Anda di halaman 1dari 16

MUTLAQ DAN MUQOYAD

Makalah
disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah
Metode Istinbath Hukum Isam
Dosen

I. Nurol Aen, prof. Dr. H. M.A.

Ali Kosim, Dr. H. S.H.I/ M.Ag.

HES-B/IV
Oleh :
Hilmi Hadad Alwi 1183020045
Ichsan Mauana 1183020047
Meani 1183020060
Mohammad Firman Fauzi 1183020066
Muhammad Saeful Hamdani 1183020077

PROGRAM STUDY HUKUM EKONOMI SYARI’AH (MUAMALAH)


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr . Wb.

Alhamdulillah, puji syukur atas nikmat yang telah ALLAH SWT


anugerahkan kepada Kami. Salah satu nikmat yang terbesar dari-Mu adalah hidup
Kami. Untuk itu sebagai wujud rasa syukur kami kepada-Mu, penulis harus
mengelolanya dengan baik dan amanah. Semoga dengan terselesainya penulisan
makalah ini, Kami semakin sadar bahwa setiap tarikan nafas adalah anugerah,
takdir dan nikmat dari-Mu yang tak boleh penulis sia-siakan. Shalawat serta salam
penulis haturkan kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan para
pengikutnya terima kasih atas doa, teladan, perjuangan dan kesabaran yang telah
diajarkan kepada umatnya, penulis mencoba melakukan yang terbaik untuk
menyusun makalah ini dengan judul " MUTLAQ DAN MUQOYAD" merupakan
tugas yang harus dipenuhi untuk mata Kuliah metode Istinbath Hukum Islam.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih


jauh dari kata sempurna. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan yang
dimiliki oleh Kami, baik dalam hal pengetahuan dan pengalaman. Atas selesainya
makalah ini, tidak terlepas dari upaya berbagai pihak yang telah memberikan
kontribusinya dalam rangka penyusunan dan penulisan makalah ini, untuk itu
kami ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu, terutama kepada dosen pembimbing.

Kami sadar sebagai sebuah karya insan, tidak luput dari kesalahan, ibarat
kata pepatah, todak ada gading yang tak retak, retak-retak bukan untuk
mempercantik gading, tapi ikhtiar insan memberikan karya bermakna. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari semu pihak sangatlah diharapkan untuk
kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 17 Juni 2020

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................II
DAFTAR ISI....................................................................................................III

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang......................................................................................1

B. Rumusan masalah.................................................................................2

C. Tujuan dan manfaat..............................................................................2

D. Metode Penulisan ................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Mutllaq dan Muqayyad…………………………………..3

B. Ketentuan Mutaq dan Muqayyad…………………………………….5

C. Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyad………………………………11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………..……..12

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….13

III
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Al-Qur`an adalah kitab suci kaum muslim yang menjadi sumber ajaran Islam yang
pertama dan utama yang harus mereka imani dan aplikasikan dalam kehidupan mereka
agar mereka memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Karena itu tidaklah
berlebihan jika selama ini kaum muslim tidak hanya mempelajari isi dan pesan-
pesannya, tetapi juga telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga
autentisitasnya.

Dalam memahami Al-Qur`an baik itu menafsirkan, maupun menggali hukum


diperlukannya kemampuan dan pemahaman terhadap ilmu yang berkaitan dengan Al-
Qur`an itu sendiri atau biasa disebut dengan ilmu Al-Qur`an (studi Al-Qur`an).

Menurut Quraish Shihab tafsir Al-Qur`an adalah penjelasan tentang maksud firman-
firman Allah sesuai kemampuan manusia. Kemampuan ini bertingkat-tingkat sehingga
apa yang dicerna atau diperoleh oleh seorang penafsir dari Al-Qur`an bertingkat-tingkat
pula. Kecendrungan manusia juga berbeda-beda sehingga apa yang dihidangkan dari
pesan-pesan ilahi dapat berbeda antara satu dengan yang lain.

Dalam menggali hukum di dalam Al-Qur`an, seorang mufassir perlu untuk


menguasai kaidah-kaidah kebahasaan (bahasa Arab) karena Al-Qur`an diturunkan
berbahasa Arab. Banyak bentuk lafaz yang terkandung di dalam Al-Qur`an menjadikan
ilmu kebahasaan sebagai suatu kemestian yang dimiliki oleh para mufassir.

Banyak kaidah-kaidah kebahasaan yang telah dirumuskan oleh para intelektual


Islam seperti lafaz mutlaq dan muqayad. Tidak sedikit ayat Al-Qur`an yang
mengandung bentuk lafaz mutlaq dan muqayad ini. Sebagian hukum terkadang muncul
dengan bentuk mutlaq yang menunjukkan suatu wujud yang umum dalam jenisnya,
tanpa dibatasi oleh sifat atau syarat tertentu. Terkadang pula dibatasi oleh sifat atau
syarat, namun hakikat individu itu tetap bagian dari jenisnya.

Dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan beberapa hal yang terkait
dengan konsep mutlaq dan muqayyad. Sehingga dapat dipahami secara seksama
mengenai bentuk-bentuk serta hal penting terkait dengan lafaz mutlaq dan muqayyad.

1
B. Rumusan masalah

Dalam makalah ini akan membahas beberapa hal terkait latar belakang di atas
diantaranya :
a. Bagaimana pengertian dari mutlaq dan muqayyad?

b. Bagaimana hukum lafadz mutlaq dan muqayyad?

c. Bagaimana ketentuan Mutlaq dan Muqayyad?

C. Tujuan dan manfaat

a. Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh II.

b. Untuk menambah pengetahuan tentang seputar mutlaq dan muqayyad dan


mendeskripsikan hukum lafadz mutlaq dan muqayyad.

D. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini adalah kajian pustaka yang berupa Metode
Kepustakaan (Library Research) dan Metode Penelusuran Internet (web search).

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mutlaq dan Muqayyad

Secara bahasa lafaz muthlaq dapat berarti sesuatu yang tidak ada batasannya/ tidak
terikat (mâ khalâ min al-qayyidi). Dari akar yang sama lahir kata thalâq (talaq), yakni
lepasnya hubungan suami istri sehingga baik suami maupun istri sudah tidak saling
terikat.1

Sedangkan secara terminologi para ulama telah mengemukakan beberapa defenisi


yang berbeda. Menurut al-Madiy bahwa yang dimaksud dengan lafaz muthlaq adalah
suatu lafaz yang menunjukkan atas dalil-dalil yang mencakup seluruh jenis. Sedangkan
al-Bananiy mendefenisikan lafaz mutlaq sebagai suatu lafaz yang menunjukkan kepada
sesuatu yang maknanya tanpa terikat oleh batasan tertentu.

Sementara itu Manna’ al-Qathan mendefenisikannya sebagai suatu lafaz yang


menunjukkan atas suatu hakikat tanpa ada batasan. Tidak berbeda halnya yang
disampaikan oleh Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang
memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa. 2Berdasarkan analisis di
atas, makna al-mutlaq dan muqayyad secara terminologis ialah :

‫اللفظ املتناول لواحدالبعينه ابعتبار حقيقة شاملة جلنسه‬

Kata yang menjangkau hanya satu makna bukan karena substansinya setelah
memperhatikan hakikatnya yang lengkap tentang jenisnya.

Muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan suatu hakikat dengan qayyid


(batasan), seperti arti “raqabah” (budak) dibatasi dengan “iman”: dalam ayat
‫ّمؤْ ِمنَ ٍة فتحريررقبة‬

1
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat
2
Firdaus, Ushul Fieqh, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif,
Jakarta: Zikrul Hakim, 2004, h. 26.

3
(maka [hendaklahlah pembunuh itu] memerdekakan budak yang beriman). (Q.S.an-
Nisa’: 92).

Secara terminologi, kata muqayyad bermakna terikat, muqayyad dapat diartikan


sebagai suatu lafadz yang menunjukkan atas pengertian yang mempunyai batasan
tertentu berupa perkataan.

Ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an ada yang bersifat mutlaq ada pula yang
bersifat muqayyad. Dalam grametika ushul fiqh pun memberlakukan satu devinisi
tentang obyektifitas sifat ayat, artinya sepanjang dhatiyah lafadz tersebut bersifat
mutlaq, maka harus difahami dengan mutlak. Demikian juga sebaliknya, sepanjang
tidak adanya qorinah yang menurut sifat ayat yang muqayyad, meskipun dalam
perjalanannya terdapat pro dan kontra tentang pemahaman tersebut. Para ulama’
memberikan definisi muqayyad dengan berbagai definisi yakni suatu lafadz yang
menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang
mempersempit keluasan artinya. Sementara itu secara istilah muqayyad adalah lafadz
yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu.
Sebagaimana dikemukakan oleh al-Khuduri Beik, sebagai berikut:

‫ال ُمقيّد ما َد َّل َعلَى فَ ْردأَوأَ ْف َراد شَائِ َعة بِقَي ِد ُمستَقبَل لَفظا‬

Artinya: muqayyad ialah lafadz yang ditunjukkan kepada suatu objek (afrad) atau
beberapa objek tertentu yang dibatasi oleh lafadz tertentu.

Kemudian Mustafa Said al-Khin menebutkan sebagai berikut:

‫داللة الّلفظ على الماهية مقيّدة بفيد ما يقلّل من شيوعها أوعلى مدلول معيّن‬

Artinya: petunjuk makna lafadz kepada sesuatu yang telah dibatasi dengan suatu
batasan yang mempersempit cakupannya atau petunjuk lafadz tersebut telah tertentu
maknanya.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan yang dimaksud muqayyad


adalah lafadz nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan sifat tertentu
sehingga pengertiannya lebih spesifik dan pasti.

4
B. Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyad

Prinsip dasar yang harus diperhatikan terhadap lafadz nash Mutlaq dan
Muqayyad ini adalah lafadz Mutlaq tetap terletak pada Mutlaqnya selama tidak ada dalil
yang memberikan qayyid (batasan) begitu pula sebaliknya Muqayyad tetap terletak pada
Muqayyadnya. Jika lafadz Mutlaq terdapat suatu dalil yang memberi qayid maka tidak
mutlaq lagi. Dengan kata lain lafadz Mutlaq akan berubah menjadi Muqayyad dengan
adanya qayid sebagai penjelasan.

Ada dua segi yang harus diperhatikan dalam melihat kedudukan lafadz mutlaq
dan muqayyad diantaranya: Ialah membawa mutlaq kepada muqayyad, jika didalam
nash terdapat lafadz mutlaq, kemudian ditempat lain disebut muqayyad. Ulama’ ushul
menyebutnya dengan (hamalul mutlaq ‘alal muqayyad) sebagaimana berikut ini.

Macam-Macam Mutlaq dan Muqayyad dan Status Hukum Masing-Masing

Mutlaq dan Muqayyad mempunyai bentuk ‘aqliyah,dan sebagian realitas


bentuknya kami kemukakan berikut ini:

a. Sebab dan hukumnya sama, seperti “puasa” untuk kafarah sumpah. Lafadz itu
dalam qira’ah mutawatirah yang terdapat dalam Q.S.al-Ma’idah: 89,
diungkapkan secara mutlaq:

‫صيَا ُم ثَ ٰلـثَ ِة أَيَّ ٍام ج َذالِ َك َكفَّ ٰـ َرةُ أَيْمٰ نِ ُك ْم إِ َذا َحلَ ْفتُ ْم‬
ِ َ‫فَ َمنْ لَّ ْم يَ ِج ْد ف‬

“barang siapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kafarahnya puasa


selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarah sumpah-sumpahmu bila
kamu bersumpah [dan kamu langgar]...”.
Dan ia muqayyad atau dibatasi dengan “tatabu’ (berturut-turut)”
dalam qira’ah Ibn Mas’ud: ‫ن‬Qِ ‫صيَا ُم ثَاَل ثَ ِة أَي ٍَّام ُمتَتَابِ َع ْي‬
ِ َ‫( ف‬maka kafarahnya puasa selama
tiga hari berturu-turut). Dalam hal seperti ini, pengertian lafadz yang mutlaq
dibawa kepada yang muqayyad (dengan arti, bahwa yang dimaksud oleh lafadz
mutlaq adalah sama dengan yang dimaksud oleh lafadz muqayyad), karena
“sebab” yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan. Oleh
karena itu sebagian ‘ulama berpendapat bahwa puasa tiga hari tersebut harus
dilakukan berturut-turut. Dalam pada itu golongan yang memandang qira’ah

5
tidak mutawatir, sekalipun masyhur, tidak dapat dijadikan hujjah, sehingga tidak
sependapat dengan golongan pertama. Maka dalam kasus ini dipandang tidak
ada muqayyad, karena itu lafad mutlaq diterapkan kepadanya.

b. Sebab sama namun hukum berbeda. Seperti kata “tangan” dalam wudhu’ dan
tayamum. Membasuh tangan dalam berwudhu’ dibatasi sampai dengan siku.
Seperti Q.S. al-Ma’idah: 6
ٰ
‫الصلوة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق‬ ‫يـأيها الذين أمنوا إذا قمتم إلى‬

“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,


basuhlah mukamu dan tangan mu sampai dengan siku....”

Sedangkan menyapu tangan dalam bertayamum tidak dibatasi, mutlaq,


sebagaimana dijelaskan dalam Q.S al-Ma’idah: 6

ُ‫فتي ّمموا صعيدا طيّبا فامسحوا بِ ُوجو ِهكم وأيد ْيكم منه‬

“....Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu...”

Dalam hal ini ada yang berpendapat, lafadz yang mutlaq tidak dibawa
kepada yang muqayyad karena berlainan hukumnya3. Namun al-Ghazali
menukil dari mayoritas ulama Syafi’i bahwa mutlaq disini dibawa kepada
muqayyad mengingat “sebab”nya sama sekalipun berbeda hukumnya.4

c. Sebab berbeda tetapi hukumnya sama, dalam hal ini ada dua bentuk:

Pertama, taqyid atau batasannya hanya satu. Misalnya pembebasan budak dalam
hal kafarah. Budak yang dibebaskan diisyaratkan harus budak “beriman” dalam
kafarah pembunuhan tak sengaja. Seperti Q.S.an-Nisa’: 92

‫من أن ي ْقت َل مؤْ ِمنًا إاّل خطـأ ً ج ومن قَتَ َل مؤمنًا خطـأ ً فتحريررقب ٍة ّمؤْ ِمنَ ٍة‬
ٍ ْ‫وما كان لِمؤ‬

“dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain)
kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang

3
Abdul Karim Zaidan, Fi Ushul ul-Fiqh, Baghdad: Dar al-‘Arabiyah li al-Tiba’ah, 1997, h. 186.
4
Mannâ al-Qaththâan, Mabâhis fi ‘Ulủm Al-Quran, h. 246.

6
mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman....”
Sedang dalam kafarah zihar diungkapkan secara mutlaq dalam Q.S.al-Mujadalah:3

ٰ ‫والّذين‬
ّ ‫يظهرون من نّسآءهم ث ّم يعودون لِما قالوا فتحرير رقب ٍة ّمن قبل أن يتمآ‬
‫سا‬

“dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan
seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur...”

Demikian pula dalam kafarah sumpah Q.S.al-Ma’idah: 89

ٰ ٰ ‫ال يؤاخذكم هللا بالّلغو فى أيمٰ نكم‬


ٗ ّ‫ولكن يؤاخذكم بما عقّد تّم األيمٰ ۖن فكف‬
ٰ ‫رته إطعا ُم عشر ِة‬
‫مسكين‬

‫س ِط ما تطعمون أهليكم أوكسوتهم أو تحريررقب ٍة‬


َ ‫من أو‬

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak


dimaksud (untuk bersumpah), tetapi ia menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpah yang kamu sengaja, maka kafarah (melanggar) sumpah itu ialah memberi
makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang
budak...”

Dalam hal ini segolongan ulama, diantaranya ulama Maliki dan sebagian
besar ulama Syafi’i, berpendapat, lafadz yang mutlaq harus dibawa kepada yang
muqayyad tanpa memerlukan dalil lain. Oleh karena itu tidak cukup (sah)
memerdekakan budak yang kafir dalam kafarah dhihar dan melanggar sumpah.
Sementara itu golongan lain, yaitu ulama madhab hanafi berpendapat, lafadz yang
mutlaq tidak dapat dibawa kepada yang muqayyad kecuali berdasarkan dalil.
Maka dipandang telah cakup memerdekakan budak yang kafir dalam kafarah
dihar dan melanggar sumpah.

Argumentasi pendukung pendapat pertama ialah bahwa kalamullah itu


satu zatnya, tidak berbilang. Maka jika ia telah menentukan budak yang beriman
dalam kafarah pembunuhan, ketentuan ini pun berlaku bagi kafarah zihar. Oleh
karena itu pengertian firman-Ny َ‫َوال َّذا ِكرين‬ dibawa kepada firman-Nya diawal

7
ayat : ‫( َوال َّذا ِك ِرين ﷲ َكثِ ْيرًا‬Q.S. al-Ahzab: 35), tanpa memerlukan dalil lain yang
َّ ‫ َو‬. Disamping alasan
datang dari luar. Jadi maksudnya adalah ‫رًا‬Q‫الذا ِك ِرين ﷲ َكثِ ْي‬
diatas juga mengingat bahwa orang Arab itu lebih menyukai penggunaan kata-
kata yang mutlaq bila telah ada yang muqayyad (dibatasi) karena cara demikian
dipandang telah memadai disamping agar perkataan itu padat dan ringkas. Allah
ِ ‫( َع ِن ْاليَ ِم‬seorang duduk disebelah
berfirman dalam Q.S.Qaf: 17 ‫د‬Qٌ ‫ين َو َع ِن ال ِّش َما ِل قَ ِعي‬
kanan dan disebelah kiri). Maksudnya ialah ‫ال قَ ِعي ٌد‬ ِ ‫ َع ِن ْاليَ ِمي ِن َو َع ِن ال ِّش َم‬, akan tetapi
“qa’id” yang pertama tidak disebutkan karena sudah ditunjukkan oleh yang
kedua.

Adapun hujjah madhab Hanafi, maka mereka mengatakan,


membawa pengertian lafadz “adh-dhakirat” kepada “adh-dhakirinAllaha
katsiran” itu berdasarkan dalil. Dalilnya ialah bahwa lafadz “adh-dhakirat” itu
di-‘ataf-kan pada “adh-dhakirinAllaha katsiran” disamping ia tidak bisa berdiri
sendiri. Oleh karena itu ia harus dikembalikan pada lafadz pertama (maf’ul
‘alaih) dan dipandang mempunyai “hukum” yang sama dengannya. Demikian
juga ‘ataf dalam ayat ِّ ‫ َع ِن ْاليَ ِمي ِن َوع َِن‬. Apabila pembatasan lafadz
‫ ٌد‬Q ‫ َما ِل قَ ِعي‬Q ‫الش‬
mutlaq tanpa dalil tersebut tidak dapat dilakukan, maka harus dicarikan dalil
yang lain, akan tetapi baik dalam Kitab atau pun dalam sunnah tidak terdapat
nash yang menunjukkan demikian. Qiyas mengharuskan terhapus (terpenuhi)-
nya apa yang dikehendaki oleh lafad mutlaq, yaitu bebas dari tuntutan dengan
melakukan sesuatu yang termasuk dalam ruang lingkup lafad mutlaq dan
demikian itu adalah Naskh. Sedangkan nas tidak dapat di naskh oleh qiyas
(analogi).

Argumentasi golongan kedua ini dijawab oleh para pendukung pendapat


pertama. Mereka Mengatakan kami tidak menerima kesimpulan pendapat yang
menganalogikan mutlaq kepada muqayyad adalah me-naskh nas yang mutlaq,
tetapi itu hanya membatasinya dengan salah satu makna-maknanya. Misalnya
“budak” dibatasi dengan “yang beriman”, sehingga keimanan budak yang
dimerdekakan menjadi syarat bagi terpenuhinya tuntutan lafad mutlaq. Hal ini
sebagaimana anda mempersyaratkan keislaman budak tersebut padahal

8
persyaratan demikian tidak ditunjukkan baik oleh nas (teks) Kitab maupun
Sunnah.

Keduan, taqyidnya berbeda-beda. Misalnya “puasa kafarah”, ditaqyidkan


dengan berturut-turut pada kafarah bagi pembunuhan dalam Q.S.an-Nisa’: 92

ۗ َ‫ـر ْي ِن ُمتَتَابِ َع ْي ِن ت َْوبَةً ِّمن‬


‫هللاِ َو َكانَ هللاُ َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما‬ َ ‫ش ْه‬ ِ َ‫فَ َمنْ لَّ ْم يَ ِج ْد ف‬
َ ‫صيَا ُم‬

“barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh)


berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah....”

Demikian juga dalam kafarah dhihar, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-
Mujadalah: 4

َّ ‫ش ْه َر ْي ِن ُمتَتَابِ َع ْي ِن ِمنْ قَ ْب ِل أَنْ يَتَ َمآ‬


‫سا‬ ِ َ‫فَ َمنْ لَّ ْم يَ ِج ْد ف‬
َ ‫صيَا ُم‬

“barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa
dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur......”

Kafarah puasa bagi orang yang mengerjakan haji tamattu’, ditaqyidkan


(dibatasi) dengan terpisah-pisah (maksudnya, puasa itu tidak boleh dilakukan
secara berturut-turut dalam Q.S. al-Baqarah: 196

َ ‫صيَا ُم ثَ ٰلثَ ِة أَيَّ ٍام فِى ا ْل َح ِّج َو‬


‫س ْب َع ٍة إِ َذا َر َج ْعتُ ْم‬ ِ َ‫فَ َمنْ لَّ ْم يَ ِج ْد ف‬

“Tetapi jika ia tidak mendapatkan (binatang kurban atau tidak mampu), maka
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah
pulang kembali.......”.
Kemudian datang pula ketentuan puasa secara mutlaq, tidak ditaqyidkan dengan
berturut-turut atau terpisah-pisah, bagi kafarah sumpah dalam Q.S.al-Ma’idah:
89

‫صيَا ُم ثَ ٰلثَ ِة أَيَّ ٍام‬


ِ َ‫فَ َمنْ لَّ ْم يَ ِج ْد ف‬

“Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafarahnya
puasa selama tiga hari”

Juga dalam qada’ (bayar) puasa ramadhan dalam Q.S.al-Baqarah: 184

9
َ ‫ضا أَ ْو ع َٰلى‬
‫سفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِّمنْ أَيَّ ٍام أُ َخ َر‬ ً ‫فَ َمنْ َكانَ ِم ْن ُك ْم َّم ِر ْي‬

“maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain”.

Maka lafad yang mutlaq dalam hal ini tidak boleh dibawa kepada yang
muqayyad, sebab qayyid (pembatas)-nya berbeda-beda. Membawa mutlaq
kepada salah satu dari dua muqayyad itu merupakan tarjih atau menguatkan
sesuatu tanpa ada penguat.

d. Sebab berbeda dan hukum pun berlainan, seperti “tangan” dalm berwudhu’ dan
dalam pencurian. Dalam berwudhu’ ia dibatasi sampai dengan siku, sedang
dalam pencurian dimutlaqkan, tidak dibatasi, seperti tertuang dalam Q.S.al-
Ma’idah: 38
‫سا ِرقَةُ فَ ْقطَ ُع ْوآ أَ ْي ِديَ ُه َما‬
َّ ‫ق َوال‬
ُ ‫سا ِر‬
َّ ‫وَال‬

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan


keduanya....”

Dalam keadaan seperti ini, mutlaq tidak boleh dibawa kepada muqayyid
karena “sebab” dan “hukum”-nya berlainan. Dalam hal ini tidak ada kontradiksi
(ta’arud) sedikit pun.

Menurut penulis al-Burhan, bahwa jika terdapat dalil mutlaq telah


dibatasi, maka yang mutlaq dibawa kepada muqayyad. Namun jika tidak terdapat
dalil, maka mutlaq tidak boleh dibawa kepada muqayyad, ia tetap kepada
kemutlakannya dan yang muqayyad pun tetap dalam keterbatasannya.
Konkritnya ialah, apabila Allah telah menetapkan sesuatu (hukum) dengan sifat
atau syarat kemudian terdapat pula ketetapan lain yang bersifat mutlaq, maka
mengenai yang mutlaq itu harus dipertimbangkan. Jika ia tidak mempunyai
hukum pokok, yang kepadanya ia dikembalikan, selain dari hukum yang
muqayyad, maka ia wajib ditaqyidkan dengannya. Tetapi jika mempunyai hukum
pokok yang lain selain muqayyad, maka mengembalikannya kepada salah satu
dari keduanya tidak lebih baik dari pada mengembalikan kepada yang lain.

10
C. Ketentuan Mutlaq dan Muqayyad
Apabila lafal itu mutlaq, maka mengandung ketentuan secara mutlaq (tidak
dibatasi). Dan apabila lafal itu muqayyad, maka mengandung arti ketentuan secara
muqayyad (dibatasi). Maksudnya lafal yang mutlaq harus diartikan secara mutlaq dan
lafal yang muqayyad harus diartikan secara muqayyad pula dan tidak boleh dicampur-
adukkan satu dengan lainnya. Maka dengan sendirinya hukumnya pun harus berbeda.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu


qayyid (pembatas). Jadi ia hanya menunjuk kepada satu individu tidak tertenu dari
hakikat tersebut. Sedangkan muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan suatu hakikat
dengan qayyid (batasan).

            Ulama berpendapat bahwa hukum lafadz mutlaq itu tetap kepada kemutlakannya
selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafadz
muqayyad itu berlaku pada kemuqayyadannya. Jika lafadz mutlaq terdapat suatu dalil
maka tidak mutlaq lagi melainkan berubah menjadi muqayyad dengan adanya qayyid
sebagai penjelasannya. Ternyata ulama madhab berbeda pendapat dalam hal ketentuan
hukum antara mutlaq dan muqayyad adalah sama namun sebabnya berbeda, menurut
madhab Hanafi mutlaq tidak dibawa kemuqayyad, sedangkan menurut Syafi’i,Maliki,
dan Hambali mutlaq bisa dibawa kepada muqayyad.

12
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththâan, Mannâ, Mabâhis fi ‘ulủm Al-Quran, Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr al-


Hadîts, t.th.

Firdaus, Ushul Fiqh, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.

Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir Quraish Shihab,Kaidah Tafsir: Syarat Ketentuan


dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Al-Quran, cet. I, Jakarta:
Lentera Hati, 2013.

Zaidan, Abdul Karim, Fi Ushul ul-Fiqh, Baghdad: Dar al-‘Arabiyah li al-Tiba’ah, 1997.

(Chaerul Uman, dkk., 2001: 99).

13

Anda mungkin juga menyukai