Anda di halaman 1dari 15

NASIKH DAN MANSUKH

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Studi Al-Qur’an”

Dosen Pengampu :

Siti Mariatul Kiptiyah, S.TH.I., M.A.

Disusun Oleh :

Anindha Ilham Innaha M.P 402190015

Anis Rusita Sari 402190016

Anisa Indriani Sagitawati 402190017

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2021
DAFTAR ISI

COVER

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh


B. Syarat dan Rukun Nasikh dan Mansukh
C. Perbedaan Nasikh dan Mansukh
D. Macam dan Hikmah Nasikh dan Mansukh
E. Cara Mengetahui Adanya Nasikh dan Mansukh
F. Fungsi Memahami Nasikh dan Mansukh

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Alquran yang merupakan pedoman hidup umat Islam dan sumber
utama hukum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.,
dipercaya sebagai kitab yang abadi dan universal. Abadi berarti akan
terus berlaku sampai akhir zaman, sedangkan universal berarti syari‟at
yang dikandungnya berlaku untuk seluruh umat manusia tanpa
memandang perbedaan struktur etnis dan geografis. Namun, masih ada
permasalahan yang hangat dibicarakan dikalangan umat Islam sendiri
khususnya para ulama yakni tentang nasikh (yang menghapus) dan
mansûkh (yang dihapus). Pertanyaan pokok yakni adakah nasikh-
mansûkh dalam Alquran? Dalam pemberian makna nasakh itu sendiri
masih hangat diperbincangkan karena dari segi makna bahasa maupun
istilah belum adanya kesepakatan para ulama mengenai hal tersebut.1
Menurut Al-Nahas (w.338 H), nasikh memiliki dua makna: Pertama,
dari “nasakhat al-syams al-zhilla”, artinya: jika matahari
menghilangkan/ menghapuskan bayangan dan menggantikannya.
Padanan makna nasikh ini adalah firman Allah Qs. Al-Hajj (22): 52.
Kedua, dari “nasakhta al-kitāba idzā anqaltahu min nuskhatihi” artinya:
engkau menasakh sebuah buku jika engkau memindahkan naskahnya.2
Ayat-ayat yang dipandang mansûkh menurut al- Nahas berjumlah
100 ayat lebih. Ayat-ayat ini menurutnya telah berlawanan dengan ayat-
ayat lain dalam Alquran. Atas dasar perlawanan yang tidak dapat
dipersesuaikan itulah al- Nahas mendakwa ada sejumlah 100 ayat lebih
telah di-mansûkh-kan.3
Al-Syaukany (1173 H-1250 H) berpendapat bahwa ayat yang
termasuk mansukh yakni ayat-ayat yang sama sekali tidak dapat

1
Rahmat Syafe‟i, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 83.
2
Qasim Nurseha Dzulhadi, “Kontroversi Nasikh Mansukh dalam Alquran”, Jurnal
TSAQAFAH, Vol.5, No.2, 259.
3
Hasbi Al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2009), 94.
dikompromikan berjumlah 8 ayat. Dengan kata lain bahwa 12 ayat yang
oleh al-Suyuti tidak dapat dipersesuaikan, dapat dipersesuaikan oleh Al-
Syaukany. Jelas ini menjadikan jumlah ayat naskh dalam Alquran
semakin berjumlah sedikit.4 Maka dari latar belakang tersebut, sangat
menarik bagi penulis untuk menjelaskan tentang Nasikh dan Mansukh.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Nasikh dan Mansukh ?
2. Apa saja syarat dan rukun Nasikh dan Mansukh ?
3. Apa saja perbedaan Nasikh dan Mansukh ?
4. Apa macam dan Hikmah Nasikh dan Mansukh ?
5. Bagaimana cara mengetahui adanya Nasikh dan Mansukh ?
6. Apa fungsi memahami Nasikh dan Mansukh ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Nasikh dan Mansukh ?
2. Untuk mengetahui syarat dan rukun Nasikh dan Mansukh ?
3. Untuk mengetahui perbedaan Nasikh dan Mansukh ?
4. Untuk mengetahui macam dan Hikmah Nasikh dan Mansukh ?
5. Untuk mengetahui cara mengetahui adanya Nasikh dan Mansukh ?
6. Untuk mengetahui fungsi memahami Nasikh dan Mansukh ?

BAB II
4
Hasbi Al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir, 94.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh


Secara bahasa, nasakh memiliki dua pengertian. Pertama;
penghapusan/ penghilangan (al-Izalah), misalnya ‫خت‬JJ‫مس نس‬JJ‫ل الش‬JJ‫الظ‬
(matahari itu telah menghapus bayang-bayang). Kedua; pemindahan
(al-naql), misalnya ‫خت‬JJ‫اب نس‬JJ‫( الكت‬saya memindah/ menyalin tulisan).
Terlihat bahwa nasakh memiliki makna yang berbeda-beda, ia bisa
berarti membatalkan, menghilangkan, menghapus, menggalihkan dan
sebagainya, yang di hapus disebut mansukh dan yang menghapus
disebut nasakh. Namun dari sekian banyak definisi itu, menurut tarjih
ahli bahasa, pengertian nasakh yang mendekati kebenaran adalah
nasakh dalam pengertian al-Izalah mengangkat sesuatu dan menetapkan
selainnya pada tempatnya.5
Sebagaimana dalam pengertian etimologi, nasakh dalam
terminologipun memiliki pengertian yang berbeda-beda, sebagaimana
pendapat yang mengatakan bahwa nasakh adalah mengangkat atau
menghapus hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) yang lain.6
Dalam termenologi hukum Islam (fiqh) hukum yang dibatalkan
namanya mansukh, sedangkan hukum yang datang kemudian
(menghapus) disebut nasakh. Perlu diketahui di sini bahwa yang
dibatalkan adalah hukum syara’ bukan hukum akal dan pembatalan itu
karena adanya tuntutan kemaslahatan.7
B. Rukun dan Syarat Nasikh dan Mansukh
a. Rukun dan Syarat Nasikh
Sesuai dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu  hukum,
hubungan antara  ketentuan hukum satu dengan yang lainnya harus
benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu 
ayat  dengan  ayat lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, ada
beberapa rukun dan syarat yang harus diterapkan:
1. Rukun Nasikh
5
Mustafa Zaid, al-Nasikh fi al-Qur’an al-Karim, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 67.
6
Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an (Singapura: Haramain, t.th.), 232.
7
al-Shaukani, Fath al-Qadir, Juz I (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1994), 158.
a) Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya
pembatalan hukum yang telah ada.
b) Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang
telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah,
karena Dialah yang membuat hukum dan menghapusnya.
c) Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan,
atau dipindahkan.
d) Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.8
2. Syarat Nasikh
Sebagaimana telah dibahas diatas, bahwa jumhur mengakui
kebenaran nasakh dalam al-qur’an, namun harus memenuhi
beberapa persyaratan. Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati
dan ada yang tidak. Diantara syarat-syarat yang disepakati
adalah:
a) Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
b) Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
c) Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya
waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang
kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakh setelah selesai
melaksanakan puasa tersebut.
d) Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.
Adapun persyaratan yang diperselisihkan, antara lain:
a) Alasan yang dikemukakan oleh Mu’tazilah dan sebagian
Hanafiyah yang menyatakan bahwa hukum yang dinasakh
itu pernah dilaksanakan, atau syara’ telah memberi
kesempatan untuk melaksanakan hukum tersebut, yang
menunjukkan bahwa hukum itu baik.
b) Golongan Mu’tazilah dan Maturidiyah berpendapat bahwa
disyaratkan hukum yang dinasakh itu haruslah ditujukan
untuk sesuatu yang baik yang diterima akal pembatalannya.
Syarat tersebut tidak diterima Jumhur dengan alasan bahwa

8
Rosihon Anwar, Ulum Al-quran (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008),  165
baik dan buruknya suatu perbuatan itu ditentukan oleh
syara’ bukan oleh akal.
c) Sebagian ulama ushul fiqih mensyaratkan adanya pengganti
terhadap hukum yang dibatalkan. Mereka beralasan dengan
firman Allah surat al-baqarah, 2.
d) Sebagian ahli ushul dari golongan Hanafiyah mensyaratkan
bahwa apabila akan menasakh terhadap nash al-qur’an atau
hadis yang mutawatir, maka nasikh itu harus sederajat, tidak
boleh yang kualitasnya lebih rendah, seperti menasakh
hadis mutawatir dengan hadis ahad.9
b. Syarat dan rukun masukh
Terjadinya Nasikh-Mansukh mengaharuskan adanya empat hal
antara lain :
1. Hukum yang dimansukh harus berupa hukum shara’ (bukan
hukum akal, dan bukan hukum produk manusia), yakni titah
Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf, baik wajib, haram, nadb, makruh, maupun mubah.
Dan dalil yang mengganti (Nasikh) juga harus berupa dalil
shara’(al-qur’an,al-sunnah, ijma’, dan qiyas) sebagaimana
tuntunan Q.S An-Nisa ayat 59 :
Artinya : "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang
kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa: 59)
2. Adanya dalil baru yang mengganti (nasikh) harus setelah ada
tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama (mansukh).
3. Antara dua dalil nasikh dan mansukh atau antara dalil 1 dan dalil
2 tersebut harus ada pertentangan yang nyata (kontradiktif).
9
http://quranhaditsknowledge.blogspot.co.id/2013/10/ulumul-quran-nasikh-mansukh.html
diakses pada 08-10-2015 (08-20)
4. Dalil yang mengganti (nasikh) harus bersifat mutawatir. Karena
dalil yang ketetapan hukumnya telah terbukti secara pasti, maka
tidak dapat di-nasikh kecuali oleh hukum yang terbukti secara
pasti pula. 10
C. Perbedaan Nasikh dan Mansukh
Perbedaan nasakh mansukh di atas didasarkan pada perbedaan dalam
menginterpretasikan dalil-dalil hukum yang kontradiksi atau
bertentangan. Jumhur ulama menyetujui adanya nasakh dalam arti
penghapusan, sementara Abu Muslim al-Isfahani menyepakati adanya
taksis, sedangkan Muhammad Abduh lebih setuju jika nasakh diartikan
dengan alTabdil yaitu menggantikan. Adat Naskh adalah pernyataan
yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada. Nasikh
yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada
hakikatnya Nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat
hukum dan Dia pulalah yang menghapusnya. Sedangkan Mansukh
adalah hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan. Dan
Mansukh ‘anh yaitu orang yang dibebani hukum.
D. Macam dan Hikmah Nasikh dan Mansukh
a. Ada beberapa macam Nasikh dan Mansukh, yaitu :
1. Naskh Al-qur’an dengan Al-qur’an(Naskhul Qur’aani bil
Qur’aani) Bagian ini dsiepakati kebolehannyaa dan telah
terjadi di dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya
naskh. Misalnya, ayat tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari.
2. Naskh Al-qur’an dengan As-Sunnah(Naskhul Qur’aani bis
Sunnati) Naskh ini ada dua macam:
a) Naskh Al-qur’an dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat,
Al-qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Al-
qur’an adalah mutawattir dan menunjukkan keyakinan,
sedang hadits ahad itu zhanni, bersifat dugaan, disamping
tidak sah pula menghapusakan sesuatu yang maklum (jelas
diketahui) dengan yang mazhnun (diduga).

10
Ash-Shatiby,al-muwafaqat fi usul fiqh.(Beirut:Dar Al-Ma’ari, 1975) III:105
b) Naskh Al-qur’an dengan hadits mutawattir. Naskh
senacam ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah, dan
Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing
keduanya adalah wahyu. Allah ber6rman: Artinya: “Dan
Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS.
An-Najm 3-4) Dalam pada itu Asy-syafi’i, Zhahiriyah dan
Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh seperti
ini, berdasarkan 6rman Allah, Artinya: “Ayat mana saja
yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya
atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu
mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu?” (QS. Al-Baqarah:106) Sedang hadits
tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al-qur’an.
3. Naskh sunah dengan Al-qur’an (Naskhus Sunnah bil Qur’aani)
Naskh ini menghapuskan hukum yang ditetapkan berdasarkan
sunnah diganti dengan hukum yang didasarkan dengan Al-
qur’an. Naskh jenis ini diperbolehkan oleh jumhur Ulama’.
Contohnnya seperti berpuasa wajib pada hari Asy-Syura yang
ditetapkan berdasarkan sunnah juga dinasakh firrman Allah:
Artinya: “Maka barang siapa menyaksikan bulan Ramadlan
hendaklah ia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah:185) Maksudnya,
semula berpuasa hari Asy-Syura itu wajib, tetapi setelah turun
ayat yang mewajibkan puasa pada bulan Ramadlan, maka
puasa pada hari Asyura itu tidak wajib lagi, sehingga ada orang
yang berpuasa dan ada yang tidak.
4. Nasikh sunah dengan sunah (Naskhus Sunnah bis Sunnah)
Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas
atau menasakh keduanya, maka pendapat yang shohih tidak
membolehkannya.
b. Hikmah adanya Nasakh Mansukh antara lain :
Al-Maraghi menyatakan bahwa nasakh dan mansukh itu ada
hikmah-hikmahnya, beliau menegaskan bahwa : Hukum-hukum
tidak akan diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan
hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat
sehingga apabila ada hukum yang diundangkan pada suatu waktu
karena adanya kebutuhan yang mendesak kemudian kebutuhan
berakhir,maka hal itu merupakan suatu tindakan bijaksana apabila
hukum yang diundangkan tersebut di nasakh (dibatalkan) dan
diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu tersebut,sehingga
dengan demikian hukum itu akan jadi lebih baik dari hukum
semula atau sama dari aspek manfaatnya untuk hamba-hamba
Allah. Adapun hikmah adanya Nasakh Mansukh yaitu:
1. Memelihara kemaslahatan hamba.
2. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat
manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf apakah mengikutinya
atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudaahan bagi umat.Sebab jika
nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya
terdapat tambahan pahala,dan jika beralih ke hal yang lebih
ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.11
5. Agar pengetahuan hukum tidak menjadi kacau dan
kabur,sebagaimana perkataan Ali r.a kepada seorang hakim:

‫هلكت و اهلكت‬:‫قال‬,‫ال‬:‫التعرف الناسخ والمنسوح قال‬

Diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seseorang hakim


lalu bertanya: Apakah kamu mengetahui Nasakh dan

11
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,terj.Aunur Rafiq El-
Mazni.(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2008),hlm. 296.
Mansukh?,’’tidak’’ jawab hakim itu,maka kata Ali ‘’celakalah
kamu, dan kamu akan mencelakakan orang lain’’.12

E. Cara mengetahui adanya Nasikh dan Mansukh


Berlakunya hukum syara’, baik dalam bentuk Al-Qur’an maupun
Hadis Nabi adalah secara pasti. Karenanya wajib kita menaatinya.
Nasakh terhadap hukum syara’ berarti bahwa kita sudah tidak wajib lagi
menaati hukum itu karena sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pernyataan tidak perlu lagi menaati hukum yang berlaku adalah suatu
pengingkaran yang berdosa kecuali bila didasarkan kepada petunjuk
pasti yang menyatakan bahwa hukum yang lalu itubetul-betul sudah
dicabut atau di-nasakh, karena sesuatu yang telah diyakini tidak dapat
dibatalkan dengan zhan (dugaan yang kuat) semata. Karenanya perlu
mengetahui adanya petunjuk tentang nasikh dan mansukh itu.13
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan
manfat besar bagi para ahli ilmu, terutama fuaha, mufasir dan ahli usul,
agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Oleh
sebab itu, terdapat banyak asar (perkataan sahabat dan atau tabi’in)
yang mendorong agar mengetahui masalah ini.
Diriwayatkan ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu
bertanya : “ apakah kamu mengetahui yang nasikh dan mansukh?
“tidak”, jawab hakim itu. Maka kata Ali : “celakalah kamu dan
mencelakakan orang.”
Dari Ibn Abbas, bahwa ia berkata tentang firman Allah “dan barang
siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya ia telah diberi kebajikan yang
banyak.” (al-Baarah [2] : 269). :Yang dimaksud ialah nasikh dan
mansukhnya, muhkam dan mustasyabihnya, muqaddam dan
mu’akhrnya, serta halal dan haramnya.”14 Untuk mengetahui nasikh dan
mansukh terdapat beberapa cara:

12
Abu Anwar,Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar,hlm.52
13
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal.
299.
14
Moch Tolchah, Aneka Pengkajian Studi Al-Qur’an, (Yogyakarta : LkiS Pelangi Aksara,
2016), hal.149.
a. Keterangan tegas dari Nabi atau Sahabat, seperti hadis :
“Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah kubur, maka (kini)
berziarah kuburlah.” (Hadis Hakim). Juga seperti perkataan Anas
mengenai kisah orang yang dibunuh di dekat sumur ma’unah,
sebagaimana akan dijelaskan nanti, “berkenaan dengan mereka
turunlah ayat al-Qur’an yang pernah kami baca kemudian ia
diangkat kembali.”
b. Kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
c. Mengetahui mana yang lebih dulu dan mana yang kemudian dalam
perspektif sejarah.15
F. Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh
Fungsi memahami nasikh dan mansukh diantaranya sebagai berikut :
a. Memelihara kepentingan hamba.
b. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
c. Cobaan dan ujian bagi orang yang mukallaf untuk mengikutinya
atau tidak.
d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika
nasikh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya
terdapat tambahan pahala, dan ika beralih ke hal yang mengandung
kemudahan dan keringanan.
Pengetahuan yang benar terhadap teks yang nasikh dan yang
mansukh, disamping dapat membantu seorang di dalam memahami
konteks diturunkannya sebuah teks, juga dapat mengetahui bagian mana
tek al-Qur’an yang turun lebih dahulu dan yang turun kemudian. Disisi
lain, pengetahuan terhadap fenomena ini juga akan memperteguh
kekayaan kita bahwa sumber al-Qur’an yang hakiki adalah Allah. Sebab
Dialah yang menghapuskan sesuatu dan menetapkan yang lainnya
menuntut kehendakNYA dan kekuasaanNYA tidak dapat diintervensi
oleh kekuatan apapun.16

15
Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin
ddengan judul Tema Pokok al-Qur’an (Bandung : Pustaka, 1983).
16
Modul Studi Al-Qur’an, hal.126-127.
G. Urgensitas ilmu Nasikh dan Mansukh dalam studi pemahaman Al-
Qur’an
Ilmu Nasikh-Mansukh dalam Penggalian ajaran dan hukum Islam
dalam Al Qur’an sangat penting untuk mengetahui proses tashri’
(penetapan dan penerapan hukum) Islam sejalan dengan dinamika
kebutuhan masyarakatnya yang selalu berubah, sejauh mana elastisitas
ajaran dan hukumnya, serta sejauh mana perubahan hukum itu berlaku.
Disamping itu untuk menelusuri tujuan ajaran, dan illat hukum (alasan
ditetapkannya suatu hukum), sehingga suatu hukum dan ajarannya
boleh diberlakukan secara longgar (rukhsah) dan ketat sebagaimana
hukum asalnya (a’zimah) sesuai kondisi yang mengitarinya atas dasar
tujuan ajaran dan illat hukum tersebut.
a. Fungsi Nasakh dalam Penafsiran Al Qur’an
Jika fungsi nasakh adalah penahapan dalam tashri’ dan
pemberian kemudahan, maka tidak disangsikan lagi, bahwa teks-
teks yang di-nasakh masih tetap harus ditampilkan, disamping teks-
teks yang me-nasakh. Karena hukum ayat yang di-nasakh dapat
ditampilkan kembali oleh realitas, dan akan terjadi kemungkinan
pemberlakuannya kembali. Karena kalau tidak, Nasakh dalam
konteks tersebut, hanyalah merupakan respon Al Qur’an, terhadap
kebutuhan masyarakatnya. Disini makna nasakh lebih mendukung
penggunaan makna at-Tabdil, dan penangguhan hukum dalam arti
bahwa semua ayat Al Qur’an tetap berlaku, tidak ada kontradiksi,
yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang
tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat
hukum yang tidak berlaku lagi baginya / mereka, tetap dapat
berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi
mereka semula.
b. Hubungan Nasakh dan Sabab an-Nuzul dalam Penafsiran Al
Qur’an
Teori nasakh telah membangun pemahaman tentang proses
tashri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam sejalan dengan
dinamika kebutuhan masyarakatnya yang selalu berubah. Maka jika
konsep dasar teks adalah wahyu yang berangkat dari batas-batas
konsep realitas, tentunya dalam perkembangannya teks sangat
memperhatikan realitas tersebut. Pada pola hubungan yang terjadi
secara dialektis antara proses pewahyuan, bahasa, substansi teks
dengan lokus-tempus audiens yang menerimanya tersebut, menurut
Esack, melahirkan cara pandang (perspektif) baru pada proses
pewahyuan Al Qur’an yang disebut dengan “pewahyuan progresif".
Berdasarkan pandangan ini, maka pada dasarnya sebuah teks kitab
suci selalu hadir dan menyapa umatnya dalam konteks partikular
(terbatas secara linguistik, geografis, situasional, dan kontekstual)
atau dalam istilah tradisi klasik dikenal dengan asbab an-nuzul dan
nasakh wa an-nuzul mansukh. Konsep nasakh menurut Abdullah
Saeed juga mengindikasikan fleksibilitas sejalan dengan
perkembangan kebutuhan Muslim dalam interpretasi dan penerapan
Al Qur’an di berbagai waktu dan keadaan. Sejalan dengan
perkembangan dan perubahan kebutuhan manusia, maka nasakh
memberikan dasar yang kuat untuk melakukan reinterpretasi dari
beberapa teks Al Qur’an, khususnya di bidang ayat-ayat yang
memuat ethico-hukum, dalam rangka memberikan pemahaman
terbaik terhadap Al-Qur’an sesuai dengan kebutuhan umat Islam
saat ini. Jadi inti gagasan nasakh adalah pembangunan atau
kemajuan dalam hukum yang dituangkan oleh Al-Qur’an. Gagasan
perubahan dapat dan harus memainkan peran penting dalam diskusi
tentang nasakh. Perubahan tersebut, untuk ethico-penetapan hukum
dalam menanggapi situasi yang berbeda, sesuai dengan perubahan
kebutuhan dan keadaan, merupakan hal terpenting dari teori ini.
Gagasan nasakh juga dapat menyediakan cara yang relatif mudah
untuk mencapai pemahaman atas peraturan al-Quran dan tujuan
moralnya; misalnya aturan Q.S.an-Nisa’:15 dan Q.S.an-Nur:2,
yang tujuannya adalah untuk mencegah wanita dari terlibat dalam
aktivitas seksual dan pergaulan bebas, yang melanggar hukum
lebih lanjut. Kedua ayat tersebut memuat tujuan yang sama, tetapi
bentuk aturan hukumnya beda. Kedua hukum tersebut tetap berlaku
untuk mencegah pelanggaran yang melawan moralitas Islam.
Tahapan analisis terhadap gagasan tersebut antara lain; pertama,
memastikan tujuan yang mendasarinya, selanjutnya, melihat
bagaimana Al-Qur’an ingin mencapai tujuan itu. Pada titik ini,
konteks waktu, budaya, perbedaan lingkungan dapat
dipertimbangkan dalam masyarakat Islam awal. Dengan
pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka akan menemukan cara
pencegahan yang lebih sesuai dengan keadaan sendiri. Karena itu
nasakh dapat menjadi sarana menjaga tujuan Al Qur’an tetap hidup
dan relevan dengan konteks kekinian dan kedisinian.

Anda mungkin juga menyukai