Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH NASAKH MANSUKH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu : Noor Rosidah, M.S.I.

Disusun Oleh :

Kelompok 7

Acmad Rizky Li’ulinnuha (2102046031)

Muhammad Faqih Faizin (2102046014)

KELAS IF B1

PROGAM STUDI ILMU FALAK

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN WALISONGO SEMARANG

Jl. Walisongo No. 3-5 Semarang, Jawa Tengah


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat rahmat dan bimbingan-Nya makalah ini dapat diselesaikan sesuai
dengan rencana. Makalah yang berjudul “Nasikh Mansukh ” Ini sebagai pemenuhan
tugas dari Dosen Pembina Ulumul Qur’an.

Selama penyusunan makalah ini banyak kendala yang dihadapi, namun berkat
bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak semua kendala tersebut dapat teratasi.
Pada kesempatan ini dengan ketulusan hati, penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih yang sebanyak-banyaknya kepada pihak-pihak yang telah membantu
melancarkan pembuatan makalah yang berjudul “Nasikh Mansukh.”

Penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis


penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan
pembuatan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran


bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai, Amin
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................

DAFTAR ISI .....................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................

A. Latar Belakang...................................................................................................
B. Rumusan Masalah..............................................................................................
C. Tujuan ...............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................

A. Pengertian Nasikh Mansukh..............................................................................


B. Persamaan dan Perbedaan Nasikh Mansukh.....................................................
C. Macam-Macam dan Hukum Bacaan Naskh......................................................
D. Pendapat Ulama’ Tentang Naskh......................................................................

BAB III PENUTUP ..........................................................................................................

A. Kesimpulan .......................................................................................................
B. Saran .................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dari awal hingga akhir, Al-Qur'an merupakan kesatuan  utuh. Tak ada


pertentangan  satu  dengan  lainnya. Masing-masing saling menjelaskan bagian
satu pada yang lain. Dari  segi  kejelasan,  ada  empat  tingkat pengertian. Pertama
cukup jelas bagi setiap orang. Kedua,  cukup  jelas bagi yang bisa berbahasa
Arab.  Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat,
hanya  Allah  yang  mengetahui maksudnya.
Dalam  Al-Qur'an  dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-
kitab yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk
itulah  yang  senantiasa harus menjadi landasan pengertian. Sejalan dengan
sistematisasi interpretasi dalam ilmu  hukum, hubungan antara ketentuan undang-
undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya
dari  undang-undang  tersebut maupun undang-undang lainnya
yang  sejenis,  yang  harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi
antara satu  ayat dengan  ayat  lainnya.
Hal  ini  untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur
bahasa,  sistem  dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi
dengan satu unsur lain yang tidak kalah  pentingnya.  yaitu
unsur  sejarah  yang  melatarbelakangi  terbentuknya  suatu undang-undang.
Dalam ilmu tafsir ada  yang  disebut  asbab  al-nuzul,  yang mempunyai unsur
historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para
mufassir  memberi  tempat  yang   cukup   tinggi   terhadap pengertian   ayat  al-
Qur'an.  Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah kita
membicarakan masalah nasikh-mansukh
B. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan kali ini yang perlu mendapatkan sorotan, yaitu:
1. Apa pengertian Nasikh Mansukh ?
2. Menjelaskan persamaan dan perbedaan antara Nasikh Mansukh ?
3. Apa saja macam-macam Nasikh ?
4. Bagaimana pendapat ulama’ tentang Nasakh ?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Nasikh Mansukh.
2. Mengetahui perbedaan dan persamaan Nasikh Mansukh.
3. Mengetahui macam-macam Nasikh.
4. Mengetahui pendapat ulama’ tentang Nasikh.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Nasikh Mansukh
1. Pengertian
Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi,
kata  ini dipakai  untuk  beberapa  pengertian:
a. Nasikh, dapat bermakna ‘izalah (menghilangkan).
b. Nasikh dapat bermakna tabdil (mengganti/menukar).
c. Nasikh dapat bermakna tahwil (memalingkan).
d. Nasikh dapat bermakna menukilkan dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi
pengertian  terminologis.  Perbedaan  tema  yang ada antara ulama mutaqaddim
dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing dari segi
etimologis kata naskh itu.
 Ulama  mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'i yang ditetapkan
kemudian, tidak hanya untuk  ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum
yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang
pertama  yang  dinyatakan berakhirnya masa pemberkuannya,
sejauh  hukum  tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi  juga  mencakup
pengrtian pembatasan bagi  suatu pengertian bebas (muthlaq). Juga dapat pengertian
pengkhususan (makhasshish)  terhadap  suatu pengertian umum ('am). Bahkan juga
pengertian juga  pengertian  pengecualian  (istitsna).
Sebaliknya   ulama  mutaakhkhir  memperciut  batasan-batasan pengertian tersebut
untuk  mempertajam  perbedaan   antara nasikh  dan makhasshish, muqayyid, dan lain
sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas  hanya  untuk  ketentuan hukum yang
datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan
pemberlakuan   ketentuan  hukum   yang terdahulu sehingga ketentuan yang
yang  diberlakukan  ialah ketentuan yang ditetapkan   terakhir   dan   menggantikan
ketentuan  yang mendahuluinya.

Dari definisi diatas jelaslah bahwa naskh adalah penghapusan hukum yang
terdahulu oleh pembuat hukum (syar’i) dengan mendatangkan hukum yang baru, dan
komponen naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi
pembatalan hukum yang telah ada, harus ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus
ada yang dibebani hukum atasnya. Mansūkh merupakan hukum yang diangkat atau
yang dihapus.

2. Dasar-Dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh


Manna’ Al-Qattan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat
dikatakan nāsikh (menghapus) ayat lain mansūkh (dihapus). Ketiga dasar
adalah:
1. Melalui pentransmisian yang jelas (an-naql al-sharih) dari Nabi atau para
sahabatnya, seperti hadits yang artinya: “Aku dulu melarang kalian
berziarah kubur, sekarang berziarahlah.”
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nāsikh dan ayat itu mansūkh.
3. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga
disebut nasikh, dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh.
Al-Qattan menambahkan bahwa nāsikh tidak bisa ditetapkan melalui
prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara
beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakangnya keislaman salah
seorang dari pembawa riwayat.

3. Rukun dan Syarat

Sesuai dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu  hukum,


hubungan antara  ketentuan hukum satu dengan yang lainnya harus benar-benar
diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu  ayat  dengan  ayat lainnya.
Sejalan dengan hal tersebut, ada beberapa rukun dan syarat yang harus diterapkan:

1. Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum


yang telah ada.
2. Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada
hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum
dan menghapusnya.
3.  Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat naskh:
1. Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan
hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti dinasikh
setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4. Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.
4. Jenis-Jenis Naskh
Naskh dibagi menjadi tiga jenis:
a. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Contoh: Dinasakhnya hukum tentang ‘iddah dengan haul (setahun) menjadi
empat bulan sepuluh hari.
ٍ ‫صيَّةً أِل َ ْز َوا ِج ِه ْم َمتَاعًا إِلَى ْال َحوْ ِل َغ ْي َر إِ ْخ َر‬
‫اج فَإ ِ ْن خَ َرجْ نَ فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما‬ ِ ‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ أَ ْز َواجًا َو‬
[ ٢٤٠ : ‫]البقرة‬ ‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ٍ ‫فَ َع ْلنَ فِي أَ ْنفُ ِس ِه َّن ِم ْن َم ْعر‬
ِ ‫ُوف َوهَّللا ُ ع‬

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri,
hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan
tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak
ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat
yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-
Baqarah [2]: 240)

‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ أَ ْز َواجًا يَتَ َربَّصْ نَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن أَرْ بَ َعةَ أَ ْشه ٍُر َو َع ْشرًا‬
ِ ‫فَإ ِ َذا بَلَ ْغنَ أَ َجلَه َُّن فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما فَ َع ْلنَ فِي أَ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْعر‬ 
[ ٢٣٤ : ‫البقرة‬ ]‫ُوف َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِي ٌر‬

    “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri


(hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat .” (QS.Al-Baqarah [2]: 234)

b.  Nasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah Hadist mutawatir dan ahad dinasakh


oleh hadits mutawatir, dan hadits ahad dinasakh oleh hadith ahad.
Contoh:
   ‫ت نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن ِزيَا َر ِة ْالقُبُوْ ِر أَالَ فَ ُزوْ رُوْ هَا‬
ُ ‫ُك ْن‬
“Dahulu aku melarang kalian melakukan ziarah kubur, maka sekarang berziarahlah”
ُ‫ب الرَّابِ َع ِة فَا ْقتُلُوْ ه‬
َ ْ‫فَإ ِ ْن ُشر‬
 “Apabila dia minum (khamar) keempat kalinya maka bunuhlah”
Dinasakh oleh Hadist:
ُ‫أَنَّهُ ُح ِم َل إِلَ ْي ِه َم ْن َش ِربَهَا الرَّابِ َعةَ فَلَ ْم يَ ْقتُ ْله‬
“Sesungguhnya dibawa kepada Rasul orang yang minum khamr keempat kalinya,
tetapi rasul tidak membunuhnya.”
c. Nasakh as-Sunnah Oleh al-Qur’an
Menghadap Baitul Maqdis telah dinasakh al-Qur’an:
ُ ‫ْج ِد ْال َح َر ِام َو َحي‬
‫وهَ ُك ْم‬¥¥ُ‫ْث َما ُك ْنتُ ْم فَ َولُّوا ُوج‬ ْ ‫ك َش‬
ِ ‫ط َر ْال َمس‬ َ َ‫ضاهَا فَ َو ِّل َوجْ ه‬ َ ْ‫ك فِي ال َّس َما ِء فَلَنُ َولِّيَنَّكَ قِ ْبلَةً تَر‬
َ ‫ب َوجْ ِه‬ َ ُّ‫قَ ْد نَ َرى تَقَل‬
ُّ ‫َاب لَيَ ْعلَ ُمونَ أَنَّهُ ْال َح‬
]١٤٤: ‫ق ِم ْن َربِّ ِه ْم َو َما هَّللا ُ بِغَافِ ٍل َع َّما يَ ْع َملُونَ [البقرة‬ َ ‫ط َرهُ َوإِ َّن الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِكت‬
ْ ‫َش‬
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami
akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan
Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-kitab (Taurat dan
Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. al-
Baqarah [2]: 144)
B. Persamaan dan Perbedaan Nasakh Mansukh
1. Persamaan Nasakh Mansukh
a. Nasakh mansukh adalah ayat yang ada dalam al-Qur’an
b. Menjadi landasan dalil
c. Menjadi sumber hukum
2. Perbedaan Nasakh Mansukh
a. Nasakh menjadi dalil yang menghapus, Mansukh menjadi dalil yang dihapus
b. Mansukh turun lebih awal, Nasakh turun untuk menganti hukum ayat yang
akan dihapus
c. Ayat nasakh bisa menjadi mansukh, sedangkan ayat mansukh tidak bisa
menasakh.
C. Hukum-Hukum Bacaan Nasikh Mansukh Al-Quran

Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh menjadi
tiga macam, yaitu:
1. Penghapusan terhadap hukum dan bacaan secara bersamaan. Ayat-ayat yang
terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan.
Misalnya, riwayat Bukhari dan Muslim, yaitu hadits ‘Aisyah ra.

ٍ ‫س َم ْعلُوْ َما‬
‫ فَتُ ُوفِّ َي َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬.‫ت‬ ِ ‫ت َم ْعلُوْ َما‬
ٍ ‫ت ي َُح ِّر ْمنَ فَنُ ِس ْخنَ بِ َخ ْم‬ ٍ ‫ض َعا‬َ ‫َكانَ فِ ْي َما أُ ْن ِز َل َع َش ُر َر‬
)‫( َوه َُّن ِم َّما يُ ْق َرأُ ِمنَ ْالقُرْ أَ ِن‬.
“Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al-Qur’an) adalah sepuluh isapan menyusu
yang diketahui, kemudian dinasakh oleh lima (isapan menyusu)  yang diketahui.  Setelah
Rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian al-Qur’an.”
Maksudnya, mula-mula dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara
apabila salah seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang di antara
mereka sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan kemudian
dināsikh menjadi lima isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu
karena baik bacaannya maupun hukumnya telah dināsikh.
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada.
Misalnya ayat tentang mendahulukan sedekah:
ْ َ‫ك َخ ْي ُر لَ ُك ْم َوا‬
َ‫طهَ ُر فَإ ِ ْن لَ ْم ت َِج ُدوْ ا فَإ ِ َّن هللا‬ َ ِ‫ص َدقَةً َذل‬ َّ ‫يَاَيُّهَا ْال ِذ ْينَ اَ َمنُوْ آ إِ َذا نَ َج ْيتُ ْم ال َّرسُوْ َل فَثَ ِّد ُموْ ا بَ ْينَ يَ َد‬
َ ‫ي نَجْ َو ُك ْم‬
۱۲: ‫ [المجادلة‬.‫َّح ْي ٌم‬ ِ ‫َغفُوْ ُر ر‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus


dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu.  Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu  dan lebih bersih, jika kamu
tidak memperoleh (yang akan disedahkan) maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi
maha penyayang.” (Q.S. al-Mujadalah [58]: 12)
Ayat  ini di- nāsikh oleh surat yang sama ayat: 13:
‫صلَوةَ واَتُوْ ا ال َّز َكوةَ َواَ ِط ْيعُوْ ا‬ َ ‫ت فَا ِ ْذ لَ ْم تَ ْف َعلُوْ ا َوت‬
َّ ‫َاب هللاُ َعلَ ْي ُك ْم فَاَقِ ْي ُموْ ا ال‬ َّ ‫اَ ْن تُقَ ِّد ُموْ ا بَ ْينَ يَ َد‬  ‫أَاَ ْشفَ ْقتُ ْم‬
َ ‫ي نَجْ َوا ُك ْم‬
ٍ ‫ص َدقَا‬
]۱۳: ‫[المجادلة‬. َ‫هللاَ َو َرسُوْ لَهُ َوهللاُ خَ بِ ْي ٌر بِ َما تَ ْع َملُوْ ن‬
“Apabila kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah
sebelum pembicaraan dengan Rasul? maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah
memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada
Allah dan Rasulnya, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-
Mujadalah [58]: 13).
3. Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku.
Contohnya ayat yang menjelaskan rajam, mula-mula ayat rajam ini terbilang
ayat Al-Qur’an. Ayat yang dinyatakan mansūkh bacaannya, sementara
hukumnya tetap berlaku itu adalah:
ِ‫َذا زَ نَا ال َّش ْي ُخ ال َّش ْي َخةُ فَارْ ُج ُموْ هَ َما‬
 “Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya”.
Cerita tentang ayat orang tua berzina di atas diturunkan berdasarkan riwayat
Ubay bin Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang
bernada  mengenai ayat yang dianggap bacaannya mansūkh itu. Umamah mengatakan
bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam:
‫ضيَا ِمنَ الَّ َّذ ِة‬
َ َ‫ال َّش ْي ُخ َوال َّش ْي َخةُ فَارْ ُج ُموْ هُ َما البَتَةَ بِ َما ق‬.
 “Seorang peria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka
perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”

D. Pendapat Ulama’ Tentang Nasakh


Ada tidaknya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an sejak dulu menjadi
perdebatan para Ulama, di mana sumber dari pada perdebatan tersebut berawal
dari pemahaman mereka tentang QS. An-Nisaa’ 82:

Artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya


al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya.
Kesimpulan dari ayat tersebut mengandung prinsip yang diyakini kebenarannya
oleh setiap muslim namun mereka berbeda pendapat dalam menghadapi ayat-ayat
al-Qur’an yang secara zahir menunjukkan kontradiktif (Abu Anwar, 2002: 54).

Dalam hal ini terbagi dalam empat golongan:

1. Orang Syi’ah Rafidah, Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan nasakh dan
meluaskannya, mereka mandang konsep al-bada’ yakni suatu yang nampak jelas
setelah kabur (tidak jelas) adalah sebagai suatu hal yang sangat mungkin terjadi
bagi Allah SWT. Mereka sangat kontradiktif dengan orang Yahudi yang tidak
mengakui keberadaan nasakh. Kelompok Syi’ah Rafidah berargumentasi dengan
firman Allah SWT dalam ar-Ra’d [13]:39:
Artinya: “ Allah menghapuskan apa yang ia kehendaki dan menetapkan (apa
yang ia kehendaki).”

Menurut al-Qattan yang dikutip oleh Anwar, bahwa pendapat ini kurang tepat,
Allah menghapuskan sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan
penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat.

2. Abu Muslim al-Asfahani seorang mufassir Mu’tazilah, tidak setuju adanya


naskh, baik secara garis besar maupun secara terperinci, karena apabila ada ayat
yang secara sepintas dinilai kontradiktif tidak diselesaikan secara naskh tetapi
dengan jalan takhsis, sebab al- Qur,an adalah syari’at yang muhkam tidak ada
yang Mansukh. Al-Qur’an menyatakan dalam QS Fushshilat: 42:
Artinya :”Tidak datang kepadanya kebathilan al-Qur,an baik dari depan atau
belakang yang diturunkan dari sisi Tuhan yang Maha bijaksana lagi Maha terpuji

Ayat di atas yang dijadikan landasan bagi Abu Muslim untuk menyatakan bahwa
nasakh Mansukh tidak ada dalam al-Qur,an, yang ada hanya ‘am- takhshis. Hal ini
menghindari pembatalan hukum yang telah diturunkan oleh Allah karena hal itu
mustahil. Jika ada pembatalan hukum maka akan memunculkan adanya
pemahaman, Allah tidak tahu kejadian yang akan datang, sehungga Dia perlu
mengganti/membatalkan suatu hukum dengan hukum yang lain. Jika pembatalan
hukum itu dilakukan oleh Allah, berarti Dia melakukan kesia-siaan dan permainan
belaka.

3. Pendapat Jumhur Ulama, kelompok ini mengakui adanya nasikh dan mansukh
dalam al-Qur’an dan tetap berlaku, (Mereka berpendapat bahwa Naskh adalah
suatu yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum Syara’
berdasarkan dalili-dalil, baik naqli ataupun aqli (Anwar,..54), Firman Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 106:
Artinya : “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu”

4. Menurut pendapat segolongan Ulama’ bahwa Allah berbuat secara mutlak,


artinya bahwa Allah SWT. dapat berbuat sesuatu dalam waktu tertentu dan dapat
melarangnya dalam waktu tertentu pula (mengikuti kemaslahatan dan menghindari
kemudharatan).

5. Hikmah Nasikh dan Mansukh Al-Quran


1. Untuk menunjukkan bahwa syari’at Islam adalah syari’at yang paling
sempurna.
2. Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa
terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang zaman.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

          Naskh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil/khitab syara’ yang


lain. Naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan
hukum yang telah ada, harus ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang
dibebani hukum atasnya. Dalam menghapus hukum shara’ tersebut ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi, yakni : Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah
hukum syara’, Dalil naskh harus datang lebih dulu daripada mansūkh, khitab
yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu. Dalam
cakupannya naskh dibagi menjadi tiga, antara lain : Naskh quran dengan
quran, naskh sunnah dengan sunnah, naskh sunnah dengan quran. Terdapat beberapa
pendapat mengenai ayat yang mansūkh. Di antaranya, pendapat mengenai jumlah
ayat dan ayat tersebut.

Saran

Demikianlah makalah ini ditulis dengan segala keterbatasan yang ada. Penulis
sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, untuk itu kritik dan saran dari
manapun datangnya selalu penulis terima dengan senang hati demi perbaikan
kedepan. Akhirnya, semoga pemikiran yang ada pada tulisan ini bisa menjadi
kontribusi pemikiran bagi pengembangan pendidikan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jauziah, Ibnu Qoyyim. Belajar Mudah Ulum Al-quran. Jakarta: PT Lentera


Basritama, 2002.
Anwar, Rosihon. Ulum Al-quran. Bandung: CV Pustaka Setia, 2008.
Ash-Syiddieqy, Mohammad Hasbi, Tengku. Ilmu-Ilmu Al-quran. Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 2002.
choirul. (2012). Makalah Nasikh wal Mansukh. Binaaku.web.id.
https://www.binaaku.web.id/2012/08/makalah-nasikh-wal-mansukh.html
COAN CEO. (2021, June 14). Makalah Studi Qur’an “NĀSIKH DAN
MANSŪKH.” Blogspot.com.
http://makalahkampus15.blogspot.com/2017/10/makalah-studi-quran-nasikh-dan-
mansukh.html
http://almanhaj.or.id/content/3087/slash/0

Anda mungkin juga menyukai