Anda di halaman 1dari 17

ILMU NASIKH DAN MANSUKH, PERBEDAAN

PENDAPAT DAN PROBLEMATIKA

DI SUSUN OLEH :

MUHAMMAD ASYRAF

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY


BANDA ACEH
2022

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayahnya

kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah.

Selawat beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW, beserta keluarganya dan para shahabatnya semoga kita mendapat

syafaatnya kelak di hari kiamat, aamiin.!

Selanjutnya kami ucapkan terimakasih kepada pembina dan teman-teman yang telah

membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini dengan baik, dan kami sangat menyadari

bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami

membutuhkan keritik dan saran yang bersifat membangun untuk kelancaran tugas-tugas

selanjutnya.

Demikian yang dapat kami sampaikan dan kami berharap semoga makalah ini dapat

bermanfaat bagi kami dan bagi pembaca khususnya.

Sigli, Oktober 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI…… ............................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN……... ....................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 2
A. Pengertian Nasikh Dan Mansukh ........................................................... 2
B. Klasifikasi Nasikh dan Mansukh beserta contohnya ................................ 3
C. perbedaan antara nasikh dan takhhshish dan contoh Takshin ................... 5
D. perbedaan pendapat ulama tentang ayat-ayat mansuk ............................ 10
E. fungsi Nasikh dan Mansukh ................................................................. 11
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 13
A. Kesimpulan ......................................................................................... 13
B. Saran ......................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 14

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalamullah yang merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaannya di
dunia dan di akhirat. Dari awal hingga akhir, Al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak
ada pertentangan satu dengan lainnya. Dalam Al-Qur’an terkandung banyak hikmah dan
pelajaran. Al-Qur’an memuat ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan dengan
keimanan, Ilmu pengetahuan, tentang cerita-cerita, seruan kepada uma tmanusia untuk
beriman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah, dan lain lain.
Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al Qur’an ada yang
dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya saja, Ada yang khusus, ada
yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan
adanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish Shihab para ulama berbeda pendapat
tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang
Nasikh dan Mansukh.1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu :
1) Apa pengertian Nasikh dan Mansukh ?
2) Bagaimana Klasifikasi Nasikh dan Mansukh beserta contohnya ?
3) Bagaimana perbedaan antara nasikh dan takhhshish dan contoh takhhshish ?
4) Bagaimana perbedaan pendapat ulama tentang ayat-ayat mansuk?
5) Apa saja fungsi Nasikh dan Mansukh ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:
1) Untuk mengetahui Nasih dan Mansukh.
2) Untuk mengetahui Klasifikasi Nasikh dan Mansukh beserta contohnya
3) Untuk mengetahui perbedaan antara nasikh dan takhhshish dan contoh takhhshish
4) Untuk mengetahui perbedaan pendapat ulama tentang ayat-ayat mansuk
5) Untuk mengetahui fungsi Nasikh dan Mansukh

1
M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994), hal. 143

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Dari segi etimologi, para ulama’ Ulumul Qur’an mengemukakan arti kata nasakh
dalam beberapa makna, diantaranya adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari
suatu tempat ke tempat lain, mengganti atau menukar, membatalkan atau mengubah, dan
pengalihan. 2. Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah membatalkan hukum
syar’i dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan pembatalan, secara tersurat
atau tersirat, baik pembatalan secara keseluruhan ataupun pembatalan sebagian, menurut
keperluan yang ada. Atau: Melahirkan dalil yang dating kemudian yang secara implisit
menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.3
Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut:

1) Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah:


‫رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي‬
“Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang
lain”

2) Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy:


‫رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر‬
“Mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang
datang kemudian”. 4

Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti Nasikh
sehingga mencakup beberapa hal sebagai berikut:
1) Pembatalan hukum yang ditetapkan terlebih dahulu terjadi oleh hukum yang
ditetapkan kemudian.

2
Usman. Ulumul Qur’an (Yogyakarta: TERAS, 2009), hal. 256
3
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, ( Bandung: Gema Risalah
Press, 1997 ), hlm. 391
4
Academia.edu, “ Hadis Nasikh Mansukh” hal. 3, diakses dari
https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ pada tanggal 24 Oktober 2018

5
2) Pengecualian hukum yang bersifat oleh hukum yang bersifat khusus yang
datang kemudian.
3) Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.
4) Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.5
Hal yang demikian luas dipersempit oleh ulama’ yang datang kemudian
(mutaakhkhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang
kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah
yang ditetapkan terakhir.6
Pengertian mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang
dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun disalin/dinukil. Sedangkan menurut istilah para
ulama’, mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang
belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang
datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang
telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya situasi dan kondisi yang
menghendaki perubahan dan penggantian hukum. 7
B. Klasifikasi Nasikh Dan Mansukh Beserta Contohnya
Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam: 8
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Ulama-ulama sepakat mengatakan ini diperbolehkan dan telah terjadi dalam
pandangan mereka yang mendukung adanya naskh dalam Alquran. Misalnya ada ayat
tentang iddah empat bulan sepuluh hari yakni Q.S. al- Baqarah ayat 240:
َ ‫صي َّٗة أِّلَ ۡز َٰ َو ِج ِهم َّم َٰتَعًا إِلَى ۡٱل َح ۡو ِل غ َۡي َر إِ ۡخ َراج فَِ ِ ۡن‬
َ ‫خَر ۡجنَ فَ ََ ُجن‬
َ ‫َا‬ ِ ‫َوٱلَّ ِذينَ يُت ََوفَّ ۡونَ ِمن ُكمۡ َويَ َذرُونَ أَ ۡز َٰ َو ٗجا َو‬
‫يم‬ٞ ‫َزي ٌز َح ِك‬ ِ ‫ٱَّللُ ع‬ َّ ‫ُوف َو‬ ٖۗ ‫َعلَ ۡي ُكمۡ فِي َما فَ َع ۡلنَ فِ ٓي أَنفُ ِس ِه َّن ِمن َّم ۡعر‬
Yang artinya:
"Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah

5
Referensi Makalah ,” Diskursus Pendapat Ulama Tentang Nasikh” diakses dari
http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-ulama-tentang-nasikh.html/ pada tanggal 24
Oktober 2018
6
Muhammad Chirzin. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hal. 40
7
Abdul Djalal. Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012), hal. 122
8
Manna’ Khalil al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: PT. Litera AntarNusa. Halim Jaya, 2009),hal.
334

6
(sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal)
membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Ayat ini kemudian di nasakh oleh surah yang sama pada ayat 234:
ََ َ‫َّصنَ ِبأَنفُ ِس ِه َّن أَ ۡربَ َعةَ أَ ۡشهُر َوع َۡش ٗر ۖا فَِ ِ َذا بَلَ ۡغنَ أَ َجلَه َُّن ف‬
ۡ ‫َوٱلَّ ِذينَ يُت ََوفَّ ۡونَ ِمن ُكمۡ َويَ َذرُونَ أَ ۡز َٰ َو ٗجا يَت ََرب‬
ٞ ‫ٱَّللُ ِب َما ت َۡع َملُونَ خَ ِب‬
‫ير‬ ِ ٖۗ ‫َا َ َعلَ ۡي ُكمۡ ِفي َما فَ َع ۡلنَ ِف ٓي أَنفُ ِس ِه َّن ِب ۡٱل َم ۡعر‬
َّ ‫ُوف َو‬ َ ‫ُجن‬
Yang artinya :
"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh
hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri merekamenurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat".
2. Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah
Menurut Manna’ Khalil al-Qhaththan nasakh ini ada dua macam:
a. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Ahad:
Jumhur ulama’ berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad,
sebab Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanni,
bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum
(jelas diketahui) dengan yang madznun (diduga).
b. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Mutawatir:
Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Iman
Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah
berfirman dalam surat an-Najm ayat 3-4:
‫ُوح َٰى‬ ٓ َٰ ‫ق ع َِن ۡٱل َه َو‬
َ ‫ي ي‬ٞ ‫ى ۞ إِ ۡن ه َُو إِ ََّّل َو ۡح‬ ُ ‫نط‬
ِ ‫َو َما َي‬
Yang artinya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Sedangkan asy-Syafi’i, Ahli Zahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain
menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 106:
ٖۗ
‫ٱَّلل َعلَ َٰى ُكلأ َش ۡيء قَ ِدي ٌر‬ ِ ‫نسهَا ن َۡأ‬
َ َّ ‫ت ِبخَ ۡير أم ۡنهَآ أَ ۡو ِم ۡث ِلهَآ أَلَمۡ ت َۡعلَمۡ أَ َّن‬ ِ ُ‫۞ َما نَن َس ۡخ ِم ۡن َءايَ ٍة أَ ۡو ن‬
Yang artinya:
“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.”

7
3. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an
Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah shalat yang dahulunya
menghadap baitul maqdis berdasarkan sunnah kemudian dinasakh oleh ayat al-
Baqarah: 144
untuk menghadap ka’bah.
َ ۡ ‫ج ِّد ٱ‬
‫ۡل َر ِّام‬ ۡ َۡ َ ۡ َ َ َ ۡ َ ََ
ِّ ‫فو ِّل وجهك شطر ٱلمس‬

Yang artinya :
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”.
Tetapi naskh versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam salah satu riwayat. Menurutnya,
apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al-Qur’an, dan apa saja yang
ditetapkan Al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Kitab
dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah
Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: 1) naskh mutawatir dengan mutawatir,
2) nasakh ahad dengan ahad, 3) naskh ahad dengan mutawatir, 4) naskh mutawatir
dengan ahad. Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi
silang pendapat seperti halnya nasakh Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak
didolehkan oleh jumhur.
Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan
keduanya, maka pendapat yang shohih tidak membolehkannya. 9
Contoh nasakh sunnah dengan sunnah ialah mengenai larangan berziarah kubur pada
waktu permulaan Islam. Kemudian Rasul dengan hadisnya yang lain membolehkan
ziarah kubur setelah masyarakat mengetahui hakikat ziarah kubur.
‫ار ِة ْالقُبُوْ ِر أََّلَ فَ ُزوْ رُ وْ هَا‬ ُ ‫ ُك ْن‬
َ ‫ت نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن ِز َي‬
Yang artinya :
“Dulu aku (nabi) melarang kalian untuk ziarah kubur, sekarang berziarah kuburlah
kamu.” (H.R. Muslim)
C. Perbedaan Nasakh dengan Takhsis dan Contohnya
Nasakh dan takhsis memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaanya antara lain,
terletak pada fungsinya, yakni untuk membatasi kandungan suatu hukum. Keduanya

9
Manna’ Khalil al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an,….. hal. 336

8
berfungsi untuk menghususkan sebagian kandungan dari suatu lafadz. Hanya saja, takhsis
lebih khusus pada pembatasan berlakunya hukum yang umum, sedangkan nasakh
menekankan pembatasan suatu hukum pada masa tertentu.
Adapun perbedaan diantara keduanya adalah: takhsis merupakan penjelasan mengenai
kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan lafadz yang
dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau membatalkan semua kandungan
hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelunya telah berlaku. (Al-Bukhari : 876)
Penjelasan yang lebih rinci dikemukakan oleh Al-Ghazali tentang perbedaan di antara
keduanya: (Al-Ghazali : 71, Al-Amidi : 165)
a. Thaksis bisa dilakukan terhadap lafadz yang belakangan dan bisa pula terhadap lafadz
yang datang beriringan (datang belakangan). Sedangkan nasakh mutlaq hanya bisa
dilakukan melalui lafadz yang datang kemudian.
b. Thaksis bisa dilakukan baik dengan dalil naqli maupun dengan dalil aqli, sedangkan
nasakh hanya bisa dilakukan dengan dalil naqli saja.
c. Takhsis tidak berlaku pada perintah (amr) yang mengandung suatu perintah saja,
seperti “Berilah si fulan:, sedangkan nasakh bisa dilakukan dapa kasus seperti itu.
d. Lafadz yang umum tetapada sesuai keumumanya walaupun setelah di-takhsis,
sedangkan lafadz yang di-nasakh tidak berlaku lagi.
e. Dibolehkan men-takhsis lafadz yang qath’i dengan qiyas hadis ahad, dan dalil-dalil
syara’ lainya (pendapat ini masih diperselisihkan dikalangan para ulama). Sedangkan
dalam nasakh tidak boleh men-takhsis suatu lafadz yang qath’i, kecuali dengan lafadz
yang qath’i pula.10
Berbeda dengan mayoritas ulama yang telah disebutkan di atas, sebagian ulama lain
yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Asfihani berpendirian bahwa nasikh-mansukh antar
sesama ayat al-Qur’an tidaklah dibolehkan. Apalagi pe-nasakh-an al-Qur’an dengan Hadis
karena derajat Hadis bagaimanapun lebih rendah dibandingkan dengan al-Qur’an. Padahal, di
antara syarat nasikh-mansukh ialah bahwa pe-nasakh harus lebih unggul derajatnya daripada
yang di-nasakh atau minimal sederajat.
Sedangkan menurut para pendukung nasikh-mansukh dalam al-Qur’an, dilihat dari
sisi nasikh-mansukh, surat-surat al-Qur’an dapat dibedakan kedalam empat kelompok besar.
Pertama, kelompok surat-surat al-Qur’an yang di dalamnya sama sekali tidak ada ayat-ayat
nasikhah maupun ayat-ayat mansukhah, jumlahnya 43 surat. Kedua, kelompok surat-surat al-

10
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia), hlm. 233.

9
Qur’an yang di dalamnya dijumpai ayat-ayat nasikhah maupun ayat-ayat mansukhah, yang
berjumlah 25 surat. Ketiga, kelompok surat-surat al-Qur’an yang di dalamnya hanya ada
ayat-ayat nasikhah, sebanyak 6 surat. Keempat, kelompok surat-surat al-Qur’an yang di
dalamnya hanya ada ayat-ayat mansukhah, dengan jumlah ayat sebanyak 40.
Berkenaan dengan jumlah ayat yang mansukhah dalam al-Qur’an, mereka berselisih
pendapat. Ada yang mengatakan sekitar 500 ayat, tetapi ada juga yang memprakirakan lebih
sedikit dari itu. Setelah mencoba mengkompromikan sejumlah ayat yang dianggap nasikh-
mansukh oleh sebagian ulama, Al-Suyuti memprediksi masih ada sekitar 20 hingga 21 ayat
yang “terpaksa harus di-nasikh-mansukh oleh sebagian ulama, tetapi kemudian Syah
Waliyullah al-Dahlawi, mencoba mempertemukan ayat-ayat yang oleh al-Suyuti di anggap
nasikh-mansukh itu hingga akhirnya tinggal 5 ayat saja yang dianggap belum bisa
dikompromikan yakni surat al-Baqarah (2): 180 dengan an-Nisa’ (4): 11, al-Baqarah (2): 240
dengan al-Baqarah (2): 234, al-Anfal (8): 65 dengan al-Anfal (8): 66, al-Ahzab (33): 52
dengan al-Mujadilah (58): 13.
Sehubungan dengan itu maka kelompok ulama penolak nasikh-mansukh internal al-
Qur’an akan selalu bekerja keras untuk mengompromikan ayat-ayat yang oleh jumhur ulama
dinyatakan sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah. Syaikh Muhammad al-Khudari
misalnya, sungguhpun tidak secara ekspilisit menolak kemungkinan ada nasikh-mansukh
internal al-Qur’an telah mencoba mengompromikan 20-21 ayat yang oleh al-Suyuti dianggap
sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah. Di antara ulama Indonesia yang secara tegas
menolak ada kemungkinan ada nasikh-mansukh sesama ayat al-Qur’an ialah Prof. Dr. T. M.
Hasbi Ash-Shiddieqy. Menurutnya, tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang di-nasakhk-an oleh
ayat-ayat al-Qur’an sendiri. Yang ada hanyalah penakwilan atau penakhsisan atau
penaqyidan.
Masing-masing pendapat di atas memiliki sejumlah argumentasi guna memperkuat
pendiriannya, baik itu berdasarkan dalil aqli atau daya nalar dan terutama dalil naqli atau
periwayatan melalui penafsiran masing-masing terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dalil naqli atau
tepatnya ayat al-Qur’an yang ditafsirkan secara kontroversial oleh mereka ialah kedua ayat di
bawah ini:

10
Artinya: “Apa saja ayat yang kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (al-Baqarah : 106).

Artinya: “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
‘sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-ada saja’. Bahkan kebanyakan mereka
tiada mengetahui” (al-Nahl : 101).
Para pendukung nasikh-mansukh internal al-Qur’an menafsirkan kata “ayatin” dan
“ayatan” dalam kedua ayat di atas dengan pengertian ayat al-Qur’an, sedangkan para
penentang nasikh-mansukh sesama al-Qur’an menafsirkannya dengan mukjizat atau ayat
yang terdapat dalam kitab Allah terdahulu yakni Taurat dan Injil. Kalangan pendukung
nasikh-mansukh internal al-Qur’an memperkuat penafsirannya dengan berdasarkan sebab
turunnya ayat, sementara lawannya lebih mengacu kepada korelasi ayat, terutama korelasi
ayat 106 surah al-Baqarah dengan ayat yang sebelumnya yakni ayat 105.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad
kadang-kadang pada malam hari tapi beliau lupa pada siang harinya. Maka Allah turunkan
ayat 106 surah al-Baqarah tersebut sebagai jaminan bahwa wahyu Allah tidak akan mungkin
terlupakan (diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Ikrimah yang bersumber dari Ibn Abbas).
Menurut al-Wahidi perihal kalam Allah dalam ayat 106 surah al-Baqarah ini, para ahli
tafsir berpendapat bahwasanya orang-orang musyrik pernah menyindir Nabi Muhammad
seraya mereka berkata dengan sesamanya: “Tidakkah kalian perhatikan bagaimana
Muhammad yang (pada suatu ketika) menyuruh sahabat-sahabatnya supaya melakukan
sesuatu, tetapi kemudian setelah itu dia melarang mereka dari mengerjakannya dan
memerintahkan mereka dengan (pekerjaan lain) yang berbeda. Hari ini Muhammad bilang
begini, sementara besok dia bilang yang lain. Apakah (ragu) kalau kita katakan bahwa al-
Qur’an itu tidak lain dan tidak bukan, hanyalah ucapan Muhammad yang ia karang-karang
dari dirinya sendiri, yakni ucapan yang saling bertentangan antara sebagian dengan sebagian
yang lain”. Kemudian Allah menurunkan kedua ayat tersebut.
Berlainan dengan kelompok pertama, kelompok kedua yang mengingkari
kemungkinan adanya nasikh-mansukh sesama ayat al-Qur’an, lebih mengacu kepada korelasi

11
ayat, dalam kaitan ini hubungan ayat 106 dengan ayat sebelumnya yakni ayat 105. Ayat 105
surat al-Baqarah, pada intinya menyatakan ketidaksenangan atau ketidaksukaan orang-orang
kafir terhadap penurunan al-Qur’an dan pengangkatan Nabi Muhammad. Padahal, seharusnya
orang-orang kafir itu tahu diri bahwa penurunan al-Qur’an dan pengangkatan Nabi
Muhammad itu seperti halnya penurunan kitab-kitab dan pengangkatan nabi-nabi yang lain
adalah hak prerogatif yang tidak perlu dicampuri, apalagi diintervensi oleh siapapun.
Penafsiran kata “ayatin” dalam al-Baqarah : 106 dan “ayatan” dalam al-Nahl : 101
oleh pendukung nasikh-mansukh, menurut hemat penulis tidaklah tepat dan cenderung
dipaksakan. Bahkan lebih dari itu, Muhammad Abduh menuduhnya sebagai periwayatan
yang didustakan. Alasannya, sabab nuzul yang dikutip al-Suyuti tidaklah kuat. Selain
redaksinya tidak tegas karena menggunakan kata-kata “ruwiya” (diriwayatkan) serta kata-
kata “dalam suatu riwayat”, juga terutama berlawanan dengan al-Qur’an surah al-Qiyamah:
16-18 dan surat al-A’la: 6 yang pada intinya menjamin kekuatan ingatan atau hafalan Nabi
Muhammad terhadap al-Qur’an.
Sabab nuzul yang dikutipkan al-Wahidi, juga kurang memiliki kehujjahan yang kuat.
Selain hanya mendasarkan pendirian kepada “asumsi” para mufassir (bukan sabab nuzul),
juga karena mengesankan atau dikesankan dua ayat di atas turun dalam waktu yang
berdekatan atau malahan bersamaan. Padahal, kedua ayat ini terdapat dalam dua surat yang
berbeda, yakni surat al-Baqarah yang tergolong ke dalam kelompok surah-surah Madaniyah,
sementara surat al-Nahl digolongkan ke dalam kelompok surah-surah Makkiyah. Benar ilmu-
ilmu al-Qur’an memberikan kemungkinan ada satu atau beberapa ayat Makkiyah dalam surah
Madaniyah atau sebaliknya; tetapi khusus tentang kedua ayat di atas, tidak ada pendapat yang
menegaskan bahwa keduanya sama-sama tergolong ke dalam kelompok ayat-ayat Makkiyah
atau ayat-ayat Madaniyah.
Masih dalam kaitan ini, penafsiran kata ayatin atau ayatan dengan ayat al-Qur’an
dalam kedua ayat di atas, juga sama sekali tidak memiliki argumentasi yang kuat. Terutama
dari sudut pandang Ilmu Munasabah dimana seperti telah dikemukakan di atas hubungan ayat
106 dan ayat 105 surah al-Baqarah tampak dalam konteks eksternal antara kenabian
Muhammad berikut kitab suci al-Qur’an di satu pihak, dengan kenabian Musa dan Isa berikut
kitabnya masing-masing di lain pihak. Lagi pula kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua
kata ayah dalam al-Qur’an selalu digunakan dalam konteks ayat al-Qur’an, meskipun
sebagian daripadanya memang ada yang digunakan dalam pengertian ayat al-Qur’an.
Atas dasar ini maka penafsiran kata ayah terutama yang terdapat dalam surat al-
Baqarah: 106, tidaklah salah atau bahkan lebih tepat jika ditafsirkan dengan ayat Taurat atau

12
Injil yang kemudian digantikan dengan ayat al-Qur’an. Penafsiran didasarkan pada
pemahaman bahwa al-Qur’an itu meskipun secara rinci masing-masing surat dan ayatnya
memiliki keistimewaan-keistimewaan atau kelebihan-kelebihan tertentu, namun secara umum
dan keseluruhan, masing-masing surat atau ayat al-Qur’an adalah memiliki kedudukan atau
derajat yang sama.
Berbeda dengan kita memperbandingkan al-Qur’an dengan kitab-kitab Allah yang
lain terutama Taurat dan Injil. Dibandingkan dengan Taurat dan Injil, al-Qur’an jelas lebih
baik dari keduanya atau minimal sederajat dengan keduanya. Semua itu dapat dipahami dari
konteks al-Qur’an ketika diposisikan sebagai pembenar atau korektor terhadap kitab-kitab
Allah yang sebelumnya. Penafsiran ini jelas mudah dimengerti dan mudah-mudahan tidak
salah karena, seperti disebutkan di atas, ayat ini justru turun dalam rangka membantah
keberatan orang-orang kafir dari ahlul kitab dan orang musyrikin yang kecewa dan sekuat
tenaga menolak kenabian Muhammad berikut kitab suci al-Qur’an.
Dengan penafsiran seperti ini, mungkin akan jauh lebih bernilai guna memahami ayat
di atas, daripada harus memanfaatkan ayat ini guna membenturkan sesama ayat al-Qur’an
dengan penafsiran yang cenderung dipaksakan. Jika orang yang memahami kata ayatin di
atas dengan ayat Taurat atau ayat Injil semata-mata penafsiran, bukankah yang menafsirkan
ayat al-Qur’an juga sama-sama penafsiran, bukan teks ayat itu sendiri yang menyatakan ayat
al-Qur’an.
D. Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Ayat-Ayat Mansūkh
Terdapat beberapa pendapat mengenai ayat-ayat Alquran yang dianggap mansūkh di
antaranya menurut al Nahas (388 H) jumlah ayat yang dianggap mansūkh berjumlah 100
buah. Keseratus ayat Allah itu dianggap Al Nahas berlawanan dengan ayat-ayat lainnya.
Setelah diteliti ternyata hukumnya tidak berlaku lagi. Akan tetapi, rupanya tak semua ulama
setuju dengan vonis Nahas itu. Maka jauh kebelakang setelah Al Nahas, seorang ulama lain
berasal dari provinsi Ashut} (karena dijuluki Al Suyut}iy) menghitung ulang ayat-ayat yang
telah batal hukumnya itu. Al Suyut}iy berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang
dipandang mansūkh dengan yang dianggap nāsikh. Kesimpulan Suyut}iy, ada 20 ayat yang
terpaksa dinyatakan mansūkh.
Adapun pendapat lain yang datang dari Al Shaukaniy yang hidup sampai dengan
tahun 1250 H melihat 12 ayat yang dianggap Suyut}i tak mungkin digabungkan ternyata
olehnya bisa. Maka jadilah hitungan ayat mansūkh menurut Shaukaniy hanya 8 buah.

13
Contoh :

ِ ِ ِِ ِِ
ٌ ‫بۚ فَأَيْنَ َما تُ َولواْ فَثَ َّم َو ْجهُ ٱللَّهۚ إ َّن ٱللَّهَ َواس ٌع َعل‬
‫يم‬ ُّ ُ ‫َوللَّه الْ َم ْش ِر ُق َوالْ َم ْغ ِر‬
] ۱۱۱ :‫[البقرة‬
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Ayat ini dianggap mansūkh. Menurut satu riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas,
dikatakan bahwa nāsikh (yang me-nasakh)nya adalah:

ُ ‫ۚ َو َحْي‬
َ ‫ث َما ُكنتُ ْم فَ َولُّواْ ُو ُج‬
] ٠٥١ : ‫ [البقرة‬....ُ‫وه ُك ْم َشطَْره‬
“Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya”.
Riwayat turunnya ayat 115 al-Baqarah – seperti dikisahkan Al Wah}idiy Al Nisaburiy
dalam Asbab Al Nuzid wa Bihamishihi Al Na>sikh wa Al Mansūkh - demikian: “Setiap kali
Nabi Muhammad mengerjakan salat, wajahnya menengadah ke langit dan berseru: “Wahai
Jibril, sampai kapankah daku salat menghadap ke kiblat orang Yahudi.” Mendengar keluhan
Rasulullah, Jibril hanya mampu berucap: “Aku hanyalah hamba yang diperintah. Tanyalah
Tuhanmu.” Tiba-tiba saja turun ayat 115, al-Baqarah ini.
Berdasarkan asbabu Al nuzu>l, perubahan kiblat dari Bait Al Maqdis disebabkan
kerisian Nabi, karena mengikuti kiblat orang Yahudi. Kerisian Nabi mendorong beliau
mengadu kepada Jibril. Tapi sayang, Jibril tidak berdaya. Karena seperti diakui Jibril sendiri,
dia hanyalah pesuruh. Keluhan Nabi Muhammad ini ditanggapi Allah dan turunlah ayat 150
surat al-Baqarah. Padahal bila diperiksa ayat Alquran sebelumnya jelas-jelas dinyatakan
bahwa perubahan kiblat itu berdasar kehendak Allah dan semata-mata karena kemaslahatan
yang hanya diketahui Allah dan perubahan itu bertujuan untuk menguji kadar kesetiaan
pengikut Rasulullah.
E. Fungsi Nasikh dan Mansukh
Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya sebagai berikut:
a. Memelihara kepentingan hamba
b. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah
dan perkembangan kondisi umat manusia
c. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak

14
d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke
hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih
kehal yang mengandung kemudahan dan keringanan.
Pengetaguan yang benar terhadap teks yang nasikh dan yang mansukh, disamping
dapat membantu seseorang di dalam memahami konteks diturunkannya sebuah teks,juga
dapat mengetahui bagian mana teks al-Qur’an yang turun lebih dahulu dan yang turun
kemudian.Disisi lain, pengetahuan terhadap fenomena ini juga akan memperteguh kekayaan
kita bahwa sumber Al-Qur’an yang hakiki adalah Allah. Sebab Dialah yang menghapuskan
sesuatu dan menetapkan yang lainnya menurtut kehendakNya dan kekuasaaNya tidak dapat
diintervensi oleh kekuatan apapun.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Nasakh adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain,
mengganti atau menukar, membatalkan atau mengubah, dan pengalihan. Sedangkan
Mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum
diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang
kemudian.
2. Syarat-syarat nasakh adalah adanya mansukh (ayat yang dihapus), adanya mansukh bih
(ayat yang digunakan untuk menghapus), adanya nasikh (yang berhak menghapus),
adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang sudah
aqil-baligh atau mukallaf).
3. Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam, yaitu nasakh Al-
Qur’an dengan Al-Qur’an, nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah, nasakh sunnah dengan
Al-Qur’an, nasakh sunnah dengan sunnah.
4. Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya sebagai berikut:
a. Memelihara kepentingan hamba
b. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan
dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia
c. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke
hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih
ke hal yang kebihringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.

B. Saran
Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami sebagai penyusun
makalah ini sangat mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari pembaca dan dosen
pengampu mata kuliah agar makalah ini jadi lebih sempurna. Semoga makalah ini
membawa manfaat bagi para pembaca.

16
DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: PT Mizan Pustaka.


Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: TERAS.
Wahhab, Khallaf, Abdul. 1997. Alih bahasa oleh Helmy, Masdar. Ilmu Ushul Fiqh.
Bandung: Gema Risalah Press.
Chirzin, Muhammad. 1998. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa.
Djalal, Abdul. 2012. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.
Al-Qhaththan, Manna’ Khalil. 2009. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: PT. Litera AntarNusa.
Halim Jaya.

Anda mungkin juga menyukai