتُ ُو‬
)‫اْل ُق ْراَ ِن) (رواه مسلم‬
“Dari Aisyah, r.a., beliau berkata : Adalah termasuk (ayat al-Quran)
yang diturunkan (yaitu ayat yang menerangkan) sepuluh kali susuan
yang diketahui itu menjadikan mahram (haram dikawini), maka lalu
dinasakh dengan lima kali susuan yang nyata. Maka menjelang wafat
Rasulullah, ayat-ayat itu masih termasuk yang dibaca dari al-Quran.”
(H.R. Muslim).

44Rachmat Syafe`i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm.
88. Lihat juga Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Mudzakir,
(Yogyakarta: Pustaka Lentera, 2001), hlm. 334.

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 33
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Ikhsan Intizam

b. Menasakh hukum tanpa menasakh tilawahnya.


Maksudnya, ada beberapa ayat al-Quran yang hukumnya sudah
tidak berlaku, sedangkan bacaannya masih tetap dalam al-Quran. Contoh :
sanksi pezina yang mulanya dikurung di rumah sampai mati, berdasarkan
firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 45 :
           

           
“Dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi
jalan lain kepadanya”. (Q.S. an-Nisa : 45).

Hukum dalam ayat tersebut tidak berlaku lagi dengan turunnya surat
an-Nur ayat 2 di bawah ini :
 …         
‘‘Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera ...”. (Q.S. an-Nur :
2).

Contoh lain adalah tentang masa iddah isteri yang ditinggal mati
oleh suami, yang semula tinggal di rumah suami selama satu tahun
dinasakh dengan ayat tentang masa iddah empat bulan sepuluh hari.
            

               
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya,
(yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh
pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri),
Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal)
membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. al-Baqarah : 240).

Ayat tersebut bacaannya masih utuh, namun hukumnya tidak


berlaku lagi dengan adanya hukum iddah dalam surat al-Baqarah ayat 234.

34 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Konsep Nasikh dan Mansukh dalam al-Quran
sebagai Kaidah Penetapan Hukum Islam

 …          
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari…”. (Q.S. al-Baqarah :
234).
Mengingat pembagian nasakh dalam al-Quran ada beberapa
pendapat yang dikemukakan ulama. Sebagian ulama berpendapat tidak
boleh menasakh hukum tanpa nasakh tilawah dengan alasan: 1) Yang
dimaksud dengan bacaan ayat-ayat al-Quran adalah untuk menjelaskan
adanya hukum. Bacaan diturunkan untuk alasan tersebut. Sehingga tidak
mungkin terjadi pencabutan hukum sedangkan bacaannya masih ada,
sebab akan hilang apa yang dimaksud dengan adanya bacaan itu; 2) Suatu
hukum apabila dinasakh dan masih tetap bacaannya akan menimbulkan
dugaan masih adanya hukum, hal yang demikian mendorong mukallaf
meyakini suatu kebodohan.45
Menanggapi hal itu, al-Qattan mengemukakan hikmah penghapusan
hukum, sementara tilawahnya tetap, di antaranya: 1) Al-Quran di samping
dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga akan mendapatkan
pahala karena membaca kalam Allah; dan 2 Gemuh.
Pada umumnya nasakh itu meringankan, maka dengan tetap
adanya tilawah, maka akan meringankan nikmat dihapuska nnya
kesulitan ( musyaqqah ). 46

2. Nasakh al-Quran dengan Sunnah


Ada perbedaan pendapat mengenai bentuk nasakh ini, menurut
jumhur ulama, sunnah tidak dapat menasakh al-Quran karena hadits
bersifat dzanni, sementara al-Quran bersifat qath`i. Al-Quran lebih kuat
dari sunnah. Menurut asy-Syafi`i, sunnah tidak sederajat dengan al-Quran.
Pendapat ini didasarkan surat al-Baqarah ayat 106.47 Sementara itu ulama
Hanafiyah, Imam Malik dan Ahmad, membolehkan al-Quran dinasakh
dengan sunnah mutawatir dengan alasan sunnah itu wahyu, seperti firman
Allah dalam surat an-Najm ayat 3-4.

45 Amir Syarifuffin, Ushul Fiqh, jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2007), hlm.
251.
46 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Mudzakir,
(Yogyakarta: Pustaka Lentera, 2001), hlm. 337.
47 Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia)

lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu?”.

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 35
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Ikhsan Intizam

          
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya)”.

Memang secara syar`i terjadi nasakh dengan sunnah nabi


Muhammad saw sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat
180.
             

   


“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.

Ayat tersebut dinasakh oleh sabda Rasulullah saw dalam salah satu
hadis dari Umamah, menurut riwayat empat perawi hadits, selain an-
Nasa`i, dinyatakan hadits hasan menurut Ahmad dan at-Turmuzi, yaitu
sabda Rasulullah saw. : “Sesungguhnya Allah SWT telah memberi bagian
tertentu untuk yang berhak, maka tidak boleh berwasiat kepada ahli
waris”. (HR. Tirmidzi).

3. Nasakh Sunnah dengan al-Quran


Muhammad Abu Zahrah, memberikan contoh sunnah tentang shalat
menghadap ke Bait al-Maqdis, dinasakh dengan ayat tentang shalat
menghadap ke masjidil Haram, yang tertera dalam surat al-Baqarah ayat
150. 48
             

            

49
     

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma`sum, dkk, (Jakarta:
48

Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 193-142


49 Artinya: “Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke

arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah

36 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Konsep Nasikh dan Mansukh dalam al-Quran
sebagai Kaidah Penetapan Hukum Islam

Contoh lain adalah berpuasa wajib pada hari asy-Syura yang


ditetapkan berdasarkan sunnah riwayat Bukhari-Muslim dari Aisyah, r.a.,
beliau berkata :
“Hari asy-Syura itu adalah wajib berpuasa. Ketika diturunkan (wajib
berpuasa) bulan Ramadhan, maka ada orang berpuasa dan ada yang
tidak berpuasa”. Puasa bulan asy-Syura semula wajib hukumnya,
tetapi setelah turun kewajiban puasa di bulan Ramadhan, maka
puasa asy-Syura tidak wajib lagi, ada yang berpuasa dan ada pula
yang tidak berpuasa.
Mengenai pembagian nasakh ini, asy-Syafi`i menolaknya dengan
alasan. “Jika nabi Muhammad saw menetapkan suatu ketentuan,
kemudian turun ayat yang isinya bertentangan, beliau pasti akan membuat
ketentuan lain yang sesuai dengan al-Quran. Jika tidak demikian, maka
terbukalah pintu untuk menuduh bahwa setiap sunnah yang menjadi
bayan al-Quran itu telah dihapus.50
4. Nasakh sunnah dengan sunnah
Nasakh ini pada hakikatnya adalah hukum yang ditetapkan
berdasarkan sunnah dinasakh dengan dalil sunnah pula. Contoh tentang
ziarah kubur yang sebelumnya dilarang oleh Rasulullah saw, kemudian
setelah itu Rasulullah malah menganjurkannya.51

Fungsi Nasikh Mansukh


Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, fungsi nasakh secara umum ada tiga
yaitu : Sebagai salah satu upaya interprestasi hukum sebagai penahapan dalam
tasyri` untuk pemberian kemudahan.52
1. Sebagai upaya interprestasi Hukum.
Dalam upaya untuk melakukan interpretasi suatu peraturan dalam
syariat, baik al-Quran maupun hadits, setiap ketentuan hukum harus jelas
sehingga dapat diamalkan. Nasakh ini digunakan untuk menghadapi dua
dalil yang kontradiktif. Dalam hal ini harus ada upaya atau mengumpulkan
dua dalil hukum itu atau mengkhususkan dalil (taksis), ataupun untuk
memperkuat salah satunya (tarjih).

wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-
orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya
kamu mendapat petunjuk”.
50 Supiana dan M. Karman, Ulumul al-Quran dan Pengenalan Metode Tafsir,

(Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 151


51 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma`sum, dkk, (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 193-142


52 Nasir Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Quran, Kritik terhadap Ulumul

Qur`an, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 149

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 37
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Ikhsan Intizam

Jika interpretasi tadi sudah ditempuh dan ternyata kontradiksi, maka


penyelesaiannya dengan nasikh mansukh, dengan syarat-syarat yang telah
dijelaskan sebelumnya.
2. Sebagai penahapan dalam tasryi`
Penahapan ini bertujuan untuk memperkenalkan hukum secara
bertahap kepada orang Arab pada permulaan Islam, sehingga
memungkinkan mereka yang menerimanya untuk menerapkan perintah-
perintah yang dikandungnya secara bertahap. Jadi hukum itu tidak
ditetapkan secara mendadak (tiba-tiba/frontal) serta pada akhirnya tidak
memberatkan subjek hukum yang menyuruh atau melarang seseorang
untuk menjalankan perintah atau larangan yang ditetapkan.
Adanya penahapan ini, menghendaki adanya pencabutan dan
penggantian. Contohnya mengenai penahapan larangan minum khamr.
Semula orang Arab sudah menyatu dengan minuman khamr, sehingga
tidak mudah untuk menghapuskan begitu saja. Oleh karena itu Allah SWT
secara bijaksana menetapkan keharamannya secara bertahap.

Sebagai Pemberian Kemudahan


Konsep nasakh ini, kemudahan bisa dilihat dengan tetap ditampilkannya
teks-teks yang dinasakh, selain teks-teks yang menasakh. Dengan begitu,
hukum ayat yang dinasakh dapat dimunculkan kembali pada tata aturan
masyarakat. Para ulama menyadari hal itu ketika membicarakan posisi teks
antara perintah kepada kaum muslimin untuk bersabar atas rintangan yang
dimunculkan oleh kaum musyrik. Simak saja surat an-Nahl ayat 27 dengan
surat al-Muzamil ayat 10.
             

        

“Kemudian Allah menghinakan mereka di hari kiamat, dan berfirman:


"Di manakah sekutu-sekutu-Ku itu (yang karena membelanya) kamu
selalu memusuhi mereka (nabi-nabi dan orang-orang mukmin)?"
berkatalah orang-orang yang telah diberi ilmu: "Sesungguhnya kehinaan
dan azab hari ini ditimpakan atas orang-orang yang kafir".53
       
“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah
mereka dengan cara yang baik”.54.

53 Q.S. an-Nahl : 27.


54 Q.S. al-Muzammil : 10

38 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Konsep Nasikh dan Mansukh dalam al-Quran
sebagai Kaidah Penetapan Hukum Islam

Hikmah Nasakh
Manna Khalil al-Qattan menjelaskan tentang hikmah adanya nasakh
dalam al-Quran, yaitu: 1) Menjaga keselamatan hamba Allah; 2)
Perkembangan tasyri` menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan
dakwah dan perkembangan kondisi umat Islam; 3) Cobaan dan ujian bagi
Mukallaf untuk mematuhinya atau sebaliknya; dan 4) menghendaki kebaikan
dan kemudahan bagi umat Islam. Sebab jika nasakh itu beralih kepada hal
atau perkara yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala,
dan jika beralih kepada hal atau perkara yang lebih ringan maka nasakh
mengandung kemudahan dan keringanan.55

Simpulan
Berdasarkan paparan tentang konsep nasikh mansukh di dalam al-
Quran dalam penetapan hukum Islam di atas dapat disimpulkan: 1)
Pembahasan tentang nasikh dan mansukh merupakan pembahasan yang
sangat vital bagi seorang mufassir untuk menghindari kekeliruan dan
kesalahan dalam menangkap maksud al-Quran; 2) Masalah nasikh dan
mansukh, selama ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama mufassirin,
yaitu antara ulama yang mendukung dan menolaknya. Namun
bagaimanapun penetapan suatu hukum, bukan berarti sudah menjadi suatu
keputusan akhir, bisa saja keputusan itu berubah seiring dengan
perkembangan dan perubahan sejarah; dan 3) Meskipun terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama mufassirin tentang ada tidaknya nasakh dalam al-
Quran, namun perlu digaris bawahi bahwa pada umumnya ulama ittifaq
tentang terjadinya naskh dalam al-Quran.

DAFTAR PUSTAKA

Abi al-Fida` Isma`il ibn Katsir al-Qurasyiyyi al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur`an al-
Azhim, Beirut: al-Maktabah al-`Ashriyyah, 2000
Abi Bakar Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Hamdzani, Al-`Itibar fî al-
Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar, Pakistan: Jami`ah al-Dirasat al-
Islamiyyah Karatisyi 1982
Abu Anwar, Ulumul Quran Sebuah Pengantar, , Yogyakarta: Amzah, 2009.

55 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Mudzakir,


(Yogyakarta: Pustaka Lentera, 2001), hlm. 338

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 39
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Ikhsan Intizam

Ahmad Azhar Basyir, "Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu


Relevan", dalam Iqbal Abdurrauf Saimima ed., Polemik Reaktualiasi
Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998.
Ahmad Izzan, Ulumul Quran, Telaah Tekstual dan Kontekstuals al-Quran,
Bandung: Tafakur, 2009
Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Kairo: Mushthada al-Babi al-
Halabi wa Awladuhu, 1969
Ali Yafie, Antara Ketentuan dan Kenyataan?, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima
ed., Polemik Reaktualiasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998
Al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur`an al-Hakim Tafsir al-
Manar, Kairo : Dar al-Manar, t.th.
Amir Syarifuffin, Ushul Fiqh, jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2007.
Imam Taufiq, Metode Ta`wil Al Quran, Semarang: Makalah, 1998
__________, Maqamat dan Ahwal, Tinjauan Metodologis, dalam Tasawuf dan
Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan IAIN Walisongo
Press, 2001
Ishom Elsaha dan Saiful Hadi, Sketsa al-Quran: Tempat, Tokoh, Nama dan
Istilah dalam al-Quran, Jakarta: Lista Fariska, 2005.
Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan fî Ulum al-Qur`an, Beirut: Dar al-Fikr, 1979,
200.
Kahar Mansykur, Pokok-pokok Ulumul Qur`an, Jakarta: Rineka Cipta, 2002
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan, Bandung: Mizan, 2004.
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Mudzakir, Yogyakarta:
Pustaka Lentera, 2001.
Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, Semarang: RaSail, 2002.
Muhammad Abd al-`Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fî Ulum al-Qur`an,
Kairo: `Isa al-Babi al-Halabi, 1957,
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma`sum, dkk, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008.
Muhammad Wafa`, Ahkam al-Naskh fî al-Syari`ah al-Islamiyyah, Kairo: Dar
al-Thabi`ah al-Muhammadiyyah, 1984
Mulyadi Kertanegara menyatakan dalam Mozaik Khazanah Islam, Bunga
Rampai dari Chicago, Jakarta: Paramadina, 2000

40 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020
Konsep Nasikh dan Mansukh dalam al-Quran
sebagai Kaidah Penetapan Hukum Islam

Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan., Jakarta: Paramadina, 1997


______________, Pokok-Pokok Kebijaksanaan Menteri Agama dalam
Pembinaan Kehidupan Beragama, Jakarta: Depag RI, 1985
Nasir Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Quran, Kritik terhadap Ulumul Qur`an,
Yogyakarta: LKiS, 2003
Rachmat Syafe`i, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Rosihan Anwar, Ulumul Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Quran dan Hadits, Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2010.
Sayyid Quthb, Tafsir fî Zhilal al-Qur`an, Beirut: Dar al-`Arabiyyah, t.th.
Soenarjo, dkk, Al Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 2003.
Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Team Pustaka Firdaus,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004
Supiana dan M. Karman, Ulumul al-Quran dan Pengenalan Metode Tafsir,
Bandung: Pustaka Islamika, 2002
Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Quran, Jakarta: Gama Insani Press,
1999.

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 41
Volume 11 Nomor 1 – Februari 2020

Anda mungkin juga menyukai