Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

PENGANTAR ILMU HADIS


Matakuliah: Studi Al Quran dan Hadis Hukum
Dosen Pengampuh: Dr. M. Ali Rusdi, S.Th.I, M.H.I

OLEH:

REZKI AMALIAH SYAFRUDDIN


2220203874130001
HJ. SALMAH
222020387410008

HAMZAH SAMIR
222020387410015

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PAREPARE
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah rahmat dan limpahannya sehingga kita

dapat menyelesaikan makalah ini dan tak lupa pula kita kirimkan shalawat serta salam atas

junjungan nabi besar Muhammad SAW nabi yang telah menjadi surih tauladan bagi kita

semua.

Adapun proses pembuatan makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan

tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan

makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada semua

pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan

baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang

dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin

memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah Pengantar Ilmu Hadis ini

dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap

pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Kelompok 1

Penulis

i
DAFTAR ISI

SAMPUL

KATA PENGANTAR.......................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah ................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Hadis .........................................................................3


B. Pembagian Ilmu Hadis..........................................................................5
C. Sejarah Ilmu Hadis..............................................................................11
D. Problematika Hadis dan Ulumul Hadis...............................................17
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .........................................................................................28
B. Saran....................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Setiap ajaran tentunya terdapat hukum-hukum yang mengikat para

pemeluknya, begitu juga dalam agama Islam terdapat beberapa sumber hukum yang

mengatur tingkah laku pemeluknya (muslim) dalam kegiatannya menjadi seorang

hamba dan khalifah di bumi. Sumber hukum Islam merupakan dasar utama untuk

mengambil ketetapan atau istinbat hukum. Oleh karenanya segala sesuatu yang

menjadi pokok permaslahan haruslah berdasarkan pada sumber hukum tersebut.

Sumber hukum pertama adalah Al-Qur’an, yaitu wahyu atau kalamullah yang

sudah dijamin keontentikannya dan juga terhindar dari intervensi tangan manusia.

Sehingga dengan penyucian tersebut meneguhkan posisi Al-Qur’an sebagai sumber

hukum yang utama. Sumber hukum selanjutnya adalah As-Sunnah atau Hadis Nabi

merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an yang setiap muslim wajib

mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya. Karena sifatnya

yang demikian maka mempelajari hadis juga merupakan keharusan bagi setiap muslim.

Umat Islam mengalami kemajuan pada zaman klasik (650-1250). Dalam

sejarah puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini

telah hidup ulama besar yang tidak sedikit jumlahnya baik di bidang tafsir, hadis, fiqhi,

ilmu kalam, filsafat, tasawuf sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya. Berdasarkan

bukti historis ini menggambarkan bahwa periwayatan dan perkembangan pengetahuan

hadis seiring dengan perkembangan pengetahuan lainnya.1

1
Daniel Juneid, Ilmu Hadis (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), h. 14.

1
Menatap prespektif keilmuan hadis ternyata ajaran hadis telah ikut mendorong

kemajuan umat Islam. Meskipun abab Al- Nuzul dan Asbab Al Wurud terbatas pada

peristiwa dan pertanyaan yang mendahului Nuzul (turun) Al-Qur’an dan Wurud

(disampaikannya) hadist, tetapi kenyataannya justru tercipta suasana keilmuan pada

hadis Nabi SAW. Tak heran jika pada saat ini muncul berbagai ilmu hadis serta

cabang-cabangnya untuk memahami hadis Nabi. Sehingga as- Sunnah sebagai sumber

hukum Islam yang kedua dapat dipahami serta diamalkan oleh umat Islam sesuai

dengan dimaksudkan oleh Rasulullah. Dalam kesempatan ini penulis akan membahas

hal tersebut.2

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalahnya meliputi:

1. Apa pengertian Ilmu Hadis?

2. Bagaimana pembagian Ilmu Hadis?

3. Bagaimana sejarah ilmu Ilmu Hadis?

4. Apa Problematika Hadis dan Ulumul Hadis?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui pengertian Ilmu Hadis

2. Untuk mengetahui pembagian Ilmu Hadis

3. Untuk mengetahui sejarah Ilmu Hadis

4. Untuk mengetahui apa Problematika Hadis dan Ulumul Hadis

2
Ash-Shiddieqy M Hasbi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis, Cet, 1991, 3.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ILMU HADIS

Kata ilmu hadis berasal dari bahasa Arab ilm al-hadits, yang terdiri atas kata

‘ilm dan hadist. Secara etimologi ilm berarti pengetahuan jamaknya ulum yang berarti

al yaqin (keyakinan) dan al-ma’rifah (pengetahuan). Menurut para ahli kalam

(mutakallimun), ilmu berarti keadaan tersingkapnya sesuatu yang diketahui (objek

pengetahuan). Tradisi di kalangan sebagian ulama, ilmu diartikan sebagai sesuatu

yang menancap dalam dalam pada diri seseorang yang dengannya ia dapat

menemukan atau mengetahui sesuatu. Adapun kata hadis berasal dari bahasa Arab al-

hadits berarti baru, yaitu sesuatu yang baru, bentuk jamak dari kata hadist dari kata

ini adalah hidats, hudatsa dan huduts dan antonimnya qadim (sesuatu yang lama) al-

hadist juga mengandung arti dekat yaitu sesuatu yang dekat, yang belum lama terjadi,

dan juga berarti berita yang sama dengan hiddits yaitu, sesuatu yang dipercakapkan

dan dipindahkan dari seseorang pada orang lain.

Secara terminologis, hadis oleh para ulama diartikan sebagai segala yang

disandarkan pada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan persetujuan ataupun sifat-

sifatnya. Nur Al-Din mendifinisikan hadis dengan segala seuatu yang disandarkan

kepada Nabi baik perkataan, perbuatan, ketetapan sifat-sifat, tabiat, dan tingkah

lakunya atau yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin. Dari pengertian diatas,

ilmu hadis dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji dan membahas tentang segala

yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan persetujuan ataupun

3
sifat-sifat, tabiat dan tingkah lakunya atau yang disandarkan kepada sahabat dan

tabiin. Ulama ushul menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis Nabi adalah

segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi setelah Muhammad diangkat sebagai

Nabi oleh Allah swt. Oleh karena itu menurut para ulama ushul perkataan, perbuatan

ataupun taqrir Nabi sebelum Muhammad diangkat menjadi nabi tidaklah

dikategorikan sebagai hadis, sebab tujuan hadis nabi adalah contoh perbuatan dengan

segenap tuntutan hukumnya, apakah diikuti atau tidak diikuti . 3 Dari beberapa definisi

di atas para ulama hadits banyak memberikan pengertian mengenai ilmu hadist

diantaranya Ibnu Hajar Al-Asqalani mengemukakan bahwa ilmu hadits yaitu

mengetahui kaidah-kaidah yang dijadikan sambungan untuk mengetahui (keadaan)

perawi dan yang diriwayatkan atau Ilmu yang mempelajari tentang keterangan suatu

hal yang dengan hal itu kita dapat mengetahui bahwa hadis itu diterima atau tidak.

Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadis adalah ilmu yang

membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan. Perawi

adalah orang-orang yang membawa, menerima, dan menyampaikan berita dari Nabi,

yaitu mereka yang ada dalam sanad suatu hadis. Bagaimana sifat-sifat mereka,

apakah bertemu langsung dengan pembawa berita atau tidak, bagaimana sifat

kejujuran dan keadilan mereka, dan bagaimana daya ingat mereka, apakah sangat

kuat atau lemah. Sedangkan maksud yang diriwayatkan (marwî) terkadang guru-guru

perawi yang membawa berita dalam sanad suatu hadis atau isi berita (matan) yang

diriwayatkan, apakah terjadi keganjilan jika dibandingkan dengan sanad atau matan

perawi yang lebih kredibel (tsiqah). Dengan mengetahui hal tersebut, dapat diketahui

3
Idri, Study Hadis (Jakarta: Prenada Media Group 2010 ), h. 53.

4
mana hadis yang shahih dan yang tidak shahih. Ilmu yang berbicara tentang hal

tersebut disebut ilmu hadis.4

B. PEMBAGIAN ILMU HADIS

Secara garis besar menurut kajian mutaakhirun ilmu hadis terbagi menjadi

dua, yaitu ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.

1. Ilmu Hadis Riwayah

Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Maka ilmu hadis riwayah

artinya ilmu berupa periwayatan. Secara terminologis, Ilmu hadis riwayah ialah

ilmu yang mencakup perkataan dan perbuatan nabi, periwayatannya,

pemeliharaannya, dan penulisan atu pembukuan lafad-afadnya. Ilmu hadis

riwayah ini berkisar pada bagaimana cara-cara penukilan hadis yang dilakukan

oleh para ahli hadis, bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain dan

membukukan hadis dalam suatu kitab.Dengan definisi tersebut dapat dikatakan

ilmu hadis riwayah ialah pengetahuan tentang hadis itu sendiri. Obyek ilmu

riwayah adalah pribadi nabi, yakni perkataan, perbuatan, taqrir dan sifatnya dan

membicarakan bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada porang lain,

memindahkan dan mentadwinkan hadis. Adapun kegunaan mempelajari ilmu

hadis riwayah ialah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari

sumbernya, yaitu Nabi saw. Perintis ilmu hadis riwayah ini ialah Muhammad bin

Syihab Az-Zuhri (wafat tahun 124 H.).5

4
Muhammad Zubaidillah, “Pengantar Dan Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis,” Study Hadis vol.1,
no. no.1 (2018),h.10.
5
Utang Ranuwijaya, ilmu hadis,( Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996), 74.

5
Para ulama mendifinisikan ilmu hadis riwayah sebagai berikut:

a. Muhammad Ajjaj al-Khathib mendefinisikan ilmu hadis riwayah adalah

ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang segala yang disandarkan pada

Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat

fisik atau psikis dengan pengkajian yang detail dan terperinci.

b. Ibn al-Afkani sebagaimana dikutip al Suyuti menyatakan bahwa definisi

ilmu hadis riwayah adalah ilmu pengetahuan yang mencakup (pembahasan)

tentang perkataan-perkataan Nabi SAW, dan perbuatan-perbutannya,

periwayatan dan pemeliharaannya serta penguraian lafal-lafalnya.

c. Muhammad Abu Syihab dalam kitabnya al-Wasith fi Ulum wa Musthahalah

al-Hadits mendefinisiakan ilmu hadis riwayah yaitu ilmu pengetahuan yang

mencakup (pembahasan) tentang sesuatu yang dinukil dari nabi SAW, baik

berupa perkataan, perbuatan, persetujuan/ketetapan ataupun sifat fisik dan

psikis.

d. Al-Zarqani sebagaimana dikutih Subhi al Shalih mendifinisikan ilmu hadis

riwayah yaitu ilmu hadis riwayah mengupayakan pengutipan bebas dan

cermat bagi segala yang disandarkan pada Nabi SAW, baik berupa

perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat atau segala yang sidandarkan pada

sahabat dan sahih.6

Beberapa definisi ilmu hadis riwayah di atas menunjukkan bahwa ilmu

hadis tersebut mengkaji tentang segala yang disandarkan pada Nabi SAW. baik

berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat fisik atau psikis, selanjutnya

6
Ayat Dimyanti dan Beni Ahmad Saebani, Teori Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia 2016), h. 28

6
pengkajian dilakukan secara detail dan terperinci, kemudian pengkajian dan

pengutipan dilakukan secara bebas dan cermat serta mengkaji pula segala yang

disandarkan pada sahabat dan tabiin .

Tujuan ilmu hadis riwayah adalah menghindari kekeliruan dan kesalahan

dalam proses periwayatan, penulisan dan pembukuannya. Dengan semikian,

kemurnian hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. dapat terpelihara dan hukum-

hukumnya dapat diamalkan dengan harapan mendekati sunnahnya. Sejalan

dengan perintah Allah SWT. agar menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai

suri teladan dalam setiap kehidupan.

2. Ilmu Hadis Dirayah

Ilmu Hadits Dirayah atau disebut juga dengan Ilmu Musthalah al-Hadits.

Istilah ilmu al-Hadits atau disebut juga ilmu dirayah al-Hadits menurut As-Shuyuti,

muncul seterlah masa al-Khatib Al-Bagdadi, yaitu masa Ibn al-akfani. Ilmu ini

dikenal juga dengan sebutan ilmu ushul al-Hadits, ulama al Hadits, musthahalah al-

Hadits, dan qoaid at-Tahdis.

Para ulama memberikan definisi yang bervariasi terhadap ilmu hadis

Dirayah ini akan tetapi, apabila dicermati definisi- definisi yang mereka

kemukakan, terdapat titik persamaan di antara satu dan lainnya, terutama dari segi

sasaran kajian dan pokok-pokok bahasannya. Muh. Mahfudh At-Turmusy, dalam

pendapatnya yaitu “Undang-undang (kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal ihwal

sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan Al-Hadits, sifat-sifat rawi

dan lain sebagainya”. Selanjutnya Ibn al-Akfani memberikan definisi ilmu dirayah

adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-

7
macam, dan hukum-hukumnya, kedaan para perawi, syarat-syarat mereka jenis yang

diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. 7

Objek Ilmu Hadits Dirayah adalah meneliti kelakuan para perawi dan keadaan

marwinya (sanad dan matannya). Menurut sebagian Ulama, yang menjadi objeknya adalah

Rasulullah sendiri dalam kedudukannya sebagai Rasul Allah.Kajian terhadap masalah-

masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut Naqd as Sanad atau kritik ekstern.

Disebut demikian karena yang dibahas dalam ilmu ini adalah akurasi (kebenaran) jalur

periwayatan, mulai sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menulis dan

membukukan Hadits tersebut. Sementara itu kajian terhadap masalah yang menyangkut

matan disebut Naqd al-Matn (kritik matan) kritik intern karena yang dibahas adalah materi

Hadits itu sendiri, yakni perkataan, perbuatan, atau ketetapan Rasulullah SAW. 8

Pembahasan tentang sanad meliputi : pertama segi persambungan sanad

(ittishal as-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad Hadits haruslah bersambung,

mulai dari sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menuliskan atau

membukukan Hadits tersebut. Oleh karenanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian

sanad tesebut yang teputus, tersembunyi. Atau tidak diketahui identitasnya atau

tesamar, kedua, segi keterpercayaan sanad (tsiqat as-sana’a), yaitu bahwa setiap

perawi yang tedapat didalam sanad suatu Hadits harus memiliki sifat adil dan

dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi Haditsnya), ketiga segi

keselamatannya dari kejanggalan (syadz), keempat keselamatan dari cacat (illat),

dan kelima tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.

7
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 3.
8
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT ALMA‟ARUF, 1974), h. 75.

8
Sedangkan pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi keshahih-an

atau ke-dhabit-an. Hal tersebut dapat dilihat melalui kesejalanannya dengan makna

dan tujuan yang tekandung didalam Al-Qur’an, atau keselematannya dari; pertama

kejanggalan redaksi (rakakat al-fadz), kedua dari cacat atau kejanggalan pada

maknanya (fasad al-makna), karena bertentangan dengan akal dan panca indera,

atau dengan kandungan dan makna Al-Qur’an, atau dengan fakta sejarah, dan

ketiga dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa di fahami

berdasarkan maknanya yang umum dikenal.9

Sedangkan faedah mempelajari ilmu Hadis dirayah adalah :

a. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa

Rasul SAW sampai sekarang.

b. Mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam

mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadis.

c. Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam

mengklasifikasikan hadis lebih lanjut.

d. Mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, criteria-kriteria hadis sebagai pedoman

dalam menetapkan suatu hukum syara’. 10

Dari uraian Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah tersebut, terdapat

keterkaitan yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan

karena setiap periwayatan terdapat kaidah-kaidah yang dipakai, baik dalam penerimaannya

maupun penyampaiannya kepada pihak lain. Dari Ilmu Hadits Riwayat dan Ilmu Hadits

9
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia indonesia, 2010), h. 75.
10
Utang Ranuwijaya, MA. Ilmu Hadis, ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996 ), h.78.

9
Dirayah itu berkembang menuju kesempurnaannya, sehingga muncul cabang-cabang ilmu

Hadits lainnya, seperti :

1) Ilmu al-jarh wa al-ta’dil, yakni ilmu yang membahas tentang penilaian terhadap

periwayat hadis sehingga akan diketahui tingkatan para periwayat hadis, baik dari

segi ke siqah-annya maupun dari segi kedhaifannya. Diantara beberapa karya ulama

dalam ilmu ini adalah Al Sigat karya Ibn Hibban, Tarikh al-Kabir, Tarikh al-Ausat,

dan Tarikh al-Shagir yang semuanya merupakan karya Al-Bukhari, Al-Jarh wa al-

Ta’dil karya ibnu Abi Hatim Al Razi dan masih banyak karya-karya ulama yang

lain.

2) Ilmu Rijal al-Hadis, yakni ilmu yang membahas tentang periwayatan hadis dari segi

kapasitas mereka sebagai seorang periwayat hadis. Diantara beberapa karya ulama

yang terkait dengan ilmu ini adalah, Usd al-Gabah fi Asma al-Shahabah karya Ibn

Hajar al-Asqalani dan lain-lain.

3) Ilmu Mukhtalaf al-Hadis, yakni ilmu yang membahas tentang bagaimana

mengkompromikan hadis-hadis yang secara lahiriah Nampak bertentangan, diantara

beberapa karya ulama dalam bidang ilmu ini adalah Ikhtilaf al-Hadis karya al-

Syafi’I, Ta’wil Muhktalaf al-Hadis karya Ibnu Qutaibah.

4) Ilmu Ilal al-Hadis, yakni ilmu yang membahas tentang sebab-sebab yang samar

dan tidak Nampak yang dapat merusak ke-shahihan hadis, diantara beberapa kitab

yang membahas tentang ilmu ini adalah Ilal al-Hadis wa Ma’rifah al-Rijal wa al-

Tarikh karya Ali bin al-Madini dan Ilal al-Hadis karya ibn Abi Hatim al-Razi

5) Ilmu Gharib al-Hadis, yakni ilmu yang membahas tentang sesuatu yang samar dan

susah dipahami oleh kebanyakan orang di dalam sebuah hadis. Diantara beberapa

10
kitab yang berbicara rentang ilmu ini adalah al-Fa’iq fi Garib al-Hadis wa al-Asar

karya Ibn al-Asir.

6) Ilmu Nasikh al-Hadis wa Mansukkhuh, yakni ilmu yang menerangkan tentang

hadis-hadis yang Nampak bertentangan tapi lemudian dapat dikompromikan denga

cara satu iwayat mengganti atau menghapus (nasikh) hukum dari riwayat yang lain

(mansukh) ilmu ini adalah Naikh al-Hadis wa Mansukhuhu karya Ahmad bin Ishaq

al-Dinari dan Al-Nasikh wa al Manukh fi al-Hadis al Syarif karya Ibnu Jauzi.11

C. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADIS

Sesuai dengan perkembangan hadis, ilmu hadis selalu mengiringinya sejak masa

Rasulullah S.A.W, sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Ilmu hadis

muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan hadis yang disertai dengan tingginya

perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada mereka.

Dengan cara yang sangat sederhana, ilmu hadis berkembang sedemikian rupa seiring dengan

berkembangnya masalah yang dihadapi. Pada masa Nabi SAW masih hidup di tengah-tengah

sahabat, hadis tidak ada persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam

suatu masalah mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek kebenarannya atau

menemui sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasinya. Setelah itu, barulah

mereka menerima dan mengamalkan hadis tersebut.

Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadis, tetapi para peneliti

hadis memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Alquran dan hadis Rasulullah S.A.W. Misalnya

firman Allah S.W.T dalam Q.S. Al-Hujurat/49: 6.

11
Muhammad Ismail, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2020), h.
91.

11
        
        
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu
berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.

Demikian juga dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 282.

        


         
         
           
          
      
        
       
           
          
         
        
          
  
            
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis
di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-
orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka
yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai
yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak

12
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan
saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita

yang datang dibawa seorang fasik yang tidak adil. Tidak semua berita yang dibawa

seseorang dapat diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa isi berita

tersebut. Jika pembawanya orang yang jujur, adil, dan dapat dipercaya maka

diterima. Akan tetapi sebaliknya, jika pembawa berita itu orang fasik, tidak objektif,

pembohong dan lainlain, maka tidak diterima karena akan menimpakan musibah

terhadap orang lain yang menyebabkan penyesalan dan merugikan. Setelah

Rasulullah SAW wafat, para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis

karena konsentrasi mereka kepada Alquran yang baru dikodifikasi pada masa Abu

Bakar tahap awal, khalifah Abu Bakar tidak mau menerima suatu hadis yang

disampaikan oleh seseorang, kecuali orang tersebut mampu mendatangkan saksi

untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya. Dan masa Utsman

tahap kedua, masa ini terkenal dengan masa taqlîl ar-riwayâh (pembatasan

periwayatan), para sahabat tidak meriwayatkan hadis kecuali disertai dengan saksi

dan bersumpah bahwa hadis yang ia riwayatkan benar-benar dari Rasulullah SAW.

Para sahabat merupakan rujukan yang utama bagi dasar ilmu riwayah hadis.

Yakni, karena hadis pada masa Rasulullah SAW merupakan suatu ilmu yang

didengar dan didapatkan langsung dari beliau, maka setelah beliau wafat hadis di

sampaikan oleh para sahabat kepada generasi berikutnya dengan penuh semangat

dan perhatian sesuai dengan daya hafal mereka masing-masing. Para sahabat juga

telah meletakkan pedoman periwayatan hadis untuk memastikan keabsahan suatu

13
hadis. Mereka juga berbicara tentang para rijal-nya, hal ini mereka tempuh supaya

dapat diketahui hadis makbul untuk diamalkan dan hadis yang mardud untuk

ditinggalkan. Dan dari sini muncullah mushthalah al-hadits.

Pada masa awal Islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadis

karena orangnya masih jujur-jujur dan saling mempercayai satu dengan yang lain.

Akan tetapi, setelah terjadinya konflik fisik (fitnah) antar elite politik, yaitu antara

pendukung Ali dan Mu’awiyah dan umat berpecah menjadi beberapa sekte; Syi’ah,

Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah itu mulailah terjadi pemalsuan hadis

(hadis mawdhû’) dari masingmasing sekte dalam rangka mencari dukungan politik

dari masa yang lebih luas. Melihat kondisi seperti hal di atas para ulama bangkit

membendung hadis dari pemalsuan dengan berbagai cara, di antaranya rihlah

checking kebenaran hadis dan mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku

mendapat hadis harus disertai dengan sanad.

Keharusan sanad dalam penyertaan periwayatan hadis tidak diterima,

tuntutan yang sangat kuat ketika Ibnu Asy-Syihab Az-Zuhri menghimpun hadis dari

para ulama di atas lembaran kodifikasi. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa

periwayatan hadis tidak di terima, kecuali disertai sanad. Pada periode Tabi’in,

penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya

masalah-masalah matan yang para Tabi’in hadapi. Demikian juga dikalangan

ulama-ulama hadis selanjutnya. Perkembangan ilmu hadis semakin pesat ketika ahli

hadis membicarakan tentang daya ingat para pembawa dan perawi hadis kuat atau

tidak (dhâbit), bagaimana metode penerimaan dan penyampaiaan (thammul wa

adâ), hadis yang kontra bersifat menghapus (nâsikh dan mansûkh) atau kompromi,

14
kalimat hadis yang sulit dipahami (gharîb al-hadîts), dan lain-lain. Akan tetapi,

aktivitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara lisan (syafawî)

dari mulut ke mulut dan tidak tertulis. Ketika pada pertengahan abad kedua Hijriyah

sampai abad ketiga Hijriyah, ilmu hadis mulai di tulis dan dikodifikasi dalam

bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri,

masih campur dengan ilmu-ilmu lain atau berbagai buku atau berdiri secara

terpisah. Tetapi pada dasarnya, penulisan hadis baru dimulai pada abad kedua

Hijriyah.12

Imam Syafi’i adalah ulama pertama yang mewariskan terori-teori ilmu

hadisnya secara tertulis sebagaimana terdapat dalam karyanya. Misalnya ilmu hadis

bercampur dengan ilmu ushul fiqih, seperti dalam kitab Ar-Risâlah yang ditulis oleh

Asy-Syafi’i, atau campur dengan fiqih seperti kitab Al-Umm. Dan solusi hadis-

hadis yang kontra dengan diberi nama Ikhtilâf Al-Hadîts karya Asy-Syafi’i (w. 204

H). Hanya saja, teori ilmu hadisnya tidak terhimpun dalam pembahasan kitab Ar-

Risâlah dan kitab Al-Umm. Sesuai dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadis

yang disebut pada masa kejayaan atau keemasan hadis, yaitu pada abad ketiga

Hijriyah, perkembangan penulisan ilmu hadis juga pesat, karena perkembangan

keduannya secara beriringan. Namun, penulisan ilmu hadis masih terpisah-pisah,

belum menyatu dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, ia masih dalam bentuk bab-

bab saja. Mushthafa As-Siba’i mengatakan orang pertama kali menulis ilmu hadis

adalah Ali bin Al-Madani, syaikhnya Al-Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi. Dr.

Ahmad Umar Hasyim juga menyatakan bahwa orang pertama yang menulis ilmu

12
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis (Ponorogo: IAIN Ponorogo Press, 2018), h. 67.

15
hadis adalah Ali bin Al-Madani dan permasalahannya sebagaimana yang ditulis

oleh Al-Bukhari dan Muslim.8 Di antara kitab-kitab ilmu hadis pada abad ini adalah

kitab Mukhtalif Al-Hadîts, yaitu Ikhtilâf Al-Hadîts karya Ali bin Al-Madani, dan

ta’wîl Mukhtalif Al-Hadîts karya Ibnu Qutaibah (w. 276 H).

Kedua kitab tersebut ditulis untuk menjawab tantangan dari serangan

kelompok teolog yang sedang berkembang pada masa itu, terutama dari golongan

Mu’tazilah dan ahli bid’ah. Di antara ulama ada yang menulis ilmu hadis pada

mukadimah bukunya seperti Imam Muslim dalam kitab Shahîh-nya dan At-Tirmidzi

pada akhir kitab Jâmi’-nya. Di antara mereka Al-Bukhari menulis tiga Târîkh, yaitu

At-Târîkh Al-Kabîr, At-Târîkh AlAwsâth dan At-Târîkh Ash-Shaghîr, Muslim

menulis Thabaqât At-Tâbi’in dan Al-‘Ilal, AtTirmidzi menulis Al-Asmâ’ wa Al-

Kunâ dan KitâbAt-Tawârikh, dan Muhammad bin Sa’ad menulis Ath-Thabaqât Al-

Kubrâ. Dan di antara mereka ada yang menulis secara khusus tentang periwayat

yang lemah seperti Ad-Dhu’afâ’ ditulis oleh Al-Bukhari dan Ad-Dhu’afâ’ ditulis

oleh An-Nasa’i, dan lain-lain. Banyak sekali kitab-kitab ilmu hadis yang ditulis oleh

para ulama abad ke-3 Hijriyah ini, namun buku-buku tersebut belum berdiri sendiri

sebagai ilmu hadis, ia hanya terdiri dari bab-bab saja. Perkembangan ilmu hadis

mencapai puncak kematangan dan berdiri sendiri pada abad ke-4 H yang merupakan

penggabungan dan penyempurnaan berbagai ilmu yang berkembang pada abad-abad

sebelumnya secara terpisah dan berserakan. Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan

bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (w. 360 H) adalah orang yang

pertama kali memunculkan ilmu hadis yang berdiri sendiri dalam karyanya Al-

Muhaddits Al-Fâshil bain Ar-Râwî wa Al-Wâî. Akan tetapi, tentunya tidak

16
mencakup keseluruhan permasalahan ilmu, kemudian diikuti oleh Al-Hakim Abu

Abdullah An-Naisaburi (w. 405 H) yang menulis Ma’rifah “ulûm Al-Hadîts tetapi

kurang sistematik, Al-Khathib Abu Bakar Al-Baghdadi (w. 364 H) yang menulis

Al-Jâmi li Adâb Asy-Syaikh wa As-Sâmi’ dan kemudian diikuti oleh penulis-

penulis lain.13

D. PROBLEMATIKA HADIS DAN ULUMUL HADIS

Pengkajian hadis merupakan hal yang menarik dan tidak mengenal kata

“mapan”. Sebuah kesimpulan yang melahirkan teori baru bukanlah akhir dari

sebuah pengkajian melainkan sebuah tawaran baru yang memicu lahirnya kritikan,

bantahan bahkan penolakan. Hal tersebut merupakan hal yang wajar, karena

banyaknya sudut pandang orang menilainya. Di antara alasan kenapa hadis

senantiasa dikritisi adalah banyaknya celah dalam sejarah periwayatan hadis.

Menurut Waryono Abdul Ghafur, kritikan terhadap hadis muncul dari faktor

kesejarahannya yang jauh berbeda dengan kesejarahan al-Qur’an, antara lain: 1)

Faktor pendokumentasian dan pencatatan, dimana hadis didokumentasikan setelah

melewati fase dua generasi lebih, sehingga sumber pertama setelah nabi yakni

sahabat, hampir tidak ditemukan lagi, ditambah lagi penulisan hadis hanya menjadi

pekerjaaan sebagian sahabat saja, sedangkan al-Qur’an telah didokumentasikan

sejak zaman Nabi dan penulisan al-Qur’an adalah pekerjaan publik; 2) Periwayatan

al-Qur’an dilalui dengan tanpa keterputusan antara sumber pertama dan sumber
13
Muhammad Zubaidillah, Pengantar Dan Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis, dalam Jurnal Studi
Hadis, Volume 1,No1 Mei 2018, h.7.

17
berikutnya sedangkan hadis tidak demikian, bahkan bila dikalkulasi, jumlah hadis

yang mutawatir lebih sedikit dibandingkan keseluruhan hadis yang kebanyakan

lebih bersifat ahad; 3) Periwayatan hadis mengenal periwayatan secara makna, hal

ini mengakibatkan adanya beberapa versi redaksi hadis yang memiliki konsekuensi

dan implikasi yang luas. Bahkan, mungkin jumlah periwayatan hadis dengan makna

ini lebih banyak daripada yang menggunakan kata-kata langsung dipakai oleh Nabi;

sedangkan al-Qur’an tidak mengenal periwayatan secara makna; 4) Tidak adanya

jaminan dari Tuhan untuk menjaga keotentikan hadis seperti al-Qur’an, dan terbukti

dalam sejarah hadis terdapat pemalsuan hadis; 5) Berbeda dengan al-Qur’an,

walaupun dalam hadis ada kitab-kitab standar, tetapi tetap saja tidak dikenal kitab

hadis resmi sebagaimana al- Qur’an.

M. Syuhudi Ismail menyatakan bahwa waktu penulisan hadis secara resmi

dengan wafatnya Nabi adalah 90 tahun. Demikian halnya dengan Ulumul Hadis,

tidak luput dari kritikan mengingat ia lahir pada awal abad kedua dimana

kelahirannnya ditandai dengan adanya upaya pembuatan kaedah-kaedah untuk

mengukur kualitas hadis. Seiring dengan perkembangan zaman, problematika hadis

dan ulumul hadis juga sangat luas. Olehnya itu, kllasifikasi beberapa problem

sebagai berikut:

a) Problem Hadis Perspektif Sarjana Barat

Ketika sarjana Barat memasuki domain penelitian tentang sumber dan asal

usul Islam, mereka dihadapkan pada pertanyaan tentang apakah dan sejauhmana

hadis -hadis atau riwayat tentang nabi dan generasi Islam pertama dapat dipercaya

secara historis? Pada fase awal kesarjanaan Barat, mereka menunjukkan

18
kepercayaan yang tinggi terhadap literatur hadis dan riwayat- riwayat tentang nabi

dan generasi Islam awal. Tetapi sejak paruh kedua abad kesembilan belas,

skeptisisme tentang otentisitas sumber tersebut muncul. Bahkan sejak saat itu

perdebatan tentang isu tersebut dalam kesarjanaan Barat didominasi oleh

kelompok skeptis. Kontribusi sarjana seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht,

Wansbrough, Patricia Crone, Michael Cook dan Norman Calder berpengaruh

secara dramatis terhadap karya karya sarjana Barat. Akan tetapi, tidak semua

sarjana Barat dapat digolongkan dalam aliran atau “mazhab“ skeptis. Sarjana

seperti Joseph Van Ess, Harald Motzki, Miklos Muranyi, M.J. Kister, Fueck,

Schoeler bereaksi keras terhadap sejumlah premis, kesimpulan dan methodologi

para kelompok skeptis. Mereka dapat digolongkan sebagai kelompok non-skeptis.

Perdebatan antara kedua kelompok ini sangat tajam selama dua dekade terahir.6

Singkatnya, diskursus hadis di Barat selalu merujuk kepada nama Ignaz Goldziher

(Hongaria) dan Joseph Schacht (Austria), dan untuk yang masih hidup G.H.A.

Juynboll (Belanda), Harald Motzki (Jerman) dan beberapa nama yang lain. Di

mata orientalis, kedua nama yang pertama dianggap seperti Ibn al-Salah (pendekar

ulum al-hadith Muslim) atau Ibn Hajar dalam dunia Islam. Sedangkan G. H. A.

Juynboll dan Harald Motzki, dianggap (kurang lebih) seperti Muhammad Shakir,

al-Albani dan al-Saqqaf atau al-Gumari dalam dunia Islam. Kedua nama pertama

(Goldziher dan Schacht) telah wafat, tapi meninggalkan pengaruh global dan

menciptakan mazhab skeptis di Barat.

Di masa Goldziher (Mohammedanische Studien,1890) dan Schacht (The

Origins 1950), mayoritas sarjana Barat untuk tidak mengatakan semua, skeptis

19
terhadap literatur Islam, termasuk hadis. Diskursus masa awal Islampun (abad

pertama kedua) dianggap tidak tersentuh karena minusnya sumber yang tersedia

untuk itu. Secara umum, mazhab skeptis berpendapat bahwa pengetahuan dan

informasi tentang masa awal Islam (abad pertama kedua hijriah) hanyalah

persepsi komunitas Muslim abad ketiga. Literatur yang ada tidak lebih dari

sekedar refleksi peta konflik yang tidak dapat memantulkan realitas seperti

digambarkan oleh sumber itu sendiri.7 Dari pemaparan di atas, dapat dipahami

bahwa aspek kesejarahan merupakan hal yang penting dalam perbincangan

sarjana Barat. Mereka melakukan rekonstruksi sejarah untuk melihat sejauh mana

literatur abad ketiga dapat memberikan informasi akurat tentang abad pertama dan

kedua hijriah. Ironisnya, kesadaran historis di kalangan ulama hadis terhitung

rendah. Indikatornya adalah bahwa usaha untuk mengkaji aspek kesejarahan hadis

secara serius baru dilakukan pada abad XV H, melalui karya al-Khawliy. Kajian

lainnya dalam bidang ini diantaranya adalah yang dilakukan oleh Subhiy al- Salih,

M.M al-A’zamiy, Mustafa al-Sibaiy dan Muhammad Abu Zahwi. Adapun tema-

tema yang sering diperbincangkan dalam kaitannya dengan aspek kesejarahan

hadis adalah penulisan hadis, pemalsuan hadis dan pemakaian isnad.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa pada masa Rasul, hadis tidak

dibukukan sebagaimana halnya al-Qur’an, melainkan hanya terpelihara dalam

hapalan para sahabat yang kemudian meriwayatkanya secara lisan kepada

generasi berikutnya. Demikianlah masa sahabat kemudian berakhir dan hadis

tidak dibukukan kecuali dalam ukuran yang sangat terbatas.8 Sedangkan usaha

pemalsuan hadis ditengarai muncul pertama kali sekitar tahun 40 H yang

20
merupakan ekses dari persoalan politik yang terjadi pada akhir pemerintahan

Usman Ibn Affan (w. 35 H). Kegiatan ini kemudian semakin meluas dengan motif

yang beragam dan corak pemalsuan yang berbeda-beda pula.9 Dengan demikian,

dapat dipahami bahwa salah satu celah hadis dan ulumul hadis menuju pembaruan

adalah aspek kesejarahan, di mana aspek tersebut melewati rentang waktu yang

cukup panjang, yang memungkinkan lahirnya berbagai macam masalah di

dalamnya seperti pemalsuan hadis

b) Problem Hadis dan Ulumul Hadis dari Aspek Metodologi

Metode yang digunakan oleh para sarjana Muslim klasik untuk

menyandarkan sebuah hadis kepada nabi tidak mendapat tantangan signifikan dari

sarjana Muslim modern. Memang terdapat sejumlah sarjana modern yang

mencoba menunjukkan resistensinya terhadap ulumul hadis, tetapi mereka gagal

mendapatkan simpati mayoritas sarjana Muslim. Informasi tentang Nabi yang

terekam dalam buku-buku hadis laksana pecahan-pecahan kaca yang harus

direkonstruksi supaya dapat memantulkan berita-berita akurat tentang Nabi.

Meskipun hadis-hadis tersebut telah diseleksi oleh para kolektornya (misalnya al-

Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibn Majah, Abu Daud, Nasai dll). Namun, kenyataan

bahwa para kolektor ini hidup pada abad ke III H. (dua ratus tahun lebih setelah

nabi wafat). Pertanyaan epistimologis muncul: sejauh mana tingkat akurasi

metodologi para kolektor ini dalam menyeleksi hadis- hadisnya? Apakah

metodologi mereka sama dengan metodologi yang populer kita kenal dengan

ulumul hadis? Al-Bukhari yang dikenal sebagai the man of hadis, misalnya, tidak

pernah menjelaskan metodologinya secara detail. Ulum al-hadis yang menurut

21
mayoritas sarjana Islam sangat akurat, menyimpan sejumlah pertanyaan-

pertanyaan epistimilogis yang tidak terjawab secara empiris. Ulum al-hadis

diterima dan dianggap sesuatu yang taken for granted.

Kecenderungan sebagian di antara kita adalah menolak atau menerima

sebuah hadis tanpa meneliti historisitasnya. Apabila sebuah hadis disebutkan

dalam Sahih al-Bukhari atau Muslim, apalagi kalau keduanya menyebutkannya,

lebih-lebih lagi kalau disebutkan juga dalam al-kutub al-sitta atau al-tis’a, maka

tidak diragukan lagi hadis tersebut menurut mayoritas sarjana Islam, sahih,

sehingga analisis historis terhadapnya tak lagi penting. Benarkah sikap seperti itu?

Terdapatnya sebuah hadis dalam sejumlah kitab- kitab hadis bukanlah jaminan

akan historisitasnya, karena boleh jadi hadis tersebut diriwayatkan secara massive

pada generasi tertentu (paruh kedua abad kedua dan seterusnya sampai ke masa

mukharrij), tapi pada generasi sebelumnya (paruh pertama abad ke II dan

sebelumnya sampai masa Nabi) diriwayatkan secara ahad (single strand).

Singkatnya, semua hadis yang terekam dalam kitab hadis harus tunduk pada kritik

sejarah. Secara umum literatur hadis kita memiliki karakter sebagai berikut:

Nabi-----satu Sahabat----- -satu Tabiin----satu fulan- satu fulan------sejumlah

perawi sampai ke mukharrij (collector).

Terdapat sejumlah inkonsistensi metode kritik hadis. Ada gap yang cukup

mengganggu antara teori dan fakta, antara teori ulumul hadis dengan keadaan

objektif literatur hadis. Kalau teori ulumul hadis diaplikasikan secara ketat, bisa

jadi kualitas literatur hadis menurun secara sangat signifikan. Contoh sederhana,

teori ulumul hadis mengajarkan kepada kita bahwa riwayat seorang mudallis tidak

22
bisa dijadikan hujjah apabila ia tidak berterus terang atau ia tidak menyatakan

secara tegas sumber informannya, misalnya dengan mengatakan ’an atau

sejenisnya, kecuali kalau riwayat tersebut dikuatkan oleh riwayat perawi lain yang

thiqah. Mari kita menguji teori ini secara praktis dalam literatur hadis dengan

mengambil contoh kasus Abu Zubayr. Abu Zubayr, seorang Tabiin yang diklaim

oleh mayoritas kritikus hadis sebagai mudallis. Dengan berpedoman pada teori

tersebut, semua hadis yang diriwayatkannya secara tidak langsung (misalnya

dengan menggunakan kata- kata ’an dan sejenisnya) tidak bisa dijadikan hujjah

(dalil yang kuat), kecuali kalau ada hadis lain yang menguatkannya. Dalam kitab-

kitab hadis, kutub al- sitta, misalnya, ditemukan ratusan hadis yang diriwatkan

oleh Abu Zubayr, dimana dia tidak menjelaskan cara penerimaannya apakah

lansung dari informannya atau tidak.13 Selanjutnya, metode membandingkan

riwayat menurut versi ulumul hadis tidak selamanya diterapkan oleh para kolektor

hadis. Hal ini diketahui apabila riwayat para perawi dibandingkan dengan riwayat

lain. Kenyataan ini menunjukkan betapa pentingnya mencari metodologi alternatif

di samping ulumul hadis dalam menentukan kualitas hadis, karena hemat penulis,

menyandarkan hadis kepada nabi, yang sesungguhnya tidak pernah diucapkan

olehnya, sama dosanya dengan mendustakan hadis Nabi. Karenanya penelitian

terhadap historisitas dan otentisitasnya harus selalu dilakukan. Sekali lagi, untuk

tujuan tersebut maka pengembangan metodologi menjadi tuntutan yang sangat

mendesak. Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa hadis yang terangkum

dalam kutub al-sitta, al-tis’a sebagai kitab standar bukan berarti bebas dari

kritikan. Bahkan dari kitab tersebut dapat ditemukan hadis-hadis da’if bilamana

23
standarisasi ulumul hadis diterapkan. Demikian juga ulumul hadis dimana masih

menyisakan berbagai problem dan kritikan untuk diperbaiki.

c) Problem pada Aspek Otentisitas Hadis

Aspek otentisitas hadis atau keaslian literatur hadis menjadi elemen yang

paling rawan dari teori hadis klasik dan menjadi fokus utama dalam kebanyakan

diskusi tentang masalah hadis, baik di era pertengahan maupun modern.15

Pembahasan ini muncul dan berkembang karena sesuai dengan pendapat yang

dominan di kalangan ulama hadis bahwa terdapat interval waktu yang cukup jauh

antara wafatnya Nabi saw sebagai sumber primer hadis dengan kodifikasi hadis

secara resmi dan massal. Salah satu eksesnya baik secara langsung atau tidak

langsung adalah adanya pemalsuan hadis. Bila dibayangkan bahwa perjalanan

hadis hingga sampai kepada kita, tentunya telah melewati fase yang tidak selalu

mulus dan murni, bukan saja dari rangkaian sanad-nya tetapi juga materi hadis itu

sendiri. Hadis-hadis Nabi tersebut, sampai pada masa pembukuannya secara resmi

pada zaman Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99 H, masih bercampur dengan

kata-kata atau fatwa sahabat. Hal ini menyebabkan jumlah materi yang dianggap

hadis menjadi menggelembung seperti “gendang”, dari awal sedikit, menjadi

banyak (pada tengahnya) dan pada akhirnya-setelah seleksi- menjadi sedikit lagi.

Kitab sunan Imam Malik (92-179 H/ 12-798 M), al-Muwaththa’ yang merupakan

kitab kumpulan atau koleksi hadis paling tua (disusun pada pertengahan awal abad

ke II H.) tidak hanya memuat hadis Nabi saja tetapi juga fatwa-fatwa sahabat dan

tabi’in. Dengan demikian otentisitas hadis tidak luput dari kritikan, olehnya itu

24
menjadi tantangan hadis dan ulumul hadis untuk senantiasa diadakan pembaruan

guna otentisitas hadis di era mendatang.

d) Problem pada Aspek Otoritas Hadis

M.Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa pada zaman Nabi belum ada bukti

sejarah yang menjelaskan bahwa ada yang menolak hadis sebagai salah satu

sumber ajaran Islam. Barulah pada masa Abbasiyah (750-1258M), muncul secara

jelas sekelompok kecil umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu

sumber ajaran Islam. Mereka itu kemudian yang dikenal sebagai orang yang

berpaham inkar al-sunnah. Lain halnya, M.M. al-A’zamiy yang melihat bahwa

otoritas hadis sudah mulai dipertanyakan sejak masa sahabat, meski sifatnya

masih personal dan belum terlembagakan, pemikiran ini kemudian lenyap pada

akhir abad ke III dan baru muncul kembali pada abad ke XIII H. Perbedaan

pendapat para ulama mengenai otoritas hadis selain aspek yang berkaitan dengan

kuantitas jalur periwayatan, juga terletak pada aspek kualitas sanadnya, yaitu

khususnya otoritas hadis-hadis yang berkualitas daif. Menurut Imam Ahmad dan

Abu Dawud hadis daif secara mutlak diamalkan kandungannya dengan syarat

tidak ada hadis lain yang ditemukan. Mayoritas ulama dari kalangan muhaddisin

dan fuqaha seperti yang dikemukakan oleh al-Nawawi, Syekh Ali Qari dan Ibn

Hajar al-Haytami berpendapat bahwa hadis ahad dianjurkan untuk diamalkan

hanya dalam fadail al–‘amal. Sementara sebagian ulama mengatakan bahwa

hadis daif tidak boleh diamalkan secara mutlak baik dalam persoalan fadail

al-‘amal maupun dalam persoalan hukum dan akidah. Perbedaan pendapat inilah

yang kemudian menjadikan sebagian ulama ada yang cenderung ketat, longgar

25
dan moderat. Belum lagi satu istilah yang sama digunakan secara berbeda untuk

periode yang berbeda (berjauhan masanya). Demikian problem yang terjadi pada

otoritas hadis, dimana munculnya istilah-istilah sebagai upaya mengukur kualitas

hadis justru menjadi problem baru bagi otoritas hadis. pengertian term atau

istilah-istilah tersebut berbeda antara satu tokoh dengan tokoh lainnya, karena

perbedaan tersebut maka akan berpengaruh pada otoritas hadis, selanjutnya

berimplikasi apakah hadis tersebut dapat dijadikan hujjah atau tidak.

e) Problem pada Aspek Interpretasi Hadis

Pada dasarnya interpretasi secara tekstual dan kontekstual telah terjadi sejak

zaman Nabi. Hal tersebut dibuktikan pasca peperangan Ahzab, dimana Nabi saw

menyampaikan kepada sahabat agar tidak ada seorang pun diantara mereka yang

melaksanakan shalat ashar kecuali di Bani Qurayzah. Pada saat waktu ashar tiba

sementara mereka masih dalam perjalanan, segolongan sahabat yang lain tetap

melanjutkan perjalanan dan tidak melaksanakan shalat kecuali setelah mereka

sampai di tempat yang disebutkan oleh Nabi meskipun konsekuensinya mereka

tidak melaksanakan shalat pada waktunya. Segolongan sahabat yang lain

melaksanakan shalat dalam perjalanan, karena berpendapat bahwa yang

diinginkan oleh Nabi sebetulnya adalah agar mereka mempercepat perjalanan

sehingga bisa sampai di Bani Qurayzah dan melaksanakan shalat ashar di tempat

tersebut, tetapi karena ternyata waktu ashar sudah tiba sementara mereka belum

sampai di tempat tersebut, mereka akhirnya tetap melaksanakan shalat karena

melaksanakan shalat di awal waktu adalah salah satu amal yang utama. Ketika

26
hal tersebut disampaikan kepada Nabi, beliau tidak menyalahkan salah satu dari

dua pendapat tersebut.

Pada perkembangan selanjutnya, muhadditsin lebih dominan menggunakan

interpretasi yang bersifat tekstual, sementara di sisi lain para fuqaha lebih

cenderung untuk menggunakan interpretasi bersifat kontekstual. Olehnya itu,

hadis-hadis nabi tidak menutup kemungkinan untuk diinterpretasi ulang dengan

berbagai pertimbangan.14

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Ilmu hadis adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi

dan yang diriwayatkan. Perawi adalah orang-orang yang membawa, menerima, dan

menyampaikan berita dari Nabi, yaitu mereka yang ada dalam sanad suatu hadis.ilmu

hadis terbagi menjadi dua yakni ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah. Ilmu hadis

riwayah adalah ilmu yang berbicara tentang periwayatan hadis Nabi dengan baik dan

benar, sedangkan ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang berbicara tentang kaidah-kaidah

atau aturan-aturan yang dengannya akan diketahui antara sanad dan matan yang dapat

diterima atau yang harus ditolak. Dari pembagian ilmu hadis riwayah dan dirayah muncul
14
Muhammad Rusli, Problematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis dal Jurnal Al-
Fiqr, Volume 17, No. 1, 2013, h. 127.

27
disiplin ilmu yang merupakan cabang-cabang ilmu hadis diantaranya Ilmu al-jarh wa al-

ta’dil, Ilmu Rijal al-Hadis, Ilmu Mukhtalaf al-Hadis, Ilmu Ilal al-Hadis, Ilmu Gharib al-

Hadis, Ilmu Nasikh al-Hadis wa Mansukkhuh

Ilmu hadis tercatat mulai ditulis dan dibukukan sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri

sejakabad keempat Hijriyah. Adapaun sebelum masa itu, ilmu hadis biasanya dibahas

bersama disiplin ilmu yang lain didalam sebuah kitab, seperti kitab al-Risalah karya al-

Syafi’i.

Problem hadis dan ulumul hadis meliputi: aspek historis, otoritas, otentisitas, interpretasi,

metodologis, menjawab tantangan zaman dan lain sebagainya. Problem tersebut membutuhkan

perhatian dan kedewasaan untuk menyikapinya. Ulumul hadis berkembang secara bertahap dan

ilmu-ilmu itu berkembang secara dinamis mengikuti perkembangan yang melingkupinya. Ilmu-

ilmu tersebut dirumuskan oleh para ulama hadis sendiri. Namun, sebagai rumusan manusia, maka

ilmu-ilmu tersebut sangat mungkin untuk dikritik dan mengalami perubahan.

B. SARAN

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih sangat terdapat
kesalah masalah yang tentunya akan mengundang pertanyaan yang berupa kritik dan
saran yang sifatnya membangun. Oleh itu.
1. Dosen yang bersangkutan agar kiranya tetap senantiasa memberikan bimbingan
demi kesempurnaan makalah ini.
2. Teman-teman atau pembaca , kami dari penulis sangat mengharapkan agar apa
yang ada dalam makalah ini kita coba mengkaji, kemudian memberikan
tanggapan berupa kritik dan saran yang sifatnya membangun dan mengambil
nilai-nilai yang bias menjadi pengetahuan buat kita bersama.

28
DAFTAR PUSTAKA

Dimyanti, Ayat dan Beni Ahmad Saebani. Teori Hadis . Bandung: CV


Pustaka Setia. 2016
Hasbi, Ash-Shiddieqy M. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis. Cet, 1991.
Ismail, Muhammad. Dasar-Dasar Ilmu Hadi. Parepare: IAIN Parepare
Nusantara Press. 2020.
Idri. , Study Hadis. Jakarta: Prenada Media Group. 2010.
Junaeid, Daniel. Ilmu Hadis. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2010.
Muhammad Zubaidillah. “Pengantar Dan Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis.”
Study Hadis vol.1, no. no.1 (2018).
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: PT ALMA‟ARUF.
1974.
Rofiah, Khusniati. Studi Ilmu Hadis. Ponorogo: IAIN Ponorogo Press. 2018.
Rusli, Muhammad. Problematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul
Hadis. Jurnal Al-Fiqr, Volume 17, No. 1. 2013.
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1996.
Sahrani, Sohari. , Ulumul Hadit. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadits. Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya. 2001.

29
30

Anda mungkin juga menyukai