Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TAFSIR AL-QUR’AN

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH USHUL FIQH II

Dosen pembimbing : Drs. H. Ahmad Faisol, M.Ag

Kelompok 1

Fatimarus Zahro (21801012044)

M. Reza Chatami Ainul (21801012041)

Robit Haris Sauqi (21801012059)

AHWAL AS SYAKSHIYYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM MALANG

2019
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang maha Esaatas ridho
dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Makalahini dengan penuh
keyakinan serta usaha maksimal. Semoga denganterselesaikannya tugas ini dapat
memberi pelajaran positif bagi kita semua.Selanjutnya penulis juga ucapkan terima kasih
kepada bapak dosen Drs.Achmad faishol selagu dosen pembimbing mata kuliah Ushul
fiqih II.

yang telah memberikan tugas Makalah ini kepada kami sehingga dapat memicu
motifasi kami untuksenantiasa belajar lebih giat dan menggali ilmu lebih dalam
khususnya mengenai “Sumber hukum islam ” sehingga dengan kami dapat menemukan
hal-hal baru yang belum kami ketahui.

Terima kasih juga kami sampaikan atas petunjuk yang di berikan sehinggakami
dapat menyelasaikan tugas Makalah ini dengan usaha semaksimal mungkin.Terima kasih
pula atas dukungan para pihak yang turut membantu terselesaikannya laporan ini, teman-
teman serta semua pihak yang penuh kebaikan dan telah membantu penulis.Terakhir kali
sebagai seorang manusia biasa yang mencoba berusaha sekuat tenaga dalam penyelesaian
Makalah ini, tetapi tetap saja tak luput dari sifat manusiawi yang penuh khilaf dan salah,
oleh karena itu segenap saran penulis harapkan dari semua pihak guna perbaikan tugas-
tugas serupa di masa datang.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. ii


BAB I ............................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. RUMUAN MASALAH....................................................................................................... 2
C. TUJUAN MASALAH ........................................................................................................ 2
BAB II .......................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .......................................................................................................................... 3
A. Definisi Tafsir ..................................................................................................................... 3
B. Metode Penafsiran .............................................................................................................. 4
BAB III ....................................................................................................................................... 11
PENUTUP .................................................................................................................................. 11
A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 11
B. SARAN ........................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum islam merupakan istilah khas di Indonesia,sebagai terjemahan dari al-


fiqh al-islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al islamy.Istilah ini
dalam wacana ahli Hukum Barat disebut Islamic Law.Dalam Al-Qur’an dan
Sunnah,istilah al-hukm al-Islam tidak ditemukan.Namun yang digunakan adalah kata
syari’at islam,yang kemudian dalam penjabarannya disebut istilah fiqih.Uraian diatas
memberi asumsi bahwa hukum dimaksud adalah hukum islam.Sebab,kajiannya dalam
perspektif hukum islam,maka yang dimaksudkan pula adalah hukum syara’ yang
bertalian dengan akidah dan akhlak Penyebutan hukum islam sering dipakai sebagai
terjemahan dari syari’at islam atau fiqh islam.Apabila syari’at islam diterjemahkan
sebagai hukum islam,maka berarti syari’at islam yang dipahami dalam makna yang
sempit.Pada dimensi lain penyebutan hukum islam selalu dihubungkan dengan
legalitas formal suatu Negara,baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun
yang belum.Menurut T.M,Hasbi Ashshiddiqy mendefinisikan hukum islam adalah
koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan
masyarakat.Dalam khazanah ilmu hukum islam di Indonesia,istilah hukum islam
dipahami sebagai penggabungan dua kata,hukum dan islam.Hukum adalah
seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu
Negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh
anggotanya.Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata islam.Jadi,dapat
dipahami bahwa hukum islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu
Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat
dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk
agama islam.

1
B. RUMUAN MASALAH
1. Pengertian tafsir?

2. Metode penafsiran beserta contohnya?

C. TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui pengertian tafsir

2. Mengetahui metode penafsiran beserta contohnya

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Definisi Tafsir
Para pakar ilmu tafsir banyak memberi pengertian baik secara etimologi maupun
terminologi terhadap term tafsir. Secara etimologi kata tafsir berarti al-ibanah wa
kasyfu al-mughattha (menjelaskan dan menyingkap yang tertutup). Dalam kamus
Lisan al-‘Arab, tafsir berarti menyingkap maksud kata yang samar. Hal ini didasarkan
pada firman Allah Sûrah al-Furqân: 33

َ ‫ق َوأَ ْح‬
ً ‫سنَ ت َ ْفس‬
‫ِيرا‬ َ ‫َو ََل يَأْتُون ََك ِب َمث َ ٍل ِإ اَل ِجئْن‬
ِ ‫َاك ِب ْال َح‬
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya” Sedangkan secara terminologi penulis akan mengungkapkan pendapat
para pakar. Al-Zarqoni menjelaskan tafsir adalah ilmu untuk memahami al-Qur’an
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menjelaskan makna-maknanya dan
mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.

Menurut Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân, mendefinisikan


tafsir sebagai ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz al-Qur’an, petunjuk-
petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun tersusun, dan
makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal lain yang melengkapinya.

Ilmu tafsir merupakan bagian dari ilmu syari’at yang paling mulia dan paling
tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang
merupakan sumber segala hikmah, serta petunjuk dan pembeda dari yang haq dan
bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di
zaman modern sekarang ini. Kebutuhan akan tafsir semakin mendesak lantaran untuk
kesempurnaan beragama dapat diraih apabila sesuai dengan syari’at, sedangkan
kesesuaian dengan syari’at bannyak bergantung pada pengetahuan terhadap Al-
Qur’an, kitabullah.

Demikian ulasan mengenai definisi tafsir. Hal ini menjadi penting untuk
diketahui, karena pada perkembangan penafsiran akan tampak keragaman dan

3
perubahan pada kurun waktu tertentu. Ulama modern, tentu akan berbeda melihat
“tafsir” dengan ulama terdahulu. Dibawah ini akan penulis akan mepaparkan ulasan
mengenai perkembangan tafsir dan penafsiran dari masa klasik sampai modern.

B. Metode Penafsiran
1. Tafsir bi al-Ma’tsur

Cara penafsirian yang ditempuh oleh para sahabat dan generasi berikutnya itu
dalam kerangka metodologis, disebut jenis tafsir bil al-ma'tsur (periwayatan). Metode
periwayatan ini oleh al-Zarqani didefinisikan sebagai semua bentuk keterangan dalam
Al-Qur'an, al-sunnah atau ucapan sahabat yang menjelaskan maksud Allah SWT pada
nash Al-Qur'an. Metode bil ma'tsur, memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai
kelemahan-kelemahan. Keistimewaannya, antara lain, adalah :

a) Menekankan pentingnya bahasan dalam memahami Al-Qur'an,


b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesan,
c) Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya
terjerumus dalam subyektivitas yang berlebihan.
d) Dapat dijadikan khazanah informasi kesejarahan dan periwayatan yang bermanfaat
bagi generasi berikutnya.

Disisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan
metode ini, seperti yang dicatat oleh beberapa ahli tafsir, antara lain adalah :

a) Terjerumusnya sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang


bertele-tele, sehingga pesan pokok Al-Qur'an menjadi kabur di celah uraian itu,
b)Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis
turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir
dapat di katakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun
bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.

4
c) Terjadinya pemalsuan dalam tafsir karena fanatisme mazhab, politik dan usaha-
usaha musuh Islam.
d)Masuknya unsur Isra'iliyat ke dalam tafsir, yaitu unsur-unsur Yahudi dan Nasrani
ke dalam penafsiran Al-Qur'an,

Berkembangnya penafsiran bi al ma 'tsur zaman itu cukup dapat dipahami karena


para mufassir mengandalkan penguasaan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya
secara baik, juga mereka ingin membuktikan kemu'jizatan Al-Qur'an dan segi
bahasanya. Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemu'jizatan itu untuk
masa kini, agaknya sangat sulit karena kita telah kehilangan kemampuan dan rasa
bahasa Arab itu. Metode periwayatan yang mereka terapkan juga cukup beralasan dan
mempunyai keistimewaan dan kelemahannya. Metode ini istimewa bila ditinjau dari
sudut informasi kesejarahan yang luas, serta obyektivitas mereka dalam menguraikan
riwayat itu, sampai-sampai ada diantara mereka yang menyampaikan riwayat-riwayat
tanpa melakukan penyeleleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai bahwa tafsir yang
berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat tentang peperangan dan
kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar yang kokoh.

Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan riwayat Al-Qur'an.


Karena, ketika itu, masa antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan
tabi'in masih cukup dekat dan laju perubahan sosial dan perkembangan ilmu
pengetahuan belum demikian pesat. Disamping itu, penghormatan kepada sahabat,
dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid nabi dan orang-orang berjasa, dan
demikian pula terhadap tabi'in sebagai generasi peringkat kedua khairun qurun, masih
sangat terkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain, pengakuan akan keistimewaan
generasi terdahulu atas generasi berikutnya masih cukup mantap.

2. Tafsir bi al-Ra’yi

Tafsir bi al-ra'yi adalah jenis metode penafsiran Al-Qur'an dimana seorang


mufassir menggunakan akal (rasio) sebagai pendekatan utamanya. Sejalan dengan
definisi diatas, Ash-Shabuni menyatakan bahwa tafsir bi al-ra'yi adalah tafsir ijtihad

5
yang dibina atas dasar-dasar yang tepat serta dapati diikuti, bukan atas dasar ra‘yu
semata atau atas dorongan hawa nafsu atau penafsiran pemikiran seseorang dengan
sesuka hatinya. Sementara menurut Manna al-Qattan, tafsir bi al-ra'yi adalah suatu
metode tafsir dengan menjadikan akal dan pemahamannya sendiri sebagai sandaran
dalam menjelaskan sesuatu. Sedangkan az-Zarqani secara tegas menyatakan bahwa
tafsir bi al-ra’yi merupakan tafsir ijtihad yang disepakati atau memiliki sanad kepada
yang semestinya dan jauh dari kesesatan dan kebodohan.

Contoh Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmud

Salah satu contoh penafsiran bi al-Ra’yi adalah penafsiran yang dikemukakan


oleh imam al-Mahalli dan imam as-Sayuthi dalam kitab tafsir kolaborasi mereka
“Tafsir Jalalain”, mengenai surat al-Isra’ ayat 85:

Imam al-Mahalli menafsirkan kata “ruh” bahwa sesungguhnya ruh itu adalah
jasad atau jisim halus (jism al-lathif), yang dengan masuknya ia ke dalam diri
manusia, maka manusia bisa hidup. Kemudian imam as-Suyuthi memberikan
penafsiran bahwa perkara ruh itu termasuk ilmu Allah Ta’ala. Sebab itu menahan
diri dari memberikan defenisinya adalah lebih baik.

Karena tafsir ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi yang ringkas maka kedua
mufassir tersebut memberikan penjelasan yang singkat dengan pendapatnya dan
menafsirkan ayat tersebut dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syari’at.

3. Tafsir Tahlily

Metode tafsir tahliliy, atau yang oleh Baqir Shadr dinamai metode tajzi'iy adalah
suatu metode yang berupaya menjelaskan kandungan ayat-ayat AI-Qur'an dari
berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana
yang tercantum dalam mushaf (Shadr, 1980:10). Cara kerja metode ini terdiri atas
empat langkah, yaitu

6
a) Mufassir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushaf,
b) Diuraikan dengan mengemukakan arti kosakata dan diikuti dengan penjelasan
mengenai arti global ayat,
c) Mengemukakan munasabah (koralasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan
maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain,
d) Mufassir membahas asbab al-nuzul dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat
dan tabi'in.

Kelemahan metode tahliliy menurut Quraish Shihab bahwa para penafsir tidak
jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalil pembenaran terhadap
pendapat-pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain itu, terasa sekali bahwa
metode ini tidak mampu memberikan jawaban jawaban yang tuntas terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar
metodologis yang dapat mengurangi subyektivitas mufassirnya. Kelemahan lain yang
dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy yang perlu dicarikan
penyebabnya adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai mengikat generasi
berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoritis, tidak sepenuhnya
mengacu pada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam
masyarakat mereka, sehingga uraian-uraian yang bersifat teoritis dan umum itu
mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat.
Contoh dari penafsiran ini adalah karya-karya mufassir klasik seperti tafsir "Jami' al
Bayan fa Tafsir Al-Qur'an", karya Ibn Jarir al-Thabari, tafsir Mafatih al Ghaib, karya
Fakhruddin al-Razi dan lain-lain. Tafsir al Thabari, dilihat dari coraknya termasuk
tafsir bi al-ma 'tsur, yang menggunakan metode tahliliy, demikian pula dengan tafsir
al-Razi.

Contoh penafsiran tahlili dalam firman Allah (Q.S. Al-Baqarah :45), sebagai berikut

٤٥ َ‫علَى ۡٱل ٰ َخ ِشعِين‬ َ ِ‫صلَ ٰو ِۚ ِة َو ِإنا َها لَ َكب‬


َ ‫يرة ٌ ِإ اَل‬ ‫ٱست َ ِعينُواْ ِبٱل ا‬
‫ص ۡب ِر َوٱل ا‬ ۡ ‫َو‬

45. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',

7
Bahwa shalat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsentrasikan hati
untuk menangkap tajally (penampakan diri) Allah dan hal ini sangat berat, kecuali bagi
orang-orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima cahaya-cahaya dari tajally-
tajally Allah yang amat halus dan menangkap kekuasaan-Nya yang perkasa.
Merekalah orang-orang yang yakin, bahwa mereka benar-benar berada di hadapan
Allah dan hanya kepada-Nyalah mereka kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat
kemanusiaan mereka (fana’) dan meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah (baqa’),
sehingga mereka tidak menemukan selain eksistensi Allah sebagai Raja yang Maha
Halus dan Maha Perkasa.

Dari beberapa contoh di atas, kita dapat mengetahui bahwa tafsir tahlili itu
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan bentuknya atau mempunyai karakter
tersendiri.

4. Tafsir Maudhu’i (Tematik)

Ali Khalil sebagaimana dikutip oleh Abd al-Hay al-Farmawi memberikan


batasan pengertian tafsir tematik, yaitu : Mengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an yang
mempunyai satu tujuan dan bersekutu dengan tema tertentu. Kemudian sedapat
mungkin ayat-ayat tersebut disusun menurut kronologi turunnya disertai dengan
pemahaman asbab al-Nuzulnya. Lalu oleh mufassir dikomentari, dikaji secara khusus
dalam kerangka tematik, ditinjau segala aspeknya, ditimbang dengan ilmu yang benar,
yang pada gilirannya mufassir dapat menjelaskan sesuai dengan hakikat topiknya,
sehingga dapat ditemukan tujuannya dengan mudah dan menguasainya dengan
sempurna. Jadi lewat metode ini, penafsiran dilakukan dengan jalan memilih topik
tertentu yang hendak dicarikan penjelasannya menurut Al-Qur'an, kemudian
dikumpulkanlah semua ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan topik ini, kemudian
dicarilah kaitan antara berbagai ayat ini agar satu sama lain bersifat menjelaskan, baru
akhirnya ditarik kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman mengenai ayat-ayat yang
saling terkait itu.

8
Jika pengertian tafsir tematik itu kita cermati, maka kita dapat menemukan ciri-
ciri dari bentuk tafsir tematik, antara lain :

a) Obyek pembahasan atau penafsirannya bukan ayat demi ayat seperti tersusun dalam
urutan mushaf Utsmani sebagaimana yang berlaku dalam tafsir tahlilliy, melainkan
suatu tema tertentu yang ingin diketahui makna atau pengertiannya secara integral
menurut pandangan Al-Qur'an,
b) Cara yang ditempuh adalah mengumpulkan seluruh ayat-ayat yang dipandang
saling berkait dan bersekutu dalam satu tema tertentu,
c) Dalam proses penafsirannya senantiasa memperhatikan aspek kronologi turunnya
ayat dan asbab al-Nuzulnya,
d) Sebelum ayat-ayat tersebut ditafsirkan secara tematik, masing-masing ayat dan
lafaz-lafaz yang terkandung didalamnya dipahami dan ditinjau dan berbagai
aspeknya, seperti bahasa, konteks kesejarahan, "munasabat", dan sebagainya,
e) Penafsiran Al-Qur'an secara tematik ini juga memerlukan berbagai ilmu, baik yang
tergolong dalam "ulum al tafsir" maupun ilmu-ilmu lain yang relevan, seperti
sejarah, sosiologi, antropologi dan sebagainya,
f) Arah pembahasan tafsir tematik senantiasa terfokus kepada satu topik yang
ditetapkan,
g) Tujuan utama yang ingin dicapai oleh tafsir tematik sebagaimana dikemukakan
oleh al-Farmawy dalam bukunya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i adalah
memahami makna dan hidayah dari Al-Qur'an dan bukan sekedar mengetahui i'jaz
Al-Qur'an, seperti keindahan bahasa atau ketinggian nilai sastranya atau kehebatan-
kehebatan Al-Qur'an lainnya.

Contoh penafsiran yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ketika itu ialah
menjelaskantentang arti Zhulum dalam QS. al-An‟am (6: 82)
ٓ
٨٢ َ‫ظ ۡل ٍم أ ُ ْو ٰ َلئِكَ لَ ُه ُم ۡٱۡلَمۡ ُن َو ُهم ُّمهۡ تَدُون‬ ُ ‫ٱلاذِينَ َءا َمنُواْ َولَ ۡم َي ۡل ِب‬
ُ ‫س ٓواْ ِإي ٰ َمنَ ُهم ِب‬

82. Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.

9
Nabi saw. Menjelaskan bahwa zhulum yang dimaksud adalah syirik sambil
membaca firman Allah dalam QS. Luqman (31:13).

َ ‫ظ ۡل ٌم‬
١٣ ‫يم‬ٞ ‫ع ِظ‬ ُ َ‫ٱّللِ ِإ ان ٱلش ِۡركَ ل‬ ُ ‫َو ِإ ۡذ قَا َل لُ ۡق ٰ َم ُن ِل ِۡب ِنِۦه َو ُه َو َي ِع‬
‫ظ ۥهُ ٰ َيبُنَ ا‬
ِۖ ‫ي ََل ت ُ ۡش ِر ۡك ِب ا‬

13. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang abadi. Al-Qur’an ibarat
samudera tak bertepi yang menyimpan berjuta-juta mutiara ilahi. Untuk meraihnya,
semua orang harus berenang dan menyelami samudera al-Qur’an. Tidak semua
penyelam itu memperolah apa yang diinginkannya karena keterbatasan
kemampuannya. Di sinilah letak urgensi perangkat ilmu tafsir.

Ilmu tafsir senantiasa berkembang dri masa ke masa, bahkan para pakar telah
banyak menelurkan tafsir yang sesuai dengan tuntutan zaman demi menegaskan
eksistensi al-Qur’an salih li kulli zaman wa makan.

Banyak sekali metode yang digunakan dalam penafsiran di antaranya metode


tahlily, ijmaly, muqaran, dan maudhu’i.

B. SARAN
Dalam makalah yang jauh dari sempurna ini, tentunya terdapat banyak
kesalahan-kesalahan. Terutama mengenai pendapat-pendapat penulis pribadi.
Karenanya, penulis membuka pintu kritik dan saran yang luas, untuk menjadikan
makalah ini lebih baik lagi.

11
DAFTAR PUSTAKA

al-Banna, Gamal, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, Pent.
Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisthi Press, 2004.

al-Dzahabî, Muhammad Husain, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Dâr al-Kutub al-


Hadîtsah, 2005, h. 43.

al-Marâghi, Ahmad Mustafa, Tafsîr al-Marâghi, vol. 1, h. 3.

al-Qaththan, Manna al-Khallil, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, Riyadh: Mansyurat al-‘ashr


al-hadits, 1973.

12

Anda mungkin juga menyukai