DALAM AL-QUR’AN
PEMBAGIAN NASAKH
PENUTUP
A. PENGERTIAN NASIKH MANSUKH
Quraish Shihab, melalui penelitiannya menemukan kata naskh di dalam
kitab suci al-Quran dalam berbagai bentuk sebanyak empat kali, yaitu : di
dalam surat al-Baqarah : 106, al-A`raf: 154, al-Hajj: 52, dan al-Jatsiyah: 29.1
Secara etimologis naskh memiliki beberapa pengertian, yaitu : penghapusan
(al-izalah), pembatalan (al-ibthal), pemindahan (al-naql), pengubahan atau
penggantian (al-ibdal), dan pengalihan (al-tahwil atau al-intiqal).2
Berkaitan dengan pengertian tersebut, maka nasikh (isim fa`il) diartikan
sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan memalingkan.
Sedangkan mansukh (isim maful) adalah sesuatu yang dibatalkan, dihapus,
dipindahkan, diganti, dan dipalingkan.
Terdapat perbedaan pendapat antara ulama mutaqaddimin dan
mutaakhirin dalam mendefinisikan naskh secara terminologis. Perbedaan
1 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan,
(Bandung : Mizan, 2004), hlm. 143.
2 Muhammad Abd al-`Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fî Ulum al-Qur`an, (Kairo: `Isa
al-Babi al-Halabi, 1957), hlm. 175. Lihat pula Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan fî Ulum al-Qur`an,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1979), hlm. 200. Lihat pula Supiana dan M. Karman, Ulumul al-Quran dan
Pengenalan Metode Tafsir, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002), hlm. 149.
tersebut bersumber pada banyaknya pengertian naskh secara etimologi
sebagaimana dijelaskan di atas. Cakupan makna yang ditetapkan ulama
mutaqoddimin tentang pengertian naskh, di antaranya :
1. Pembatalan hukum yang ditetapkan sebelumnya dengan hukum yang
ditetapkan kemudian;
2. Pengecualian/pengkhususan hukum yang bersifat `am/umum oleh hukum
yang lebih khusus yang datang setelahnya;
3. Bayan atau penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang
bersifat samar;
4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.3
Berdasarkan pada gugusan paparan di atas, ulama mutaqaddimin secara
terminologis mengusung makna nasakh secara luas, yaitu tidak terbatas
pada berakhir atau terhapusnya suatu hukum baru yang ditetapkan.
Namun interprestasi nasakh yang diusung oleh mereka juga menyangkut
yang bersifat pembatasan, pengkhususan, bahkan pengecualian.
Sementara menurut ulama mutaakhirin, naskh adalah dalil yang datang
kemudian, berfungsi untuk menggugurkan dan menghilangkan hukum yang
3 Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Semarang : RaSail Media Group, 2002), hlm. 108.
pertama.4 Dengan demikian mereka mempersempit ruang lingkup naskh
dengan beberapa syarat, baik yang menaskh maupun yang dinaskh. Lebih
lanjut ulama mutaakhirin mendefinisikan naskh adalah : “Mengangkat
(menghapus) hukum syara` dengan dalil hukum (khatab) syara` yang
datang kemudian”.5
Atas dasar penjelasan tersebut di atas, maka dalil yang datang kemudian
disebut nasikh (yang menghapus), sedangkan hukum yang pertama disebut
mansukh (yang terhapus). sedangkan penghapusan hukum tersebut
dinamakan dengan naskh.6
Berdasarkan pengertian itu, para ulama mutaakhirin lebih mempersempit
makna nasakh dengan mendefinisikannya sebagai amandemen sebuah
ketentuan hukum atau berakhirnya masa berlakunya ketentuan hukum
oleh hukum yang datang kemudian, sehingga hukum yang terdahulu tidak
berlaku lagi.
4 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan,
(Bandung : Mizan, 2004), hlm. 143.
5 Abi Bakar Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Hamdzani, Al-`Itibar fî al-Nasikh wa al-Mansukh min
al-Atsar, (Pakistan: Jami`ah al-Dirasat al-Islamiyyah Karatisyi 1982), hlm. 52. Lihat juga Muhammad Wafa`,
Ahkam al-Naskh fî al-Syari`ah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Thabi`ah al-Muhammadiyyah, 1984), hlm. 22-26
6 Kahar Mansykur, Pokok-pokok Ulumul Qur`an, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), hlm. 135
Sementara itu, menurut az-Zarqani, sebagaimana dinukil Moh. Nur Ichwan,
yang dimaksud dengan terminologi “menghapuskan” dalam definisi tersebut
adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf
dan bukan terhapusnya subtansi hukum itu sendiri.7
B. SYARAT-SYARAT NASIKH MANSUKH
Sebagaimana dijelaskan oleh Abu Anwar, bahwasannya terdapat batasan
beberapa syarat yang diperlukan dalam naskh, yaitu :
1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara`. Nasakh hanya terjadi pada
perintah dan larangan. Nasakh tidak terdapat dalam akhlak, ibadah,
akidah, dan juga janji dan ancaman Allah.
2. Dalil yang dipergunakan untuk penghapusan hukum tersebut adalah
kitab syar`i yang datang kemudian.
3. Dalil yang mansukh hukumnya tidak terikat oleh waktu tertentu. Sebab,
jika demikian hukum akan berakhir dengan waktu tersebut.8
Hal ini seperti yang terdapat dalam Firman Allah SWT. surat al-Baqarah
ayat 109 :
7 Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Semarang : RaSail Media Group, 2002), hlm. 108.
8 Abu Anwar, Ulumul Quran, Sebuah Pengantar, (Yogyakarta : Amzah, 2009), hlm. 52.
ٌ َ ْ َ ّ ُ ََ ََ ْ ُ َ ْ َ ُ َ ﱠ َْ َ ﱠُ َ ْ ﱠ ﱠ
.(١٠٩ : )البقرة. فاعفوا واصفحوا ح يأ ِ ي ِبأم ِر ِه ِإن ع ِل ٍء ق ِدير...
“…maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan
perintah-Nya…”. (Q.S. al-Baqarah : 109).
Ayat tersebut tidak mansukh sebab dikaitkan dengan batas waktu,
sedangkan nasakh tidak dikaitkan dengan batas waktu.
Dengan memperhatikan syarat di atas, maka jelas bahwa naskh tidak bisa
ditetapkan sembarangan dan harus mematuhi syarat yang ada. Demikian
juga terkait suatu ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang berita (ummat
terdahulu, masa yang akan datang dan sebagainya), tidak mungkin terjadi
nasikh mansukh, karena mustahil Allah berdusta.
Quraish Shihab, menambahkan lagi syarat nasakh, bahwa nasakh baru
dilakukan bila : 1) Terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang,
serta tidak dapat lagi dikompromikan; 2) Harus diketahui secara
meyakinkan urutan turunnya ayat-ayat tersebut. Yang lebih dahulu
dikatakan mansukh, dan yang datang kemudian disebut nasakh.9
Beberapa penjelasan mengenai pengertian dan syarat naskh di atas, dapat
disimpulkan naskh mempunyai empat rukun yaitu : 1) Naskh, yaitu proses
9 Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Semarang : RaSail Media Group, 2002), hlm. 146.
revisi atau penggantian hukum; 2) Nasikh, yaitu hukum pengganti, dalam
hal ini Allah SWT, yang berhak secara mutlak untuk merevisi atau mengganti
hukum tersebut; 3) Mansukh, yaitu hukum yang direvisi; dan 4) Mansukh
`anhu, yaitu orang yang dikenai hukum atau mukallaf. 10
10 Ishom Elsaha dan Saiful Hadi, Sketsa al-Quran : Tempat, Tokoh, Nama dan Istilah dalam al-Quran,
(Jakarta : Lista Fariska, 2005), hlm. 555.
11 Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Team Pustaka Firdaus, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 369
Ayat tersebut mengandung prinsip yang diyakini keberadaanya oleh setiap
muslim, namun sebagian yang lain ada yang berpendapat bahwa dalam
menghadapi ayat-ayat al-Quran yang secara dhahir menunjukkan akan
kontradiksinya.
Menurut Yusuf Qardhawi, setidaknya ada tiga kecenderungan dalam
masalah nasakh, yaitu : 1) Ada yang meluaskan diri dalam mengklaim
adanya naskh dalam al-Quran dan berpendapat bahwa sekian dalam surat
sekian dinaskh, sementara tidak ada dalil yang kuat terhadap penaskhan
itu; 2) Sebagai antithesis dari mereka, ada yang mengingkari sama sekali
adanya nasakh dalam al-Quran; dan 3) Ada pendapat pertengahan yang
mengakui adanya naskh, jika dalil yang sahih dan jelas, yang meyakinkan
akal dan menenangkan hati.12
Berikut adalah pendapat dari golongan yang menerima dan menolak naskh
mansukh :
1. Nasakh Mansukh dalam Perspektif Pendukungnya
Salah satu ayat yang menjadi basis pembangunan teori nasakh adalah
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 106:
12 Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Quran, (Jakarta : Gama Insani Press, 1999), hlm. 467.
“Ayat mana saja yang kami nasakhakan, atau kami jadikan manusia
lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya, atau
sebanding dengannya, tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu ”. (Q.S. al-Baqarah : 106).
Ayat tersebut dijadikan dasar naqli bagi mayoritas ulama yang
mendukung adanya nasakh dalam al-Quran. Mayoritas ulama tanpa
keraguan menetapkan ayat-ayat yang termasuk naskh dan mansukh
tetap berlaku, akan tetapi segi hukum yang berlaku menyeluruh sampai
waktu tertentu tidak dapat dibatalkan kecuali oleh syara`. Jadi menurut
mereka, nasikh mansukh bisa diterima oleh akal dan telah terjadi dalam
hukum syara` sesuai dalil di atas.
Selain dalil naqli di atas, jumhur ulama pendukung nasakh juga
mendasarkan dalil naqli. Mereka berpandangan perbuatan Allah itu
mutlak, tidak tergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja
memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada
waktu yang lain. Ini karena, Allah lebih mengetahui kepentingan
hambanya.13 Pendapat lain yang mendasari mayoritas ulama tentang
teori naskh adalah penetapan perintah-perintah tertentu kepada kaum
muslimin di dalam al-Quran yang menurut Rosihan Anwar, ada yang
bersifat sementara dan ketika keadaan berubah perintah tersebut
dihapus dan diganti dengan perintah baru lainnya. Namun, karena
perintah-perintah itu kalam Allah, harus dibaca sebagai al-Quran.14
Ulama yang mempelopori konsep naskh mansukh dalam al-Quran
menurut Ahmad Izzan, adalah Imam asy-Syafi`i, al-Suyuti, al-Nahas, dan
al-Syaukani.15 Persoalan naskh bagi kelompok pendukungnya merupakan
salah satu cara menyelesaikan beberapa dalil. Apabila tidak bisa
dikompromikan, salah satunya dinasakhan atau dibatalkan. Disamping
itu, mereka berpendapat bahwa dalam al-Quran secara implisit memang
mengandung konsep nasakh. Oleh karen itu jika seseorang ingin
menafsirkan al-Quran, menurut M. Abu Zahrah, harus terlebih dahulu
mengetahui tentang nasikh dan mansukh.16
13 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Mudzakir, (Yogyakarta : Pustaka Lentera,
2001), hlm. 331.
14 Rosihan Anwar, Ulumul Quran, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), hlm. 163.
15 Ahmad Izzan, Ulumul Quran, Telaah Tekstual dan Kontekstuals al-Quran, (Bandung: Tafakur,
2009), hlm. 187
16 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma`sum, dkk, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2008), hlm. 120.
Menurut kelompok ini keberadaan nasakh dalam al-Quran selain
memiliki dasar dari al-Quran, secara praktis juga nyata dalam sejarah
Islam, dan naskh disebut secara eksplisit di dalam al-Quran. Rachmat
Syafe`i memberikan batasan terhadap ayat yang dinasakh, yaitu : (1)
ayat al-Quran yang konsekwensi hukumnya saling bertolak belakang dan
tidak dapat dikompromikan, (2) harus diketahui secara meyakinkan
urutan turunnya ayat-ayat tersebut, yang lebih dahulu ditetapkan
sebagai mansukh dan yang datang kemudian sebagai nasikh.17
Salah satu pemikir Indonesia, Munawir Sjadzali juga sependapat dengan
kelompok yang menyatakan adanya naskh, sehingga ia menggunakan
metode klasik yang disebut dengan naskh tersebut. Namun dalam
praktiknya, Munawir Sadjali menggunakannya dengan cara yang
berbeda dengan ulama klasik, sehingga menghasilkan pemahaman yang
radikal dan memberikan peran yang luas kepada akal untuk
melakukan reinterpretasi terhadap hukum atau petunjuk yang telah
diberikan dalam ayat-ayat al-Quran dan hadis nabi Muhammad saw.18
Sebagaimana disebutkan di atas, dalam pandangan ulama klasik
17 Rachmat Syafe`i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia, 2006), hlm. 94. Lihat juga
M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Quran, Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan
Pemberitaan Ghaib, (Bandung : Mizan, 2007), hlm. 146
18 Munawir Sjadzali , Ijtihad Kemanusiaan., (Jakarta : Paramadina, 1997), hlm. 47
nasakh dimaksudkan dengan penghapusan atau penangguhan ayat
yang turun lebih dahulu oleh ayat yang turun belakangan.
Selain ulama tafsir di atas, beberapa ulama tafsir yang namanya sudah
membumi di Indonesia juga sependapat adanya naskh di dalam al-
Quran. Ibnu Katsir misalnya, dalam tafsirnya "Tafsir al-Quran al-`Azhim
(Ibnu Katsir)" menyatakan: “Sesungguhnya menurut rasio tidak terdapat
sesuatu yang menolak adanya nasakh (pembatalan) dalam hukum-
hukum Allah”.19 Selain Ibnu Katsir, Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam
tafsirnya "Tafsir al-Maraghi" menyatakan :
“Sesungguhnya hukum-hukum itu diundangkan untuk kepentingan
manusia, dan kepentingan manusia dapat berbeda karena perbedaan
zaman dan tempat. Maka apabila suatu hukum diundangkan pada
waktu di mana memang dirasakan kebutuhan adanya hukum itu,
kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi, maka suatu tindakan bijaksana
menghapus hukum itu dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan
waktu yang terakhir”.20
19 Abi al-Fida` Isma`il ibn Katsir al-Qurasyiyyi al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur`an al-Azhim, (Beirut:
al-Maktabah al-`Ashriyyah, 2000), cet. Ke-2, hlm. 131
20 Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Mushthada al-Babi al-Halabi wa
Awladuhu, 1969), juz I, cet. Ke-4, hlm. 187
Adapun Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya "Tafsir al-Manar"
menyatakan:
”Sesungguhnya hukum itu (dapat) berbeda karena perbedaan zaman,
tempat, dan situasi. Kalau satu hukum diundangkan pada saat
dibutuhkannya hukum, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi, maka
suatu tindakan bijaksana menghapus hukum itu dan menggantikannya
dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu yang belakangan
itu.”21
Sejalan pendapat di atas Sayyid Quthb dalam tafsirnya "Tafsir fi Zhilal
al-Qur'an" berpendapat bahwa ayat 106 dari surat al-Baqarah itu
diturunkan sebagai sanggahan terhadap tuduhan orang-orang yahudi
bahwa Nabi tidak konsisten, baik mengenai kepindahan kiblat dari
masjid al-Aqsha22 ke Masjid al-Haram, maupun perubahan petunjuk,
21 Al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur`an al-Hakim (Tafsir al-Manar), (Kairo : Dar
al-Manar, t.th), juz l. hlm. 414
22 Masjid al-Aqsha, merupakan masjid yang terletak di Palestina, nama al-Aqsha diberikan
pada masjid ini pada masa kekhalifahan Umar ibn. Khattab. Oleh karena itu dalam menafsirkan
ayat tentang isra` mikraj diperlukan kemampuan memahami simbul ayat dimaksud, demikian
Fazlur Rahman. Sejalan paparan di atas terkait dengan perpindahan kiblat diperlukan pemahaman
sejarah agar diperoleh penafsiran yang valid dan reliabel, karena masjid al-Aqsha yang dimaksud
tidak bisa mengacu pada Masjidil Aqsha di Palestina, demikian Mulyadi Kertanegara menyatakan
dalam Mozaik Khazanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta : Paramadina, 2000), hlm. 185.
hukum dan perintah yang terjadi akibat pertumbuhan masyarakat
Islam, dan situasi serta kondisi mereka yang terus berkembang.23
Wahyu-wahyu Allah itu tidak turun ke dunia yang vakum, melainkan
kepada suatu kelompok manusia atau masyarakat dengan latar
belakang sejarah dan kebudayaan tertentu, serta tingkat kecerdasan
tertentu. Oleh sebab itu wajar kiranya kalau ajaran Islam yang pada
dasarnya bersifat universal itu disampaikan oleh wahyu kepada
masyarakat tertentu, dalam hal ini bangsa Arab, dengan
memperhatikan situasi dan kondisi lapangan serta kekhususan budaya
masyarakat untuk siapa Islam itu diajarkan, yang antara lain dilihat dari
adanya naskh dalam al-Quran dan Sunnah Nabi.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dipahami bahwa naskh (pergeseran
atau pembatalan hukum/petunjuk) itu dapat terjadi tidak hanya pada
zaman nabi Muhammad saw. tetapi juga sepeninggal beliau kalau
memang kondisi dan situasinya telah berubah. Di samping itu akal budi
manusia juga dapat berperan sebagai alat yang dapat menaskh wahyu
atau membatalkan/menggeser hukum baik yang termaktub dalam
ayat-ayat al-Quran maupun Hadis Nabi saw. selama hal tersebut
berkaitan dengan masalah mu'amalah (kemasyarakatan). Dengan
23 Sayyid Quthb, Tafsir fî Zhilal al-Qur`an, (Beirut: Dar al-`Arabiyyah, t.th.), juz I, hlm. 101-102
demikian, bukan berarti al-Quran dan Hadits yang diubah, bukan pula
syari'at yang diubah, tetapi pengetrapannya yang dapat diubah.24
Pandangan Munawir Sadzali, yang menyatakan bahwa naskh dapat
terjadi sepeninggal nabi Muhammad saw., ini jelas-jelas bertentangan
dengan ulama yang berpegang pada pandangan klasik yang
menyatakan bahwa naskh hanya terjadi pada masa nabi Muhammad
saw. atau masa tasyri'. Demikian juga pendapatnya yang membolehkan
akal budi (rasio) manusia sebagai alat yang dapat menaskh wahyu Allah
bertentangan dengan pendapat umum.
Karena pemahaman yang telah mapan menyatakan bahwa akal
manusia tidak berwenang menghapus hukum Allah, sebab Allah adalah
musyarri`, bukan manusia. Ahmad Azhar Basyir, salah seorang tokoh
Muhammadiyah misalnya mengatakan bahwa yang berhak menaskh
hukum-hukum Allah hanya Allah sendiri. Selain Allah tidak berhak
menasakh hukum-hukum Allah. Setelah al-Quran selesai diwahyukan,
nasikh mansukh sudah berhenti. Semua pernyataan fuqaha' dan
mufassirin tentang kemungkinan terjadinya naskh, tertuju pada kurun
waktu semasa al-Quran belum selesai diwahyukan. Oleh karenanya
jalan naskh tidak dapat dipergunakan untuk membahas kemungkinan
27 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan,
(Bandung : Mizan, 2004), hlm. 149-150
"Kata 'kami' di sini, sebagaimana halnya secara umum kata 'kami' yang
menjadi pengganti nama Tuhan dalam ayat-ayat lain, menunjukkan
adanya keterlibatan selain Tuhan (manusia) dalam perbuatan yang
digambarkan oleh kata kerja pada masing-masing ayat. Ini berarti ada
keterlibatan manusia (yakni para ahli) untuk menetapkan alternatifnya
dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan ayat-ayat al-Quran yang
mansukh atau diganti itu".28 Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat
dipahami manusia sebagai makhluk Tuhan yang telah diberikan akal
(rasio) juga mempunyai peran dalam mengupayakan adanya nasikh
dan mansukh dalam al-Quran. Atas dasar paparan di atas, Sahiron
Syamsuddin, mengemukakan bahwa konsep naskh di dalam al-Quran,
mempunyai wawasan luas dan pandangan jauh ke depan. Sebab, dapat
menunjukkan bahwa ajaran Islam senantiasa relevan di segala situasi
dan kondisi, serta mampu menjawab tantangan zaman. Sungguhpun
demikian, suatu hal yang tidak dapat dilupakan bahwa untuk
menggunakan konsep tersebut kiranya tidaklah mudah. Sebab untuk
menggunakannya diperlukan kemampuan memahami secara tepat
kondisi dan situasi lingkungan serta maslahat yang dimaksudkan
sehingga menghasilkan hukum muamalah yang benar-benar bisa
dipertanggungjawabkan dan disepakati bersama. Di samping itu
28 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan,
(Bandung : Mizan, 2004), hlm. 150
pendapatnya bertentangan dengan pendapat ulama ushul fikih yang
menyatakan bahwa naskh tidak mungkin terjadi sepeninggal Nabi
Muhammad saw.
Lebih tegas lagi Abdullahi Ahmed An-Naim, seorang pemikir Islam asal
Sudan (dikutip Sahiron Syamsuddin) mengatakan; bahwa proses naskh
itu bersifat tentatif sesuai dengan kebutuhan. Maksudnya, ayat mana
yang dibutuhkan pada masa tertentu, maka itulah yang diberlakukan
(muhkam); sedangkan ayat yang tidak diperlukan, (karena tidak
relevan dengan perkembangan kontemporer), dihapuskan atau
ditangguhkan (mansukh) penggunaannya.29
2. Nasakh dan Mansukh dalam Perspektik Penolaknya
Golongan ulama yang menolak adanya nasakh dalam al-Quran
berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang kelihatan bertentangan
sehingga tidak perlu dinasakh. Kelompok penolak yang dipelopori oleh
Abu Muslim al-Isfahani,30 menyatakan bahwa dalam al-Quran tidak
29 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Quran dan Hadits, (Yogyakarta : eLSAQ Press, 2010),
hlm. 5
30 Nama aslinya adalah Muhammad ibn Bahr, seorang mufassir kondang beraliran Mu`tazilah,
wafat 332 H, kitabnya yang terkenal adalah Jam` al-Takwil. Menurut Rachmat Syafe`i, sebenarnya
kita sangat sulit menemukan buku/kitab karya Abu Muslim, yang ada adalah pendapat orang
tentang pemikiran Abu Muslim. Lihat Rachmat Syafe`i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka
Setia, 2006), hlm. 87.
terdapat nasakh. Jika mengakui adanya nasakh berarti mengakui
adanya kebatilan dalam al-Quran. Abu Muslim al-Isfahani mendasarkan
argumentasinya pada al-Quran surat Fushilat ayat 42 :
َ َ ْ ٌ َْ ْ َ ْ ََ ْ َ َ َْ ْ ُ َْ َْ َ
ٍ اطل ِمن ب ِن يدي ِه وﻻ ِمن خل ِف ِه ت ِ يل ِمن ح ِك ٍيم ح ِم
.(٤٢ : )ﻓﺼﻠﺖ. يد ِ ﻻ يأ ِت ِيه الب
“Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji”. (Q.S. Fushilat : 42).31
Hukum-hukum yang dibawa al-Quran bersifat abadi dan universal. Jadi
tidak layak kalau di dalam al-Quran terdapat naskh. Lebih lanjut Syekh
Abu Muslim al-Isfahani, sebagai mana dikutip Amir Syarifuddin,
mengemukakan argumentasi sebagai berikut :
a. Suatu hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT adalah karena adanya
maslahat atau mafsadat pada sesuatu yang dikenai hukum itu.
Sesuatu yang mengandung maslahat tidak mungkin beralih menjadi
mafsadat.
b. Kalam itu bersifat qadim, dalam arti telah ada sejak dahulu (azali)
sesuatu yang bersifat qadim tidak mungkin dicabut.32
31 Soenarjo, dkk, Al Quran dan Terjemahnya, (Jakarta : Depag RI, 2003), hlm. 544.
32 Amir Syarifuffin, Ushul Fiqh, jilid I, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2007), hlm. 229.
Sehingga jelas, al-Isfahani tidak setuju adanya nasakh. Al-Isfahani setuju
menginterpretasikan ayat yang secara zhahir terjadi kontradiksi dengan
jalan taksis (pengkhususan), untuk menghindari adanya nasakh atau
pembatalan, al-Isfahani berpendapat bahwa pembatalan hukum dari
Allah mengakibatkan kemustahilan-Nya, yaitu :
a. Ketidaktahuan, sehingga perlu mengganti atau membatalkan satu
hukum dengan hukum lainnya.
b. Jika itu dilakukan Allah, berarti Dia melakukan kesia-siaan dan
permainan belaka.33
Berbeda dengan al-Isfahani yang cenderung kepada takhsis,
Muhammad Abduh menolak adanya nasakh, dalam arti pembatalan,
tetapi menyetujui adanya tabdil (dalam pengertian: pengalihan,
pemindahan ayat hukum dengan ayat hukum lainnya). Dalam arti
bahwa semua ayat al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang
ada hanya pengalihan hukum bagi masyarakat atau orang tertentu,
karena kondisi yang berbeda.34 Dengan demikian ayat hukum yang
tidak berlaku baginya, tetap berlaku bagi orang lain yang kondisinya
33 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan,
(Bandung : Mizan, 2004), hlm. 144.
34 Rachmat Syafe`i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia, 2006), hlm. 88.
sama dengan kondisi mereka. Dalam perspektif hikmah, pemahaman
semacam ini menurut Quraish Shihab akan sangat membantu dakwah
islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap dapat dijalankan
oleh mereka yang kondisinya sama dengan kondisi umat Islam pada
awal masa Islam.35
D. PEDOMAN MENGETAHUI NASIKH DAN MANSUKH
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ada tiga metode untuk
mengetahui nasakh mansukh. Ketiga metode tersebut adalah :
1. Berdasarkan informasi yang jelas (al naql al-Sharih) yang didapat dari
nabi Muhammad saw dan sahabat. Hal ini seperti telah diungkapkan
dalam sebuah hadits :
38 Rachmat Syafe`i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia, 2006), hlm. 88. Lihat juga
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Mudzakir, (Yogyakarta : Pustaka Lentera,
2001), hlm. 334.
“Laki-laki tua dan perempuan-perempuan tua jika berzina maka
rajamlah, keduanya secara mutlak”.
Dikatakan lafadz itu merupakan bagian dari ayat al-Qur’an yang
telah dinasakh bacaannya tanpa menasakh hukum yang
terkandung di dalamnya. Hal ini dapat ditemukan dalam sebuah
hadits riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas :
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”. (al-Baqarah : 106).
Sementara itu ulama Hanafiyah, Imam Malik dan Ahmad, membolehkan
al-Quran dinasakh dengan sunnah mutawatir dengan alasan sunnah itu
wahyu, seperti firman Allah SWT. dalam surat an-Najm ayat 3-4 :.
41 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma`sum, dkk, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2008), hlm. 193-142
“Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke
arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka
Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia
atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja).
dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu
mendapat petunjuk”. (Q.S. al-Baqarah : 150).
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah
Nasakh ini pada hakikatnya adalah hukum yang ditetapkan
berdasarkan sunnah dinasakh dengan dalil sunnah pula. Contoh tentang
Konsep Nasikh dan Mansukh dalam al-Quran ziarah kubur yang
sebelumnya dilarang oleh Rasulullah saw, kemudian setelah itu Rasulullah
malah menganjurkannya.
F. FUNGSI NASIKH MANSUKH
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, fungsi nasakh secara umum ada tiga yaitu :
Sebagai salah satu upaya interprestasi hukum sebagai penahapan dalam
tasyri` untuk pemberian kemudahan.42
42 Nasir Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Quran, Kritik terhadap Ulumul Qur`an, (Yogyakarta :
LKiS, 2003), hlm. 149
1. Sebagai upaya interprestasi hukum.
Dalam upaya untuk melakukan interpretasi suatu peraturan dalam
syariat, baik al-Quran maupun hadits, setiap ketentuan hukum harus
jelas sehingga dapat diamalkan. Nasakh ini digunakan untuk
menghadapi dua dalil yang kontradiktif. Dalam hal ini harus ada upaya
atau mengumpulkan dua dalil hukum itu atau mengkhususkan dalil
(taksis), ataupun untuk memperkuat salah satunya (tarjih).
Jika interpretasi tadi sudah ditempuh dan ternyata kontradiksi, maka
penyelesaiannya dengan nasikh mansukh, dengan syarat-syarat yang
telah dijelaskan sebelumnya.
2. Sebagai penahapan dalam tasryi`
Penahapan ini bertujuan untuk memperkenalkan hukum secara
bertahap kepada orang Arab pada permulaan Islam, sehingga
memungkinkan mereka yang menerimanya untuk menerapkan
perintah-perintah yang dikandungnya secara bertahap. Jadi hukum itu
tidak ditetapkan secara mendadak (tiba-tiba/frontal) serta pada
akhirnya tidak memberatkan subjek hukum yang menyuruh atau
melarang seseorang untuk menjalankan perintah atau larangan yang
ditetapkan. Adanya penahapan ini, menghendaki adanya pencabutan
dan penggantian.
Contohnya mengenai penahapan larangan minum khamr. Semula orang
Arab sudah menyatu dengan minuman khamr, sehingga tidak mudah
untuk menghapuskan begitu saja. Oleh karena itu Allah SWT secara
bijaksana menetapkan keharamannya secara bertahap.
3. Sebagai pemberian kemudahan
Konsep nasakh ini, kemudahan bisa dilihat dengan tetap ditampilkannya
teks-teks yang dinasakh, selain teks-teks yang menasakh. Dengan begitu,
hukum ayat yang dinasakh dapat dimunculkan kembali pada tata
aturan masyarakat.
Manna Khalil al-Qattan menjelaskan tentang hikmah adanya nasakh dalam
al-Quran, yaitu :
1. Menjaga keselamatan hamba Allah;
2. Perkembangan tasyri` menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat Islam;
3. menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat Islam. Sebab jika
nasakh itu beralih kepada hal atau perkara yang lebih berat maka di
dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih kepada hal atau
perkara yang lebih ringan maka nasakh mengandung kemudahan dan
keringanan.
PENUTUP