OLEH:
HAMZAH SAMIR
222020387410015
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah rahmat dan limpahannya sehingga kita
dapat menyelesaikan makalah ini dan tak lupa pula kita kirimkan shalawat serta salam atas
junjungan nabi besar Muhammad SAW nabi yang telah menjadi surih tauladan bagi kita
semua.
Adapun proses pembuatan makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan
makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada semua
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan
baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang
dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin
memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah Pengantar Ilmu Hadis ini
dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap
pembaca.
Kelompok 1
Penulis
i
DAFTAR ISI
SAMPUL
KATA PENGANTAR.......................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah ................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan .........................................................................................28
B. Saran....................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
pemeluknya, begitu juga dalam agama Islam terdapat beberapa sumber hukum yang
hamba dan khalifah di bumi. Sumber hukum Islam merupakan dasar utama untuk
mengambil ketetapan atau istinbat hukum. Oleh karenanya segala sesuatu yang
Sumber hukum pertama adalah Al-Qur’an, yaitu wahyu atau kalamullah yang
sudah dijamin keontentikannya dan juga terhindar dari intervensi tangan manusia.
hukum yang utama. Sumber hukum selanjutnya adalah As-Sunnah atau Hadis Nabi
merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an yang setiap muslim wajib
yang demikian maka mempelajari hadis juga merupakan keharusan bagi setiap muslim.
sejarah puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini
telah hidup ulama besar yang tidak sedikit jumlahnya baik di bidang tafsir, hadis, fiqhi,
ilmu kalam, filsafat, tasawuf sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya. Berdasarkan
1
Daniel Juneid, Ilmu Hadis (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), h. 14.
1
Menatap prespektif keilmuan hadis ternyata ajaran hadis telah ikut mendorong
kemajuan umat Islam. Meskipun abab Al- Nuzul dan Asbab Al Wurud terbatas pada
peristiwa dan pertanyaan yang mendahului Nuzul (turun) Al-Qur’an dan Wurud
hadis Nabi SAW. Tak heran jika pada saat ini muncul berbagai ilmu hadis serta
cabang-cabangnya untuk memahami hadis Nabi. Sehingga as- Sunnah sebagai sumber
hukum Islam yang kedua dapat dipahami serta diamalkan oleh umat Islam sesuai
dengan dimaksudkan oleh Rasulullah. Dalam kesempatan ini penulis akan membahas
hal tersebut.2
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
2
Ash-Shiddieqy M Hasbi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis, Cet, 1991, 3.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kata ilmu hadis berasal dari bahasa Arab ilm al-hadits, yang terdiri atas kata
‘ilm dan hadist. Secara etimologi ilm berarti pengetahuan jamaknya ulum yang berarti
yang menancap dalam dalam pada diri seseorang yang dengannya ia dapat
menemukan atau mengetahui sesuatu. Adapun kata hadis berasal dari bahasa Arab al-
hadits berarti baru, yaitu sesuatu yang baru, bentuk jamak dari kata hadist dari kata
ini adalah hidats, hudatsa dan huduts dan antonimnya qadim (sesuatu yang lama) al-
hadist juga mengandung arti dekat yaitu sesuatu yang dekat, yang belum lama terjadi,
dan juga berarti berita yang sama dengan hiddits yaitu, sesuatu yang dipercakapkan
Secara terminologis, hadis oleh para ulama diartikan sebagai segala yang
disandarkan pada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan persetujuan ataupun sifat-
sifatnya. Nur Al-Din mendifinisikan hadis dengan segala seuatu yang disandarkan
kepada Nabi baik perkataan, perbuatan, ketetapan sifat-sifat, tabiat, dan tingkah
lakunya atau yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin. Dari pengertian diatas,
ilmu hadis dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji dan membahas tentang segala
yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan persetujuan ataupun
3
sifat-sifat, tabiat dan tingkah lakunya atau yang disandarkan kepada sahabat dan
tabiin. Ulama ushul menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis Nabi adalah
segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi setelah Muhammad diangkat sebagai
Nabi oleh Allah swt. Oleh karena itu menurut para ulama ushul perkataan, perbuatan
dikategorikan sebagai hadis, sebab tujuan hadis nabi adalah contoh perbuatan dengan
segenap tuntutan hukumnya, apakah diikuti atau tidak diikuti . 3 Dari beberapa definisi
di atas para ulama hadits banyak memberikan pengertian mengenai ilmu hadist
perawi dan yang diriwayatkan atau Ilmu yang mempelajari tentang keterangan suatu
hal yang dengan hal itu kita dapat mengetahui bahwa hadis itu diterima atau tidak.
Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadis adalah ilmu yang
membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan. Perawi
adalah orang-orang yang membawa, menerima, dan menyampaikan berita dari Nabi,
yaitu mereka yang ada dalam sanad suatu hadis. Bagaimana sifat-sifat mereka,
apakah bertemu langsung dengan pembawa berita atau tidak, bagaimana sifat
kejujuran dan keadilan mereka, dan bagaimana daya ingat mereka, apakah sangat
kuat atau lemah. Sedangkan maksud yang diriwayatkan (marwî) terkadang guru-guru
perawi yang membawa berita dalam sanad suatu hadis atau isi berita (matan) yang
diriwayatkan, apakah terjadi keganjilan jika dibandingkan dengan sanad atau matan
perawi yang lebih kredibel (tsiqah). Dengan mengetahui hal tersebut, dapat diketahui
3
Idri, Study Hadis (Jakarta: Prenada Media Group 2010 ), h. 53.
4
mana hadis yang shahih dan yang tidak shahih. Ilmu yang berbicara tentang hal
Secara garis besar menurut kajian mutaakhirun ilmu hadis terbagi menjadi
Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Maka ilmu hadis riwayah
artinya ilmu berupa periwayatan. Secara terminologis, Ilmu hadis riwayah ialah
riwayah ini berkisar pada bagaimana cara-cara penukilan hadis yang dilakukan
oleh para ahli hadis, bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain dan
ilmu hadis riwayah ialah pengetahuan tentang hadis itu sendiri. Obyek ilmu
riwayah adalah pribadi nabi, yakni perkataan, perbuatan, taqrir dan sifatnya dan
hadis riwayah ialah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari
sumbernya, yaitu Nabi saw. Perintis ilmu hadis riwayah ini ialah Muhammad bin
4
Muhammad Zubaidillah, “Pengantar Dan Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis,” Study Hadis vol.1,
no. no.1 (2018),h.10.
5
Utang Ranuwijaya, ilmu hadis,( Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996), 74.
5
Para ulama mendifinisikan ilmu hadis riwayah sebagai berikut:
mencakup (pembahasan) tentang sesuatu yang dinukil dari nabi SAW, baik
psikis.
cermat bagi segala yang disandarkan pada Nabi SAW, baik berupa
hadis tersebut mengkaji tentang segala yang disandarkan pada Nabi SAW. baik
6
Ayat Dimyanti dan Beni Ahmad Saebani, Teori Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia 2016), h. 28
6
pengkajian dilakukan secara detail dan terperinci, kemudian pengkajian dan
pengutipan dilakukan secara bebas dan cermat serta mengkaji pula segala yang
dengan perintah Allah SWT. agar menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai
Ilmu Hadits Dirayah atau disebut juga dengan Ilmu Musthalah al-Hadits.
Istilah ilmu al-Hadits atau disebut juga ilmu dirayah al-Hadits menurut As-Shuyuti,
muncul seterlah masa al-Khatib Al-Bagdadi, yaitu masa Ibn al-akfani. Ilmu ini
dikenal juga dengan sebutan ilmu ushul al-Hadits, ulama al Hadits, musthahalah al-
Dirayah ini akan tetapi, apabila dicermati definisi- definisi yang mereka
kemukakan, terdapat titik persamaan di antara satu dan lainnya, terutama dari segi
dan lain sebagainya”. Selanjutnya Ibn al-Akfani memberikan definisi ilmu dirayah
adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-
7
macam, dan hukum-hukumnya, kedaan para perawi, syarat-syarat mereka jenis yang
Objek Ilmu Hadits Dirayah adalah meneliti kelakuan para perawi dan keadaan
marwinya (sanad dan matannya). Menurut sebagian Ulama, yang menjadi objeknya adalah
masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut Naqd as Sanad atau kritik ekstern.
Disebut demikian karena yang dibahas dalam ilmu ini adalah akurasi (kebenaran) jalur
periwayatan, mulai sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menulis dan
membukukan Hadits tersebut. Sementara itu kajian terhadap masalah yang menyangkut
matan disebut Naqd al-Matn (kritik matan) kritik intern karena yang dibahas adalah materi
Hadits itu sendiri, yakni perkataan, perbuatan, atau ketetapan Rasulullah SAW. 8
(ittishal as-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad Hadits haruslah bersambung,
mulai dari sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menuliskan atau
sanad tesebut yang teputus, tersembunyi. Atau tidak diketahui identitasnya atau
tesamar, kedua, segi keterpercayaan sanad (tsiqat as-sana’a), yaitu bahwa setiap
perawi yang tedapat didalam sanad suatu Hadits harus memiliki sifat adil dan
dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi Haditsnya), ketiga segi
7
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 3.
8
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT ALMA‟ARUF, 1974), h. 75.
8
Sedangkan pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi keshahih-an
atau ke-dhabit-an. Hal tersebut dapat dilihat melalui kesejalanannya dengan makna
dan tujuan yang tekandung didalam Al-Qur’an, atau keselematannya dari; pertama
kejanggalan redaksi (rakakat al-fadz), kedua dari cacat atau kejanggalan pada
maknanya (fasad al-makna), karena bertentangan dengan akal dan panca indera,
atau dengan kandungan dan makna Al-Qur’an, atau dengan fakta sejarah, dan
ketiga dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa di fahami
a. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa
Dari uraian Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah tersebut, terdapat
keterkaitan yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan
karena setiap periwayatan terdapat kaidah-kaidah yang dipakai, baik dalam penerimaannya
maupun penyampaiannya kepada pihak lain. Dari Ilmu Hadits Riwayat dan Ilmu Hadits
9
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia indonesia, 2010), h. 75.
10
Utang Ranuwijaya, MA. Ilmu Hadis, ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996 ), h.78.
9
Dirayah itu berkembang menuju kesempurnaannya, sehingga muncul cabang-cabang ilmu
1) Ilmu al-jarh wa al-ta’dil, yakni ilmu yang membahas tentang penilaian terhadap
periwayat hadis sehingga akan diketahui tingkatan para periwayat hadis, baik dari
segi ke siqah-annya maupun dari segi kedhaifannya. Diantara beberapa karya ulama
dalam ilmu ini adalah Al Sigat karya Ibn Hibban, Tarikh al-Kabir, Tarikh al-Ausat,
dan Tarikh al-Shagir yang semuanya merupakan karya Al-Bukhari, Al-Jarh wa al-
Ta’dil karya ibnu Abi Hatim Al Razi dan masih banyak karya-karya ulama yang
lain.
2) Ilmu Rijal al-Hadis, yakni ilmu yang membahas tentang periwayatan hadis dari segi
kapasitas mereka sebagai seorang periwayat hadis. Diantara beberapa karya ulama
yang terkait dengan ilmu ini adalah, Usd al-Gabah fi Asma al-Shahabah karya Ibn
beberapa karya ulama dalam bidang ilmu ini adalah Ikhtilaf al-Hadis karya al-
4) Ilmu Ilal al-Hadis, yakni ilmu yang membahas tentang sebab-sebab yang samar
dan tidak Nampak yang dapat merusak ke-shahihan hadis, diantara beberapa kitab
yang membahas tentang ilmu ini adalah Ilal al-Hadis wa Ma’rifah al-Rijal wa al-
Tarikh karya Ali bin al-Madini dan Ilal al-Hadis karya ibn Abi Hatim al-Razi
5) Ilmu Gharib al-Hadis, yakni ilmu yang membahas tentang sesuatu yang samar dan
susah dipahami oleh kebanyakan orang di dalam sebuah hadis. Diantara beberapa
10
kitab yang berbicara rentang ilmu ini adalah al-Fa’iq fi Garib al-Hadis wa al-Asar
cara satu iwayat mengganti atau menghapus (nasikh) hukum dari riwayat yang lain
(mansukh) ilmu ini adalah Naikh al-Hadis wa Mansukhuhu karya Ahmad bin Ishaq
Sesuai dengan perkembangan hadis, ilmu hadis selalu mengiringinya sejak masa
Rasulullah S.A.W, sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Ilmu hadis
muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan hadis yang disertai dengan tingginya
perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada mereka.
Dengan cara yang sangat sederhana, ilmu hadis berkembang sedemikian rupa seiring dengan
berkembangnya masalah yang dihadapi. Pada masa Nabi SAW masih hidup di tengah-tengah
sahabat, hadis tidak ada persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam
suatu masalah mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek kebenarannya atau
menemui sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasinya. Setelah itu, barulah
Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadis, tetapi para peneliti
hadis memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Alquran dan hadis Rasulullah S.A.W. Misalnya
11
Muhammad Ismail, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2020), h.
91.
11
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu
berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.
12
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan
saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita
yang datang dibawa seorang fasik yang tidak adil. Tidak semua berita yang dibawa
seseorang dapat diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa isi berita
tersebut. Jika pembawanya orang yang jujur, adil, dan dapat dipercaya maka
diterima. Akan tetapi sebaliknya, jika pembawa berita itu orang fasik, tidak objektif,
pembohong dan lainlain, maka tidak diterima karena akan menimpakan musibah
Rasulullah SAW wafat, para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis
karena konsentrasi mereka kepada Alquran yang baru dikodifikasi pada masa Abu
Bakar tahap awal, khalifah Abu Bakar tidak mau menerima suatu hadis yang
tahap kedua, masa ini terkenal dengan masa taqlîl ar-riwayâh (pembatasan
periwayatan), para sahabat tidak meriwayatkan hadis kecuali disertai dengan saksi
dan bersumpah bahwa hadis yang ia riwayatkan benar-benar dari Rasulullah SAW.
Para sahabat merupakan rujukan yang utama bagi dasar ilmu riwayah hadis.
Yakni, karena hadis pada masa Rasulullah SAW merupakan suatu ilmu yang
didengar dan didapatkan langsung dari beliau, maka setelah beliau wafat hadis di
sampaikan oleh para sahabat kepada generasi berikutnya dengan penuh semangat
dan perhatian sesuai dengan daya hafal mereka masing-masing. Para sahabat juga
13
hadis. Mereka juga berbicara tentang para rijal-nya, hal ini mereka tempuh supaya
dapat diketahui hadis makbul untuk diamalkan dan hadis yang mardud untuk
Pada masa awal Islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadis
karena orangnya masih jujur-jujur dan saling mempercayai satu dengan yang lain.
Akan tetapi, setelah terjadinya konflik fisik (fitnah) antar elite politik, yaitu antara
pendukung Ali dan Mu’awiyah dan umat berpecah menjadi beberapa sekte; Syi’ah,
Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah itu mulailah terjadi pemalsuan hadis
(hadis mawdhû’) dari masingmasing sekte dalam rangka mencari dukungan politik
dari masa yang lebih luas. Melihat kondisi seperti hal di atas para ulama bangkit
checking kebenaran hadis dan mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku
tuntutan yang sangat kuat ketika Ibnu Asy-Syihab Az-Zuhri menghimpun hadis dari
periwayatan hadis tidak di terima, kecuali disertai sanad. Pada periode Tabi’in,
ulama-ulama hadis selanjutnya. Perkembangan ilmu hadis semakin pesat ketika ahli
hadis membicarakan tentang daya ingat para pembawa dan perawi hadis kuat atau
adâ), hadis yang kontra bersifat menghapus (nâsikh dan mansûkh) atau kompromi,
14
kalimat hadis yang sulit dipahami (gharîb al-hadîts), dan lain-lain. Akan tetapi,
aktivitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara lisan (syafawî)
dari mulut ke mulut dan tidak tertulis. Ketika pada pertengahan abad kedua Hijriyah
sampai abad ketiga Hijriyah, ilmu hadis mulai di tulis dan dikodifikasi dalam
bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri,
masih campur dengan ilmu-ilmu lain atau berbagai buku atau berdiri secara
terpisah. Tetapi pada dasarnya, penulisan hadis baru dimulai pada abad kedua
Hijriyah.12
hadisnya secara tertulis sebagaimana terdapat dalam karyanya. Misalnya ilmu hadis
bercampur dengan ilmu ushul fiqih, seperti dalam kitab Ar-Risâlah yang ditulis oleh
Asy-Syafi’i, atau campur dengan fiqih seperti kitab Al-Umm. Dan solusi hadis-
hadis yang kontra dengan diberi nama Ikhtilâf Al-Hadîts karya Asy-Syafi’i (w. 204
H). Hanya saja, teori ilmu hadisnya tidak terhimpun dalam pembahasan kitab Ar-
Risâlah dan kitab Al-Umm. Sesuai dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadis
yang disebut pada masa kejayaan atau keemasan hadis, yaitu pada abad ketiga
belum menyatu dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, ia masih dalam bentuk bab-
bab saja. Mushthafa As-Siba’i mengatakan orang pertama kali menulis ilmu hadis
adalah Ali bin Al-Madani, syaikhnya Al-Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi. Dr.
Ahmad Umar Hasyim juga menyatakan bahwa orang pertama yang menulis ilmu
12
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis (Ponorogo: IAIN Ponorogo Press, 2018), h. 67.
15
hadis adalah Ali bin Al-Madani dan permasalahannya sebagaimana yang ditulis
oleh Al-Bukhari dan Muslim.8 Di antara kitab-kitab ilmu hadis pada abad ini adalah
kitab Mukhtalif Al-Hadîts, yaitu Ikhtilâf Al-Hadîts karya Ali bin Al-Madani, dan
kelompok teolog yang sedang berkembang pada masa itu, terutama dari golongan
Mu’tazilah dan ahli bid’ah. Di antara ulama ada yang menulis ilmu hadis pada
mukadimah bukunya seperti Imam Muslim dalam kitab Shahîh-nya dan At-Tirmidzi
pada akhir kitab Jâmi’-nya. Di antara mereka Al-Bukhari menulis tiga Târîkh, yaitu
Kunâ dan KitâbAt-Tawârikh, dan Muhammad bin Sa’ad menulis Ath-Thabaqât Al-
Kubrâ. Dan di antara mereka ada yang menulis secara khusus tentang periwayat
yang lemah seperti Ad-Dhu’afâ’ ditulis oleh Al-Bukhari dan Ad-Dhu’afâ’ ditulis
oleh An-Nasa’i, dan lain-lain. Banyak sekali kitab-kitab ilmu hadis yang ditulis oleh
para ulama abad ke-3 Hijriyah ini, namun buku-buku tersebut belum berdiri sendiri
sebagai ilmu hadis, ia hanya terdiri dari bab-bab saja. Perkembangan ilmu hadis
mencapai puncak kematangan dan berdiri sendiri pada abad ke-4 H yang merupakan
bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (w. 360 H) adalah orang yang
pertama kali memunculkan ilmu hadis yang berdiri sendiri dalam karyanya Al-
16
mencakup keseluruhan permasalahan ilmu, kemudian diikuti oleh Al-Hakim Abu
Abdullah An-Naisaburi (w. 405 H) yang menulis Ma’rifah “ulûm Al-Hadîts tetapi
kurang sistematik, Al-Khathib Abu Bakar Al-Baghdadi (w. 364 H) yang menulis
penulis lain.13
Pengkajian hadis merupakan hal yang menarik dan tidak mengenal kata
“mapan”. Sebuah kesimpulan yang melahirkan teori baru bukanlah akhir dari
sebuah pengkajian melainkan sebuah tawaran baru yang memicu lahirnya kritikan,
bantahan bahkan penolakan. Hal tersebut merupakan hal yang wajar, karena
Menurut Waryono Abdul Ghafur, kritikan terhadap hadis muncul dari faktor
melewati fase dua generasi lebih, sehingga sumber pertama setelah nabi yakni
sahabat, hampir tidak ditemukan lagi, ditambah lagi penulisan hadis hanya menjadi
sejak zaman Nabi dan penulisan al-Qur’an adalah pekerjaan publik; 2) Periwayatan
al-Qur’an dilalui dengan tanpa keterputusan antara sumber pertama dan sumber
13
Muhammad Zubaidillah, Pengantar Dan Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis, dalam Jurnal Studi
Hadis, Volume 1,No1 Mei 2018, h.7.
17
berikutnya sedangkan hadis tidak demikian, bahkan bila dikalkulasi, jumlah hadis
lebih bersifat ahad; 3) Periwayatan hadis mengenal periwayatan secara makna, hal
ini mengakibatkan adanya beberapa versi redaksi hadis yang memiliki konsekuensi
dan implikasi yang luas. Bahkan, mungkin jumlah periwayatan hadis dengan makna
ini lebih banyak daripada yang menggunakan kata-kata langsung dipakai oleh Nabi;
jaminan dari Tuhan untuk menjaga keotentikan hadis seperti al-Qur’an, dan terbukti
walaupun dalam hadis ada kitab-kitab standar, tetapi tetap saja tidak dikenal kitab
dengan wafatnya Nabi adalah 90 tahun. Demikian halnya dengan Ulumul Hadis,
tidak luput dari kritikan mengingat ia lahir pada awal abad kedua dimana
dan ulumul hadis juga sangat luas. Olehnya itu, kllasifikasi beberapa problem
sebagai berikut:
Ketika sarjana Barat memasuki domain penelitian tentang sumber dan asal
usul Islam, mereka dihadapkan pada pertanyaan tentang apakah dan sejauhmana
hadis -hadis atau riwayat tentang nabi dan generasi Islam pertama dapat dipercaya
18
kepercayaan yang tinggi terhadap literatur hadis dan riwayat- riwayat tentang nabi
dan generasi Islam awal. Tetapi sejak paruh kedua abad kesembilan belas,
skeptisisme tentang otentisitas sumber tersebut muncul. Bahkan sejak saat itu
secara dramatis terhadap karya karya sarjana Barat. Akan tetapi, tidak semua
sarjana Barat dapat digolongkan dalam aliran atau “mazhab“ skeptis. Sarjana
seperti Joseph Van Ess, Harald Motzki, Miklos Muranyi, M.J. Kister, Fueck,
Perdebatan antara kedua kelompok ini sangat tajam selama dua dekade terahir.6
Singkatnya, diskursus hadis di Barat selalu merujuk kepada nama Ignaz Goldziher
(Hongaria) dan Joseph Schacht (Austria), dan untuk yang masih hidup G.H.A.
Juynboll (Belanda), Harald Motzki (Jerman) dan beberapa nama yang lain. Di
mata orientalis, kedua nama yang pertama dianggap seperti Ibn al-Salah (pendekar
ulum al-hadith Muslim) atau Ibn Hajar dalam dunia Islam. Sedangkan G. H. A.
Juynboll dan Harald Motzki, dianggap (kurang lebih) seperti Muhammad Shakir,
al-Albani dan al-Saqqaf atau al-Gumari dalam dunia Islam. Kedua nama pertama
(Goldziher dan Schacht) telah wafat, tapi meninggalkan pengaruh global dan
Origins 1950), mayoritas sarjana Barat untuk tidak mengatakan semua, skeptis
19
terhadap literatur Islam, termasuk hadis. Diskursus masa awal Islampun (abad
pertama kedua) dianggap tidak tersentuh karena minusnya sumber yang tersedia
untuk itu. Secara umum, mazhab skeptis berpendapat bahwa pengetahuan dan
informasi tentang masa awal Islam (abad pertama kedua hijriah) hanyalah
persepsi komunitas Muslim abad ketiga. Literatur yang ada tidak lebih dari
sekedar refleksi peta konflik yang tidak dapat memantulkan realitas seperti
digambarkan oleh sumber itu sendiri.7 Dari pemaparan di atas, dapat dipahami
sarjana Barat. Mereka melakukan rekonstruksi sejarah untuk melihat sejauh mana
literatur abad ketiga dapat memberikan informasi akurat tentang abad pertama dan
rendah. Indikatornya adalah bahwa usaha untuk mengkaji aspek kesejarahan hadis
secara serius baru dilakukan pada abad XV H, melalui karya al-Khawliy. Kajian
lainnya dalam bidang ini diantaranya adalah yang dilakukan oleh Subhiy al- Salih,
M.M al-A’zamiy, Mustafa al-Sibaiy dan Muhammad Abu Zahwi. Adapun tema-
tidak dibukukan kecuali dalam ukuran yang sangat terbatas.8 Sedangkan usaha
20
merupakan ekses dari persoalan politik yang terjadi pada akhir pemerintahan
Usman Ibn Affan (w. 35 H). Kegiatan ini kemudian semakin meluas dengan motif
yang beragam dan corak pemalsuan yang berbeda-beda pula.9 Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa salah satu celah hadis dan ulumul hadis menuju pembaruan
adalah aspek kesejarahan, di mana aspek tersebut melewati rentang waktu yang
menyandarkan sebuah hadis kepada nabi tidak mendapat tantangan signifikan dari
Meskipun hadis-hadis tersebut telah diseleksi oleh para kolektornya (misalnya al-
Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibn Majah, Abu Daud, Nasai dll). Namun, kenyataan
bahwa para kolektor ini hidup pada abad ke III H. (dua ratus tahun lebih setelah
metodologi mereka sama dengan metodologi yang populer kita kenal dengan
ulumul hadis? Al-Bukhari yang dikenal sebagai the man of hadis, misalnya, tidak
21
mayoritas sarjana Islam sangat akurat, menyimpan sejumlah pertanyaan-
lebih-lebih lagi kalau disebutkan juga dalam al-kutub al-sitta atau al-tis’a, maka
tidak diragukan lagi hadis tersebut menurut mayoritas sarjana Islam, sahih,
sehingga analisis historis terhadapnya tak lagi penting. Benarkah sikap seperti itu?
Terdapatnya sebuah hadis dalam sejumlah kitab- kitab hadis bukanlah jaminan
akan historisitasnya, karena boleh jadi hadis tersebut diriwayatkan secara massive
pada generasi tertentu (paruh kedua abad kedua dan seterusnya sampai ke masa
Singkatnya, semua hadis yang terekam dalam kitab hadis harus tunduk pada kritik
sejarah. Secara umum literatur hadis kita memiliki karakter sebagai berikut:
Terdapat sejumlah inkonsistensi metode kritik hadis. Ada gap yang cukup
mengganggu antara teori dan fakta, antara teori ulumul hadis dengan keadaan
objektif literatur hadis. Kalau teori ulumul hadis diaplikasikan secara ketat, bisa
jadi kualitas literatur hadis menurun secara sangat signifikan. Contoh sederhana,
teori ulumul hadis mengajarkan kepada kita bahwa riwayat seorang mudallis tidak
22
bisa dijadikan hujjah apabila ia tidak berterus terang atau ia tidak menyatakan
sejenisnya, kecuali kalau riwayat tersebut dikuatkan oleh riwayat perawi lain yang
thiqah. Mari kita menguji teori ini secara praktis dalam literatur hadis dengan
mengambil contoh kasus Abu Zubayr. Abu Zubayr, seorang Tabiin yang diklaim
oleh mayoritas kritikus hadis sebagai mudallis. Dengan berpedoman pada teori
dengan menggunakan kata- kata ’an dan sejenisnya) tidak bisa dijadikan hujjah
(dalil yang kuat), kecuali kalau ada hadis lain yang menguatkannya. Dalam kitab-
kitab hadis, kutub al- sitta, misalnya, ditemukan ratusan hadis yang diriwatkan
oleh Abu Zubayr, dimana dia tidak menjelaskan cara penerimaannya apakah
riwayat menurut versi ulumul hadis tidak selamanya diterapkan oleh para kolektor
hadis. Hal ini diketahui apabila riwayat para perawi dibandingkan dengan riwayat
di samping ulumul hadis dalam menentukan kualitas hadis, karena hemat penulis,
terhadap historisitas dan otentisitasnya harus selalu dilakukan. Sekali lagi, untuk
mendesak. Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa hadis yang terangkum
dalam kutub al-sitta, al-tis’a sebagai kitab standar bukan berarti bebas dari
kritikan. Bahkan dari kitab tersebut dapat ditemukan hadis-hadis da’if bilamana
23
standarisasi ulumul hadis diterapkan. Demikian juga ulumul hadis dimana masih
Aspek otentisitas hadis atau keaslian literatur hadis menjadi elemen yang
paling rawan dari teori hadis klasik dan menjadi fokus utama dalam kebanyakan
Pembahasan ini muncul dan berkembang karena sesuai dengan pendapat yang
dominan di kalangan ulama hadis bahwa terdapat interval waktu yang cukup jauh
antara wafatnya Nabi saw sebagai sumber primer hadis dengan kodifikasi hadis
secara resmi dan massal. Salah satu eksesnya baik secara langsung atau tidak
hadis hingga sampai kepada kita, tentunya telah melewati fase yang tidak selalu
mulus dan murni, bukan saja dari rangkaian sanad-nya tetapi juga materi hadis itu
sendiri. Hadis-hadis Nabi tersebut, sampai pada masa pembukuannya secara resmi
pada zaman Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99 H, masih bercampur dengan
kata-kata atau fatwa sahabat. Hal ini menyebabkan jumlah materi yang dianggap
banyak (pada tengahnya) dan pada akhirnya-setelah seleksi- menjadi sedikit lagi.
Kitab sunan Imam Malik (92-179 H/ 12-798 M), al-Muwaththa’ yang merupakan
kitab kumpulan atau koleksi hadis paling tua (disusun pada pertengahan awal abad
ke II H.) tidak hanya memuat hadis Nabi saja tetapi juga fatwa-fatwa sahabat dan
tabi’in. Dengan demikian otentisitas hadis tidak luput dari kritikan, olehnya itu
24
menjadi tantangan hadis dan ulumul hadis untuk senantiasa diadakan pembaruan
M.Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa pada zaman Nabi belum ada bukti
sejarah yang menjelaskan bahwa ada yang menolak hadis sebagai salah satu
sumber ajaran Islam. Barulah pada masa Abbasiyah (750-1258M), muncul secara
jelas sekelompok kecil umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu
sumber ajaran Islam. Mereka itu kemudian yang dikenal sebagai orang yang
berpaham inkar al-sunnah. Lain halnya, M.M. al-A’zamiy yang melihat bahwa
otoritas hadis sudah mulai dipertanyakan sejak masa sahabat, meski sifatnya
masih personal dan belum terlembagakan, pemikiran ini kemudian lenyap pada
akhir abad ke III dan baru muncul kembali pada abad ke XIII H. Perbedaan
pendapat para ulama mengenai otoritas hadis selain aspek yang berkaitan dengan
kuantitas jalur periwayatan, juga terletak pada aspek kualitas sanadnya, yaitu
khususnya otoritas hadis-hadis yang berkualitas daif. Menurut Imam Ahmad dan
Abu Dawud hadis daif secara mutlak diamalkan kandungannya dengan syarat
tidak ada hadis lain yang ditemukan. Mayoritas ulama dari kalangan muhaddisin
dan fuqaha seperti yang dikemukakan oleh al-Nawawi, Syekh Ali Qari dan Ibn
hadis daif tidak boleh diamalkan secara mutlak baik dalam persoalan fadail
al-‘amal maupun dalam persoalan hukum dan akidah. Perbedaan pendapat inilah
yang kemudian menjadikan sebagian ulama ada yang cenderung ketat, longgar
25
dan moderat. Belum lagi satu istilah yang sama digunakan secara berbeda untuk
periode yang berbeda (berjauhan masanya). Demikian problem yang terjadi pada
hadis justru menjadi problem baru bagi otoritas hadis. pengertian term atau
istilah-istilah tersebut berbeda antara satu tokoh dengan tokoh lainnya, karena
Pada dasarnya interpretasi secara tekstual dan kontekstual telah terjadi sejak
zaman Nabi. Hal tersebut dibuktikan pasca peperangan Ahzab, dimana Nabi saw
menyampaikan kepada sahabat agar tidak ada seorang pun diantara mereka yang
melaksanakan shalat ashar kecuali di Bani Qurayzah. Pada saat waktu ashar tiba
sementara mereka masih dalam perjalanan, segolongan sahabat yang lain tetap
sehingga bisa sampai di Bani Qurayzah dan melaksanakan shalat ashar di tempat
tersebut, tetapi karena ternyata waktu ashar sudah tiba sementara mereka belum
melaksanakan shalat di awal waktu adalah salah satu amal yang utama. Ketika
26
hal tersebut disampaikan kepada Nabi, beliau tidak menyalahkan salah satu dari
interpretasi yang bersifat tekstual, sementara di sisi lain para fuqaha lebih
berbagai pertimbangan.14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ilmu hadis adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi
dan yang diriwayatkan. Perawi adalah orang-orang yang membawa, menerima, dan
menyampaikan berita dari Nabi, yaitu mereka yang ada dalam sanad suatu hadis.ilmu
hadis terbagi menjadi dua yakni ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah. Ilmu hadis
riwayah adalah ilmu yang berbicara tentang periwayatan hadis Nabi dengan baik dan
benar, sedangkan ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang berbicara tentang kaidah-kaidah
atau aturan-aturan yang dengannya akan diketahui antara sanad dan matan yang dapat
diterima atau yang harus ditolak. Dari pembagian ilmu hadis riwayah dan dirayah muncul
14
Muhammad Rusli, Problematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis dal Jurnal Al-
Fiqr, Volume 17, No. 1, 2013, h. 127.
27
disiplin ilmu yang merupakan cabang-cabang ilmu hadis diantaranya Ilmu al-jarh wa al-
ta’dil, Ilmu Rijal al-Hadis, Ilmu Mukhtalaf al-Hadis, Ilmu Ilal al-Hadis, Ilmu Gharib al-
Ilmu hadis tercatat mulai ditulis dan dibukukan sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri
sejakabad keempat Hijriyah. Adapaun sebelum masa itu, ilmu hadis biasanya dibahas
bersama disiplin ilmu yang lain didalam sebuah kitab, seperti kitab al-Risalah karya al-
Syafi’i.
Problem hadis dan ulumul hadis meliputi: aspek historis, otoritas, otentisitas, interpretasi,
metodologis, menjawab tantangan zaman dan lain sebagainya. Problem tersebut membutuhkan
perhatian dan kedewasaan untuk menyikapinya. Ulumul hadis berkembang secara bertahap dan
ilmu-ilmu itu berkembang secara dinamis mengikuti perkembangan yang melingkupinya. Ilmu-
ilmu tersebut dirumuskan oleh para ulama hadis sendiri. Namun, sebagai rumusan manusia, maka
B. SARAN
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih sangat terdapat
kesalah masalah yang tentunya akan mengundang pertanyaan yang berupa kritik dan
saran yang sifatnya membangun. Oleh itu.
1. Dosen yang bersangkutan agar kiranya tetap senantiasa memberikan bimbingan
demi kesempurnaan makalah ini.
2. Teman-teman atau pembaca , kami dari penulis sangat mengharapkan agar apa
yang ada dalam makalah ini kita coba mengkaji, kemudian memberikan
tanggapan berupa kritik dan saran yang sifatnya membangun dan mengambil
nilai-nilai yang bias menjadi pengetahuan buat kita bersama.
28
DAFTAR PUSTAKA
29
30