Anda di halaman 1dari 13

SUMBER – SUMBER TAFSIR

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Manajemen Pendidikan


Dosen Pengampu: Dr. Heri Khoirudin, M.Ag.

KELOMPOK 2 :
ASEP IRFAN FANANI NIM. 2220060048
CITRA KUSUMA DEWI NIM. 2220060053

KELAS: MPI I A NON REGULER

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan inayah-Nya, sehingga penyusun dapat meyelesaikan
penyusunan mini riset ini. Shalawat serta salam selalu terlimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW., keluarganya, sahabatnya dan segenap pengikutnya yang beriman
hingga akhir zaman.
Kebahagiaan yang tak terhingga dirasakan oleh penyusun sejalan dengan
berakhirnya penulisan makalah ini. Segala hasil usaha yang penyusun peroleh tidak
luput dari bantuan dan peran serta pihak lain. Oleh karena itu, penyusun ucapkan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
Atas segala kebaikan serta bantuan yang diberikan kepada penyusun, hanya
ungkapan rasa terima kasih dan doa semoga Allah SWT. membalasnya dengan
kebaikan yang berlipat. Harapan penyusun semoga makalah ini bermanfaat bagi para
pembacanya khususnya untuk penyusun.

Bandung, 13 Oktober 2022

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3
BAB I ......................................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang Masalah.................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................... 4
BAB II ....................................................................................................................................... 5
A. Pengertian Tafsir bi al-Ma’tsur/bi al-Riwayah/ bi al-Manqul .......................................... 5
B. Bentuk-Bentuk Tafsir bi Al-Riwayah ............................................................................... 5
1. Tafsir Al-Quran dengan AlQuran ............................................................................. 5
2. Tafsir Al-Quran dengan al-Sunnah al-Nabawiyyah ................................................. 6
3. Tafsir Al-Quran dengan Pendapat Sahabat ............................................................... 6
C. Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bi Al-Riwayah............................................................... 7
D. Pengertian Tafsir bi al-Dirayah/bi al-Ma’qul/ bi al-Ra’yi/ bi al-Ijtihad ........................... 7
E. Bentuk-Bentuk Tafsir bi Al-Ra’yi ..................................................................................... 8
1. Ar-Ra’yu al-Mahmudah ............................................................................................ 8
2. Tafsir Madzmum ( Tafsir yang tercela) .................................................................... 9
F. Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bi Al-Ra’y ..................................................................... 9
BAB IV .................................................................................................................................... 12
A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Memepelajari Al-Quran bagi setiap Muslim merupakan salah satu aktivitas terpenting,
bahkan hanya membacanya pun dinilai ibadah. Dalam mempelajari Al-Quran, seseorang harus
mempelajari Ulumul Quran, sehingga suatu pengantar itu dapat mengantarkan mempelajari Al-
Quran lebih lanjut. Dalam mempejari Al-Quran adakalanya keterkaitan antara Al-Quran dan
ilmu tafsir. Sehingga dalam mempelajari Al-Quran, Ilmu Tafsir sangat menentukan
keberhasilan seseorang untuk mempelajari Al-Quran.
Al-Qur’an yang memancar aneka ilmu keislaman, dari segala aspek yang kita alami dan
hadapi dalam kehidupan ini, tidak hanya mengikat dalam personal dunia melainkan juga
persoalan akhirat. Karena itulah kitab suci ini mendorong kita untuk melakukan pengajian
pengamatan dan penelitian. Dalam konteks inilah lahirnya berbagai macam disiplin ilmu yang
kita kenal saat ini, dan menghasilkan juga aliran aliran dalam menafsirkan Al-Quran.
Siapa yang mengamati aneka disiplin ilmu keislaman, baik kebahasan, keagamaan,
maupun filsafat, kendati berbeda-beda dalam analisis, istilah dan pemaparannya, namun
kesemuanya menjadikan teks-teks Al-Qur’an sebagai focus pandangan dan titik tolak studinya.
Karena Al-Quran merupakan Kalam Allah, maka dalam memahami Al-Quran yang banyak
sekali kosakata baik dalam ayat maupun surat dengan berbagai cara dan menghasilkan produk
tafsir yang berbeda-beda.
Adapun beberapa aliran Tafsir sehingga menghsilkan produk yang berbeda-beda,
seperti Tafsir bi al-Riwayah/Ma’tsur dan Tafsir bi al-Dirayah/Ra’yi. Aliran tafsir ini tumbuh
dan berkembang seiring dengan kebutuhan umat dan tuntunan zaman disamping senafas
dengan perkembangan cabang/bidang ilmu pengetahuan. Mula-mula Tafsir bi al-
Riwayah, kemudian diikuti dengan Tafsir bi al-Dirayah. Kelahiran Tafsir bi al-Dirayah ini
selain kebutuhan mendesak pada zamannya, juga sebagai kritik membangun terhadap
aliran Tafsir bi al-Riwayah,yang dianggap terlalu sedikit dan rigid.
Dalam pembahasan kali ini penulis mencoba membahas aliran tafsir dan berbagai
bentuk tafsir al-Qur’an yang hingga saat ini sudah banyak ditulis oleh pakar ilmu-ilmu Al-
Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Tafsir bi al-Ma’tsur?
2. Apa saja bentuk-bentuk Tafsir bi al-Ma’tsur?
3. Apa pengertian dari Tafsir bi al-Ra’yi?
4. Apa saja bentuk-bentuk Tafsir bi al-Ra’yi?
5. Bagaimana perbedaan pendapat tentang Tafsir bi al-Ma’tsur?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari Tafsir bi al-Ma’tsur
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk Tafsir bi al-Ra’yi
3. Untuk mengetahui pengertian dari Tafsir bi al-Ma’tsur
4. Untuk mengetahui bentuk-bentuk Tafsir bi al-Ra’yi
5. Untuk mengetahui perbedaan pendapat tentang Tafsir bi al-Ma’tsur
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir bi al-Ma’tsur/bi al-Riwayah/ bi al-Manqul


Kata al-Ma’tsur berasal dari kata atsara-ya’tsiru/ ya’tsuru-atsran- wa-atsaratan yang
secara etimologi yang berarti menyebutkan atau mengutip (naqala) dan memuliakan atau
menghormati (akrama). Al-Atsar juga berarti sunnah, hadis, jejak, bekas, pengaruh, dan kesan.
Jadi kata al-ma’tsur, al-naql/al-manqul/, dan al-riwayah pada hakiakatnya mengacu pada
makna yng sama yaitu mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang ssudah ada dari orang lain
atau masa lalu sehingga tinggal mewarisi dan meneruskan apa adanya.1
Sejalan dengan pengertian harfiah kata al-ma’tsur dan lain-lain diatas, ialah penafsiran
al-Quran yang dilakukan dengan cara menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, menafsirkan
ayat Al-Quran dengan al-Sunnah al-nabaiyyah dan/ atau menafsirkan ayat Al-Quran dengan
kalam (pendapat) sahabat, bahkan tabi’in menurut sebgian ulama. Menurut Ali al-Shabuni,
memformulasikan tafsir bi al-riwayah ialah tafsir yang terdapat dalam Al-Quran atau al-
Sunnah atau pendapat sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah SWT.
Tentang penafsiran Al-Quran berdasar al-Sunnah al-Nabawiyah.2

B. Bentuk-Bentuk Tafsir bi Al-Riwayah


Dari definisi diatas bisa dikemukakan bahwa tafsir bi al-riwayah dapat dibedakan dalam
tiga bentuk, yaitu:
1. Tafsir Al-Quran dengan AlQuran
Dalam hal ini ada beberapa bentuk dalam menafsirkan ayat dengan ayat, yaitu
menafsirkan ayat yang satu dengan ayat yang lain dalam surat yang sama, dan menafsirkan
ayat yang satu dengan ayat yang lain dalam surat yang berbeda. Contoh penafsiran ayat dengan
ayat dalam surat yang sama secara bergandengan ialah:
َ ْ ََ ْ
)6(‫الص َرال ُم ْست ِّق ْي َم‬
ِّ ‫ا‬ ‫ِّاه ِّد ن‬
ََ ُ ْ ْ َ َ َ َ ََْ َّ َ
َ َّ َ
)7( ‫ِّص َرط ال ِّذ ْي َن انع ْمت عل ْي ِّه ْم غ ْي ِّر ال َمغض ْو ِّب عل ْي ِّه ْم َولا الضا ِّل ْين‬
Artinya: Tunjukkanlah kami jalan yang lurus (6) Yaitu jalan orang-orang yang telah engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat (7). (QS. Al Fatihah: 6-7).
Dalam Surat Al-Fatihah ayat 6 yang maknanya kurang jelas, sehingga ayat selanjutnya
(ayat 7) menafsirkan ayat 6 itu.

Sedangkan contoh penafsiran ayat dengan ayat dalam surat yang berbeda, seperti:
َ
َ ََٰ َ ََّ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َّ َ َ َ ُ َ َ َ َ ََّ َ َ
)٢٣ (‫قالا ربنا ظلمۡنا أنفسنا و ِّإن لمۡ تغ ِّۡفرۡ لنا وترۡحمۡنا لنكونن ِّمن ٱلۡخ ِّس ِّرين‬

1
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 332.
2
Ali Al-Shabuni, dalam Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 332.
Artinya: Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan
jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah
kami termasuk orang-orang yang merugi.(QS. Al A’raf:23)
Yang berfungsi sebagai mufassir bagi kata‫ َك ِل َٰ َمت‬dalam ayat:
ُ ‫اب َع َلي ِّۡه إَّن ُه ُه َو ٱ َّلتَّو‬
ُ ‫اب ٱ َّلرح‬
)37( ‫يم‬ َ ‫َف َت َلَّقى َء َاد ُم من َّرب ِّه َكل ََٰمت َف َت‬
ِّ ‫ِّ ۥ‬ ِّ ‫ِّ ۦ‬ ِّ
Artinya: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima
taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-
Baqarah:37)
2. Tafsir Al-Quran dengan al-Sunnah al-Nabawiyyah
Yang dimaksud dengan tafsir al-Sunnah Nabawiyyah ialah menafsirkan Al-Quran
dengan hadis Nabi Muhammad Saw.3 Diantara contohnya ialah Nabi saw. Menafsirkan
ِ ‫ ۡٱل َم ۡغضُو‬dan َ‫ضآلِين‬
kata ‫ب‬ َّ ‫ٱل‬masing-masing dengan orang Yahudi dan orang-orang Nasrani
dalam firman Allah :
ََ ََ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ َّ َ َ َ ُ َ ََٰ َ
‫وب علي ِّۡهمۡ ولا‬ ََٰ
ِّ ‫) ِّصرط ٱل ِّذين أنۡعمۡت علي ِّۡهمۡ غي ِّۡر ٱلۡمغۡض‬٦( ‫لصرط ٱلۡمسۡت ِّقيم‬ ِّ ‫ٱه ِّۡدنا ٱ‬
َ َّ
)٧ (‫ٱلضا ِّلين‬
Artinya: Tunjukilah kami jalan yang lurus (6) (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat (7) (QS. Al-Fatihah 6-7)
Contoh lain, Rasulullah Saw. Menafsirkan kata al quwwah dengan panah (al-
ramyu) dalam firman Allah:
ُ َ َ َ َ ُ َّ ُ َ َ َّ َّ ُ َ َ ُ ُ َ َ َّ ُ ُ ََ َّ ُ َ ْ ُّ َ
‫ون ِّه ۡم‬
ِّ ‫ّلل وعدوكمۡ وءاخ ِّرين ِّمن د‬ ِّ ‫اط ٱلۡخي ِّۡل تر ِّۡهبون ِّب ِّهۦ عدو ٱ‬ َ َ
ِّ ‫وأ ِّعدوا لهم ما ٱسۡتطعۡتم ِّمن قوة و ِّمن ِّرب‬
َ ُ َ ُ َ ُ َ َ ُ َ َّ َ ُ َّ َ َ ْ ُ ُ َ
َ ُ ُ
َ َ ُ َّ ُ ُ َ َ َ َ
ُ
) ٦٠ (‫ّلل يوف ِّإليۡكمۡ وأنتمۡ لا تظۡلمون‬ ِّ ‫يل ٱ‬ِّ ‫نفقوا ِّمن شيۡء ِّفي س ِّب‬ ِّ ‫لا تعۡلمونهم ٱّلل يعۡلمهمۡ وما ت‬
Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi
dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan
Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya
(dirugikan)(QS. Al-Anfal:60)
3. Tafsir Al-Quran dengan Pendapat Sahabat
Tafsir Al-Quran dengan pendapat sahabat , oleh sebagian ulama’ digolongkan ke dalam
kelompok tafsir bi al-riwayah. Al Hakim misalnya dalam bukunya al-Mustadrak, mengatakan
bahwa tafsir sahabat yang menyasikan proses turunnya wahyu Al-Quran layak di posisikan
sebagai hadis marfu’ maksudnya disetarakan dengan haadis nabi. Namun demikian, ada pula
ulama yang membatasi bahwa tafsir sahabat itu bias digolongkan ke dalam kelompok tafsir bi
al-riwayah manakala yang diambil dari mereka adalah hal-hal yang berkenaan dengan ilmu-

3
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 342.
ilmu sima’I semisal asbabun nuzul dan kisah yang tidak ada kaitnnya dengan ijtihad. Jadi pada
hakikatnya pendapat sahabat masuk ke dalam kategori Tafsir al-riwayah.4
Berbeda dengan pendapat sahabat yang ditempatkan ke dalam tafsir bi al-riwayah,
pengelompokan tafsir dengan pendapat tabi’in ke dalam tafsir bi al-riwayah banyak digugat
para ahli tafsir. Salah satunya penolakan dari al-Zarqani untuk tidak memasukkan pendapat
tabi’in ke tafsir al-ma;tsur adalah didorong keinginannya untuk menyelamatkan tafsir al-
ma’tsur dari pemikiran-pemikiran israilliyyat yang dapat menyesatkan umat karena isinya
lebih banyak dongeng, kufarat, khayal, dan sebagainya dari pada kebenaran.5

C. Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bi Al-Riwayah


Tafsir bi- alriwayah, terutama yang dalam bentu tafsir Al-Quran bi Al-Quran dan tafsir
Al-Quran dengan al-Sunnah Nabawiyah oleh kebanyakan bahkan seluruh mufassir dinyatakan
sebagai tafsir yang paling tinggi kedudukannya. Bahkan Ibn Taimiyah dan Ibnu Katsir
menyatakan “Sekiranya ada orang yang bertanya tentang cara penafsiran Al-Quran yang
terbaik, maka jawaban yang paling tepat ialah menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran.
Alasannya, karena jika pada sebagian ayat Al-Quran ada yang global, maka pada bagian lain
sering kali dijumpai uraian yang relatif rinci. Manakala seseorang tidak menjumpai
(keterangannya) dalam Al-Quran, maka hendaklah ia berpegang dengan al-Sunnah yang
berfungsi sebagai pensyarah dan penjelas bagi Al-Quran.6 Dan apabila tidak mendapatkan
Penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran, dan Sunnah, maka hendaknya merujuk pada pendapat
sahabat, karena sahabat merupakan orang yang tahu tentang wahyu sedikit lebih banyak dan
sedikit terlibat dengan proses penurunan wahyu.
Namun penafsiran ini juga mempunyai kelemahan didalamnya terutama
1. Mencampuradukkan antara riwayat yang shahih dengan yang tidak sahih
2. Dalam buku-buku tafsir bi al-Riwayah sering dijumpai kisah-kisah israilliyat yang penuh
dengan khufarat, tahayul, dan bid’ah yang sering kali menodai akidah Islamiyyah
3. Sebagian pengikut madzhab tertentu seringkali mengkalim (mencatat) pendapat mufassir
tertentu, misalnya mempertimbangkan penafsiran tanpa ada pembuktian kebenaran
4. Sebagian orang kafir yang notabene memusuhi Islam acapkali menyisihkan (kepercayaan)
melalui sahabat dan tabi’in. Yang demikian itu sengaja amereka lakukan untuk menghancurkan
Islam

D. Pengertian Tafsir bi al-Dirayah/bi al-Ma’qul/ bi al-Ra’yi/ bi al-Ijtihad


Kata dirayah berakar pada kata dara-yadri-daryan-wadiryatan yang artinya mengerti,
mengetahui, dan memahami. Kata dirayah merupakan sinonim dari ra’yun yang berarti
melihat, mengerti, menyangka, mengira atau menduga. Kata al ra’yi secara etimologis berarti
keyakinan, qiyas dan Ijtihad. Jadi, tafsir bi al ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan
cara Ijtihad. Yakni rasio yang dijadikan titik tolak penafsiran setelah mufasir terlebih dahulu
memahami bahasa Arab dan aspek-aspek dilalah (pembuktian) dan mufassir juga
menggunakan syair-syair arab jahili sebagai pendukung, di samping memperhatikan asbab al-
nuzul, nasikh dan mansukh, qira’at dan lain-lain. Adapu al-ra’yu secara semantik berarti

4
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.41.
5
Nashruddin Baidan, Rekontruksi Ilmu Tafsir (Surakarta: STAIN Press, 1999), hlm.40.
6
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 346.
keyakinan, pengaturan dan akal. Al-ra’yi juga identik dengan ijtihad. Berdasarkan pengertian
semantik tersebut, para pakar ilmu tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bi
al-ra’yi adalah menyingkap isi kandungan al-Qur’an dengan ijtihad yang dilakukan oleh akal.
Corak ini dinamakan juga dengan al-Tafsir bi al-Ijtihadi, yaitu penafsiran yang menggunakan
ijtihad. Karena penafsiran seperti ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir.
Perbedaan-perbedaan antara satu mufassir dengan mufassir lain lebih mungkin terjadi,
dibandingkan al- Tafsir bi al-ma’tsur.
Sedangkan yang dinaksud dengan tafsir bi al-ra’yi ialah penafsiran Al-Quran yang
dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa Arab dari
berbagai aspeknya serta mengenali lafal-lafal bahasa Arab dan segi-segi arfumentasinya yang
dibantu dengan menggunakan syair-syair jahili serta mempertimbangkan asbabun nuzul dan
lain lain sarana yang dibutuhkan mufassir.7
Diantara sahabat yang termasuk kelompok mufassir bi ra’yi adalah : Abu Bakar
Shiddiq, Umar ibn Al khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib dan Abdullah ibn Mas’ud.
Secara formal corak ini telah melembaga sebagai madrasah al tafsir bi ar ra’y masa itu yang
ditangani langsung oleh Abdullah ibn Abbas.8 Di antara penyebab kemunculan corak tafsir bi
al-ra’y adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan
ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran dan pakar-pakar
di bidangnnya masing-masing. Pada akhirnya, karya tafsir seorang mufassir sangat diwarnai
oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Itulah salah satu faktor yang membuat tafsir
dalam bentuk al-ra’y dengan metode analitis, dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam,
seperti fikh, falsafi, sufi.

E. Bentuk-Bentuk Tafsir bi Al-Ra’yi


Mengingat tafsir dirayah ini lebih menekankan sumber penafsirannya pada kekuatan
bahasa dan akal mufassir maka para ahli ilmu tafsir membagi Tafsir bi al-Ra’y menjadi 2
macam yaitu tafsir bi-ra’yi yang terpuji (mahmudah) dan tafsir bi-ra’yi yang tercela (al-
madzmum).

1. Ar-Ra’yu al-Mahmudah9
Ar-Ra’yu al-Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa
syarat diantaranya:
a. Sesuai dengan tujuan al-Syar’i (Allah Swt.)
b. Jauh atau terhindar dari kesalahan dan kesesatan
c. Dibangun atas dasar kaidah-kaidah kebahasaan (bahasa Arab) yang tepat dengan
mempraktikkan gaya bahasa (usulubnya) dan memahami nash-nash Al-Quran
d. Tidak mengabaikan (memperhatikan) kaidah-kaidah penafsiran yang sangat penting seperti
memperhatikan asbabun nuxul, munasabah dan lain lain sarana yang dibutuhkan mufassir
Contoh Tafsir Ar-Ra’yu Mahmudah:

7
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 351.
8
Nawir Yuslem, Ulumul Qur’an (Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2011) Hal 110.
9
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 351.
َ َ َ َ َ َ َ َ َ
)٨( ‫) َو َمن َيع َۡملۡ ِّمثۡقال ذَّرة ش ّٗرا َي َر ُ ۥه‬٧ ( ‫ف َمن َيع َۡملۡ ِّمثۡقال ذَّرة خي ّٗۡرا َي َر ُ ۥه‬
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya (7) Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula (8) (QS.Az-Zalzalah:7-8]
Contoh tafsir mahmud ialah penafsiran kata Dzarrah dalam surat al-Zalzalah:7-8,
dengan benda terkecil, misalnya atom, newton dan energi yang ulama’-ulama’ klasik
ditafsirkan dengan biji sawi, biji gandum, dll.10
2. Tafsir Madzmum ( Tafsir yang tercela)
Ciri-ciri penafsiran ini adalah sebagai berikut:
a. Mufassirnya tidak mempunyai keilmuan yang memadai (bodoh)
b. Tidak didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuan
c. Menafsirkan Al-Quran dengan semata-mata mengandalkan kecenderungan hawa nafsu
d. Mengabaikan aturan aturan bahasa Arab dan aturan syariah yang menyebabkan penafsirannya
menjadi rusak, sesat dan menyesatkan

Contoh penafsiran Tafsir Madzmum ( Tafsir yang tercela):


Ada oknum juru kampanye (jurkam) yang menerjemahkan kata syajarah dengan pohon
beringin, dengan maksud mendiskriditkan Partai Golongan Karya supaya tidak dipilih.
َ َ َ َّ ََٰ َ َ َ َ َ َ ُ ُ َ ًَ َ َ َ ُ َ َ ََّ َ ُ َ َ َ َ ُ َ َ ُ
‫َوقلۡنا َي َٔـاد ُم ٱسۡكنۡ أنت وزوۡجك ٱلۡجنة وكلا ِّمنۡها رغدا حيۡث ِّشئۡتما ولا تقۡربا ه ِّذ ِّه ٱلشجرة‬
َ ََّٰ َ َ ُ َ َ
)٣٥( ‫فتكونا ِّمن ٱلظ ِّل ِّمين‬
Artinya: Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan
makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan
janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang
zalim (QS. Al-Baqarah:35)
Kata syajarah pada surat al-Baqarah ayat 35 diatas sama sekali tidak ada hubungannya
dengan pohon beringin karena yang dimaksudkan dengan pohon disini adalah pohan yang oleh
para ulam’ tafsir disebut-sebut dengan pohon khuldi yang Adam a.s dilarang mendekatinya
dialam surga sebelum Adam dan Istrinya diusir ke muka bumi. Sedangkan pohon beringin pada
Partai Golkar dipahami dengan pengayoman dan keteduhan.11

F. Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bi Al-Ra’y


Pendapat ulama tentang boleh tidaknya menafsiri Al-Qur’an bi al-ra’y beserta dengan
alasannya. Sebagian ulama mengatakan “ yang dimaksud dengan ra’yu disini adalah ijtihad”.
Karena itu, tafsir ra’yu berarti tafsir Al-Qur’an berdasarkan ijtihad setelah mufassir
mengetahui kata-kata dan uslub orang arab dalam berbicara, serta mengetahui lafal-lafal
bahasa arab dan pengertiannya.

10
Ibid., hlm.352.
11
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 355.
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu
yang terbagi dalam dua pendapat :
1. Tidak diperbolehkan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu karena tafsir ini harus bertitik tolak
dari penyimakan. Itulah pendapat sebagian ulama.
Alasan pendapat yang tidak memperbolehkan
Menafsirkan Qur’an dengan ra’yu dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah
haram, tidak boleh dilakukan. Ulama yang tidak membolehkan penafsiran dengan ra’yu
menyebutkan beberapa alasan yang dapat diringkaskan sebagai berikut :
a. Tafsir dengan ra’yu adalah membuat-buat (penafsiran) Al-Qur’an dengan tidak berdasarkan
ilmu. Karena itu tidak dibenarkan berdasarkan firman Allah:
َ َُ َْ َ َ َ َ ُ َُ َ َ ْ َْ َ ُ ْ
‫آء َوأن تقو لو ا على اّلل ما لا تعلمو ن‬ ‫ش‬ ‫ح‬ ‫ف‬‫ال‬ ‫و‬ ‫ء‬ ‫و‬ ُّ ‫اَّن َما َيأ ُم ُر كم بآ‬
‫لس‬
ِّ ِّ ِّ ِّ
Artinya : Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan
mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. ( QS. Al-Baqarah : 169)
b. Sebuah hadits tentang acaman terhadap orang yang menafsirkan dengan ra’yu, yaitu sabda
Rasul SAW :
.‫ ومن قال في القرأن برأ يه فليتبوأ مقعده من النار‬, ‫من كذ ب علي متعمدا فليتبوأ مقعمده من النار‬
“Barang siapa mendustakan secara sengaja niscaya ia harus bersedia menepatkan
dirinya di neraka. Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan Ra’yu atau
pendapatnya maka hendaklah ia bersedia menepatkan dirinya di neraka .”( H.R. Turmuzi dan
Ibnu Abbas ).
c. Firman Allah SWT :
ِ َ‫َوأَنزَ لنَا ِإ َليك‬
َ‫الذ ك َر ِلت ُ َب ِينَ ِللنَّا ِس َما نُ ِز َل ِإ َلي ِهم َو َل َع َل ُهم َيتَفَ َّك ُر ون‬
Artinya : “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereke memikirkan.
d. Para sahabat dan tabi’in merasa berdosa bila menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yunya,
sehingga abu Bakar Shiddiq mengatakan, “ langit manakah yang akan menaungiku dan bumi
manakah yang akan melindungiku? Bila aku menafsirkan Al-Qur’an menurut ra’yuku atau aku
katakan tentangnya sedang aku sendiri belum mengetahui betul.”

2. Alasan-alasan Pendapat yang Membolehkan Tafsir dengan Ra’yu


Ulama’ yang membolehkan tafsir dengan ra’yu adalah golongan jumhur yang
menyebutkan beberapa alasan yang dapat kami simpulkan sebagai berikut:
a. Allah telah manganjurkan kita untuk memperhatikan dan mengikuti Al-Qur’an, seperti dalam
firman-Nya:
ُ ْ َّ َّ ُ َ َ ُ َ ْ َ ُ َ ْ َ َ َ
َ ْ َ ْ ْ ُ ْ َ َّ َ َ َ َ
‫ و ِّليتذ كر أولوا الالب ِّب‬,‫ِّكتب أنزلنه ِّإليك مبر ك ِّل َيد ب ُروا ءا ي ِّت ِّه‬
َ َ

Artinya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-
orang yang mempunyai fikiran” (QS. Shaad:29).
Proses tazakkur tidak akan bisa dilakukan tanpa mendalami rahasia-rahasia Al-Qur’an
dan berusaha untuk memahami artinya.
b. Allah SWT. membagi manusia dalam dua klasifikasi; kelompok awam dan kelompok ulama
(cerdik cendikiawan). Allah memrintahkan mengembalikan segala persoalan kepada ulama
yang bisa mengambil dasar hukum, firman Allah:
ُ َ ََ ْ ُ ْ ْ َْ َ َ َ ُ ُّ ْ َ ْ ُ َ َ ْ َْ َ َ ْ َ ْ
َ
ُ َ َ
‫ ولو رد وه ِّإلى الرسو ِّل و ِّإلئ الام ِّر ِّمنهم لع ِّلمه‬,‫َو ِّإذا جا َءه ْم أمر ِّمن الآ َِّمن أ ِّوالخو ِّف أذاعوا ِّب ِّه‬
ُ َّ َ َ ُ
ً َ َّ َ َ ْ َّ ُ ُ ْ َ َّ َ ُ ُ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ َ ْ ُ ْ ُ َ ُ َ َ َ َّ
.‫ لا تبعتم الشيطىن ِّإلا ق لىلا‬,‫ ولولا فظىل اّلل عليكم ورحمته‬, ‫نبطو نه ِّمنهم‬ ْ
ِّ ‫ال ِّذين يست‬
Artinya : “Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322] di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (QS. An-Nisa’:83)
c. Mereka berpendapat, “bila penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan maka ijtihad itu sendiri
niscaya tidak diperbolehkan. Akibatnya banyak hukum yang terkatung-katung. Hal ini tidak
mungkin karena bila seorang mujtahid berijtihad dalam hukum syara’, ia akan mendapatkan
pahala, baik benar maupun salah dalam ijtihadnya.12

12
Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an (dalam Ulumul Quran:Jakarta,2014), hlm..359.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tafsir bi al-Riwayah ialah penafsiran al-Quran yang dilakukan dengan cara
menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, menafsirkan ayat Al-Quran dengan al-Sunnah al-
nabaiyyah dan/ atau menafsirkan ayat Al-Quran dengan kalam (pendapat) sahabat, bahkan
tabi’in menurut sebgian ulama. Dalam Tafsiran ini terbagi menjadi tiga yaitu nenafsirkan ayat
Al-Quran dengan Al-Quran, dan apabila tidak menjumpai dalam Al-Quran maka dapat dengan
al-Sunnah dan pendapat Sahabat. Penafsiran ini menurut berbagai Ulama’ adalah kedudukan
yang paling tinggi, dan karena itu penafsiran ini dapat dijadikan pedoman. Namun disamping
itu yang ditakutkan dari tafsir ini ialah, apabila tercampurnya riwayat yang shahih dan tidak
shahih yang digunakan oleh orang kafir untuk menyesatkan umat Islam.
Sedangkan Tafsir bi al-Ra’yi ialah tafsir yang dilakuka mufassir dengan menggunakn
akal pikiran (pemikiran). Dalam tafsir ini terdapat dua kategori yaitu tafsir yang terpuji
(mahmud) dan tafsir yang tercela (madzmum). Tafsir yang terpuji itu apabila memiliki ciri-ciri
yang tidak bertentangan dengan tujuan Syari, Dibangun atas dasar-dasar kaidah bahasa Arab,
dan memperhatikan asb nuzul, munasabah, dll atau sarana yang dibutuhkan oleh mufassir.
Sedangkan Tafsir bi ak-Ra’y yang tercela (madzmum), apabila mufassirnya tidak mempunyai
keilmuan yang memadai, dan tidak didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuan, dan lebih
mementingkan hawa nafsu.
Pendapat ulama’ mengenai Tafsir bi al-Ma’tsur yaitu penafsiran yang paling tinggi
kedudukannya karena jika pada sebagain ayat Al-Quran ada yang global, maka pada bagian
lain yang seringkali dijumpai uraian yang rinci, dan apabila tidak menjumpainya dalam al-
Quran dapat menggunakan al-Sunnah dan apabila daalm Al-Quran dan Al-Sunnah tidak
digunakan maka dapat digunakan pendapat sahabat dan tabi’iin menurut sebagian ulama.
Sedangkan dalam pendapat ulama mengenai Tafsir bi al-Ra’y ada yang memperbolehkan dan
tidak memperbolehkan . Jika yang memboleh kan dengan alasan, karena apabila
penafsiran penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan maka ijtihad itu sendiri niscaya tidak
diperbolehkan. dan yang melarangnya adalah dengan mengada-ada atau membuat buat bukan
berdasarkan ilmu.
DAFTAR PUSTAKA

Ali Ash-Shabuniy, Muhammad. At-Tibyan fi Ulum al-Qur’an. (Cet. I; Alim al-Kutub: Makkah al-
Mukarramah, 1985).
Al Qathan, Manna’. Pengantar Studi Imu Al-quran. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2008
Amin Suma, Muhammad. 2014. Ulumul Quran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Baidan, Nashruddin. 1999. Rekontruksi Ilmu Tafsir. Surakarta: STAIN Press.
Baidan, Nashruddin. 2002. Metode Penafsiran Al-Quran.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasbi ash-Shiddieqy,Teungku. 2011. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra.
Shihab, M. Quraish. 2000. Sejarah ‘Ulumul Qur’an. (ed). Azyumardi Azra, Cet. II. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Yuslem, Nawir. 2011. Ulumul Qur’an . Bandung : Citapustaka Media Perintis.
Abdul Basir, “Kaidah Tafsir dalam Ulumul Quran”, Jurnal Al Jami, Volume 15, Nomor 29
(2019), 6, ISSN 1858-389x
Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo: al-Nasr wa al-Tauzi’, 1978), 706. Abu
al-Fida’ Isma’il ibn Umar ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ān al- ‘Azim (Beirut: Dār al-
Tayyibah, 1999), 14.
Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taymiyah, Majmu’ Fatawa li Syaikh al-Ilsam ibn Taymiyah,

Anda mungkin juga menyukai