Anda di halaman 1dari 36

KAJIAN NASKH MANSUKH

DALAM AL-QUR’AN

 PENGERTIAN NASIKH MANSUKH

 SYARAT-SYARAT NASIKH MANSUKH

 PRO KONTRA NASIKH MANSUKH

 PEDOMAN MENGETAHUI NASIKH DAN MANSUKH

 PEMBAGIAN NASAKH

 FUNGSI NASIKH MANSUKH

 PENUTUP
A. PENGERTIAN NASIKH MANSUKH
Quraish Shihab, melalui penelitiannya menemukan kata naskh di dalam
kitab suci al-Quran dalam berbagai bentuk sebanyak empat kali, yaitu : di
dalam surat al-Baqarah : 106, al-A`raf: 154, al-Hajj: 52, dan al-Jatsiyah: 29.1
Secara etimologis naskh memiliki beberapa pengertian, yaitu : penghapusan
(al-izalah), pembatalan (al-ibthal), pemindahan (al-naql), pengubahan atau
penggantian (al-ibdal), dan pengalihan (al-tahwil atau al-intiqal).2
Berkaitan dengan pengertian tersebut, maka nasikh (isim fa`il) diartikan
sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan memalingkan.
Sedangkan mansukh (isim maful) adalah sesuatu yang dibatalkan, dihapus,
dipindahkan, diganti, dan dipalingkan.
Terdapat perbedaan pendapat antara ulama mutaqaddimin dan
mutaakhirin dalam mendefinisikan naskh secara terminologis. Perbedaan

1 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan,
(Bandung : Mizan, 2004), hlm. 143.
2 Muhammad Abd al-`Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fî Ulum al-Qur`an, (Kairo: `Isa
al-Babi al-Halabi, 1957), hlm. 175. Lihat pula Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan fî Ulum al-Qur`an,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1979), hlm. 200. Lihat pula Supiana dan M. Karman, Ulumul al-Quran dan
Pengenalan Metode Tafsir, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002), hlm. 149.
tersebut bersumber pada banyaknya pengertian naskh secara etimologi
sebagaimana dijelaskan di atas. Cakupan makna yang ditetapkan ulama
mutaqoddimin tentang pengertian naskh, di antaranya :
1. Pembatalan hukum yang ditetapkan sebelumnya dengan hukum yang
ditetapkan kemudian;
2. Pengecualian/pengkhususan hukum yang bersifat `am/umum oleh hukum
yang lebih khusus yang datang setelahnya;
3. Bayan atau penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang
bersifat samar;
4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.3
Berdasarkan pada gugusan paparan di atas, ulama mutaqaddimin secara
terminologis mengusung makna nasakh secara luas, yaitu tidak terbatas
pada berakhir atau terhapusnya suatu hukum baru yang ditetapkan.
Namun interprestasi nasakh yang diusung oleh mereka juga menyangkut
yang bersifat pembatasan, pengkhususan, bahkan pengecualian.
Sementara menurut ulama mutaakhirin, naskh adalah dalil yang datang
kemudian, berfungsi untuk menggugurkan dan menghilangkan hukum yang
3 Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Semarang : RaSail Media Group, 2002), hlm. 108.
pertama.4 Dengan demikian mereka mempersempit ruang lingkup naskh
dengan beberapa syarat, baik yang menaskh maupun yang dinaskh. Lebih
lanjut ulama mutaakhirin mendefinisikan naskh adalah : “Mengangkat
(menghapus) hukum syara` dengan dalil hukum (khatab) syara` yang
datang kemudian”.5
Atas dasar penjelasan tersebut di atas, maka dalil yang datang kemudian
disebut nasikh (yang menghapus), sedangkan hukum yang pertama disebut
mansukh (yang terhapus). sedangkan penghapusan hukum tersebut
dinamakan dengan naskh.6
Berdasarkan pengertian itu, para ulama mutaakhirin lebih mempersempit
makna nasakh dengan mendefinisikannya sebagai amandemen sebuah
ketentuan hukum atau berakhirnya masa berlakunya ketentuan hukum
oleh hukum yang datang kemudian, sehingga hukum yang terdahulu tidak
berlaku lagi.

4 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan,
(Bandung : Mizan, 2004), hlm. 143.
5 Abi Bakar Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Hamdzani, Al-`Itibar fî al-Nasikh wa al-Mansukh min
al-Atsar, (Pakistan: Jami`ah al-Dirasat al-Islamiyyah Karatisyi 1982), hlm. 52. Lihat juga Muhammad Wafa`,
Ahkam al-Naskh fî al-Syari`ah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Thabi`ah al-Muhammadiyyah, 1984), hlm. 22-26
6 Kahar Mansykur, Pokok-pokok Ulumul Qur`an, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), hlm. 135
Sementara itu, menurut az-Zarqani, sebagaimana dinukil Moh. Nur Ichwan,
yang dimaksud dengan terminologi “menghapuskan” dalam definisi tersebut
adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf
dan bukan terhapusnya subtansi hukum itu sendiri.7
B. SYARAT-SYARAT NASIKH MANSUKH
Sebagaimana dijelaskan oleh Abu Anwar, bahwasannya terdapat batasan
beberapa syarat yang diperlukan dalam naskh, yaitu :
1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara`. Nasakh hanya terjadi pada
perintah dan larangan. Nasakh tidak terdapat dalam akhlak, ibadah,
akidah, dan juga janji dan ancaman Allah.
2. Dalil yang dipergunakan untuk penghapusan hukum tersebut adalah
kitab syar`i yang datang kemudian.
3. Dalil yang mansukh hukumnya tidak terikat oleh waktu tertentu. Sebab,
jika demikian hukum akan berakhir dengan waktu tersebut.8
Hal ini seperti yang terdapat dalam Firman Allah SWT. surat al-Baqarah
ayat 109 :

7 Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Semarang : RaSail Media Group, 2002), hlm. 108.
8 Abu Anwar, Ulumul Quran, Sebuah Pengantar, (Yogyakarta : Amzah, 2009), hlm. 52.
ٌ َ ْ َ ّ ُ ََ َ‫َ ْ ُ َ ْ َ ُ َ ﱠ َْ َ ﱠُ َ ْ ﱠ ﱠ‬
.(١٠٩ : ‫)البقرة‬. ‫ فاعفوا واصفحوا ح يأ ِ ي ِبأم ِر ِه ِإن ع ِل ٍء ق ِدير‬...
“…maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan
perintah-Nya…”. (Q.S. al-Baqarah : 109).
Ayat tersebut tidak mansukh sebab dikaitkan dengan batas waktu,
sedangkan nasakh tidak dikaitkan dengan batas waktu.
Dengan memperhatikan syarat di atas, maka jelas bahwa naskh tidak bisa
ditetapkan sembarangan dan harus mematuhi syarat yang ada. Demikian
juga terkait suatu ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang berita (ummat
terdahulu, masa yang akan datang dan sebagainya), tidak mungkin terjadi
nasikh mansukh, karena mustahil Allah berdusta.
Quraish Shihab, menambahkan lagi syarat nasakh, bahwa nasakh baru
dilakukan bila : 1) Terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang,
serta tidak dapat lagi dikompromikan; 2) Harus diketahui secara
meyakinkan urutan turunnya ayat-ayat tersebut. Yang lebih dahulu
dikatakan mansukh, dan yang datang kemudian disebut nasakh.9
Beberapa penjelasan mengenai pengertian dan syarat naskh di atas, dapat
disimpulkan naskh mempunyai empat rukun yaitu : 1) Naskh, yaitu proses
9 Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Semarang : RaSail Media Group, 2002), hlm. 146.
revisi atau penggantian hukum; 2) Nasikh, yaitu hukum pengganti, dalam
hal ini Allah SWT, yang berhak secara mutlak untuk merevisi atau mengganti
hukum tersebut; 3) Mansukh, yaitu hukum yang direvisi; dan 4) Mansukh
`anhu, yaitu orang yang dikenai hukum atau mukallaf. 10

C. PRO KONTRA NASIKH MANSUKH


Konsep nasikh mansukh dalam al-Quran menimbulkan polemik para ulama.
Adapun sumber perbedaan itu berawal dari pemahaman ulama tafsir
tentang al-Quran surat an-Nisa ayat 82.11

“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? kalau kiranya


Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan
yang banyak di dalamnya”.

10 Ishom Elsaha dan Saiful Hadi, Sketsa al-Quran : Tempat, Tokoh, Nama dan Istilah dalam al-Quran,
(Jakarta : Lista Fariska, 2005), hlm. 555.
11 Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Team Pustaka Firdaus, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 369
Ayat tersebut mengandung prinsip yang diyakini keberadaanya oleh setiap
muslim, namun sebagian yang lain ada yang berpendapat bahwa dalam
menghadapi ayat-ayat al-Quran yang secara dhahir menunjukkan akan
kontradiksinya.
Menurut Yusuf Qardhawi, setidaknya ada tiga kecenderungan dalam
masalah nasakh, yaitu : 1) Ada yang meluaskan diri dalam mengklaim
adanya naskh dalam al-Quran dan berpendapat bahwa sekian dalam surat
sekian dinaskh, sementara tidak ada dalil yang kuat terhadap penaskhan
itu; 2) Sebagai antithesis dari mereka, ada yang mengingkari sama sekali
adanya nasakh dalam al-Quran; dan 3) Ada pendapat pertengahan yang
mengakui adanya naskh, jika dalil yang sahih dan jelas, yang meyakinkan
akal dan menenangkan hati.12
Berikut adalah pendapat dari golongan yang menerima dan menolak naskh
mansukh :
1. Nasakh Mansukh dalam Perspektif Pendukungnya
Salah satu ayat yang menjadi basis pembangunan teori nasakh adalah
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 106:

12 Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Quran, (Jakarta : Gama Insani Press, 1999), hlm. 467.
“Ayat mana saja yang kami nasakhakan, atau kami jadikan manusia
lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya, atau
sebanding dengannya, tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu ”. (Q.S. al-Baqarah : 106).
Ayat tersebut dijadikan dasar naqli bagi mayoritas ulama yang
mendukung adanya nasakh dalam al-Quran. Mayoritas ulama tanpa
keraguan menetapkan ayat-ayat yang termasuk naskh dan mansukh
tetap berlaku, akan tetapi segi hukum yang berlaku menyeluruh sampai
waktu tertentu tidak dapat dibatalkan kecuali oleh syara`. Jadi menurut
mereka, nasikh mansukh bisa diterima oleh akal dan telah terjadi dalam
hukum syara` sesuai dalil di atas.
Selain dalil naqli di atas, jumhur ulama pendukung nasakh juga
mendasarkan dalil naqli. Mereka berpandangan perbuatan Allah itu
mutlak, tidak tergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja
memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada
waktu yang lain. Ini karena, Allah lebih mengetahui kepentingan
hambanya.13 Pendapat lain yang mendasari mayoritas ulama tentang
teori naskh adalah penetapan perintah-perintah tertentu kepada kaum
muslimin di dalam al-Quran yang menurut Rosihan Anwar, ada yang
bersifat sementara dan ketika keadaan berubah perintah tersebut
dihapus dan diganti dengan perintah baru lainnya. Namun, karena
perintah-perintah itu kalam Allah, harus dibaca sebagai al-Quran.14
Ulama yang mempelopori konsep naskh mansukh dalam al-Quran
menurut Ahmad Izzan, adalah Imam asy-Syafi`i, al-Suyuti, al-Nahas, dan
al-Syaukani.15 Persoalan naskh bagi kelompok pendukungnya merupakan
salah satu cara menyelesaikan beberapa dalil. Apabila tidak bisa
dikompromikan, salah satunya dinasakhan atau dibatalkan. Disamping
itu, mereka berpendapat bahwa dalam al-Quran secara implisit memang
mengandung konsep nasakh. Oleh karen itu jika seseorang ingin
menafsirkan al-Quran, menurut M. Abu Zahrah, harus terlebih dahulu
mengetahui tentang nasikh dan mansukh.16
13 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Mudzakir, (Yogyakarta : Pustaka Lentera,
2001), hlm. 331.
14 Rosihan Anwar, Ulumul Quran, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), hlm. 163.
15 Ahmad Izzan, Ulumul Quran, Telaah Tekstual dan Kontekstuals al-Quran, (Bandung: Tafakur,
2009), hlm. 187
16 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma`sum, dkk, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2008), hlm. 120.
Menurut kelompok ini keberadaan nasakh dalam al-Quran selain
memiliki dasar dari al-Quran, secara praktis juga nyata dalam sejarah
Islam, dan naskh disebut secara eksplisit di dalam al-Quran. Rachmat
Syafe`i memberikan batasan terhadap ayat yang dinasakh, yaitu : (1)
ayat al-Quran yang konsekwensi hukumnya saling bertolak belakang dan
tidak dapat dikompromikan, (2) harus diketahui secara meyakinkan
urutan turunnya ayat-ayat tersebut, yang lebih dahulu ditetapkan
sebagai mansukh dan yang datang kemudian sebagai nasikh.17
Salah satu pemikir Indonesia, Munawir Sjadzali juga sependapat dengan
kelompok yang menyatakan adanya naskh, sehingga ia menggunakan
metode klasik yang disebut dengan naskh tersebut. Namun dalam
praktiknya, Munawir Sadjali menggunakannya dengan cara yang
berbeda dengan ulama klasik, sehingga menghasilkan pemahaman yang
radikal dan memberikan peran yang luas kepada akal untuk
melakukan reinterpretasi terhadap hukum atau petunjuk yang telah
diberikan dalam ayat-ayat al-Quran dan hadis nabi Muhammad saw.18
Sebagaimana disebutkan di atas, dalam pandangan ulama klasik

17 Rachmat Syafe`i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia, 2006), hlm. 94. Lihat juga
M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Quran, Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan
Pemberitaan Ghaib, (Bandung : Mizan, 2007), hlm. 146
18 Munawir Sjadzali , Ijtihad Kemanusiaan., (Jakarta : Paramadina, 1997), hlm. 47
nasakh dimaksudkan dengan penghapusan atau penangguhan ayat
yang turun lebih dahulu oleh ayat yang turun belakangan.
Selain ulama tafsir di atas, beberapa ulama tafsir yang namanya sudah
membumi di Indonesia juga sependapat adanya naskh di dalam al-
Quran. Ibnu Katsir misalnya, dalam tafsirnya "Tafsir al-Quran al-`Azhim
(Ibnu Katsir)" menyatakan: “Sesungguhnya menurut rasio tidak terdapat
sesuatu yang menolak adanya nasakh (pembatalan) dalam hukum-
hukum Allah”.19 Selain Ibnu Katsir, Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam
tafsirnya "Tafsir al-Maraghi" menyatakan :
“Sesungguhnya hukum-hukum itu diundangkan untuk kepentingan
manusia, dan kepentingan manusia dapat berbeda karena perbedaan
zaman dan tempat. Maka apabila suatu hukum diundangkan pada
waktu di mana memang dirasakan kebutuhan adanya hukum itu,
kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi, maka suatu tindakan bijaksana
menghapus hukum itu dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan
waktu yang terakhir”.20

19 Abi al-Fida` Isma`il ibn Katsir al-Qurasyiyyi al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur`an al-Azhim, (Beirut:
al-Maktabah al-`Ashriyyah, 2000), cet. Ke-2, hlm. 131
20 Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Mushthada al-Babi al-Halabi wa
Awladuhu, 1969), juz I, cet. Ke-4, hlm. 187
Adapun Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya "Tafsir al-Manar"
menyatakan:
”Sesungguhnya hukum itu (dapat) berbeda karena perbedaan zaman,
tempat, dan situasi. Kalau satu hukum diundangkan pada saat
dibutuhkannya hukum, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi, maka
suatu tindakan bijaksana menghapus hukum itu dan menggantikannya
dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu yang belakangan
itu.”21
Sejalan pendapat di atas Sayyid Quthb dalam tafsirnya "Tafsir fi Zhilal
al-Qur'an" berpendapat bahwa ayat 106 dari surat al-Baqarah itu
diturunkan sebagai sanggahan terhadap tuduhan orang-orang yahudi
bahwa Nabi tidak konsisten, baik mengenai kepindahan kiblat dari
masjid al-Aqsha22 ke Masjid al-Haram, maupun perubahan petunjuk,
21 Al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur`an al-Hakim (Tafsir al-Manar), (Kairo : Dar
al-Manar, t.th), juz l. hlm. 414
22 Masjid al-Aqsha, merupakan masjid yang terletak di Palestina, nama al-Aqsha diberikan
pada masjid ini pada masa kekhalifahan Umar ibn. Khattab. Oleh karena itu dalam menafsirkan
ayat tentang isra` mikraj diperlukan kemampuan memahami simbul ayat dimaksud, demikian
Fazlur Rahman. Sejalan paparan di atas terkait dengan perpindahan kiblat diperlukan pemahaman
sejarah agar diperoleh penafsiran yang valid dan reliabel, karena masjid al-Aqsha yang dimaksud
tidak bisa mengacu pada Masjidil Aqsha di Palestina, demikian Mulyadi Kertanegara menyatakan
dalam Mozaik Khazanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta : Paramadina, 2000), hlm. 185.
hukum dan perintah yang terjadi akibat pertumbuhan masyarakat
Islam, dan situasi serta kondisi mereka yang terus berkembang.23
Wahyu-wahyu Allah itu tidak turun ke dunia yang vakum, melainkan
kepada suatu kelompok manusia atau masyarakat dengan latar
belakang sejarah dan kebudayaan tertentu, serta tingkat kecerdasan
tertentu. Oleh sebab itu wajar kiranya kalau ajaran Islam yang pada
dasarnya bersifat universal itu disampaikan oleh wahyu kepada
masyarakat tertentu, dalam hal ini bangsa Arab, dengan
memperhatikan situasi dan kondisi lapangan serta kekhususan budaya
masyarakat untuk siapa Islam itu diajarkan, yang antara lain dilihat dari
adanya naskh dalam al-Quran dan Sunnah Nabi.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dipahami bahwa naskh (pergeseran
atau pembatalan hukum/petunjuk) itu dapat terjadi tidak hanya pada
zaman nabi Muhammad saw. tetapi juga sepeninggal beliau kalau
memang kondisi dan situasinya telah berubah. Di samping itu akal budi
manusia juga dapat berperan sebagai alat yang dapat menaskh wahyu
atau membatalkan/menggeser hukum baik yang termaktub dalam
ayat-ayat al-Quran maupun Hadis Nabi saw. selama hal tersebut
berkaitan dengan masalah mu'amalah (kemasyarakatan). Dengan

23 Sayyid Quthb, Tafsir fî Zhilal al-Qur`an, (Beirut: Dar al-`Arabiyyah, t.th.), juz I, hlm. 101-102
demikian, bukan berarti al-Quran dan Hadits yang diubah, bukan pula
syari'at yang diubah, tetapi pengetrapannya yang dapat diubah.24
Pandangan Munawir Sadzali, yang menyatakan bahwa naskh dapat
terjadi sepeninggal nabi Muhammad saw., ini jelas-jelas bertentangan
dengan ulama yang berpegang pada pandangan klasik yang
menyatakan bahwa naskh hanya terjadi pada masa nabi Muhammad
saw. atau masa tasyri'. Demikian juga pendapatnya yang membolehkan
akal budi (rasio) manusia sebagai alat yang dapat menaskh wahyu Allah
bertentangan dengan pendapat umum.
Karena pemahaman yang telah mapan menyatakan bahwa akal
manusia tidak berwenang menghapus hukum Allah, sebab Allah adalah
musyarri`, bukan manusia. Ahmad Azhar Basyir, salah seorang tokoh
Muhammadiyah misalnya mengatakan bahwa yang berhak menaskh
hukum-hukum Allah hanya Allah sendiri. Selain Allah tidak berhak
menasakh hukum-hukum Allah. Setelah al-Quran selesai diwahyukan,
nasikh mansukh sudah berhenti. Semua pernyataan fuqaha' dan
mufassirin tentang kemungkinan terjadinya naskh, tertuju pada kurun
waktu semasa al-Quran belum selesai diwahyukan. Oleh karenanya
jalan naskh tidak dapat dipergunakan untuk membahas kemungkinan

24 Munawir Sjadzali, Pokok-Pokok Kebijaksanaan Menteri Agama dalam Pembinaan


Kehidupan Beragama, (Jakarta: Depag RI, 1985), hlm. 87
reaktualisasi ajaran Islam, setelah al-Quran diturunkan empat belas
abad yang lalu.25
Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Ali Yafie salah seorang tokoh
Nahdlatul Ulama yang menyatakan bahwa perubahan hukum-hukum
(taghayyur al-ahkam) melalui jalur naskh terjadi pada tingkat syariah
(al-Quran dan Sunnah) saja. Dengan berakhirnya periode tasyri (dengan
wafatnya penerima wahyu yaitu Rasulullah saw.) maka perubahan-
perubahan hukum Islam melalui jalur naskh, sudah berakhir juga. Maka
merujuk kepada naskh dalam rangka upaya revision of the law dalam
hukum Islam tidak pada tempatnya.26 Berbeda dengan dua tokoh di
atas, mengenai kemungkinan beralih dari ayat satu ke ayat yang lain
dan keterlibatan manusia dalam permasalahan naskh, M. Quraish
Shihab, mengatakan:
"Adapun jika yang dimaksud dengan naskh adalah "pergantian" seperti
yang dikemukakan di atas, maka agaknya di sini terdapat keterlibatan
25 Ahmad Azhar Basyir, "Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan", dalam
Iqbal Abdurrauf Saimima (ed.), Polemik Reaktualiasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1998), cet. Ke-10, hlm. 109. Pernyataan yang menunjukkan bahwa naskh terhenti setelah berakhirnya
wahyu juga diungkapkan Muhammad Wafa`, Ahkam al-Naskh fî al-Syari`ah al-Islamiyyah, (Kairo:
Dar liththiba`ah al-Muhammadiyyah, 1984), hlm. 118
26 Ali Yafie, Antara Ketentuan dan Kenyataan?, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (ed.),
Polemik Reaktualiasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), cet. Ke-10, hlm. 100
para ahli untuk menentukan pilihannya dari sekian banyak alternatif
ayat hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam al-Quran
menyangkut kasus yang dihadapi. Satu pilihan yang didasarkan atas
kondisi sosial atau kenyataan objektif masing-masing orang. Ada tiga
ayat hukum yang berbeda menyangkut khamr (minuman keras).
Ketiganya tidak batal, melainkan berubah sesuai dengan perubahan
kondisi. Para ahli dapat memilih salah satu di antaranya, sesuai dengan
kondisi yang dihadapinya”.27
Berdasarkan pernyataan di atas, tampaknya M. Quraish Shihab
memperbolehkan adanya pergantian hukum (naskh) oleh manusia
terhadap kasus yang dihadapinya dengan beralih pada ayat hukum
yang dianggap cocok sesuai kasus yang dihadapinya.
Semua ayat al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada
hanya pergantian hukum bagi masyarakat/orang tertentu, karena
kondisi yang berbeda. Ayat hukum yang tidak lagi berlaku baginya,
tetapi dapat berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama dengan
kondisi mereka semula. Lebih lanjut M. Quraish Shihab ketika
memahami kata "kami" dalam QS. al-Nahl (16): 101 menyatakan:

27 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan,
(Bandung : Mizan, 2004), hlm. 149-150
"Kata 'kami' di sini, sebagaimana halnya secara umum kata 'kami' yang
menjadi pengganti nama Tuhan dalam ayat-ayat lain, menunjukkan
adanya keterlibatan selain Tuhan (manusia) dalam perbuatan yang
digambarkan oleh kata kerja pada masing-masing ayat. Ini berarti ada
keterlibatan manusia (yakni para ahli) untuk menetapkan alternatifnya
dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan ayat-ayat al-Quran yang
mansukh atau diganti itu".28 Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat
dipahami manusia sebagai makhluk Tuhan yang telah diberikan akal
(rasio) juga mempunyai peran dalam mengupayakan adanya nasikh
dan mansukh dalam al-Quran. Atas dasar paparan di atas, Sahiron
Syamsuddin, mengemukakan bahwa konsep naskh di dalam al-Quran,
mempunyai wawasan luas dan pandangan jauh ke depan. Sebab, dapat
menunjukkan bahwa ajaran Islam senantiasa relevan di segala situasi
dan kondisi, serta mampu menjawab tantangan zaman. Sungguhpun
demikian, suatu hal yang tidak dapat dilupakan bahwa untuk
menggunakan konsep tersebut kiranya tidaklah mudah. Sebab untuk
menggunakannya diperlukan kemampuan memahami secara tepat
kondisi dan situasi lingkungan serta maslahat yang dimaksudkan
sehingga menghasilkan hukum muamalah yang benar-benar bisa
dipertanggungjawabkan dan disepakati bersama. Di samping itu
28 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan,
(Bandung : Mizan, 2004), hlm. 150
pendapatnya bertentangan dengan pendapat ulama ushul fikih yang
menyatakan bahwa naskh tidak mungkin terjadi sepeninggal Nabi
Muhammad saw.
Lebih tegas lagi Abdullahi Ahmed An-Naim, seorang pemikir Islam asal
Sudan (dikutip Sahiron Syamsuddin) mengatakan; bahwa proses naskh
itu bersifat tentatif sesuai dengan kebutuhan. Maksudnya, ayat mana
yang dibutuhkan pada masa tertentu, maka itulah yang diberlakukan
(muhkam); sedangkan ayat yang tidak diperlukan, (karena tidak
relevan dengan perkembangan kontemporer), dihapuskan atau
ditangguhkan (mansukh) penggunaannya.29
2. Nasakh dan Mansukh dalam Perspektik Penolaknya
Golongan ulama yang menolak adanya nasakh dalam al-Quran
berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang kelihatan bertentangan
sehingga tidak perlu dinasakh. Kelompok penolak yang dipelopori oleh
Abu Muslim al-Isfahani,30 menyatakan bahwa dalam al-Quran tidak
29 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Quran dan Hadits, (Yogyakarta : eLSAQ Press, 2010),
hlm. 5
30 Nama aslinya adalah Muhammad ibn Bahr, seorang mufassir kondang beraliran Mu`tazilah,
wafat 332 H, kitabnya yang terkenal adalah Jam` al-Takwil. Menurut Rachmat Syafe`i, sebenarnya
kita sangat sulit menemukan buku/kitab karya Abu Muslim, yang ada adalah pendapat orang
tentang pemikiran Abu Muslim. Lihat Rachmat Syafe`i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka
Setia, 2006), hlm. 87.
terdapat nasakh. Jika mengakui adanya nasakh berarti mengakui
adanya kebatilan dalam al-Quran. Abu Muslim al-Isfahani mendasarkan
argumentasinya pada al-Quran surat Fushilat ayat 42 :
َ َ ْ ٌ َْ ْ َ ْ ََ ْ َ َ َْ ْ ُ َْ َْ َ
ٍ ‫اطل ِمن ب ِن يدي ِه وﻻ ِمن خل ِف ِه ت ِ يل ِمن ح ِك ٍيم ح ِم‬
.(٤٢ : ‫)ﻓﺼﻠﺖ‬. ‫يد‬ ِ ‫ﻻ يأ ِت ِيه الب‬
“Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji”. (Q.S. Fushilat : 42).31
Hukum-hukum yang dibawa al-Quran bersifat abadi dan universal. Jadi
tidak layak kalau di dalam al-Quran terdapat naskh. Lebih lanjut Syekh
Abu Muslim al-Isfahani, sebagai mana dikutip Amir Syarifuddin,
mengemukakan argumentasi sebagai berikut :
a. Suatu hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT adalah karena adanya
maslahat atau mafsadat pada sesuatu yang dikenai hukum itu.
Sesuatu yang mengandung maslahat tidak mungkin beralih menjadi
mafsadat.
b. Kalam itu bersifat qadim, dalam arti telah ada sejak dahulu (azali)
sesuatu yang bersifat qadim tidak mungkin dicabut.32

31 Soenarjo, dkk, Al Quran dan Terjemahnya, (Jakarta : Depag RI, 2003), hlm. 544.
32 Amir Syarifuffin, Ushul Fiqh, jilid I, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2007), hlm. 229.
Sehingga jelas, al-Isfahani tidak setuju adanya nasakh. Al-Isfahani setuju
menginterpretasikan ayat yang secara zhahir terjadi kontradiksi dengan
jalan taksis (pengkhususan), untuk menghindari adanya nasakh atau
pembatalan, al-Isfahani berpendapat bahwa pembatalan hukum dari
Allah mengakibatkan kemustahilan-Nya, yaitu :
a. Ketidaktahuan, sehingga perlu mengganti atau membatalkan satu
hukum dengan hukum lainnya.
b. Jika itu dilakukan Allah, berarti Dia melakukan kesia-siaan dan
permainan belaka.33
Berbeda dengan al-Isfahani yang cenderung kepada takhsis,
Muhammad Abduh menolak adanya nasakh, dalam arti pembatalan,
tetapi menyetujui adanya tabdil (dalam pengertian: pengalihan,
pemindahan ayat hukum dengan ayat hukum lainnya). Dalam arti
bahwa semua ayat al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang
ada hanya pengalihan hukum bagi masyarakat atau orang tertentu,
karena kondisi yang berbeda.34 Dengan demikian ayat hukum yang
tidak berlaku baginya, tetap berlaku bagi orang lain yang kondisinya

33 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan,
(Bandung : Mizan, 2004), hlm. 144.
34 Rachmat Syafe`i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia, 2006), hlm. 88.
sama dengan kondisi mereka. Dalam perspektif hikmah, pemahaman
semacam ini menurut Quraish Shihab akan sangat membantu dakwah
islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap dapat dijalankan
oleh mereka yang kondisinya sama dengan kondisi umat Islam pada
awal masa Islam.35
D. PEDOMAN MENGETAHUI NASIKH DAN MANSUKH
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ada tiga metode untuk
mengetahui nasakh mansukh. Ketiga metode tersebut adalah :
1. Berdasarkan informasi yang jelas (al naql al-Sharih) yang didapat dari
nabi Muhammad saw dan sahabat. Hal ini seperti telah diungkapkan
dalam sebuah hadits :

“Diriwayatkan dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya ia berkata, Rasulullah SAW,


bersabda : Aku dulu melarang kamu semua berziarah kubur, sekarang
35 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan,
(Bandung : Mizan, 2004), hlm. 148
berziarahlah, maka sesungguhnya dalam ziarah itu mengandung
peringatan”. (HR. Abu Dawud).
2. Berdasarkan Ijma ulama bahwa hukum ini telah terjadi nasakh mansukh
3. Berdasarkan studi sejarah tentang mana ayat-ayat yang turun terlebih
dahulu (al-mutaqaddam) dan mana yang terkemudian (al-mutaakhir).36
Menurut al-Qattan, nasakh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad atau
berdasarkan pendapat mufassir, atau berdasarkan dali-dalil yang secara
zhahir nampak kontradiktif.37 Ketiga persyaratan itu merupakan faktor yang
sangat menentukan adanya nasakh dan mansukh dalam al-Quran. Jadi
berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa nasakh mansukh
hanya terjadi dalam lapangan hukum, dan tidak termasuk penghapusan
yang bersifat asal (pokok).
Sedangkan kedudukan nasakh merupakan salah satu bentuk interpretasi
hukum dalam upaya menghadapi ayat atau hadits yang tampak
kontradiktif selain dari tarjih atau taksis dalam disiplin ilmu ushul Fiqh.
Kuncinya terletak pada soal historis yang menyangkut kedua ketentuan
36 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan,
(Bandung : Mizan, 2004), hlm. 148
37 Supiana dan M. Karman, Ulumul al-Quran dan Pengenalan Metode Tafsir, (Bandung :
Pustaka Islamika, 2002), hlm. 150.
hukum tersebut. Faktor azbabun nuzul ada dalam tingkat ini untuk
mengetahui mana ayat yang datang terdahulu dan ayat yang datang
kemudian.
E. PEMBAGIAN NASAKH
Dari segi nasakh atau yang berhak menghapus sebuah nash (dalil/hukum),
nasakh dikelompokkan dalam empat bagian38 :
1. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an
Bagian ini disepakati oleh para pendukung nasakh. Adapun nasakh
dalam al-Quran terbagi dalam tiga kategori :
a. Ayat-ayat yang teksnya di naskh, namun hukumnya masih
tetap berlaku. Maksudnya adalah bahwa terdapat ayat al-Quran
yang turun kepada Rasulullah yang kemudian lafadznya dinasakh
tetapi hukum yang terdapat dalam lafadz tersebut masih berlaku,
contohnya ayat tentang rajam. Hal ini seperti yang diriwayatkan oleh
Umar bin Khattab bahwa terdapat nasakh al-Quran yang berbunyi :

38 Rachmat Syafe`i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia, 2006), hlm. 88. Lihat juga
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Mudzakir, (Yogyakarta : Pustaka Lentera,
2001), hlm. 334.
“Laki-laki tua dan perempuan-perempuan tua jika berzina maka
rajamlah, keduanya secara mutlak”.
Dikatakan lafadz itu merupakan bagian dari ayat al-Qur’an yang
telah dinasakh bacaannya tanpa menasakh hukum yang
terkandung di dalamnya. Hal ini dapat ditemukan dalam sebuah
hadits riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas :

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, Umar RA, telah


mengatakan, aku benar-benar takut apabila lama-lama manusia
akan mengatakan bahwasannya tidak menemukan hukuman rajam
dalam Kitab Allah SWT, maka mereka akan menyia-nyiakan sebagian
dari hukum Allah. Ketahuilah bahwasannya hukuman rajam itu benar
adanya ketika seseorang melakukan zina mukhshon dan dibuktikan
dengan bukti yang sah atau ia sendiri mengakuinya. Benar-benar aku
telah pernah membaca : “Laki-laki tua dan perempuan-perempuan
tua jika berzina maka rajamlah, keduanya secara mutlak”, maka
Rasulullah SAW, menjalankan hukuman rajam; dan akupun
memberlakukan hukuman rajam”. (HR. Ibnu Majah).
b. Nasakh pada bacaan dan hukum yang terkandung di
dalamnya. Maksudnya bahwa terdapat ayat al-Quran yang
sebelumnya telah permanen dari sisi lafadz dan juga makna kemudian
di nasakh, baik itu lafadz maupun makna (hukum yang terkandung di
dalamnya). Contohnya persusuan, yang mengharamkan kawin, yaitu
sepuluh kali susuan, kemudian dinasakh dengan lima kali susuan.
Sebagaimana dalam riwayat ‘Aisyah RA. :
“Dari Aisyah, r.a., beliau berkata : Adalah termasuk (ayat al-Qur.an)
yang diturunkan (yaitu ayat yang menerangkan) sepuluh kali susuan
yang nyata itu menjadikan mahram (haram dikawini), maka lalu
dinasakh dengan lima kali susuan yang nyata. Maka menjelang wafat
Rasulullah saw., ayat itu masih termasuk yang dibaca dari al-Quran.”
(H.R. Muslim).
c. Menasakh hukum tanpa menasakh tilawahnya.
Maksudnya, ada beberapa ayat al-Quran yang menurut ulama
hukumnya sudah dinasakh, sedangkan bacaannya masih tetap dalam
al-Quran. Contoh : sanksi pezina yang mulanya dikurung di rumah
sampai mati, berdasarkan firman Allah surat an-Nisa ayat 45 :

“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,


hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan
lain kepadanya”. (Q.S. an-Nisa : 15).
Hukum dalam ayat tersebut tidak berlaku lagi dengan turunnya surat
an-Nur ayat 2 di bawah ini :

‘‘Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah


tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera ...”. (Q.S. an-Nur : 2).
Contoh lain adalah tentang masa iddah isteri yang ditinggal mati oleh
suami, yang semula tinggal di rumah suami selama satu tahun
dinasakh dengan ayat tentang masa iddah empat bulan sepuluh hari.
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu)
diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada
dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”. (Q.S. al-Baqarah : 240).
Ayat tersebut bacaannya masih utuh, namun hukumnya tidak berlaku
lagi dengan adanya hukum iddah dalam surat al-Baqarah ayat 234.

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan


isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari…”. (Q.S. al-Baqarah : 234).
Mengenai naskh dalam al-Qur’an, ada beberapa pendapat yang
dikemukakan para ulama. Sebagian ulama berpendapat tidak boleh
menasakh hukum tanpa nasakh tilawah dengan alasan :
a. Yang dimaksud dengan bacaan ayat-ayat al-Quran adalah untuk
menjelaskan adanya hukum. Bacaan diturunkan untuk alasan
tersebut. Sehingga tidak mungkin terjadi pencabutan hukum
sedangkan bacaannya masih ada, sebab akan hilang apa yang
dimaksud dengan adanya bacaan itu.
b. Suatu hukum apabila dinasakh dan masih tetap bacaannya akan
menimbulkan dugaan masih adanya hukum, hal yang demikian
mendorong mukallaf meyakini suatu kebodohan.39
Menanggapi hal itu, al-Qattan mengemukakan hikmah penghapusan
hukum, sementara tilawahnya tetap, di antaranya :
a. Al-Quran di samping dibaca untuk diketahui dan diamalkan
hukumnya, juga akan mendapatkan pahala karena membaca
kalam Allah.
b. Pada umumnya nasakh itu meringankan, maka dengan tetap
adanya tilawah, maka akan meringankan nikmat dihapuskannya
kesulitan (musyaqqah).40
2. Nasakh al-Qur’an dengan Sunnah
Ada perbedaan pendapat mengenai bentuk nasakh ini, menurut jumhur
ulama, sunnah tidak dapat menasakh al-Quran karena hadits bersifat
39 Amir Syarifuffin, Ushul Fiqh, jilid I, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2007), hlm. 251.
40 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Mudzakir, (Yogyakarta : Pustaka
Lentera, 2001), hlm. 337.
dzanni, sementara al-Quran bersifat qath`i. Al-Quran lebih kuat dari
sunnah. Menurut asy-Syafi`i, sunnah tidak sederajat dengan al-Qur’an.
Pendapat ini didasarkan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 106.

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”. (al-Baqarah : 106).
Sementara itu ulama Hanafiyah, Imam Malik dan Ahmad, membolehkan
al-Quran dinasakh dengan sunnah mutawatir dengan alasan sunnah itu
wahyu, seperti firman Allah SWT. dalam surat an-Najm ayat 3-4 :.
 

“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan


hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya)”. (Q.S. an-Najm: 3-4).
Memang secara syar`i terjadi nasakh dengan sunnah Nabi Muhammad
saw. sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 180.
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. al-Baqarah: 180).
Ayat tersebut dinasakh oleh sabda Rasulullah saw dari Umamah. Hadits
tersebut adalah hasan menurut at-Turmuzi, yaitu hadits :

“Diriwayatkan dari Abi Umamah al-Bahili, ia berkata aku mendengar


Rasulullah SAW, bersabda dalam khutbahnya pada haji wada’ :
sesungguhnya SWT telah memberi bagian tertentu untuk yang berhak,
maka tidak boleh berwasiat kepada ahli waris; dan setiap anak menjadi
hak dari pemilik tempat tidur ... ”. (HR. Tirmidzi).
3. Nasakh Sunnah dengan al-Quran
Muhammad Abu Zahrah, memberikan contoh sunnah tentang shalat
menghadap ke Bait al-Maqdis, sebagaimana hadits :

“Diriwayatkan dari al-Barra’ RA, sesungguhnya Rasulullah menjalankan


shalat menghadap ke baitul maqdis ...”. (H.R. al-Bukhari).
Hukum menghadap qiblat yang ada dalam hadits di atas, dinasakh
dengan ayat 150 surat al-Baqarah : .41

41 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma`sum, dkk, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2008), hlm. 193-142
“Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke
arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka
Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia
atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja).
dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu
mendapat petunjuk”. (Q.S. al-Baqarah : 150).
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah
Nasakh ini pada hakikatnya adalah hukum yang ditetapkan
berdasarkan sunnah dinasakh dengan dalil sunnah pula. Contoh tentang
Konsep Nasikh dan Mansukh dalam al-Quran ziarah kubur yang
sebelumnya dilarang oleh Rasulullah saw, kemudian setelah itu Rasulullah
malah menganjurkannya.
F. FUNGSI NASIKH MANSUKH
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, fungsi nasakh secara umum ada tiga yaitu :
Sebagai salah satu upaya interprestasi hukum sebagai penahapan dalam
tasyri` untuk pemberian kemudahan.42
42 Nasir Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Quran, Kritik terhadap Ulumul Qur`an, (Yogyakarta :
LKiS, 2003), hlm. 149
1. Sebagai upaya interprestasi hukum.
Dalam upaya untuk melakukan interpretasi suatu peraturan dalam
syariat, baik al-Quran maupun hadits, setiap ketentuan hukum harus
jelas sehingga dapat diamalkan. Nasakh ini digunakan untuk
menghadapi dua dalil yang kontradiktif. Dalam hal ini harus ada upaya
atau mengumpulkan dua dalil hukum itu atau mengkhususkan dalil
(taksis), ataupun untuk memperkuat salah satunya (tarjih).
Jika interpretasi tadi sudah ditempuh dan ternyata kontradiksi, maka
penyelesaiannya dengan nasikh mansukh, dengan syarat-syarat yang
telah dijelaskan sebelumnya.
2. Sebagai penahapan dalam tasryi`
Penahapan ini bertujuan untuk memperkenalkan hukum secara
bertahap kepada orang Arab pada permulaan Islam, sehingga
memungkinkan mereka yang menerimanya untuk menerapkan
perintah-perintah yang dikandungnya secara bertahap. Jadi hukum itu
tidak ditetapkan secara mendadak (tiba-tiba/frontal) serta pada
akhirnya tidak memberatkan subjek hukum yang menyuruh atau
melarang seseorang untuk menjalankan perintah atau larangan yang
ditetapkan. Adanya penahapan ini, menghendaki adanya pencabutan
dan penggantian.
Contohnya mengenai penahapan larangan minum khamr. Semula orang
Arab sudah menyatu dengan minuman khamr, sehingga tidak mudah
untuk menghapuskan begitu saja. Oleh karena itu Allah SWT secara
bijaksana menetapkan keharamannya secara bertahap.
3. Sebagai pemberian kemudahan
Konsep nasakh ini, kemudahan bisa dilihat dengan tetap ditampilkannya
teks-teks yang dinasakh, selain teks-teks yang menasakh. Dengan begitu,
hukum ayat yang dinasakh dapat dimunculkan kembali pada tata
aturan masyarakat.
Manna Khalil al-Qattan menjelaskan tentang hikmah adanya nasakh dalam
al-Quran, yaitu :
1. Menjaga keselamatan hamba Allah;
2. Perkembangan tasyri` menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat Islam;
3. menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat Islam. Sebab jika
nasakh itu beralih kepada hal atau perkara yang lebih berat maka di
dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih kepada hal atau
perkara yang lebih ringan maka nasakh mengandung kemudahan dan
keringanan.
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai