Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Kaidah Naskh-Mansukh dalam Ilmu Tafsir


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Tafsir

Dosen Pengampu:
Dr. Muhammad
Asrori, M.Pd.I

Kelas: 3A
Disusun Oleh:

Afifatul Urifah (012110002)


Fikri Ash Shidiqi (012110013)
Trista Febbrianti (012110035)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
2022
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah SWT.
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah
Ilmu Tafsir dengan judul: Kaidah Naskh-Mansukh dalam Ilmu Tafsir.
Shalawat beriring dengan salam senantiasa kami panjatkan kepada Nabi
Muhammad SAW. yang telah membawa manusia dari zaman jahiliah menuju
zaman terang benderang.
Dan tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Muhammad
Asrori, M.Pd.I selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu Tafsir yang telah
membimbing kami dalam menyusun makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran dan kritik yang membangun dari pembaca
demi penyempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa
prodi Pendidikan Agama Islam.

Lamongan, 20 September 2022

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

ii
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan .................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3
A. Definisi Naskh-Mansukh...................................................................... 3
B. Urgensi Pengetahuan Naskh-Mansukh ................................................ 4
C. Pendapat Ulama Tentang Naskh-Mansukh.......................................... 8
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 11
A. Kesimpulan .......................................................................................... 11
B. Saran .................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber ilmu yang tidak akan habis-habisnya
untuk dikaji dan diteliti. Banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan yang digali
dari Al-Qur’an, di antaranya tentang ilmu naskh dan mansukh. Dengan
harapan sebagai seorang muslim yang taat, umat Islam semakin memahami isi
kandungan Al-Qur’an secara benar dan baik.1
Tujuan diturunkannya syari'at samawiyah oleh Allah kepada para
rasul-Nya ialah untuk memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah dan
mu'amalah. Akidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami
perubahan, karena ditegakkan atas dasar tauhid uluhiyah dan rububiyah, maka
dakwah atau seruan para rasul kepada akidah yang satu itu pun semuanya
sama.
Allah berfirman yang artinya, "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun
sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan
selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. " (Al-Anbiya': 25).
Tentang bidang ibadah dan mu'amalah, prinsip dasar umumnya
adalah sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan
masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerja sama dan persaudaraan.
Walaupun demikian, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu
dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin
tidak cocok lagi pada masa yang lain.
Di samping itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan
pembentukan tidak sama dengan perjalanannya sesudah memasuki era
perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri'
(pemberlakuan hukum) pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah
tasyri' pada periode yang lain. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa pembuat
syari'at, yaitu Allah, rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan otoritas
memerintah dan melarang pun hanya milik-Nya. Allah berfirman yang artinya,
1
Ajahari, Ulumul Qur’an, (Sleman: Aswaja Pressindo, 2018), hlm. 103.

1
"Dia tidak diminta tanggung jawab tentang apa yang diperbuat-Nya, tetapi
merekalah yang akan ditanya tentang tanggung jawab itu."(AI-Anbiya':23).
Tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang
lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok
lagi pada masa lain. Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu
hukum syara’ dengan hukum syara yang lain untuk menjaga kepentingan para
hamba berdasarkan pengetahuannya tentang yang pertama dan yang
berikutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi naskh-mansukh dalam ilmu tafsir?
2. Bagaimana urgensi pengetahuan naskh-mansukh dalam ilmu tafsir?
3. Bagaimana pendapat ulama tentang naskh-mansukh?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi naskh-mansukh dalam ilmu tafsir.
2. Untuk mengetahui urgensi pengetahuan naskh-mansukh dalam
ilmu tafsir.
3. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang naskh-mansukh.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Naskh-Mansukh
Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah
(menghilangkan). Misalnya dikatakan: nasakhat asy-syamsu azh-zhilla,
artinya, matahari menghilangkan bayang-bayang: dan nasakhat ar-rih atsara
al-masyyi, artinya, angin menghapuskan jejak langkah kaki. Kata naskh juga
dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat
lain. Misalnya: nasakhtu al-kitab, artinya, saya menyalin isi kitab.2 Di dalam
Al-Qur'an dikatakan:
  َ‫اِنَّا ُكنَّا نَ ْستَ ْن ِس ُخ َما ُك ْنتُ ْم تَ ْع َملُوْ ن‬
"Sesungguhnya Kami menyuruh untuk menasakh apa dahulu kalian kerjakan."
(Al-Jatsiyah:29). Maksudnya, Kami (Allah) memindahkan amal perbuatan ke
dalam lembaran-lembaran catatan amal.
Sedangkan menurut istilah naskh ialah "mengangkat
(menghapuskan) hukum syara' dengan dalil hukum syara' yang lain."
Disebutkannya kata "hukum" di sini, menunjukkan bahwa prinsip "segala
sesuatu hukum asalnya boleh" (Al-Bara'ah Al-Ashliyah) tidak termasuk yang
dinasakh. Kata-kata "dengan dalil hukum syara" mengecualikan penghapusan
hukum yang disebabkan kematian atau gila, atau penghapusan dengan ijma'
atau qiyas.3
Kata naskh (yang menghapus) maksudnya adalah Allah (Yang
menghapus hukum itu) seperti firman-Nya:
‫َما نَ ْن َس ْخ ِم ْن ٰايَ ٍة‬
"Dan tidaklah Kami menghapus suatu ayat..." (Al-Baqarah:106).

2
Syaikh Manna’ Al- Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, Terj. Aunur Rafiq El-Mazni,
(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 285.
3
Ibid.

3
Kata itu juga digunakan untuk ayat atau sesuatu yang dengannya
naskh dapat diketahui. Maka dikatakan: "Hadzihi al-ayat nasikhah li ayat
kadza" (ayat ini menghapus ayat itu); dan digunakan pula untuk hukum
menghapuskan hukum yang lain.
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapuskan,
misalnya, adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang
tua atau kerabat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan
syarat-syarat berikut:
1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara.
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khithab syar'i yang datang lebih
kemudian dari khithab yang hukumnya dimansukh.
3. Khithab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi)
dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan
berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak
dinamakan naskh.
Makki" berkata: "Segolongan ulama menegaskan bahwa khithab
yang mengisyaratkan waktu dan batas tertentu, seperti firman Allah yang
artinya "Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah
mendatangkan perintah Nya" (Al-Baqarah:109), adalah muhkam, tidak
mansukh, sebab ia dikaitkan dengan batas waktu, dan sesuatu yang dibatasi
oleh waktu tidak ada naskh di dalamnya."4
B. Urgensi Pengetahuan Naskh-Mansukh
Pembahasan naskh ini perlu dikupas dan diketahui, karena ada
beberapa kepentingan, antara lain sebagai berikut:
1. Pembahasan masalah ini panjang permasalahannya, banyak cabang
dan rantingnya serta sukar jalannya. Sebab, pembahasan naskh
menyangkut status hukum Islam, sehingga banyak permasalahan

4
Ibid., hlm. 286.

4
lain yang tersangkut dengannya dan akan sukar untuk
mengupasnya.5
2. Pembahasan naskh itu menyangkut berbagai masalah rumit yang
menjadi pangkal perselisihan dari para ulama ahli Ushul Fiqh, Ahli
Tafsir, Ahli Fiqh dan sebagainya. Karena itu, pembahasan naskh ini
menuntut kewaspadaan dan kehati-hatian, sehingga memerlukan
usaha sungguh-sungguh dan sikap berhati-hati yang tinggi, disertai
dengan keinsafan dan kesadaran pribadi yang baik.
3. Karena musuh-musuh Islam, baik kaum atheis, missionaris,
ataupun kaum orientalis yang telah menggunakan masalah tersebut
sebagai senjata beracun untuk mencerca syariat Islam dan
mengotori kesucian Al-Qur’an. Mereka melancarkan beberapa
tuduhan, pelecehan, dan menjelek-jelekkan hukum syariat Islam.
Banyak dari Ahli Ushul, Ahli Fiqh, dan Ahli Tafsir dari kaum
muslimin yang terkecoh oleh celaan-celaan mereka itu. Akibatnya,
banyak kaum muslimin mengingkari adanya naskh tersebut dan
membantah terjadinya naskh dalam Al-Qur’an, meski hal itu nyata
dan benar terjadi.
4. Dengan mengulas naskh-mansukh itu, maka sejarah pensyariatan
hukum-hukum Islam (Taarikhut Tasyri') dan rahasia-rahasianya
(Hikmatut Tasyri') akan dapat terungkap. Sebab, dengan
mengetahui naskh itu, maka dapat juga mengetahui pertumbuhan
dan perkembangan hukum-hukum syariat Islam, sehingga
sekaligus mengetahui pula hikmah Allah SWT. dalam mengadakan
naskh tersebut.6
5. Dengan membahas naskh, dapat diketahui bahwa Nabi Muhammad
SAW. bukan yang menyusun Al-Qur’an, yang begitu berdaya guna
dan tepat guna, sehingga tepat pula keberlakuan dan
penghapusannya. Dengan demikian, jelas membuktikan bahwa

5
Abdul Djalal, Ulumul Qur'an, ( Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), hlm. 130.
6
Ibid., hlm. 131.

5
penetapan hukum-hukum Al-Qur'an itu tidak merupakan hasil
rekayasa otak manusia, melainkan hasil cipta Allah SWT.
6. Mengetahui naskh itu merupakan sarana yang sangat utama dalam
memahami hukum Islam dan memanfaatkan petunjuk-petunjuknya,
terutama kalau terdapat dua dalil yang membahas satu ketentuan
hukum, tetapi isi yang satunya bertentangan dengan isi ayat yang
lain, sehingga tidak bisa dipahami dan diamalkan, jika tidak dapat
diketahui mana yang lebih dahulu sebagai yang dinaskh dan mana
yang kemudian sebagai yang mansukh.
Terdapat beberapa jenis naskh beserta contohnya, diantaranya:
a. Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Contoh: Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
‫س ۖ  َواِ ْث ُمهُ َماۤ اَ ْکبَ ُر ِم ْن‬
ِ ‫ك َع ِن ْال َخ ْم ِر َوا ْل َم ْي ِس ِر ۗ قُلْ فِ ْي ِه َم ۤا اِ ْث ٌم َکبِ ْي ٌر َّو َمنَا فِ ُع لِلنَّا‬ َ َ‫يَسْــَئلُوْ ن‬
ِ ‫ك َما َذا يُ ْنفِقُوْ نَ  ۗ قُ ِل ْال َع ْف َو ۗ  َكذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَـ ُك ُم ااْل ٰ ٰي‬
َ‫ت لَ َعلَّ ُک ْم تَتَفَ َّكرُوْ ن‬ َ َ‫ نَّ ْف ِع ِه َما ۗ  َويَسْــَئلُوْ ن‬
Artinya "Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang
khamar dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya terdapat dosa
besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih
besar daripada manfaatnya." Dan mereka menanyakan kepadamu
(tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah,
"Kelebihan (dari apa yang diperlukan)." Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan,"
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 219).7
Pada ayat lain yang turun selanjutnya, Allah Subhanahu
Wa Ta'ala berfirman:
َ‫يٰۤـاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَ ْق َربُوا الصَّلٰوةَ َواَ ْنـتُ ْم ُس َكا ٰرى َحتّٰى تَ ْعلَ ُموْ ا َما تَقُوْ لُوْ ن‬
Artinya: "Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati
sholat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar
apa yang kamu ucapkan...." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 43)
Kemudian selanjutnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

7
Akmal, "Naskh Dalam Al-Qur'an", Jurnal Al-Mubarok Vol. 3 No. 1 (2018), hlm. 31.

6
‫ك اَل ٰ يَةً لِّقَوْ ٍم‬ ِ ‫ب تَتَّ ِخ ُذوْ نَ ِم ْنهُ َس َكرًا و‬
َ ِ‫َّر ْزقًا َح َسنًا ۗ اِ َّن فِ ْي ٰذل‬ ِ ‫ت النَّ ِخ ْي ِل َوا اْل َ ْعنَا‬
ِ ٰ‫َو ِم ْن ثَ َمر‬
َ‫يَّ ْعقِلُوْ ن‬
"Dan dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang
memabukkan dan rezeki yang baik. Sungguh, pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang
mengerti." (QS. An-Nahl 16: Ayat 67)
Beberapa ayat di atas kemudian dinaskh oleh Allah swt.
Akan kebolehan minum khamar dan manfaat yang ada pada
minuman tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
َ ‫يٰۤاَ يُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ۤا اِنَّ َما ْال َخ ْم ُر َوا ْل َم ْي ِس ُر َوا اْل َ ْن‬
‫صا بُ َوا اْل َ ْزاَل ُم ِرجْ سٌ ِّم ْن َع َم ِل‬
َ‫ْط ِن فَا جْ تَنِبُوْ هُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُوْ ن‬
ٰ ‫ال َّشي‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras,
berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan
anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 90).
b. Naskh Al-Qur’an dengan Al-Sunnah
Pada bagian ini jumhur ulama berpendapat al-Qur’an
tidak boleh dinaskh oleh hadits ahad. Sedangkan naskh Al-Qur’an
dengan hadits mutawatir dibolehkan oleh Imam Malik, Imam
Ahmad dan Abu Hanifah dalam satu riwayat. Mereka beralasan
Hadits dan Al-Qur’an adalah wahyu. Sebagaimana dalam QS. An-
Najm/53:3-4 dan QS. An-Nahl/16:44. 8
Sedangkan di sisi lain Imam Syafi’i dan Ahli Zahir
menolak naskh Al-Qur’an dengan Sunnah. Berdasarkan pada
firman Allah dalam QS. Al-Baqarah/2: 106, dimana hadits tidak
sebanding dengan Al-Qur’an. Dengan kata lain: Al-Qur’an tidak
dinaskh kecuali dengan Al-Qur’an‛. Faktor utama terjadinya
perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah pandangan masing-

8
Ibid., hlm. 32.

7
masing tentang kedudukan hirarki Al-Qur'an dan sunnah dalam
syariat itu sendiri.
c. Naskh Al-Sunnah dengan Al-Qur’an
Hal ini dibolehkan oleh jumhur ulama. Misalnya tentang masalah
menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah
kemudian dinaskh oleh QS. Al-Baqarah/2:144, Allah Subhanahu
Wa Ta'ala berfirman:

ْ ‫ك َش‬
 ۖ ‫ط َر ْال َمس ِْج ِد ْال َحـ َرا ِم‬ َ َ‫ ۗ فَ َو ِّل َوجْ ه‬

“Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam.” (QS. Al-


Baqarah 2: Ayat 144).
Namun naskh versi ini juga ditolak oleh Imam Syafi’i. Menurutnya
apa saja yang ditetapkan oleh Sunnah tentu didukung oleh Al-
Qur’an, begitu pun sebaliknya. Hal ini karena Keduanya harus
senantiasa sejalan dan tidak bertentangan. Penulis memahami
bahwa baik naskh Al-Qur’an dengan Sunnah ataupun sebaliknya,
tidak dibenarkan oleh Syafi’i.
d. Naskh Al-Sunnah dengan Al-Sunnah
Pada bentuk naskh seperti ini terdapat empat bentuk, yaitu
pertama; naskh hadits mutawatir dengan yang mutawatir, kedua;
naskh hadits ahad dengan hadits ahad, ketiga; naskh hadits ahad
dengan hadits mutawatir, keempat; naskh hadits mutawatir dengan
hadits ahad.
Untuk tiga bentuk naskh yang pertama masih dibolehkan,
namun untuk naskh yang keempat juga ada sebagian yang menolak
dengan menganalogikan kepada naskh Al-Qur’an. Contoh dari
sunnah misalnya, hukum ziarah kubur. Di dalam hadis Nabi saw.
Disebutkan bahwa “Pernah aku melarang kalian melakukan ziarah
kubur, sekarang lakukanlah.”9

9
Ibid., hlm. 33.

8
C. Pendapat Ulama Tentang Naskh-Mansukh
Sebenarnya, hukum-hukum syariat bidang ibadah muamalah itu
prinsip-prinsip umumnya sama, yakni bertujuan membersihkan jiwa dan
memelihara keselamatan masyarakat. Tetapi karena kebutuhan tiap-tiap umat
itu berbeda-beda, sehingga yang cocok untuk sesuatu kaum pada sesuatu
waktu itu, kadang-kadang tidak cocok untuk kaum yang lain atau bahkan
untuk kaum itu juga pada waktu yang lain. Maka tidak mengherankan kalau
Allah SWT yang Maha Mengetahui kebutuhan seluruh hamba-Nya itu selalu
mengubah syariat yang satu dengan syariat yang lain demi untuk menjaga
kemaslahatan umat itu. Karena itu, naskh di dalam beberapa hukum Islam
dapat saja terjadi sesuai dengan kebijaksanaan Allah SWT, dan memang
benar-benar telah terjadi.
Sebagian syariat yang satu boleh/ dapat menaskh kepada hukum
syariat yang lain. Sebenarnya, boleh juga sebagian hukum syariat yang satu itu
menaskh kepada sebagian hukum yang lain dari syariat yang satu tersebut. Hal
ini tidak ada perbedaan pendapat di antara kaum muslimin. Yang menjadi
perselisihan di antara mereka ialah adanya naskh di dalam hukum-hukum Al-
Qur’an, meski dinaskh oleh Al-Qur’an juga.
Di lingkungan para ulama dari berbagai agama, ada tiga pendapat
mengenai naskh ini, yaitu sebagai berikut:
1. Masalah "naskh" tersebut, secara akal bisa terjadi dan secara sami
telah terjadi. Pendapat ini merupakan ijmak kaum muslimin/
jumhur ulama, sebab munculnya Abu Muslim Al-Asfihani (wafat
322 H) dan orang-orang yang sepaham dengan dia. Pendapat ini
juga mempunyai pendirian dari ijmak kaum Nasrani sebelum abad
ini, yang telah mengubah ijmak mereka. Pendapat tersebut juga
mempunyai pendirian dari kaum 'Aisuwiyah, yaitu sekelompok
dari golongan kaum Yahudi. Menurut jumhur ulama, tidak ada
perselisihan di antara ulama tentang diperbolehkannya nasakh
dalam Alquran para dan hadis. Dalil-dalil mereka ialah, sebagai
berikut, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

9
ِ ‫َما نَ ْن َس ْخ ِم ْن ٰايَ ٍة اَوْ نُ ْن ِسهَا نَْأ‬
‫ت بِ َخي ٍْر ِّم ْنهَاۤ اَوْ ِم ْثلِهَا ۗ اَلَ ْم تَ ْعلَ ْم اَ َّن اللّٰهَ عَلٰى ُكلِّ َش ْي ٍء قَ ِد ْي ٌر‬
"Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti
Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding
dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu?" (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 106). Dan dalam firman
Allah yang lainnya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
َ‫َواِ َذا بَ َّد ْلنَاۤ ٰايَةً َّم َكا نَ ٰايَ ٍة ۙ  َّو اللّٰهُ اَ ْعلَ ُم بِ َما يُنَ ِّز ُل قَا لُوْ ۤا اِنَّ َماۤ اَ ْنتَ ُم ْفت ٍَر ۗ بَلْ اَ ْكثَ ُرهُ ْم اَل يَ ْعلَ ُموْ ن‬
"Dan apabila Kami mengganti suatu ayat dengan ayat yang lain,
dan Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
berkata, "Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanya mengada-ada
saja." Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS.
An-Nahl 16: Ayat 101).
2. Harus ada kesepakatan (ijmak) para imam dalam suatu masa dari
sepanjang waktu yang menetapkan, bahwa salah satu dari dua dalil
itu datang lebih dahulu dan yang lain datang kemudian.
Maksudnya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil itu dapat diketahui
dari kalimat-kalimat dalil itu sendiri, maka harus ada ijmak ulama
yang menetapkan hal tersebut.
3. Harus ada riwayat sahih dari salah seorang sahabat yang
menentukan mana yang lebih dahulu dari kedua dalil nash yang
saling bertentangan tadi. Contohnya, seperti ungkapan-ungkapan:
ayat ini diturunkan setelah ayat itu atau kalimat: ayat ini diturunkan
sebelum ayat ini. Atau ucapan, sedang ayat ini diturunkan pada
tahun sekian. Dengan begitu dapat diketahui turunnya yang saling
bertentangan itu, mana yang turun dahulu dan mana yang turun
kemudian.10

10
Abad Badruzaman, Ulumul Qur’an, (Malang: Madani Media, 2018), hlm. 128-130.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Naskh ialah menghapuskan hukum syara' dengan dalil hukum syara'
yang lain. Sedangkan mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang
dihapuskan. Di lingkungan para ulama dari berbagai agama, ada tiga pendapat
mengenai naskh ini, yaitu sebagai berikut:
1. Masalah “naskh” tersebut, secara akal bisa terjadi dan secara sami
telah terjadi.
2. Harus ada kesepakatan (ijmak) para imam dalam suatu masa dari
sepanjang waktu yang menetapkan, bahwa salah satu dari dua dalil itu
datang lebih dahulu dan yang lain datang kemudian.
3. Harus ada riwayat sahih dari salah seorang sahabat yang menentukan
mana yang lebih dahulu dari kedua dalil nash yang saling bertentangan
tadi.
Sementara untuk urgensi pengetahuan naskh-mansukh adalah sebagai
berikut:
a. Pembahasan masalah ini panjang permasalahannya, banyak cabang
dan rantingnya serta sukar jalannya.
b. Pembahasan naskh itu menyangkut berbagai masalah rumit yang
menjadi pangkal perselisihan dari para ulama ahli Ushul Fiqh, Ahli
Tafsir, Ahli Fiqh dan sebagainya.

11
c. Karena musuh-musuh Islam, baik kaum atheis, missionaris, ataupun
kaum orientalis yang telah menggunakan masalah tersebut sebagai
senjata beracun untuk mencerca syariat Islam dan mengotori kesucian
Al-Qur’an.
d. Dengan mengulas naskh-mansukh itu, maka sejarah pensyariatan
hukum-hukum Islam (Taarikhut Tasyri’) dan rahasia-rahasianya
(Hikmatut Tasyri’) akan dapat terungkap.
e. Dengan membahas naskh, dapat diketahui bahwa Nabi Muhammad
SAW. Bukan yang menyusun Al-Qur’an, yang begitu berdaya guna
dan tepat guna, sehingga tepat pula keberlakuan dan penghapusannya.
f. Mengetahui naskh itu merupakan sarana yang sangat utama dalam
memahami hukum Islam dan memanfaatkan petunjuk-petunjuknya.
B. Saran
Sebagai seorang muslim sebaiknya kita selalu mempelajari apa yang
menjadi tugas kita terkait dengan ibadah dan muamalah, sehingga akan
memperoleh pengetahuan lebih untuk bisa diterapkan di dalamnya. Kami
sangat menyadari adanya banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini,
oleh karena itu kami mengharapkan pembaca dapat memberikan kami kritikan
yang bersifat membangun untuk kebaikan bersama.

12
DAFTAR PUSTAKA
Ajahari. 2018. Ulumul Qur’an. Sleman: Aswaja Pressindo.
Akmal. (2018). "Naskh Dalam Al-Qur'an". Jurnal Al-Mubarok, 3(1), 31.
Al- Qaththan, Syaikh Manna’. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Terj.
Aunur Rafiq, El-Mazni. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Badruzaman, Abad. 2018. Ulumul Qur’an. Malang: Madani Media.
Djalal, Abdul. 2008. Ulumul Qur'an. Surabaya: Dunia Ilmu.

13

Anda mungkin juga menyukai