Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH ULUMUL QUR’AN

(Nasikh Mansukh)

Dibuat untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu: Drs. H. Afief Abd. Latief, MZ., M.Ag.

Disusun oleh : Kelompok 10

Naufal Rifqi Maulidzi 1184060075

Nisa Pratami 1184060077

Riztria Zahra Amalia 1184060090

Syarifah Yasmin 1184060098

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI HUBUNGAN MASYARAKAT

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

1440 H/2019 M
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, yang
telah melimpahkan rahmat, dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta yakni Nabi Muhammad saw. Terima kasih kami haturkan kepada Ibu
Nanih Machendrawaty, M.Ag. yang senantiasa membimbing kami di dalam kelas dan
penyusunan makalah ini. Tanpa adanya bimbingan dari beliau, kami kiranya tidak akan
mampu menyelesaikan makalah ini.

Makalah yang berjudul “Sentralisasi dan Desentralisasi” ini disusun untuk


memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Manajemen semester ganjil. Makalah ini
berisikan mengenai apa itu Sentralisasi dan Desentralisasi dalam bidang Manajemen.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
khususnya untuk kami sebagai penulis dan umumnya untuk pembaca.

Waalaikumussalam Wr. Wb.

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................................... 1
Daftar Isi ................................................................................................................................ 2
BAB I (PENDAHULUAN) ................................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 3
1.3 Tujuan.................................................................................................................... 3
BAB II (PEMBAHASAN) .................................................................................................... 5
2.1 Pengertian Nasikh Mansukh .................................................................................. 5
2.2 Rukun dan Syarat Nasikh-Mansukh ...................................................................... 5
2.3 Dasar-Dasar Penetapan Nasikh Mansukh ............................................................. 6
2.4 Pendapat Ulama Tentang Nasikhin dalam Qur’an ................................................ 7
2.5 Bentuk-Bentuk dan Macam-Macam Nasikhin dalam Qur’an ............................... 8
2.6 Hikmah Keberadaan Nasikh .................................................................................. 10
BAB III (PENUTUP) ............................................................................................................ 11
3.1 Kesimpulan............................................................................................................ 11
3.2 Saran ...................................................................................................................... 11
Daftar Pustaka........................................................................................................................ 12

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Al-Qur’an sebagai mu’jizat Nabi Muhammad merupakan panduan dasar bagi umat
Islam selain Hadis dalam menetapan hukum Islam. Diakui atau tidak turunnya al-
Qur’an secara bertahap adalah terkait dengan problem masyarakat arab waktu itu.
Dalam menetapkan dan menggali hukum Islam yang tertuang dalam al-Qur’an,
tentunya dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara lain ilmu Qur’an
yang didalamnya terdapat kajian seperti tafsir, muhkam mutasyabih, Al-Nasakh Wa al-
Mansukh dan yang lainnya serta pemahaman kaidah ushuliyah dan fiqhiyah.
Nasikh dan Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an,
memiliki kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita akan
mampu memahami apakah hukum yang termaktum dalam ayat-ayat Qur’an tersebut
masih berlaku atau tidak.
Oleh karena itu, makalah ini mencoba menguraikan apa, dan bagaimana sebenarnya
Al-Nasakh Wa al-Mansukh. Namun demikian harus dipahami bahwa makalah ini
hanya merupakan acuan dasar yang patut mendapatkan pembahasan dan kajian ulang.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian Nasikh-Mansukh?
2. Apa saja Rukun dan Syarat Nasikh?
3. Apa Dasar-dasar Penetapan Nasikh-Mansukh?
4. Bagaimana Pendapat Ulama tentang Nasikh dalam Al-Quran?
5. Apa saja Bentuk-bentuk dan Macam-macam Nasikh dalam Al-Quran?
6. Apa Hikmah Keberadaan Nasikh?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian Nasikh-Mansukh

3
2. Mengetahui rukun dan syarat Nasikh-Mansukh
3. Mengetahui dasar-dasar penetapan Nasikh-Mansukh
4. Mengetahui pendapat ulama tentang Nasikh Mansukh dalam Al-Quran
5. Mengetahui bentuk-bentuk dan macam-macam Nasikh dalam Al-Quran
6. Mengetahui hikmah keberadaan Nasikh

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nasikh-Mansukh

Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Nasikh menurut bahasa ialah hukum
syara’ yang menghapuskan, menghilangkan, atau memindahkan atau juga yang mengutip
serta mengubah dan mengganti. Adapun makna Nasikh menurut para Ulama’ secara bahasa
ada empat:

a. Bermakna izalah atau menghilangkan


b. Bermakna tabdil atau mengganti
c. Bermakna tahwil atau memalingkan
d. Bermakna menukil atau memindah dari satu tempat ke tempat lain
e. Bermakna takhsis atau mengkhususkan
Adapun dari segi terminologi, para ulama’ mendefinisikan mendefinisikan naskh
dengan “raf’u Al-hukm Al-syar’I “(menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang
lain). Menghapuskan dalam definisi tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang
dihapus dari seorang mukalaf, dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.
Sedangkan, Mansuhk menurut bahasa ialah sesuatu yang di hapus atau dihilangkan
atau dipindah atau disalin atau dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’ ialah
hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang sama, yang belum diubah dengan di
batalkan dan diganti dengan hukum syara’ yang baru yang datang kemudian.

2.2 Rukun dan Syarat Nasikh

1. Adat Naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang
telah ada.
2. Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada
hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dia-lah yang membuat hukum dan
Dia pulalah yang menghapusnya.
3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh, ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.

5
Adapun syarat-syarat naskh adalah:
1. Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan
hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti dinaskh
setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4. Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.

2.3 Dasar-dasar Penetapan Nasikh-Mansukh

Manna’Al- Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat
dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus). Ketiga dasar adalah:

1. Melalui pentransmisian yang jelas (An-naql- Al-sharih) dari Nabi atau para
sahabatnya, seperti hadis: “Kuntu naihaitukum ‘an ziyarat Al-qubur ala fa
zuruha”Aku(dulu) melarang kalian berziarah kubur, (sekarang) berziarahlah. Juga
seperti ungkapan Anas berkaitan dengan Ashan sumur Ma’unah: “Wa nuzilah fihim
quran qaranah hata rufi’a” (Untuk mereka telah turun ayat, sampai akhirnya
dihapus);
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh;
3. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut
nasikh, dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh.

Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur


ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dlihat
dari lahirnya, atau belakangnya keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.

Hal senada dikemukakan oleh Ibnu Al-Hisar:

Persoalan naskah hanya dikembalikan (didasarkan) pada penukilan yang jelas dari
Rasulullah SAW., atau dari seorang sahabat yang mengatakan sebuah ayat ini di-naksh
oleh yang ini. Bisa jadi, ditetapkan dengan cara ini, manakala terjadi kontraksi yang
pasti, dengan bantuan pengetahuan sejarah untuk diketahui mana yang lebih dulu turun
dan yang kemudian. Dalam masalah naskh, tidak diperkenankan memegangi pendapat
kebanyakan para mufassir, bahkan tidak diperkenankan memegangi ijtihad para

6
mujtahid tanpa penukilan yang sahih, dan sanggahan yang jelas, sebab naskh
mengandung arti menghapuskan dan menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada
masa Nabi SAW. Yang dipegangi dalam masalah ini adalah penukilan dan sejarah,
bukan pendapat dan ijtihad. Para ulama, dalam masalah ini, berada pada dua kutub
kontradiksi; ada yang mengatakan dala masalah naskh hadis ahad yang adil, para
perawinya tidak diterima, dan ada yang bersikap terlalu toleran, dalam hal ini cukup
memegangi pendapat seorang muffasir atau mujtahid. Yang benar adalah pendapat yng
bertentangan dengan keduanya.

1.4 Pendapat Ulama tentang Nasikh dalam Al-Quran


Dalam masalah naskh, para ulama’ terbagi atas emapat golongan:
1) Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya naskh
mengandung konsep al bada’, yakni nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Naskh
itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena
sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan
yang didahului oleh ketidakjelasan dan ini pun mustahil bagiNya.
2) Orang Syi’ah Rafidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan
meluaskannya. Mereka memandang konsep al bada’ sebagai suatu hal yang
mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, posisi mereka sangat kontradiktif
dengan orang Yahudi.
3) Abu Muslim al-Asfahani. Menurutnya, secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi
tidak mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak
sepenuhnya terjadi naskh dalam Al Qur’an, dengan pengertian bahwa hukum-
hukum Qur’an tidak akan dibatalkan untuk selama-lamanya. Dan mengenai ayat-
ayat tentang naskh semuanya ia takhsiskan.
4) Jumhur ulama’. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima
akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
a. Perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Dia boleh saja
memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang
lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-
hambaNya.

7
b. Nash-nash Kitab dan Sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan terjadinya,
antara lain:
 QS. An Nahl: 101
‫ماننسخ من اية اوننسهانأت بخيرمنهااومثلها‬
“Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding
dengannya.”
 Dalam sebuah hadis Shahih, dari Ibn Abbas ra., Umar ra berkata: “yang
paling paham dan paling menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubai.
Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataanya, karena ia
mengatakan: ‘aku tidak akan meninggalkan sedikitpun segala apa yang
pernah aku dengar dari Rasulullah saw.’ Padahal Allah telah berfirman: apa
saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya.... ”.

2.5 Bentuk-bentuk dan Macam-macam Nasikh dalam Al-Quran

Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam Al-Quran terbagi menjadi


empat macam yaitu :

1. Naskh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada
ayat terdahulu. Misalnya, ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal
[8] yang mengharuskan satu orang muslim melawwan sepuluh kafir.
2. Naskh Dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak
dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta
kedua-keduanya diketahui waktu turunnya, ayat yang datang kemudian menghapus
ayat yang terdahulu. Contohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi
orang orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah [2]:180
3. Naskh Kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan.
Contohnya, ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah [2]
ayat 234 dinaskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang
sama.

8
4. Naskh Juz’iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu
dengan hukum yang hanya berlaku pada sebagian individu, atau menghapus hukum
yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80
kali bagi orang yang menuduh seorang wanita, tanpa adanya saksi pada surat An-
Nur [24] ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan
nama Allah, jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang
sama.

Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh pada tiga
macam yaitu :

1. Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Ayat
ayat yang terbilang dalam kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan
diamalakan. Misalnya, sebuah riwayat Al-Bukhari dan Muslim, yaitu Hadist
‘Aisyah r.a
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Contohnya,
ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrikin kepada umat islam untuk
saling bergantian dalam beribadah, telah dihapus dengan ketentuan ayat qital
(peperangan). Akan tetapi, bunyi teksnya masih dapat kita temukan dalam surat Al-
Kafirun [109]:6
3. Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh
kategori ini biasanya diambil dari ayat rajam.

Adapun dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para
ulama membagi naskh ke dalam empat macam:

1. Naskh Al-Quran dengan Al-Quran: Para ulama sepakat akan kebolehannya.


2. Naskh Al-Quran dengan As-Sunnah. Bagi kalangan ulama Hanafiah, naskh
semacam ini diperkenankan bila sunnah yang menghapusnya sunnah muttawatir
atau masyhur. Akan tetapi ketentuan itu tidak berlaku apabila sunnah yang
menghapusnya berupa sunnah ahad.
3. Naskh As-Sunnah dengan Al-Quran. Menurut mayoritas ahli ushul, naskh
semacam ini benar-benr terjadi. Contohnya adalah penghapusan kiblat shalat ke

9
Bait Al-Muqaddass menjadi ke Kabah. Contohnya: seperti ayat tentang ṣalat yang
semula menghadap Baitul Maqdis diganti dengan menghadap ke Kiblat setelah
turun QS. al-Baqarah ayat 144 yang artinya "Sungguh Kami (sering) melihat
mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke
kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram....”
4. Naskh As-sunnah dengan As-Sunnah. Bagi al-qaththan, pada dasarnya ketentuan
naskh dalam ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan. Contohnya:
larangan ziarah kubur yang di-Naskh menjadi boleh, seperti pada hadis di atas.
Sebagaimana hadis Nabi yang Artinya: "Dahulu aku melarang kalian berziarah
kubur, sekarang berziarahlah." (HR. atTirmidzi) Hukum syara’ larangan ziarah
kubur kini telah Mansukh (telah dihapus) dengan kebolehan berziarah kubur,
berdasarkan hadis ini.

2.6 Hikmah Keberadaan Naskh

Menurut Manna’ Al-Qaththan terdapt 4 hikmah keberadaan ketentuan naskh


yyaitu:

1. Menjaga kemaslahatan hamba.


2. Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring
dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian
dihapus.
4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebaba apabila ketentun nash lebh
berat dari ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan
pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam masikh lebih mudah daripada ketentuan
mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Naskh ada dua perkara yakni nasikh dan mansukh. Nasikh adalah perkara
yang menghilangkan perkara lain, sedangkan Mansukh adalah perkara yang
dihilangkan oleh perkara lain dan diperbolehkan menaskhkan ayat Al-qur’an
dengan Al-qur’an, Al-qur’an dengan hadist, hadist dengan Al-qur’an dan hadist
dengan hadist. Dalam Naskh terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi.
Banyak perbedaan pendapat dari para ulama’ mengenai nasikh mansukh yang
menimbulkan setuju tidaknya naskh diterapkan. Di sisi lain juga banyak hikmah
yang bisa kita ambil dari pengetahuan tentang naskh.

3.2 Saran
Demikian makalah yang dapat kami susun kami menyadari makalah ini jauh
dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan
pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.

11
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon (2015). Ulum Al-Quran, Bandung : CV Pustaka Setia

Izzan, Ahmad (2011). Ulumul Qur’an, Bandung: Tafakur

https://muhfathurrohman.wordpress.com/2013/01/03/nasikh-dan-mansukh-al-quran/

12

Anda mungkin juga menyukai