MAKALAH
KELOMPOK 2 :
ASEP IRFAN FANANI NIM. 2220060048
CITRA KUSUMA DEWI NIM. 2220060053
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3
BAB I ......................................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang Masalah.................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................... 4
BAB II ....................................................................................................................................... 5
A. Pengertian Tafsir bi al-Ma’tsur/bi al-Riwayah/ bi al-Manqul .......................................... 5
B. Bentuk-Bentuk Tafsir bi Al-Riwayah ............................................................................... 5
1. Tafsir Al-Quran dengan AlQuran ............................................................................. 5
2. Tafsir Al-Quran dengan al-Sunnah al-Nabawiyyah ................................................. 6
3. Tafsir Al-Quran dengan Pendapat Sahabat ............................................................... 6
C. Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bi Al-Riwayah............................................................... 7
D. Pengertian Tafsir bi al-Dirayah/bi al-Ma’qul/ bi al-Ra’yi/ bi al-Ijtihad ........................... 7
E. Bentuk-Bentuk Tafsir bi Al-Ra’yi ..................................................................................... 8
1. Ar-Ra’yu al-Mahmudah ............................................................................................ 8
2. Tafsir Madzmum ( Tafsir yang tercela) .................................................................... 9
F. Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bi Al-Ra’y ..................................................................... 9
BAB IV .................................................................................................................................... 12
A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN
Sedangkan contoh penafsiran ayat dengan ayat dalam surat yang berbeda, seperti:
َ
َ ََٰ َ ََّ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َّ َ َ َ ُ َ َ َ َ ََّ َ َ
)٢٣ (قالا ربنا ظلمۡنا أنفسنا و ِّإن لمۡ تغ ِّۡفرۡ لنا وترۡحمۡنا لنكونن ِّمن ٱلۡخ ِّس ِّرين
1
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 332.
2
Ali Al-Shabuni, dalam Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 332.
Artinya: Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan
jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah
kami termasuk orang-orang yang merugi.(QS. Al A’raf:23)
Yang berfungsi sebagai mufassir bagi kata َك ِل َٰ َمتdalam ayat:
ُ اب َع َلي ِّۡه إَّن ُه ُه َو ٱ َّلتَّو
ُ اب ٱ َّلرح
)37( يم َ َف َت َلَّقى َء َاد ُم من َّرب ِّه َكل ََٰمت َف َت
ِّ ِّ ۥ ِّ ِّ ۦ ِّ
Artinya: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima
taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-
Baqarah:37)
2. Tafsir Al-Quran dengan al-Sunnah al-Nabawiyyah
Yang dimaksud dengan tafsir al-Sunnah Nabawiyyah ialah menafsirkan Al-Quran
dengan hadis Nabi Muhammad Saw.3 Diantara contohnya ialah Nabi saw. Menafsirkan
ِ ۡٱل َم ۡغضُوdan َضآلِين
kata ب َّ ٱلmasing-masing dengan orang Yahudi dan orang-orang Nasrani
dalam firman Allah :
ََ ََ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ َّ َ َ َ ُ َ ََٰ َ
وب علي ِّۡهمۡ ولا ََٰ
ِّ ) ِّصرط ٱل ِّذين أنۡعمۡت علي ِّۡهمۡ غي ِّۡر ٱلۡمغۡض٦( لصرط ٱلۡمسۡت ِّقيم ِّ ٱه ِّۡدنا ٱ
َ َّ
)٧ (ٱلضا ِّلين
Artinya: Tunjukilah kami jalan yang lurus (6) (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat (7) (QS. Al-Fatihah 6-7)
Contoh lain, Rasulullah Saw. Menafsirkan kata al quwwah dengan panah (al-
ramyu) dalam firman Allah:
ُ َ َ َ َ ُ َّ ُ َ َ َّ َّ ُ َ َ ُ ُ َ َ َّ ُ ُ ََ َّ ُ َ ْ ُّ َ
ون ِّه ۡم
ِّ ّلل وعدوكمۡ وءاخ ِّرين ِّمن د ِّ اط ٱلۡخي ِّۡل تر ِّۡهبون ِّب ِّهۦ عدو ٱ َ َ
ِّ وأ ِّعدوا لهم ما ٱسۡتطعۡتم ِّمن قوة و ِّمن ِّرب
َ ُ َ ُ َ ُ َ َ ُ َ َّ َ ُ َّ َ َ ْ ُ ُ َ
َ ُ ُ
َ َ ُ َّ ُ ُ َ َ َ َ
ُ
) ٦٠ (ّلل يوف ِّإليۡكمۡ وأنتمۡ لا تظۡلمون ِّ يل ٱِّ نفقوا ِّمن شيۡء ِّفي س ِّب ِّ لا تعۡلمونهم ٱّلل يعۡلمهمۡ وما ت
Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi
dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan
Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya
(dirugikan)(QS. Al-Anfal:60)
3. Tafsir Al-Quran dengan Pendapat Sahabat
Tafsir Al-Quran dengan pendapat sahabat , oleh sebagian ulama’ digolongkan ke dalam
kelompok tafsir bi al-riwayah. Al Hakim misalnya dalam bukunya al-Mustadrak, mengatakan
bahwa tafsir sahabat yang menyasikan proses turunnya wahyu Al-Quran layak di posisikan
sebagai hadis marfu’ maksudnya disetarakan dengan haadis nabi. Namun demikian, ada pula
ulama yang membatasi bahwa tafsir sahabat itu bias digolongkan ke dalam kelompok tafsir bi
al-riwayah manakala yang diambil dari mereka adalah hal-hal yang berkenaan dengan ilmu-
3
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 342.
ilmu sima’I semisal asbabun nuzul dan kisah yang tidak ada kaitnnya dengan ijtihad. Jadi pada
hakikatnya pendapat sahabat masuk ke dalam kategori Tafsir al-riwayah.4
Berbeda dengan pendapat sahabat yang ditempatkan ke dalam tafsir bi al-riwayah,
pengelompokan tafsir dengan pendapat tabi’in ke dalam tafsir bi al-riwayah banyak digugat
para ahli tafsir. Salah satunya penolakan dari al-Zarqani untuk tidak memasukkan pendapat
tabi’in ke tafsir al-ma;tsur adalah didorong keinginannya untuk menyelamatkan tafsir al-
ma’tsur dari pemikiran-pemikiran israilliyyat yang dapat menyesatkan umat karena isinya
lebih banyak dongeng, kufarat, khayal, dan sebagainya dari pada kebenaran.5
4
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.41.
5
Nashruddin Baidan, Rekontruksi Ilmu Tafsir (Surakarta: STAIN Press, 1999), hlm.40.
6
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 346.
keyakinan, pengaturan dan akal. Al-ra’yi juga identik dengan ijtihad. Berdasarkan pengertian
semantik tersebut, para pakar ilmu tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bi
al-ra’yi adalah menyingkap isi kandungan al-Qur’an dengan ijtihad yang dilakukan oleh akal.
Corak ini dinamakan juga dengan al-Tafsir bi al-Ijtihadi, yaitu penafsiran yang menggunakan
ijtihad. Karena penafsiran seperti ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir.
Perbedaan-perbedaan antara satu mufassir dengan mufassir lain lebih mungkin terjadi,
dibandingkan al- Tafsir bi al-ma’tsur.
Sedangkan yang dinaksud dengan tafsir bi al-ra’yi ialah penafsiran Al-Quran yang
dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa Arab dari
berbagai aspeknya serta mengenali lafal-lafal bahasa Arab dan segi-segi arfumentasinya yang
dibantu dengan menggunakan syair-syair jahili serta mempertimbangkan asbabun nuzul dan
lain lain sarana yang dibutuhkan mufassir.7
Diantara sahabat yang termasuk kelompok mufassir bi ra’yi adalah : Abu Bakar
Shiddiq, Umar ibn Al khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib dan Abdullah ibn Mas’ud.
Secara formal corak ini telah melembaga sebagai madrasah al tafsir bi ar ra’y masa itu yang
ditangani langsung oleh Abdullah ibn Abbas.8 Di antara penyebab kemunculan corak tafsir bi
al-ra’y adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan
ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran dan pakar-pakar
di bidangnnya masing-masing. Pada akhirnya, karya tafsir seorang mufassir sangat diwarnai
oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Itulah salah satu faktor yang membuat tafsir
dalam bentuk al-ra’y dengan metode analitis, dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam,
seperti fikh, falsafi, sufi.
1. Ar-Ra’yu al-Mahmudah9
Ar-Ra’yu al-Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa
syarat diantaranya:
a. Sesuai dengan tujuan al-Syar’i (Allah Swt.)
b. Jauh atau terhindar dari kesalahan dan kesesatan
c. Dibangun atas dasar kaidah-kaidah kebahasaan (bahasa Arab) yang tepat dengan
mempraktikkan gaya bahasa (usulubnya) dan memahami nash-nash Al-Quran
d. Tidak mengabaikan (memperhatikan) kaidah-kaidah penafsiran yang sangat penting seperti
memperhatikan asbabun nuxul, munasabah dan lain lain sarana yang dibutuhkan mufassir
Contoh Tafsir Ar-Ra’yu Mahmudah:
7
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 351.
8
Nawir Yuslem, Ulumul Qur’an (Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2011) Hal 110.
9
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 351.
َ َ َ َ َ َ َ َ َ
)٨( ) َو َمن َيع َۡملۡ ِّمثۡقال ذَّرة ش ّٗرا َي َر ُ ۥه٧ ( ف َمن َيع َۡملۡ ِّمثۡقال ذَّرة خي ّٗۡرا َي َر ُ ۥه
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya (7) Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula (8) (QS.Az-Zalzalah:7-8]
Contoh tafsir mahmud ialah penafsiran kata Dzarrah dalam surat al-Zalzalah:7-8,
dengan benda terkecil, misalnya atom, newton dan energi yang ulama’-ulama’ klasik
ditafsirkan dengan biji sawi, biji gandum, dll.10
2. Tafsir Madzmum ( Tafsir yang tercela)
Ciri-ciri penafsiran ini adalah sebagai berikut:
a. Mufassirnya tidak mempunyai keilmuan yang memadai (bodoh)
b. Tidak didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuan
c. Menafsirkan Al-Quran dengan semata-mata mengandalkan kecenderungan hawa nafsu
d. Mengabaikan aturan aturan bahasa Arab dan aturan syariah yang menyebabkan penafsirannya
menjadi rusak, sesat dan menyesatkan
10
Ibid., hlm.352.
11
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 355.
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu
yang terbagi dalam dua pendapat :
1. Tidak diperbolehkan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu karena tafsir ini harus bertitik tolak
dari penyimakan. Itulah pendapat sebagian ulama.
Alasan pendapat yang tidak memperbolehkan
Menafsirkan Qur’an dengan ra’yu dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah
haram, tidak boleh dilakukan. Ulama yang tidak membolehkan penafsiran dengan ra’yu
menyebutkan beberapa alasan yang dapat diringkaskan sebagai berikut :
a. Tafsir dengan ra’yu adalah membuat-buat (penafsiran) Al-Qur’an dengan tidak berdasarkan
ilmu. Karena itu tidak dibenarkan berdasarkan firman Allah:
َ َُ َْ َ َ َ َ ُ َُ َ َ ْ َْ َ ُ ْ
آء َوأن تقو لو ا على اّلل ما لا تعلمو ن ش ح فال و ء و ُّ اَّن َما َيأ ُم ُر كم بآ
لس
ِّ ِّ ِّ ِّ
Artinya : Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan
mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. ( QS. Al-Baqarah : 169)
b. Sebuah hadits tentang acaman terhadap orang yang menafsirkan dengan ra’yu, yaitu sabda
Rasul SAW :
. ومن قال في القرأن برأ يه فليتبوأ مقعده من النار, من كذ ب علي متعمدا فليتبوأ مقعمده من النار
“Barang siapa mendustakan secara sengaja niscaya ia harus bersedia menepatkan
dirinya di neraka. Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan Ra’yu atau
pendapatnya maka hendaklah ia bersedia menepatkan dirinya di neraka .”( H.R. Turmuzi dan
Ibnu Abbas ).
c. Firman Allah SWT :
ِ ََوأَنزَ لنَا ِإ َليك
َالذ ك َر ِلت ُ َب ِينَ ِللنَّا ِس َما نُ ِز َل ِإ َلي ِهم َو َل َع َل ُهم َيتَفَ َّك ُر ون
Artinya : “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereke memikirkan.
d. Para sahabat dan tabi’in merasa berdosa bila menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yunya,
sehingga abu Bakar Shiddiq mengatakan, “ langit manakah yang akan menaungiku dan bumi
manakah yang akan melindungiku? Bila aku menafsirkan Al-Qur’an menurut ra’yuku atau aku
katakan tentangnya sedang aku sendiri belum mengetahui betul.”
Artinya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-
orang yang mempunyai fikiran” (QS. Shaad:29).
Proses tazakkur tidak akan bisa dilakukan tanpa mendalami rahasia-rahasia Al-Qur’an
dan berusaha untuk memahami artinya.
b. Allah SWT. membagi manusia dalam dua klasifikasi; kelompok awam dan kelompok ulama
(cerdik cendikiawan). Allah memrintahkan mengembalikan segala persoalan kepada ulama
yang bisa mengambil dasar hukum, firman Allah:
ُ َ ََ ْ ُ ْ ْ َْ َ َ َ ُ ُّ ْ َ ْ ُ َ َ ْ َْ َ َ ْ َ ْ
َ
ُ َ َ
ولو رد وه ِّإلى الرسو ِّل و ِّإلئ الام ِّر ِّمنهم لع ِّلمه,َو ِّإذا جا َءه ْم أمر ِّمن الآ َِّمن أ ِّوالخو ِّف أذاعوا ِّب ِّه
ُ َّ َ َ ُ
ً َ َّ َ َ ْ َّ ُ ُ ْ َ َّ َ ُ ُ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ َ ْ ُ ْ ُ َ ُ َ َ َ َّ
. لا تبعتم الشيطىن ِّإلا ق لىلا, ولولا فظىل اّلل عليكم ورحمته, نبطو نه ِّمنهم ْ
ِّ ال ِّذين يست
Artinya : “Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322] di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (QS. An-Nisa’:83)
c. Mereka berpendapat, “bila penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan maka ijtihad itu sendiri
niscaya tidak diperbolehkan. Akibatnya banyak hukum yang terkatung-katung. Hal ini tidak
mungkin karena bila seorang mujtahid berijtihad dalam hukum syara’, ia akan mendapatkan
pahala, baik benar maupun salah dalam ijtihadnya.12
12
Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an (dalam Ulumul Quran:Jakarta,2014), hlm..359.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tafsir bi al-Riwayah ialah penafsiran al-Quran yang dilakukan dengan cara
menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, menafsirkan ayat Al-Quran dengan al-Sunnah al-
nabaiyyah dan/ atau menafsirkan ayat Al-Quran dengan kalam (pendapat) sahabat, bahkan
tabi’in menurut sebgian ulama. Dalam Tafsiran ini terbagi menjadi tiga yaitu nenafsirkan ayat
Al-Quran dengan Al-Quran, dan apabila tidak menjumpai dalam Al-Quran maka dapat dengan
al-Sunnah dan pendapat Sahabat. Penafsiran ini menurut berbagai Ulama’ adalah kedudukan
yang paling tinggi, dan karena itu penafsiran ini dapat dijadikan pedoman. Namun disamping
itu yang ditakutkan dari tafsir ini ialah, apabila tercampurnya riwayat yang shahih dan tidak
shahih yang digunakan oleh orang kafir untuk menyesatkan umat Islam.
Sedangkan Tafsir bi al-Ra’yi ialah tafsir yang dilakuka mufassir dengan menggunakn
akal pikiran (pemikiran). Dalam tafsir ini terdapat dua kategori yaitu tafsir yang terpuji
(mahmud) dan tafsir yang tercela (madzmum). Tafsir yang terpuji itu apabila memiliki ciri-ciri
yang tidak bertentangan dengan tujuan Syari, Dibangun atas dasar-dasar kaidah bahasa Arab,
dan memperhatikan asb nuzul, munasabah, dll atau sarana yang dibutuhkan oleh mufassir.
Sedangkan Tafsir bi ak-Ra’y yang tercela (madzmum), apabila mufassirnya tidak mempunyai
keilmuan yang memadai, dan tidak didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuan, dan lebih
mementingkan hawa nafsu.
Pendapat ulama’ mengenai Tafsir bi al-Ma’tsur yaitu penafsiran yang paling tinggi
kedudukannya karena jika pada sebagain ayat Al-Quran ada yang global, maka pada bagian
lain yang seringkali dijumpai uraian yang rinci, dan apabila tidak menjumpainya dalam al-
Quran dapat menggunakan al-Sunnah dan apabila daalm Al-Quran dan Al-Sunnah tidak
digunakan maka dapat digunakan pendapat sahabat dan tabi’iin menurut sebagian ulama.
Sedangkan dalam pendapat ulama mengenai Tafsir bi al-Ra’y ada yang memperbolehkan dan
tidak memperbolehkan . Jika yang memboleh kan dengan alasan, karena apabila
penafsiran penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan maka ijtihad itu sendiri niscaya tidak
diperbolehkan. dan yang melarangnya adalah dengan mengada-ada atau membuat buat bukan
berdasarkan ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Ash-Shabuniy, Muhammad. At-Tibyan fi Ulum al-Qur’an. (Cet. I; Alim al-Kutub: Makkah al-
Mukarramah, 1985).
Al Qathan, Manna’. Pengantar Studi Imu Al-quran. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2008
Amin Suma, Muhammad. 2014. Ulumul Quran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Baidan, Nashruddin. 1999. Rekontruksi Ilmu Tafsir. Surakarta: STAIN Press.
Baidan, Nashruddin. 2002. Metode Penafsiran Al-Quran.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasbi ash-Shiddieqy,Teungku. 2011. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra.
Shihab, M. Quraish. 2000. Sejarah ‘Ulumul Qur’an. (ed). Azyumardi Azra, Cet. II. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Yuslem, Nawir. 2011. Ulumul Qur’an . Bandung : Citapustaka Media Perintis.
Abdul Basir, “Kaidah Tafsir dalam Ulumul Quran”, Jurnal Al Jami, Volume 15, Nomor 29
(2019), 6, ISSN 1858-389x
Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo: al-Nasr wa al-Tauzi’, 1978), 706. Abu
al-Fida’ Isma’il ibn Umar ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ān al- ‘Azim (Beirut: Dār al-
Tayyibah, 1999), 14.
Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taymiyah, Majmu’ Fatawa li Syaikh al-Ilsam ibn Taymiyah,