Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Ragam Penafsiran Al-Qur’an

Diajukan sebagai

Tugas Mata Kuliah Ilmu Tafsir

Dosen Pengampu :

Dr. Muhammad Asrori, M.PdI

Disusun Oleh :

1. Nadzirotul Atiyah (012110027)


2. Nurul Lailiyah Fibriyatul M (012110030)
3. Pati Suro Among Sapu Kebas Putra B S (012110031)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN

2022
Kata Pengantar

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT


yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu
Tafsir dengan judul: “Ragam Penafsiran Al-Qur’an”.

Shalawat serta salam senantiasa kami panjatkan kepada Nabi Muhammad


SAW yang telah membawa manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman terang
benderang.

Dan tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Muhammad
Asrori, M.PdI Selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu Tafsir yang telah
membimbing kami dalam menyusun makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna


dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran dan kritik yang membangun
dari pembaca demi penyempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya


mahasiswa prodi Pendidikan Agama Islam.

Lamongan, 22 September 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..............................................................................................II
Daftar Isi.......................................................................................................III
BAB I...............................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................1
1.3 Tujuan............................................................................................2
BAB II.............................................................................................................3
PEMBAHASAN.............................................................................................3
2.1 Pengertian Tafsir............................................................................3
2.2 Bentuk-Bentuk Tafsir....................................................................4
2.3 Tafsir Bil Ma’tsur..........................................................................5
A. Definisi Tafsir Bil Ma’tsur......................................................5
B. Sumber-Sumber Tafsir Bil Ma’tsur.........................................5
C. Pembagian Tafsir Bil Ma’tsur.................................................6
D. Karya-Karya Tafsir Bil Ma’tsur..............................................9
2.4 Tafsir Bir Ra’yi..............................................................................9
A. Definisi Tafsir Bir Ra’yi..........................................................9
B. Macam-Macam Tafsir Bir Ra’yi............................................11
C. Karya-Karya Tafsir Bir Ra’yi.................................................12
D. Pendapat Ulama’ Tentang Tafsir Bir Ra’yi............................13
2.5 Tafsir Isyari...................................................................................14
A. Definisi Tafsir Isyari...............................................................14
B. Ruang Lingkup Tafsir Isyari...................................................15
C. Karya-Karya Tafsir Isyari.......................................................16
BAB III..........................................................................................................17
PENUTUP.....................................................................................................17
3.1 Kesimpulan...................................................................................17
3.1 Saran.............................................................................................17
Daftar Pustaka.................................................................................................18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Al- Qur’an merupakan mukjizat terbesar bagi umat islam yang bersifat
abadi. Al-Qur’an juga sebagai pedoman hidup manusia dari Allah . Didalamnya
menyampaikan kabar gembira dan memberikan peringatan. Dengan segala
keistimewaan al-Qur’an inilah dapat memecahkan berbagai persoalan-persoalan
kemanusiaan di berbagai aspek kehidupan. Al-Qur’an yang dijadikan landasan
oleh manusia selalu relevan sepanjang zaman. Dengan demikian, al-Qur’an
bersifat aktual di setiap waktu dan tempat. Maka dengan keagungan dan
kemuliaan al-Qur’an inilah umat islam dapatmenjadikannya segala pedoman
dalam menjalani kehidupan serta mengetahui pesan- pesan yang dikandungnya.
Peran mufassir sangatlah diperlukan dalam ilmu pemahaman dan penafsirannya
yang benar pada ayat demi ayat al-Qur’an. Sehingga mufassir dapat membantu
menyampaikan maksud al-Qur’an melalui penafsirannya yang benar kepada umat
islam yang masih haus akan ilmu agama.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja bentuk – bentuk penafsiran Al Qur’an?

2. Apa pengertian dari tafsir bil Ma’tsur?

3. Apa saja macam-macam karya dalam kriteria tafsir bil ma’tsur?

4. Apa pengertian daritafsir bi ar- Ra’yi?

5. Apa saja macam-macam karya dengan kriteria tafsir bi ar-Ra’yi?

6. Apa pendapat ulama’ terkait tafsir bi Ar-Ra’yi?

7. Apa pengertian dari tafsir isyari?

8. Apa saja macam-macam karya dalam kriteria tafsir isyari?

1
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui bentuk – bentuk penafsiran Al Qur’an

2. Untuk mengetahui pengertian dari tafsir bil Ma’tsur

3. Untuk mengetahui macam-macam karya dalam kriteria tafsir bil ma’tsur

4. Untuk mengetahui pengertian daritafsir bi ar- Ra’yi

5. Untuk mengetahui saja macam-macam karya dengan kriteria tafsir bi ar-Ra’yi

6. Untuk mengetahui pendapat ulama’ terkait tafsir bi Ar-Ra’yi

7. Untuk mengetahui pengertian dari tafsir isyari

8. Untuk mengetahui macam-macam karya dalam kriteria tafsir isyari

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tafsir

Tafsir secara bahasa mengikuti wazan Taf’il, keduanya berasal dari akar
bahasa, yaitu : Pertama : Berasal dari akar kata “ al-Fasr “ yang artinya Al-Bayan :
penjelasan atau keterangan. Kata kerjanya mengikuti wazan ( dharaba, yadhribu,
dharban ) atau mengikuti wazan ( nashara, yansuru, nasran ), yang memiliki arti
Al-Ibanah : penjelasan. Kedua : Berasal dari akar kata “ At-Tafsir “ mengikuti
wazan fa’ala ditambah tasydid pada Ain Fi’ilnya, yang mengikuti wazan
( Fassara, Yufassiru, Tafsiran ) yang mempunyai arti Al-Ibana dan AlKasyfu,
yang artinya ; menerangkan atau mengungkap. Dengan demikian, dari dua kata
tafsir tersebut, dapat diartikan juga, bahwa tafsir dari akar Al-Fasr berarti
memiliki kata Kasyful Mughatta’, yaitu : mengingkap sesuatu yang abstrak.
Sedangkan yang berasal dari akar kata At-Tafsir, berarti memiliki kata ( Kasyful
Murad Anil Lafadz Al-Musykil ), yang artinya : menyingkap suatu lafazd yang
musykil ( pelik ) Istilah Tafsir merujuk kepada Al-Qur’an sebagaimana tercantum
di dalam QS. Al-Furqan : 33

ً‫َواَل َيْأ ُت ْو َن َك ب َم َثل ِااَّل جْئ ٰن َك ب ْال َح ّق َو َا ْح َس َن َت ْف ِس ْيرا‬


ِ ِ ِ ٍ ِ

yang artinya “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu
yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan
penjelasan (tafsir) yang terbaik”. Maksudnya : paling baik penjelasan dan
perinciannya.

Pengertian inilah yang dimaksud dalam Lisan al-‘Arab dengan “Kasyf Al-
Mughaththa” (membukakan sesuatu yang tertutup). Sedangkan tafsir menurur Ibn
Manzhur ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafadz .

3
Sebagian ulama pun banyak yang mengartikan tafsir sependapat dengan Ibn
Manzhur yaitu menjelaskan dan menerangkan.1

2.2 Bentuk Bentuk Tafsir

Dari segi pola pendekatan memahami al-Qur’an , tafsir dapat dibagi dua
yakni tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al- ra’yi. Tafsir bi-al ma’tsur ias juga
disebut dengan tafsir riwayah atau tafsir bi al-Manqūl.

Tafsir bil Ma’tsur menurut Manna’ Khalil al Qaththan adalah (dianggap


sebagai penafsiran yang bersumber dari Nabi, tafsir yang disandarkan kepada
riwayat-riwayat yang sahih menurut urutan yang telah disebutkan di dalam syarat-
syarat mufassir, diantaranya menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an
dengan al-Sunnah, karena ia merupakan penjelas bagi kitab Allah atau dengan
riwayat-riwayat yang diteri ma dari para sahabat, sebab mereka telah mengetahui
tentang kitab Allah atau dengan riwayat-riwayat dari para tabi’in besar karena
mereka telah menerimanya dari para sahabat.

Adapun tafsir bi al-Ra’yi disebut juga tafsir bi al-ma’qūl, tafsir bi al-


Dirayah dan atau bi al-ijtihādi. Manna al Qaththan mendefinisikan tafsir bi al-
Ra’yi adalah suatu tafsir dimana mufassir dalam menjelaskan mana ayat
berdasarkan pada pemahaman dan instimbathnya dengan akal semata-mata, bukan
didasarkan pada pemahaman yang sesuai dengan ruh syari’ah. Atau tafsir yang
penjelasannya diambil dari ijthad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui
bahasa arab serta metodenya, dalil yang ditunjukan , serta problem penafsiran
seperti asbabun nuzul, nasikh mansukh dan sebagainya.

Selain 2 corak penafsiran di atas, maka ada satu lagi jenis tafsir yakni Tafsir bil
Isyari’ disebut juga tafsir shūfi, yatu model tafsir yang penjelasannya diambil dari
takwil ayat-ayat al-Qur’an yang isinya tidak sesuai dengan teks ayat, sehingga
yang dikutif hanya isyarat atau maksud teks ayat berdasarkan pengalaman
sulukNya. Jenis tafsir ini mempunyai kedudukan yang sama dengan tafsir bi al-
Ra’yi, karena pengaliannya tidak hanya berdasarkan penukilanpenukilan tertentu,
melainkan ada faktor penunjang lain, hanya saja tafsir bi al-Ra’yi lebih
menekankan pada fungsi akal pikiran sedangkan tafsir bi al-Isyari lebih
menekankan pada fungsi qolb (hati/perasaan).2

1
Rizal Julmi, Tafsir bi ma’tsur dan Tafsir bil ra’yi, Skripsi UIN Sultan Maulana
Hasanudin Banten, 2021, hlm. 2-3.
2
Ajahari, M.Ag., Ulumul Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an), (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2018),
hlm. 261-264

4
2.3 Tafsir Bil Ma’tsur
A. Definisi Tafsir Bil Ma’tsur
Tafsir secara etimologi berasal dari kata al-fasr yang diartikan
dengan penjelasan atau keterangan. Sedang al ma’tsur berasal dari kata
atsara yang artinya mengutip.
Tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran ayat alquran dilakukan penafsiran
ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, ayat dengan riwayat sahabat dan ayat
dengan riwayat tabiin. Tasir bil al-Matsur disebut juga tafsir riwayah atau
tafsir manqul yaitu tafsir al-Quran yang dalam penafsiran ayat-ayat al-
Quran berdasarkan atas sumber panafsiran dalam Al-Quran dari riwayat
para sahabat dan dari riwayat para tabi’in.3
Sedangkan menurut istilah para ulama mendefinisikan tafsir bil ma’tsur
diantaranya:
1. menurut Manna’ Al-Qaththan, tafsir bil ma’tsur adalah
tafsir yang berdasarkan kutipan-kutipan yang shahih
yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-
Qur’an dengan Hadits Nabi yang berfungsi untuk
menjelaskan Kitab Allah, dan juga dengan perkataan
sahabat karena merekalah yang lebih mengetahui kitab
Allah atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh
besar tabi’in karena pada umumnya mereka
menerimanya dari para sahabat.
2. Menurut Muhammad Al-Zarqani, tafsir bil ma’tsur
adalah penafsiran ayat AlQur’an dengan ayat Al-
Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi, dan para
sahabat .
3. Menurut Muhammad Husein Adz-Dzahabi, tafsir bil
ma’tsur adalah penafsiran yang bersumber ayat Al-
Qur’an dengan ayat AlQuram, dengan Hadits nabi,
perkataan sahabat dan juga tabiin, termasuk dalam
kerangka tafsir riwayat meskipun mereka tidak secara
langsung menerima tafsir dari Rasullullah SAW.4
B. Sumber-Sumber Tafsir Bil Ma’tsur
Di dalam menentukan sumber tafsîr bi al-ma’tsûr para ulama
berbeda pendapat, di antaranya:

3
Muhammad Arsad Nasution, “PENDEKATAN DALAM TAFSIR (Tafsir Bi Al Matsur, Tafsir Bi
Al Ra`yi, Tafsir Bi Al Isyari)”, Skripsi IAIN Padangsidimpuan, 2018, hlm. 148-149.
4
Rizal Julmi, op.cit.,hlm. 3-4.

5
1. Al-Rûmiy menjadikan sumber tafsîr bi al-ma’tsûr
itu menjadi 4 macam yaitu: al-Qur’ân, Sunnah Nabi,
Perkataan sahabat dan penafsiran tabi’in.
2. Al-Khâlidiy menjadikan sumber tafsîr bi al-ma’tsûr
menjadi 5 macam dengan tidak memasukkan al-
Qur’ân- yaitu: Hadîts Shahîh yang marfû’ kepada
Nabi, Perkataan shahîh sahabat yang terkait dengan
penafsiran ayat al-Qur’ân, Perkataan tabi’in yang
shahîh, al- qirâ’ât al-syâdz dan al-qirâ’ât altafsîriah.5
C. Pembagian Tafsir Bil Ma’tsur
1. Tafsir ayat-ayat al-quran dengan ayat al-quran
Sebagaian ayat al-Quran ada yang menafsirkan ayat
al-Quran yang lainnya. Ada beberapa cara
penafsiran ayat-ayat al-quran dengan ayat alquran,
yaitu : adakalanya dalam satu ayat disebutkan
dengan ringkas dan ayat yang lain diuraikan, disatu
ayat besifat umum dalam ayat lain dikhussukan, ayat
yang lain diuraikan, di satu ayat bersifat umum
dalam ayat lain dikhususkan, ayat yang lain
disebutkan secara mujmal dan lainnya dalam bentuk
muqayyad.6
Contoh : Firman Allah: (QS. Al-Maidah: 1)
ْ َ ‫ُ اْل‬ ُ َ َّ ُ ْ ُ َ ٓ ٰ َّ َ ٓ
‫ٰيا ُّي َها ال ِذ ْي َن ا َم ُن ْوا ا ْوف ْوا ِبال ُع ُق ْو ِ ۗد ا ِحل ْت لك ْم َب ِه ْي َمة ا ن َع ِام‬
ّٰ ۗ َْ َّ ‫ِااَّل َما ُي ْت ٰلى َع َل ْي ُك ْم َغ ْي َر ُم ِح ّلى‬
‫الص ْي ِد َوان ُت ْم ُح ُر ٌم ِا َّن الل َه‬ ِ
ُ
‫َي ْحك ُم َما ُي ِر ْي ُد‬
Artinya: “Dihalalkan bagimu binatang ternak…….”.
Ayat ini diperjelas oleh ayat selanjutnya dalam (QS.
AlMaidah: 3)
َ ُ ْ ْ َ َّ َ ُ َ ْ َ ‫ُ ّ َ ْ َ َ ْ ُ ُ مْل‬
‫الد ُم َول ْح ُم ال ِخن ِز ْي ِر َو َمٓا ا ِه َّل ِلغ ْي ِر‬ ‫ح ِرمت عليكم ا يتة و‬
ََ ُ
‫الن ِط ْي َحة َو َمٓا اك َل‬ َّ ‫الله به َوامْل ُ ْن َخن َق ُة َوامْل َ ْو ُق ْو َذ ُة َوامْل ُ َت َر ّد َي ُة َو‬ ّٰ
ِ ِ ِٖ ِ
َّ َ ‫َّ اَّل‬
‫الس ُب ُع ِا َما ذك ْي ُت ْم‬
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging, babi, dan sebagainya.

5
Aldomi Putra, Metodologi Tafsir, Jurnal Ulunnuha, vol. 7, No. 1, 2018, hlm. 45.
6
Muhammad Arsad Nasution, op. cit., hlm. 150.

6
2. Tafsir Al-Qur’an dengan Sunnah (alHadist)
yaitu jika ditemukan penjelasan tentang suatu ayat
dalam Al-Qur’an pada Al-Qur’an itu sendiri, maka
hendaklah penjelasan atau tafsir tersebut di cari pada
sesuatu yang terdapat pada sunnah atau Hadist
Rasullah Saw, karena fungsi dari Sunnah adalah
sebagai penjelas atau penerang dari Al-Qur’an.
Contohnya Firman Allah (QS. Al-Nahl: 44) dan
(QS. Jumu’ah ayat 22): Artinya: ‘Dan kami turunkan
kepdamu AlQur’an, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka, dan supaya mereka memikirkan.‛ Demikian
juga dalam QS. Jum’ah, 2:
َ ُ ‫اًل‬ ُ ‫َ اْل‬ َّ
‫ُه َو ال ِذ ْي َب َعث ِفى ا ِّم ّٖي َن َر ُس ْو ِّم ْن ُه ْم َي ْتل ْوا َعل ْي ِه ْم‬
ُ َ َ ْ ْ ْ ّ ّ ٰ
‫ا ٰي ِت ٖه َو ُي َز ِك ْي ِه ْم َو ُي َع ِل ُم ُه ُم ال ِك ٰت َب َوال ِحك َمة َو ِا ْن كان ْوا‬
َٰ ْ َ ُ َْ ْ
‫ضل ٍل ُّم ِب ْي ٍ ۙن‬ ‫ِمن قبل ل ِفي‬
Kedua ayat tersebut diatas ditafsirkan dengan hadist
Rasullah Saw: Dari Miqdam bin’id Yakrib, bahwa
Rasulullah Saw bersabda;

Artinya: ‘Ketahuilah bahwa sesungguhnya aku


diberi wahyu sebuah kita (Al-Qur’an ) dan sesuatu
yang sepertinya (sunnah atau Hadist).7

3. Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan para sahabat


Penafsiran Al-Qur’an dengan perkataan sahabat
dilakukan dengan jika tidak terdapat penjelasan
tentang suatu ayat dalam Al-Qur’an atau juga tidak
terdapat dalam suatu sunnah atau dibandingkan
dengan kita, dimana mereka mendapatkan
penjelasan langsung tentang makna-makna tersebut
dari nabi dengan cara menjelasakan ayat-ayat yang
global ataupun dengan cara menghilangkan
problematikanya. Selain itu merak (para sahabat)
juga hidup dan menyaksikan situasi dan kondisi

7
Abu Bakar Adanan Siregar , Tafsir Bil Ma’tsur (konsep, jenis, status, dan kelebihan serta
kekurangannya), Jurnal Hikmah, vol. 15, No. 2, 2018, hlm. 161.

7
yang meliputi turunnya Al-Qur’an, sehingga meraka
memiliki pemahaman bagus, ilmu yang matang,
amal yang baik dan hati yang memancarkan sinar,
serta otak yang cerdas. Seperti khalifah yang empat,
Abdullah bin Mas’ut, Ubay bin ka’ab, Zaid bin
Sabit, Abdullah bin Abbas dan lain-lain. Contohnya
sebagaimana diriwayatan oleh Bukhari, Ibnu Abbas
manyatakan bahwa Allah SWT berfirman QS.
AlBaqarah, 181
َّ َ ْ َ َ ۢ َ
‫ف َم ْن َب َّدل ٗه َب ْع َد َما َس ِم َع ٗه ف ِا َّن َمٓا ِاث ُم ٗه َعلى ال ِذ ْي َن‬
ّٰ َ ُ
‫ُۗ ي َب ِّدل ْون ٗه ۗ ِا َّن الل َه َس ِم ْي ٌع َع ِل ْي ٌم‬
Adalah menjelaskan akan diperbolehkan berbuka
puasa bagi orang tua yang sudah tua renta, dengan
syarat harus memberi makan setiap hari seorang
yang fakir miskin.
4. Tafsir Al-Qur’an Perkataan Para Tabi’in
Contoh Tafsir bil Ma’tsur ketika menafsirkan
kata-kata Nadhirah dalam AlQur’an Surat Al-
Qiyamah, 22-23:
ٌ َّ َ ۡ َّ ٌ ۡ ُ ُ
‫اض َرة‬
ِ ‫وجوه يوم ِٕٮ ٍذ ن‬
Artinya: ‘Wajah-wajah pada hari kiamat itu
berseri-seri.‛
ٌ َ ََّ ٰ
‫اظ َرة‬
ِ ‫ِالى ر ِبها ن‬
Artinya: ‘Kepada Tuhannyalah mereka melihat‛
Oleh seorang mufasir Iman mujahid murud Ibnu
Mas’ud di tafsirkan dengan pengertian ‘meraka
menunggu‛ yaitu menunggu pahala dari Tuhan.
Penafsiran berdasarkan pendapat para tabi’in
minsalnya adalah untuk menjelaskan kesamaran
yang ditemukan oleh kaum muslimin tentang
sebagian makna seperti penafsiran tabi’in terhadap
Al-Qur’an AshShafaat, 65:
َّ ‫س‬
‫الش ٰي ِط ْي ِن‬ ُ ‫َط ْل ُع َها َك َا َّن ٗه ُر ُء ْو‬
Artinya: ‘Mayangnya seperti kepala-kepala
setan.‛ Jika dan acaman Allah dan hanya dapat
dipahami sesuatu yang telah dikenal manusia,

8
sedangkan manusia tidak pernah melihat kepala-
kepala setan yang menjadikan unggkapan pada ayat
diatas. Maka Abu Ubaydah (tabi’in) menafsirkan
kepala kepala setan dengan perkataan Amru AlQays
(seortang penyair Arab) sebagai berikut: ‘Adakah
orang Arab, dapat membunuhku sedangkan masyrif
adalah tempat tinggalku dan (aku mempunyai
pedang-pedang) yang tajam (yang kerena tajamnya
ia mengkilat bewarna) seperti taring-taring setan.8
D. Karya-Karya Tafsir bil Ma’tsur
Kitab-kitab Tafsir bil Ma’tsur yang termasyhur diantaranya:
1. Tafsir yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas.
2. Tafsir Ibnu ‘Uyainah
3. Tafsir Ibnu Abi Hatim
4. Tafsir Abu Asy-Syaikh bin Hibban
5. Tafsir Ibnu ‘Athiyah
6. Tafsir Abu Al-Laitsi As-Samarqandi, Bahrul ‘Ulum
7. Tafsir Abu Ishaq, Al-Kasyfu wa Al-Bayan’an Tafsir
Al-Qur’an
8. Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ul Bayan fi
Tafsir Al-Qur’an
9. Tafsir Ibnu Abi Syaibah
10. Tafsir Al-Baghai, Mu’alim At-Tanzil’
11. Tafsir Abi Al-fida’ Al-Hafizh Ibnu
Katsir,Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim
12. Tafsir Ats-Tsalabi,Al-Jawahir Al-Hisan fi
Tafsir Al-Qur’an
13. Tafsir Jalaluddin Al-Suyuthi, Ad-Durr Al-
Manshur fi At-Tafsir bi Al-Ma’tsur
14. Tafsir Asy-Syaukani, Fathu Al-Qadir.9

2.4 Tafsir bir Ra’yi

A. Definisi Tafsir bir Ra’yi

Secara bahasa kata ‫ الرأي‬merupakan mashdar dari kata ‫ رأى‬،‫ یرى‬yang


di dalam pemakaiannya digunakan untuk penglihatan mata. Selain untuk
istilah penglihatan mata, ia juga dapat digunakan terkait dengan
8
Abu Bakar Adanan Siregar, op. cit., hlm. 161-162.
9
Syaikh Manna Al-Qaththan, 2004, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an; Penerjemah: H.Aunur Rfiq
El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm.456-457.

9
‫)إعتقاد‬keyakinan), ‫)تدبیر‬pandangan) dan ‫ )تفكیر‬pemikiran). Menurut Husain
al- Dzahabiy juga dapat dipakai untuk makna ‫ )إجتھاد‬ijtihâd) dan ‫)قیاس‬
qiyas).19 Selain dengan istilah ra’yi, tafsîr ini juga dikenal dengan istilah
‘aqli atau nazhri. Disebut dengan tafsîr ‘aqli karena memang di dalam
penafsirannya, seorang mufassîr sangat memberdayakan akal dan
fikirannya. Sedangkan dinamakan dengan nazhri karena memang tafsîr
ini merupakan hasil dari penelitian yang mendalam.
Sedangkan menurut Istilah terdapat beberapa defenisi yang diberikan
ulama yaitu:
1. Menurut Mana’ Khalîl al- Qaththan;
٢١‫هو ما يعتمد فيه املفسر في بيان املعنى على فهمه ا لخاص و استنباطه با لرأي ا رد‬
Yaitu tafsîr yang mufassîrnya di dalam menjelaskan makna hanya
mengandalkan pemahaman dan mengistinbath-kannya dengan
menggunakan logika semata. Kemudian Mana’ Khalîl al- Qaththan
menambahkan keterangan terkait defenisi ini. Menurutnya yang
dimaksud logika semata adalah logika yang pemahamannya tidak sejalan
dengan nilai syari’at, dan biasanya dilakukan oleh ahli bid’ah.
2. Menurut al-Rûmiy mendefinisikan
(‫ )هو‬٢٢‫عبارة عن تفسير القرأن باإلجتهاد‬
Yaitu istilah untuk penafsiran Alquran dengan menggunakan ijtihâd.
3. Menurut al-Dzahabiy
ّ ‫ بعد معرفة‬،‫عبار ة عن تفسير القرأن باإلجتهاد‬
(‫ )هو‬،‫املفسر لكالم العرب و مناحيهم في القول‬
‫ ووقوفه‡ على‬،‫ واستعانته في ذالك بالشعر الجاهلي‬،‫ومعرفته لأللفاظ العربية ووجوه داللتها‬
‫ وغير ذالك من األدوات‡ التي يحتاج‬،‫ ومعرفته بالناسخ و املنسوخ من ايات القرأن‬،‫أسباب النزول‬
‫اليه املفسر‬
Yaitu istilah untuk penafsiran Alquran dengan menggunakan ijtihâd,
setelah seorang mufassîr tersebut menguasai kalam Arab dan
pemakaiannya di dalam perkataan, mengetahui bahasa Arab, dan
wujuh dilalahnya, serta usahanya untuk merujuk kepada sya’ir Arab
jahiliyah, asbâb al-nuzûl, mengetahui nâsikh dan mansûkh, dan ilmu-
ilmu lain yang dibutuhkan oleh para mufassîr Jika kita mencermati
defenisi demi defenisi, antara satu defenisi dengan lainnya tidak ada
yang sama. Menurut penulis defenisi pertama tidak bisa dikatakan
sebagai defenisi tafsîr bi al-ra’yi, dan tepatnya itu merupakan
defenisi tafsîr bi al-ra’yi al-madzmûm (yang tercela), sedangkan
defenisi yang ke tiga dan yang ke empat, itupun tidak bisa dikatakan
sebagai defenisi tafsîr bi al-ra’yi, dan itu hanya dapat dikatakan
sebagai defenisi tafsîr bi al-ra’yi al- mahmûd (terpuji). Maka defenisi
tafsîr bi al-ra’yi yang tepat –menurut penulis adalah defenisi yang

10
diberikan oleh al- Rûmiy. Singkatnya, tafsîr bi al-ra’yi dapat
diartikan dengan penafsiran al- Qur’ân dengan menggunakan ijtihâd,
baik berangkat dengan menggunakan ilmu yang terkait dengannya,
maupun hanya dengan logika semata.10

B. Macam-Macam Tafsir bir Ro’yi


Mengingat tafsir bi al-ra’yi lebih menekankan sumber
penafsirannya pada kekuatan bahasa dan akal pikiran mufassir, maka
para ahli ilmu tafsir membedakan tafsir bi al-ra’yi ke dalam 2 macam
yaitu: tafsir bi al-ra’yi yang terpuji – al-tafsir al-mahmud – dan tafsir
bi al-ra’yi yang tercela – al-tafsir al-madzmum.
Tafsir bi al-ra’yi yang terpuji yaitu tafsir yang memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Sesuai dengan tujuan al-Syari’ (Allah SWT)
b. Jauh atau terhindar dari kesesatan
c. Dibangun atas dasar kaidah-kaidah kebahasaan – bahasa
Arab – yang tepat dengan mempraktekkan gaya bahasa –
uslubnya – dalam memahami nash-nash Alquran.
d. Tidak mengabaikan – memperhatikan – kaidah-kaidah
penafsiran yang sangat penting seperti memperhatikan
asbabun nuzul, ilmu munasabah dan lain-lain saran yang
dibutuhkan oleh mufassir.
Tafsir bi al-ra’yi seperti inilah yang tergolong tafsir yang
baik lagi terpuji dan layak digunakan, juga sering dijuluki
dengan al-Tafsir al-Masyru’ – tafsir yang disyari’atkan.

Adapun tafsir bi al-ra’yi yang tercela yaitu tafsir bi al-ra’yi yang ciri-
ciri penafsirannya sebagai berikut :

a. Mufassirnya tidak mempunyai keilmuan yang memadai


– bodoh.
b. Tidak didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuan.
c. Menafsirkan Alquran dengan semata-mata
mengandalkan kecenderungan hawa nafsu.
d. Mengabaikan aturan-aturan bahasa Arab dan aturan
syari’ah yang menyebabkan penafsirannya menjadi
rusak, sesat dan menyesatkan.

10
Aldomi Putra, op. cit., hlm. 46-47.

11
Itulah sebabnya mengapa tafsir seperti ini disebut pula
dengan al-tafsir al-bathil. Bahkan tidak jarang digabung
menjadi tafsir madzmum yang bathil.11

C. Karya-karya Tafsir bir Ra’yi


Beberapa contoh kitab tafsir bi al-ra’yi yang sangat besar
manfaatnya bagi perkembangan tafsir ilmu tafsir, di antaranya ialah :
a. Mafatih al-Ghaib (Kunci-Kunci Keghaiban) juga
umumdisebut dengan Tafsir al-Kabir, karangan Muhammad
al-Razi Fakhr al-Din (544-604 H/1149-1207 M), sebanyak
17 jilid sekitar 32.000 – 36.200 halaman tidak termasuk
indeks.
b. Tafsir al-Jalalayn (Tafsir dua orang Jalal), karya Jalal al-
Din al-Mahalli (w. 864 H/1459 M) dan Jalal alDin Abd al-
Rahman al-Suyuthi (849-911 H/1445-1505 M).
c. Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (Sinar Alquran dan
Rahasia-Rahasia Penakwilannya), buah pena alImam al-
Qashadhi Nashr al-Din Abi Sa’id Abd Allah Ali Umar bin
Muhammad al-Syairazi al-Baidhawi (w. 791 H/ 1388 M).
d. Irsyad al-Aql al-Salim ila Mazaya Alquran al-Karim
(Petunjuk akal yang selamat menuju kepada keistimewaan
Alquran yang Mulia) tulisan Abu Al-Sa’ud Muhammad bin
Muhammad Mushthafa al- ‘Ammadi (w. 951 H/1544 M).
e. Ruh al-Ma’ani (Jiwa makna-makna Alquran), dengan
muallif – pengarang – al-Allamah Syihab al-Din alAlusi
(w. 1270 H/1853 M).
f. Ghara’ib Alquran wa Ragha’ib al-Furqan (Kata-kata Asing
dalam Alquran dan yang menggelitik dalam al-Furqan),
karya Nizham al-Din al-Hasan Muhamamd al-Naysaburi
(w. 728 H/1328 M).
g. Al-Siraj al-Munir fi al-I’anah ‘Ala Ma’rifati Kalami
Rabbina al-Khabir (Lampu yang bersinar untuk membantu
memahami firman Allah Yang Maha Tahu), haisl jerih
payah Abu al-Barakat Abd Allah bin Muhammad bin iasa
al-Nasafi (w. 710 H/1310 M).
h. Tafsir al-Khozin lebih iasar dengan nama Lubab al-Ta’wil
fi Ma’ani al-Tanzil (Pilihan penakwilan tentang makna-
makna Alquran), susunan ‘Ala al-Din Ali bin Muhammad
bin Ibrahim al-Baghdadi yang lebih masyhur dengan
11
Rendi Fitra Yana, Fauzi Ahmad Syawaluddin, Taufiqurrahman Nur Siagian, Tafsir bil Ra’yi,
Jurnal Pena Cendekia, Vol. 2, No. 1, 2020, hlm. 3.

12
panggilan al-Khozin (544-604 H/1149-1207 M). Tafsir ini
terdiri atas 4 jilid dengan tebal halaman antara 2160 – 2250.
i. Tafsir Ruh al-Bayan (Tafsir Jiwa yang menerangkan),
karya al-Imam al-Syekh Ismail Haqqi al-Barusawi (w. 1137
H/ 1724 M), setebal 10 jilid dengan jumlah halaman sekitar
4400.
j. Al-Tibyan fi Tafsir Alquran (Keterangan dalam
Menafsirkan Alquran), 10 jilid dengan jumlah halaman
4440, disusun oleh Syekh Abu Ja’far Muhamamd bil al-
Hasan al-Thusi (385-460 H/995-1067 M).
k. Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir (Bekal perjalanan dalam Ilmu
Tafsir), setebal 2768 halaman dalam 8 jilid hasil usaha al-
Imam al-Abi al-Faraj Jamal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Ali
bin Muhammad al-Jawzi alQuraysi al-Baghdadi (597
H/1200 M).12
D. Pendapat Ulama tentang Tafsir bir Ra’yi

Menafsirkan Qur`an dengan ra`yu dan ijtihad semata tanpa ada


dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Allah
berfirman:
ُ ‫ْ ٌ َّ َّ ْ َ َ ْ َ َ ْ َؤ‬ َ َ ْ َ َ ُ ْ َ ‫َ اَل‬
‫ص َر َوال ُف َاد ك ُّل‬‫س ل َك ِب ٖه ِعلم ِۗان السمع والب‬ ‫و تقف ما لي‬
‫ُ ٰۤ َ َ َ َ ْ ُ َ ْ ُٔ ْ اًل‬
‫اول ِٕىك كان عنه مسـو‬
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya.” (al-Isra’ [17]:36). Rasulullah bersabda:
“Barang siapa berkata tentang Qur’an menurut pendapatnya sendiri
atau menurut apa yang tidak diketahuinya. Hendaklah ia menempati
tempat duduknya di dalam neraka.” Dalam redaksi lain dinyatakan,
“Barangsiapa berkata tentang Qur’an dengan ra’yunya, walaupun
ternyata benar, ia telah melakukan kesalahan.”

Oleh karena itu Ulama’ golongan salaf berkeberatan, enggan,


untuk menafsirkan Qur’an dengan sesuatu yang tidak mareka
ketahui. Dari Yahya bin Sa‘id diriwayalkan, dari Sa‘id bin al-
Musayyalu, apabila ia ditanya tentang tafsir sesuatu ayat Qur’an
maka ia menjawab: “Kami tidak akan mengatakan sesuatu pun
tentang Qur`an.” Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam meriwayatkan,
Abu Bakar Siddiq parnah ditanya tentang maksud kata Ai-abb dalam
12
Rendi Fitra Yana, Fauzi Ahmad Syawaluddin, Taufiqurrahman Nur Siagian, op. cit., hlm. 3-4.

13
firman Allah “‫‘( ”و فاكه‡‡ة و ابا‬Abasa [80]:3l). Ia menjawab, “Langit
manakah yang akan menaungiku dan bumi manakah yang akan
menyanggaku, jika aku mengatakan tentang Kalamullah sesuatu
yang tidak aku ketahui’?”13

Menurut Ath-Thabari, semua riwayat di atas menjadi hujjah bagi


kebenaran pendapat kami bahwa menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
yang tidak diketahui maknanya kecuali dengan penjelasan rasulullah
secara jelas dan tegas, tidak seorangpun diizinkan menafsirkannya
dengan pendapatnya sendiri. Kemudian menurut Ath-Thabari,
mufassir yang paling berhak atas kebenaran dalam menafsirkan Al-
Qur’an adalah mufassir yang paling tegashujjahnya mengenai apa
yang ditafsirkan dan dita’wilkannya, karena penafsirannya
disandarkan pada Rasulullah, bukan kepada yang lain. Selanjutnya
mufassir yang dapat dikatakan handal yang dapat dijamin
keshahihan argumentasinya adalah mereka yang menggunakan
kaidah-kaidah Bahasa, baik dengan merujuk pada syair-syair arab
baku maupun dengan memperhatikan tutur kata dan ungkapan
mereka yang sempurna dan terkenal. Tentunya tidak keluar dari
pendapat-pendapat salaf, sahabat, dan para imam, juga tidak
menyimpang dari penafsiran golongan khalaf, tabi’in, dan ulama’
umat.14

2.5 Tafsir Isyari


A. Definisi Tafsir Isyari
Isyarah secara etimologi berarti penunjukan, memberi isyarat.
Sedangkan tafsir al-isyari adalah menakwilkan (menafsirkan) ayat Al-
Qur’an Al-Karim tidak seperti zahirnya, tapi berdasarkan isyarat yang
samar yang ias diketahui oleh orang yang berilmu dan bertakwa, yang
pentakwilan itu selaras dengan makna zahir ayat–ayat Al-Qur’an dari
beberapa sisi syarhis (Suma, 2001:97). Adapun isyarah menurut istilah
adalah apa yang ditetapkan (sesuatu yang ias ditetapkan/dipahami,
diambil) dari suatu perkataan hanya dari mengira-ngira tanpa harus
meletakkannya dalam konteksnya (sesuatu yang ditetapkan hanya dari
bentuk kalimat tanpa dalam konteksnya (Maruzi, 1987:78). Menurut al-
Jahizh bahwa ’isyarat dan lafal adalah dua hal yang saling bergandeng,
isyarat banyak menolong lafal (dalam memahaminya), dan tafsiran
13
Ibid.,hlm. 4.
14
Syaikh Manna Al-Qaththan, op. cit., hlm. 442-443.

14
(terjemahan) lafal yang bagus bila mengindakan isyaratnya, banyak isyarat
yang menggantikan lafal, dan tidak perlu untuk dituliskan
(Rahman,1994:207).
Tafsir Isyari menurut Imam Ghazali adalah usaha mentakwilkan
ayat-ayat Al-Qur’an bukan dengan makna zahirnya malainkan dengan
suara hati nurani, setelah sebelumnya menafsirkan makna zahir dari ayat
yang dimaksud (Zuhri, 2007: 190) “Penafsiran Al-Qur’an yang berlainan
menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan
hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui oleh orang
yang mengenal Allah yaitu orang yang berpribadi luhur dan telah terlatih
jiwanya (mujahadah)” (Ash-shabuny, 1999: 142).15
B. Ruang lingkup Tafsir Isyari

Tak dapat dipungkiri, penelahaan secara intensif dan komprehensif


pada beberapa karya tafsir muktabar terinspirasi atau dilihat dari beberapa
unsur tafsir, salah satunya secara Isyârî. Tidak heran manakala ayat al-
Qur’an banyak yang dimaknai secara Isyârî, yang lebih mengedepanlan
aspek-aspek yang berkaitan dengan tarszkiyah al-nafs, penyucian dan
pembinaan jiwa. Artinya, tafsir Isyârî secara spesifik mengungkap makna-
makna yang tersirat dalam al-Qur’an, dan berhubungan dengan aspek
pembinaan kerohanian, keimanan, pengasuhan jiwa, lebih populer dengan
riyadah al-nafs dan pembinaan maqam al-ihsan.

Dengan demikian penafsiran secara Isyârî lebih mengfokuskan


penafsirannya untuk menyelami dan memperdalam unsur-unsur “tasawuf”
dan pendidikan akhlak, dengan berpijak pada persoalan fikih, tasawuf dan
teologis. Pada persoalan berikut beberapa contoh penerapan ayat tentang
fikih yang ditafsirkan secara Isyârî, antara lain:

1. Ketika memaknai ayat yang mengharamkan seorang Muslim


memakan harta orang lain secara batil atau zolim, sebagaimana
tertuang dalam surah al-Baqarah Allah pada ayat 188:
ُ ُ ‫َ ْ َّ ْأ‬ ُ ُ َ ‫وَاَل َتْأ ُك ُل ْٓوا َا ْم َو َال ُك ْم َب ْي َن ُك ْم ب ْال‬
‫اط ِل َوت ْدل ْوا ِب َهٓا ِالى ال ُحك ِام ِل َت كل ْوا‬
ِ ِ‫ب‬
َ َ ْ َ ْ ‫اْل‬ ََْ ْ ًْ َ
‫اس ِبا ِ ث ِم َوان ُت ْم ت ْعل ُم ْو َن‬ َّ
ِ ‫ف ِريقا ِّمن امو ِال الن‬
“Dan janganlah kamu memakan harta-harta kamu di antara kamu
secara batil dan salah…”, Menurut Ibn ‘Ajibah; batil adalah
segala sesuatu selain dari Allah. Oleh karenanya, siapa saja yang
mengambil atau menerima harta atau pemberiaan dari orang lain
15
Nana Mahrani, Tafsir Al-Isyari, Jurnal Hikmah, Vol. 14, No. 1, 2017, hlm. 57.

15
dan tidak menganggap Allah sebagai Zat yang sebenarnya
sebagai pemberi, maka sebenarnya dia telah mengambil harta
orang lain secara batil …”
2. Ketika memaknai ayat terkait dengan hukum jihad dan
peperangan, sebagaimana tertuang dalam surah al-Baqarah ayat
190: - “Dan perangilah – pada jalan Allah – orang-orang yang
memerangi kamu dan janganlah melampaui batas…”, Ibn ‘Ajibah
mengemukakan; “Ketahuilah musuh seorang hamba yang
menghalangi dan memutuskan dirinya dari kehadiran Allah ada
empat, yaitu : hawa nafsu, syaitan, dunia dan manusia. Makna
dari memerangi hawa nafsu adalah tidak mengikuti keinginan dan
dorongan hawa nafsu, menyiksa nafsu dengan melakukan apa
yang tidak disenanginya dan pada ketika itu nafsu tidak merasa
diayomi. Selanjutnya, memerangi syaitan adalah tidak tunduk
kepada perintah dan kemauannya. Sedangkan memerangi
kenikmatan dunia adalah bersikap zuhud dari nikmat-nikmat
dunia dan senantiasa ridha dan merasa cukup hati bukan
sebaliknya tamak terhadap keduniaan. Sementara memerangi
manusia adalah dengan menjauhkan dari ketergantungan kepada
manusia ...”16
C. Karya karya ulama’ Tafsir Isyari
Diantara karya-karya tafsir yang muktabar dan masyhur yang terdapat
unsur-unsur tafsir secara Isyârî antara lain:
1. Tafsir Ghara’ib al-Qur’an Wa Ragha’ib al-Furqan karangan Nizam al-
Din al-Naysaburi;
2. Tafsir Ruh al-Ma‘ani Fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azim Wa al-Sab‘I al-
Mathani karangan Muhammad al-Alusi;
3. Tafsir al-Bahr al-Madid Fi Tafsir al-Qur’an al-Majid karangan Abu al-
‘Abbas Ahmad Ibn ‘Ajibah 17

16
H. Husin Abdul Wahab, Kontroversi terhadap Eksistensi Tafsir Isyari (Shufi), Skripsi UIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2020, hlm. 97-98.
17
Ibid, hlm. 106

16
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Al- Qur’an merupakan mukjizat terbesar bagi umat islam yang bersifat
abadi. al-Qur’an juga sebagai pedoman hidup manusia dari Allah . Didalamnya
menyampaikan kabar gembira dan memberikan peringatan. Dengan segala
keistimewaan al-Qur’an inilah dapat memecahkan berbagai persoalan-persoalan
kemanusiaan di berbagai aspek kehidupan. Al-Qur’an yang dijadikan landasan
oleh manusia selalu relevan sepanjang zaman. Dengan demikian, al-Qur’an
bersifat aktual di setiap waktu dan tempat. Maka dengan keagungan dan
kemuliaan al-Qur’an inilah umat islam dapat menjadikannya segala pedoman
dalam menjalani kehidupan serta mengetahui pesan- pesan yang dikandungnya.
Peran mufassir sangatlah diperlukan dalam ilmu pemahaman dan penafsirannya
yang benar pada ayat demi ayat al-Qur’an. Sehingga mufassir dapat membantu
menyampaikan maksud al-Qur’an melalui penafsirannya yang benar kepada umat
islam yang masih haus akan ilmu agama.

3.2 Saran

Kami selaku penulis makalah ingin meminta maaf apabila ada kesalahan
dalam penulisan makalah ini. Kepada pembaca kami ucapkan terimakasih karena
telah menyempatkan waktu untuk membaca makalah ini. Dan apabila ada
kesalahan kami mengharapkan kesediaan para pembaca untuk memperbaikinya.

17
DAFTAR PUSTAKA
Ajahari. 2018. Ulumul Qur’an (Ilmu-Ilmu Al-Qur’an). Yogyakarta: Aswaja
Pressindo.

Al-Qaththan, Manna S. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta Timur: Pustaka


Al-Kautsar.

Arsad, M. (2018). PENDEKATAN DALAM TAFSIR (Tafsir Bi Al Matsur,


Tafsir Bi Al Rayi, Tafsir Bi Al Isyari). Yurisprudentia: Jurnal Hukum
Ekonomi, 4(2), 147-165.

Julmi, R. (2021). TAFSIR BI MATSUR DAN BI AL-RAY.

Mahrani, N. (2017). Tafsir Al-Isyari. Hikmah, 14(1), 56-61.

Putra, A. (2018). Metodologi Tafsir. Jurnal Ulunnuha, 7(1), 41-66.

Siregar, A. B. (2018). Tafsir Bil-Ma’tsur (Konsep, Jenis, Status, dan Kelebihan


Serta Kekurangannya). Hikmah, 15(2), 160-165.

Wahab, H. A. (2020). Kontroversi terhadap Eksistensi Tafsir Isyârî (Shûfî).


In PROSIDING INTERNATIONAL SEMINAR on ISLAMIC STUDIES
AND EDUCATION (ISoISE) (pp. 93-108). Pascasarjana UIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi.

Yana, R. F., Syawaluddin, F. A., & Siagian, T. N. (2020). Tafsir Bil Ra’yi. Pena
Cendikia, 3(1), 1-6.

18

Anda mungkin juga menyukai