Kelompok 1
AHWAL AS SYAKSHIYYAH
2019
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang maha Esaatas ridho
dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Makalahini dengan penuh
keyakinan serta usaha maksimal. Semoga denganterselesaikannya tugas ini dapat
memberi pelajaran positif bagi kita semua.Selanjutnya penulis juga ucapkan terima kasih
kepada bapak dosen Drs.Achmad faishol selagu dosen pembimbing mata kuliah Ushul
fiqih II.
yang telah memberikan tugas Makalah ini kepada kami sehingga dapat memicu
motifasi kami untuksenantiasa belajar lebih giat dan menggali ilmu lebih dalam
khususnya mengenai “Sumber hukum islam ” sehingga dengan kami dapat menemukan
hal-hal baru yang belum kami ketahui.
Terima kasih juga kami sampaikan atas petunjuk yang di berikan sehinggakami
dapat menyelasaikan tugas Makalah ini dengan usaha semaksimal mungkin.Terima kasih
pula atas dukungan para pihak yang turut membantu terselesaikannya laporan ini, teman-
teman serta semua pihak yang penuh kebaikan dan telah membantu penulis.Terakhir kali
sebagai seorang manusia biasa yang mencoba berusaha sekuat tenaga dalam penyelesaian
Makalah ini, tetapi tetap saja tak luput dari sifat manusiawi yang penuh khilaf dan salah,
oleh karena itu segenap saran penulis harapkan dari semua pihak guna perbaikan tugas-
tugas serupa di masa datang.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. RUMUAN MASALAH
1. Pengertian tafsir?
C. TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui pengertian tafsir
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Tafsir
Para pakar ilmu tafsir banyak memberi pengertian baik secara etimologi maupun
terminologi terhadap term tafsir. Secara etimologi kata tafsir berarti al-ibanah wa
kasyfu al-mughattha (menjelaskan dan menyingkap yang tertutup). Dalam kamus
Lisan al-‘Arab, tafsir berarti menyingkap maksud kata yang samar. Hal ini didasarkan
pada firman Allah Sûrah al-Furqân: 33
َ ق َوأَ ْح
ً سنَ ت َ ْفس
ِيرا َ َو ََل يَأْتُون ََك ِب َمث َ ٍل ِإ اَل ِجئْن
ِ َاك ِب ْال َح
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya” Sedangkan secara terminologi penulis akan mengungkapkan pendapat
para pakar. Al-Zarqoni menjelaskan tafsir adalah ilmu untuk memahami al-Qur’an
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menjelaskan makna-maknanya dan
mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.
Ilmu tafsir merupakan bagian dari ilmu syari’at yang paling mulia dan paling
tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang
merupakan sumber segala hikmah, serta petunjuk dan pembeda dari yang haq dan
bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di
zaman modern sekarang ini. Kebutuhan akan tafsir semakin mendesak lantaran untuk
kesempurnaan beragama dapat diraih apabila sesuai dengan syari’at, sedangkan
kesesuaian dengan syari’at bannyak bergantung pada pengetahuan terhadap Al-
Qur’an, kitabullah.
Demikian ulasan mengenai definisi tafsir. Hal ini menjadi penting untuk
diketahui, karena pada perkembangan penafsiran akan tampak keragaman dan
3
perubahan pada kurun waktu tertentu. Ulama modern, tentu akan berbeda melihat
“tafsir” dengan ulama terdahulu. Dibawah ini akan penulis akan mepaparkan ulasan
mengenai perkembangan tafsir dan penafsiran dari masa klasik sampai modern.
B. Metode Penafsiran
1. Tafsir bi al-Ma’tsur
Cara penafsirian yang ditempuh oleh para sahabat dan generasi berikutnya itu
dalam kerangka metodologis, disebut jenis tafsir bil al-ma'tsur (periwayatan). Metode
periwayatan ini oleh al-Zarqani didefinisikan sebagai semua bentuk keterangan dalam
Al-Qur'an, al-sunnah atau ucapan sahabat yang menjelaskan maksud Allah SWT pada
nash Al-Qur'an. Metode bil ma'tsur, memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai
kelemahan-kelemahan. Keistimewaannya, antara lain, adalah :
Disisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan
metode ini, seperti yang dicatat oleh beberapa ahli tafsir, antara lain adalah :
4
c) Terjadinya pemalsuan dalam tafsir karena fanatisme mazhab, politik dan usaha-
usaha musuh Islam.
d)Masuknya unsur Isra'iliyat ke dalam tafsir, yaitu unsur-unsur Yahudi dan Nasrani
ke dalam penafsiran Al-Qur'an,
2. Tafsir bi al-Ra’yi
5
yang dibina atas dasar-dasar yang tepat serta dapati diikuti, bukan atas dasar ra‘yu
semata atau atas dorongan hawa nafsu atau penafsiran pemikiran seseorang dengan
sesuka hatinya. Sementara menurut Manna al-Qattan, tafsir bi al-ra'yi adalah suatu
metode tafsir dengan menjadikan akal dan pemahamannya sendiri sebagai sandaran
dalam menjelaskan sesuatu. Sedangkan az-Zarqani secara tegas menyatakan bahwa
tafsir bi al-ra’yi merupakan tafsir ijtihad yang disepakati atau memiliki sanad kepada
yang semestinya dan jauh dari kesesatan dan kebodohan.
Imam al-Mahalli menafsirkan kata “ruh” bahwa sesungguhnya ruh itu adalah
jasad atau jisim halus (jism al-lathif), yang dengan masuknya ia ke dalam diri
manusia, maka manusia bisa hidup. Kemudian imam as-Suyuthi memberikan
penafsiran bahwa perkara ruh itu termasuk ilmu Allah Ta’ala. Sebab itu menahan
diri dari memberikan defenisinya adalah lebih baik.
Karena tafsir ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi yang ringkas maka kedua
mufassir tersebut memberikan penjelasan yang singkat dengan pendapatnya dan
menafsirkan ayat tersebut dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syari’at.
3. Tafsir Tahlily
Metode tafsir tahliliy, atau yang oleh Baqir Shadr dinamai metode tajzi'iy adalah
suatu metode yang berupaya menjelaskan kandungan ayat-ayat AI-Qur'an dari
berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana
yang tercantum dalam mushaf (Shadr, 1980:10). Cara kerja metode ini terdiri atas
empat langkah, yaitu
6
a) Mufassir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushaf,
b) Diuraikan dengan mengemukakan arti kosakata dan diikuti dengan penjelasan
mengenai arti global ayat,
c) Mengemukakan munasabah (koralasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan
maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain,
d) Mufassir membahas asbab al-nuzul dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat
dan tabi'in.
Kelemahan metode tahliliy menurut Quraish Shihab bahwa para penafsir tidak
jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalil pembenaran terhadap
pendapat-pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain itu, terasa sekali bahwa
metode ini tidak mampu memberikan jawaban jawaban yang tuntas terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar
metodologis yang dapat mengurangi subyektivitas mufassirnya. Kelemahan lain yang
dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy yang perlu dicarikan
penyebabnya adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai mengikat generasi
berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoritis, tidak sepenuhnya
mengacu pada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam
masyarakat mereka, sehingga uraian-uraian yang bersifat teoritis dan umum itu
mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat.
Contoh dari penafsiran ini adalah karya-karya mufassir klasik seperti tafsir "Jami' al
Bayan fa Tafsir Al-Qur'an", karya Ibn Jarir al-Thabari, tafsir Mafatih al Ghaib, karya
Fakhruddin al-Razi dan lain-lain. Tafsir al Thabari, dilihat dari coraknya termasuk
tafsir bi al-ma 'tsur, yang menggunakan metode tahliliy, demikian pula dengan tafsir
al-Razi.
Contoh penafsiran tahlili dalam firman Allah (Q.S. Al-Baqarah :45), sebagai berikut
45. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',
7
Bahwa shalat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsentrasikan hati
untuk menangkap tajally (penampakan diri) Allah dan hal ini sangat berat, kecuali bagi
orang-orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima cahaya-cahaya dari tajally-
tajally Allah yang amat halus dan menangkap kekuasaan-Nya yang perkasa.
Merekalah orang-orang yang yakin, bahwa mereka benar-benar berada di hadapan
Allah dan hanya kepada-Nyalah mereka kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat
kemanusiaan mereka (fana’) dan meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah (baqa’),
sehingga mereka tidak menemukan selain eksistensi Allah sebagai Raja yang Maha
Halus dan Maha Perkasa.
Dari beberapa contoh di atas, kita dapat mengetahui bahwa tafsir tahlili itu
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan bentuknya atau mempunyai karakter
tersendiri.
8
Jika pengertian tafsir tematik itu kita cermati, maka kita dapat menemukan ciri-
ciri dari bentuk tafsir tematik, antara lain :
a) Obyek pembahasan atau penafsirannya bukan ayat demi ayat seperti tersusun dalam
urutan mushaf Utsmani sebagaimana yang berlaku dalam tafsir tahlilliy, melainkan
suatu tema tertentu yang ingin diketahui makna atau pengertiannya secara integral
menurut pandangan Al-Qur'an,
b) Cara yang ditempuh adalah mengumpulkan seluruh ayat-ayat yang dipandang
saling berkait dan bersekutu dalam satu tema tertentu,
c) Dalam proses penafsirannya senantiasa memperhatikan aspek kronologi turunnya
ayat dan asbab al-Nuzulnya,
d) Sebelum ayat-ayat tersebut ditafsirkan secara tematik, masing-masing ayat dan
lafaz-lafaz yang terkandung didalamnya dipahami dan ditinjau dan berbagai
aspeknya, seperti bahasa, konteks kesejarahan, "munasabat", dan sebagainya,
e) Penafsiran Al-Qur'an secara tematik ini juga memerlukan berbagai ilmu, baik yang
tergolong dalam "ulum al tafsir" maupun ilmu-ilmu lain yang relevan, seperti
sejarah, sosiologi, antropologi dan sebagainya,
f) Arah pembahasan tafsir tematik senantiasa terfokus kepada satu topik yang
ditetapkan,
g) Tujuan utama yang ingin dicapai oleh tafsir tematik sebagaimana dikemukakan
oleh al-Farmawy dalam bukunya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i adalah
memahami makna dan hidayah dari Al-Qur'an dan bukan sekedar mengetahui i'jaz
Al-Qur'an, seperti keindahan bahasa atau ketinggian nilai sastranya atau kehebatan-
kehebatan Al-Qur'an lainnya.
Contoh penafsiran yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ketika itu ialah
menjelaskantentang arti Zhulum dalam QS. al-An‟am (6: 82)
ٓ
٨٢ َظ ۡل ٍم أ ُ ْو ٰ َلئِكَ لَ ُه ُم ۡٱۡلَمۡ ُن َو ُهم ُّمهۡ تَدُون ُ ٱلاذِينَ َءا َمنُواْ َولَ ۡم َي ۡل ِب
ُ س ٓواْ ِإي ٰ َمنَ ُهم ِب
82. Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.
9
Nabi saw. Menjelaskan bahwa zhulum yang dimaksud adalah syirik sambil
membaca firman Allah dalam QS. Luqman (31:13).
َ ظ ۡل ٌم
١٣ يمٞ ع ِظ ُ َٱّللِ ِإ ان ٱلش ِۡركَ ل ُ َو ِإ ۡذ قَا َل لُ ۡق ٰ َم ُن ِل ِۡب ِنِۦه َو ُه َو َي ِع
ظ ۥهُ ٰ َيبُنَ ا
ِۖ ي ََل ت ُ ۡش ِر ۡك ِب ا
13. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang abadi. Al-Qur’an ibarat
samudera tak bertepi yang menyimpan berjuta-juta mutiara ilahi. Untuk meraihnya,
semua orang harus berenang dan menyelami samudera al-Qur’an. Tidak semua
penyelam itu memperolah apa yang diinginkannya karena keterbatasan
kemampuannya. Di sinilah letak urgensi perangkat ilmu tafsir.
Ilmu tafsir senantiasa berkembang dri masa ke masa, bahkan para pakar telah
banyak menelurkan tafsir yang sesuai dengan tuntutan zaman demi menegaskan
eksistensi al-Qur’an salih li kulli zaman wa makan.
B. SARAN
Dalam makalah yang jauh dari sempurna ini, tentunya terdapat banyak
kesalahan-kesalahan. Terutama mengenai pendapat-pendapat penulis pribadi.
Karenanya, penulis membuka pintu kritik dan saran yang luas, untuk menjadikan
makalah ini lebih baik lagi.
11
DAFTAR PUSTAKA
al-Banna, Gamal, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, Pent.
Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisthi Press, 2004.
12