Makalah
disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah
Metode Istinbath Hukum Isam
Dosen
HES-B/IV
Oleh :
Hilmi Hadad Alwi 1183020045
Ichsan Mauana 1183020047
Meani 1183020060
Mohammad Firman Fauzi 1183020066
Muhammad Saeful Hamdani 1183020077
Assalamualaikum Wr . Wb.
Kami sadar sebagai sebuah karya insan, tidak luput dari kesalahan, ibarat
kata pepatah, todak ada gading yang tak retak, retak-retak bukan untuk
mempercantik gading, tapi ikhtiar insan memberikan karya bermakna. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari semu pihak sangatlah diharapkan untuk
kesempurnaan makalah ini.
II
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................II
DAFTAR ISI....................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang......................................................................................1
B. Rumusan masalah.................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan …………………………………………………..……..12
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….13
III
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Al-Qur`an adalah kitab suci kaum muslim yang menjadi sumber ajaran Islam yang
pertama dan utama yang harus mereka imani dan aplikasikan dalam kehidupan mereka
agar mereka memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Karena itu tidaklah
berlebihan jika selama ini kaum muslim tidak hanya mempelajari isi dan pesan-
pesannya, tetapi juga telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga
autentisitasnya.
Menurut Quraish Shihab tafsir Al-Qur`an adalah penjelasan tentang maksud firman-
firman Allah sesuai kemampuan manusia. Kemampuan ini bertingkat-tingkat sehingga
apa yang dicerna atau diperoleh oleh seorang penafsir dari Al-Qur`an bertingkat-tingkat
pula. Kecendrungan manusia juga berbeda-beda sehingga apa yang dihidangkan dari
pesan-pesan ilahi dapat berbeda antara satu dengan yang lain.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan beberapa hal yang terkait
dengan konsep mutlaq dan muqayyad. Sehingga dapat dipahami secara seksama
mengenai bentuk-bentuk serta hal penting terkait dengan lafaz mutlaq dan muqayyad.
1
B. Rumusan masalah
Dalam makalah ini akan membahas beberapa hal terkait latar belakang di atas
diantaranya :
a. Bagaimana pengertian dari mutlaq dan muqayyad?
D. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini adalah kajian pustaka yang berupa Metode
Kepustakaan (Library Research) dan Metode Penelusuran Internet (web search).
2
BAB II
PEMBAHASAN
Secara bahasa lafaz muthlaq dapat berarti sesuatu yang tidak ada batasannya/ tidak
terikat (mâ khalâ min al-qayyidi). Dari akar yang sama lahir kata thalâq (talaq), yakni
lepasnya hubungan suami istri sehingga baik suami maupun istri sudah tidak saling
terikat.1
Kata yang menjangkau hanya satu makna bukan karena substansinya setelah
memperhatikan hakikatnya yang lengkap tentang jenisnya.
1
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat
2
Firdaus, Ushul Fieqh, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif,
Jakarta: Zikrul Hakim, 2004, h. 26.
3
(maka [hendaklahlah pembunuh itu] memerdekakan budak yang beriman). (Q.S.an-
Nisa’: 92).
Ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an ada yang bersifat mutlaq ada pula yang
bersifat muqayyad. Dalam grametika ushul fiqh pun memberlakukan satu devinisi
tentang obyektifitas sifat ayat, artinya sepanjang dhatiyah lafadz tersebut bersifat
mutlaq, maka harus difahami dengan mutlak. Demikian juga sebaliknya, sepanjang
tidak adanya qorinah yang menurut sifat ayat yang muqayyad, meskipun dalam
perjalanannya terdapat pro dan kontra tentang pemahaman tersebut. Para ulama’
memberikan definisi muqayyad dengan berbagai definisi yakni suatu lafadz yang
menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang
mempersempit keluasan artinya. Sementara itu secara istilah muqayyad adalah lafadz
yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu.
Sebagaimana dikemukakan oleh al-Khuduri Beik, sebagai berikut:
ال ُمقيّد ما َد َّل َعلَى فَ ْردأَوأَ ْف َراد شَائِ َعة بِقَي ِد ُمستَقبَل لَفظا
Artinya: muqayyad ialah lafadz yang ditunjukkan kepada suatu objek (afrad) atau
beberapa objek tertentu yang dibatasi oleh lafadz tertentu.
داللة الّلفظ على الماهية مقيّدة بفيد ما يقلّل من شيوعها أوعلى مدلول معيّن
Artinya: petunjuk makna lafadz kepada sesuatu yang telah dibatasi dengan suatu
batasan yang mempersempit cakupannya atau petunjuk lafadz tersebut telah tertentu
maknanya.
4
B. Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyad
Prinsip dasar yang harus diperhatikan terhadap lafadz nash Mutlaq dan
Muqayyad ini adalah lafadz Mutlaq tetap terletak pada Mutlaqnya selama tidak ada dalil
yang memberikan qayyid (batasan) begitu pula sebaliknya Muqayyad tetap terletak pada
Muqayyadnya. Jika lafadz Mutlaq terdapat suatu dalil yang memberi qayid maka tidak
mutlaq lagi. Dengan kata lain lafadz Mutlaq akan berubah menjadi Muqayyad dengan
adanya qayid sebagai penjelasan.
Ada dua segi yang harus diperhatikan dalam melihat kedudukan lafadz mutlaq
dan muqayyad diantaranya: Ialah membawa mutlaq kepada muqayyad, jika didalam
nash terdapat lafadz mutlaq, kemudian ditempat lain disebut muqayyad. Ulama’ ushul
menyebutnya dengan (hamalul mutlaq ‘alal muqayyad) sebagaimana berikut ini.
a. Sebab dan hukumnya sama, seperti “puasa” untuk kafarah sumpah. Lafadz itu
dalam qira’ah mutawatirah yang terdapat dalam Q.S.al-Ma’idah: 89,
diungkapkan secara mutlaq:
صيَا ُم ثَ ٰلـثَ ِة أَيَّ ٍام ج َذالِ َك َكفَّ ٰـ َرةُ أَيْمٰ نِ ُك ْم إِ َذا َحلَ ْفتُ ْم
ِ َفَ َمنْ لَّ ْم يَ ِج ْد ف
5
tidak mutawatir, sekalipun masyhur, tidak dapat dijadikan hujjah, sehingga tidak
sependapat dengan golongan pertama. Maka dalam kasus ini dipandang tidak
ada muqayyad, karena itu lafad mutlaq diterapkan kepadanya.
b. Sebab sama namun hukum berbeda. Seperti kata “tangan” dalam wudhu’ dan
tayamum. Membasuh tangan dalam berwudhu’ dibatasi sampai dengan siku.
Seperti Q.S. al-Ma’idah: 6
ٰ
الصلوة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق يـأيها الذين أمنوا إذا قمتم إلى
ُفتي ّمموا صعيدا طيّبا فامسحوا بِ ُوجو ِهكم وأيد ْيكم منه
“....Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu...”
Dalam hal ini ada yang berpendapat, lafadz yang mutlaq tidak dibawa
kepada yang muqayyad karena berlainan hukumnya3. Namun al-Ghazali
menukil dari mayoritas ulama Syafi’i bahwa mutlaq disini dibawa kepada
muqayyad mengingat “sebab”nya sama sekalipun berbeda hukumnya.4
c. Sebab berbeda tetapi hukumnya sama, dalam hal ini ada dua bentuk:
Pertama, taqyid atau batasannya hanya satu. Misalnya pembebasan budak dalam
hal kafarah. Budak yang dibebaskan diisyaratkan harus budak “beriman” dalam
kafarah pembunuhan tak sengaja. Seperti Q.S.an-Nisa’: 92
من أن ي ْقت َل مؤْ ِمنًا إاّل خطـأ ً ج ومن قَتَ َل مؤمنًا خطـأ ً فتحريررقب ٍة ّمؤْ ِمنَ ٍة
ٍ ْوما كان لِمؤ
“dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain)
kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang
3
Abdul Karim Zaidan, Fi Ushul ul-Fiqh, Baghdad: Dar al-‘Arabiyah li al-Tiba’ah, 1997, h. 186.
4
Mannâ al-Qaththâan, Mabâhis fi ‘Ulủm Al-Quran, h. 246.
6
mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman....”
Sedang dalam kafarah zihar diungkapkan secara mutlaq dalam Q.S.al-Mujadalah:3
ٰ والّذين
ّ يظهرون من نّسآءهم ث ّم يعودون لِما قالوا فتحرير رقب ٍة ّمن قبل أن يتمآ
سا
“dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan
seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur...”
Dalam hal ini segolongan ulama, diantaranya ulama Maliki dan sebagian
besar ulama Syafi’i, berpendapat, lafadz yang mutlaq harus dibawa kepada yang
muqayyad tanpa memerlukan dalil lain. Oleh karena itu tidak cukup (sah)
memerdekakan budak yang kafir dalam kafarah dhihar dan melanggar sumpah.
Sementara itu golongan lain, yaitu ulama madhab hanafi berpendapat, lafadz yang
mutlaq tidak dapat dibawa kepada yang muqayyad kecuali berdasarkan dalil.
Maka dipandang telah cakup memerdekakan budak yang kafir dalam kafarah
dihar dan melanggar sumpah.
7
ayat : ( َوال َّذا ِك ِرين ﷲ َكثِ ْيرًاQ.S. al-Ahzab: 35), tanpa memerlukan dalil lain yang
َّ َو. Disamping alasan
datang dari luar. Jadi maksudnya adalah رًاQالذا ِك ِرين ﷲ َكثِ ْي
diatas juga mengingat bahwa orang Arab itu lebih menyukai penggunaan kata-
kata yang mutlaq bila telah ada yang muqayyad (dibatasi) karena cara demikian
dipandang telah memadai disamping agar perkataan itu padat dan ringkas. Allah
ِ ( َع ِن ْاليَ ِمseorang duduk disebelah
berfirman dalam Q.S.Qaf: 17 دQٌ ين َو َع ِن ال ِّش َما ِل قَ ِعي
kanan dan disebelah kiri). Maksudnya ialah ال قَ ِعي ٌد ِ َع ِن ْاليَ ِمي ِن َو َع ِن ال ِّش َم, akan tetapi
“qa’id” yang pertama tidak disebutkan karena sudah ditunjukkan oleh yang
kedua.
8
persyaratan demikian tidak ditunjukkan baik oleh nas (teks) Kitab maupun
Sunnah.
Demikian juga dalam kafarah dhihar, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-
Mujadalah: 4
“barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa
dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur......”
“Tetapi jika ia tidak mendapatkan (binatang kurban atau tidak mampu), maka
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah
pulang kembali.......”.
Kemudian datang pula ketentuan puasa secara mutlaq, tidak ditaqyidkan dengan
berturut-turut atau terpisah-pisah, bagi kafarah sumpah dalam Q.S.al-Ma’idah:
89
“Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafarahnya
puasa selama tiga hari”
9
َ ضا أَ ْو ع َٰلى
سفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِّمنْ أَيَّ ٍام أُ َخ َر ً فَ َمنْ َكانَ ِم ْن ُك ْم َّم ِر ْي
“maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain”.
Maka lafad yang mutlaq dalam hal ini tidak boleh dibawa kepada yang
muqayyad, sebab qayyid (pembatas)-nya berbeda-beda. Membawa mutlaq
kepada salah satu dari dua muqayyad itu merupakan tarjih atau menguatkan
sesuatu tanpa ada penguat.
d. Sebab berbeda dan hukum pun berlainan, seperti “tangan” dalm berwudhu’ dan
dalam pencurian. Dalam berwudhu’ ia dibatasi sampai dengan siku, sedang
dalam pencurian dimutlaqkan, tidak dibatasi, seperti tertuang dalam Q.S.al-
Ma’idah: 38
سا ِرقَةُ فَ ْقطَ ُع ْوآ أَ ْي ِديَ ُه َما
َّ ق َوال
ُ سا ِر
َّ وَال
Dalam keadaan seperti ini, mutlaq tidak boleh dibawa kepada muqayyid
karena “sebab” dan “hukum”-nya berlainan. Dalam hal ini tidak ada kontradiksi
(ta’arud) sedikit pun.
10
C. Ketentuan Mutlaq dan Muqayyad
Apabila lafal itu mutlaq, maka mengandung ketentuan secara mutlaq (tidak
dibatasi). Dan apabila lafal itu muqayyad, maka mengandung arti ketentuan secara
muqayyad (dibatasi). Maksudnya lafal yang mutlaq harus diartikan secara mutlaq dan
lafal yang muqayyad harus diartikan secara muqayyad pula dan tidak boleh dicampur-
adukkan satu dengan lainnya. Maka dengan sendirinya hukumnya pun harus berbeda.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ulama berpendapat bahwa hukum lafadz mutlaq itu tetap kepada kemutlakannya
selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafadz
muqayyad itu berlaku pada kemuqayyadannya. Jika lafadz mutlaq terdapat suatu dalil
maka tidak mutlaq lagi melainkan berubah menjadi muqayyad dengan adanya qayyid
sebagai penjelasannya. Ternyata ulama madhab berbeda pendapat dalam hal ketentuan
hukum antara mutlaq dan muqayyad adalah sama namun sebabnya berbeda, menurut
madhab Hanafi mutlaq tidak dibawa kemuqayyad, sedangkan menurut Syafi’i,Maliki,
dan Hambali mutlaq bisa dibawa kepada muqayyad.
12
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus, Ushul Fiqh, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.
Zaidan, Abdul Karim, Fi Ushul ul-Fiqh, Baghdad: Dar al-‘Arabiyah li al-Tiba’ah, 1997.
13