Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PEMBAGIAN ILMU HADIST RIWAYAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadist

Dosen Pengampu : M. Isa Anshory, M. Ag

Disusun Oleh :

1. Wulan Septiana (20122225)


2. Widya Ayu Saputri ()
3. Taufiqurrahman ()

Kelas : F

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN


ILMU KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH ABDURRAHMAN
WAHID PEKALONGAN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Ilmu Hadis
Riwayah”. Tidak lupa shalawat serta salam kami haturkan kepada junjungan kami Nabi
Muhammad SAW semoga kita menjadi umat Beliau yang mendapatkan syafa’at-Nya kelak
di yaumul akhir.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliahUlumul Hadist.
Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah ilmu pengetahuan serta wawasan tentang
pengertian ilmu hadist riwayah, cabang-cabang ilmu hadist riwayah, objek kajian ilmu hadist
riwayah, serta urgensi mempelajari ilmu hadist riwayah. Kami sadar bahwa makalah ini jauh
dari kata sempurna, banyak kekurangan dan kesalahan didalamnya, maka dari itu kritik dan
saran yang sifatnya membangun sangat diperlukan.

Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu selama
proses penyusunan makalah ini dan kami berharap makalah ini dapat bermanfaat serta
berguna bagi para pembaca.

Pekalongan, 29 Maret 2023

Kelompok 5
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sudah jamak diketahui, setelah al-Qur'an, hadis Nabi diyakini sebagai sumber ajaran
Islam. Dari segi periwayatan- nya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur'an. Untuk al-Qur'an,
semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, sedang untuk hadis Nabi,
sebagian periwayatannya berlang- sung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung
secara ahad. Karena itu, apabila dilihat dari segi periwayatannya, al-Qur'an tentu saja
seluruh ayatnya sudah tidak perlu dipertanyakan orinalitasnya, sedang hadis Nabi, terutama
yang dikategorikan sebagai hadis ahâd, masih diperlukan penelitian. Jauhnya rentang
waktu antara wafatnya Nabi Muhammad dengan penulisan kitab-kitab hadis tentu
menimbulkan berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadis menyalahi apa yang
sebenarnya berasal dari Nabi atau perubahan dan per- geseran lafal serta makna hadis yang
bersangkutan. Dengan kata lain, hadis sangat mungkin tidak asli dari Nabi. Untuk itu, perlu
dilakukan penelitian hadis tidak hanya dari segi mata nya, tetapi juga dari segi yang
berkaitan dengan periwayatannya dalam hal ini sanad, yakni rangkaian para periwayat
(rawi) yang menyampaikan matan hadis kepada kita.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Ilmu Hadist Riwayah?


2. Apa saja cabang-cabang Ilmu Hadist Riwayah?
3. Bagaimana Kajian Objek Ilmu Hadist Riwayah?
4. Bagaimana Urgensi mempelajari Ilmu Hadist Riwayah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Ilmu Hadist Riwayah.


2. Untuk mengetahui cabang-cabang Ilmu Hadist Riwayah.
3. Untuk mengetahui Kajian Objek Ilmu Hadist Riwayah.
4. Untuk mengetahui Urgensi mempelajari Ilmu Hadist Riwayah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Hadist Riwayah

Menurut bahasa, riwayah berasal dari akar kata rawa, yarwi, riwayatan yang berarti an-naql
(memindahkan dan penukilan), adz-zikr (penyebutan), dan al-fatl (pemintalan). Periwayatan
adalah memindahkan berita atau menyebutkan berita dari orang tertentu kepada orang lain
dengan dipertimbangkan/dipintal kebenarannya. Dalam bahasa Indonesia sering disebut
riwayat dalam arti memindahkan berita dari sumber berita kepada orang lain. Atau
memindahkan hadis dari sesamanya dan menyandarkannya kepada orang yang membawa
berita atau yang menyampaikan hadis tersebut atau yang lainnya. Ilmu hadis riwayah, secara
istilah menurut pendapat yang terpilih sebagaimana yang dikemukakan Subhi al-Shalih ialah:

‫ﻋﻠﻢ ﺍﻠﺤﺪﻴﺚ ﺮﻮﺍﻴﺔ ﻴﻗﻮﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻨﻗﻞ ﺍﻠﻤﺤﺮﺮ ﺍﻠﺪﻗﻴﻕ ﻠﻛﻞ ﻤﺍ ﺍﻀﻴﻒ ﺍﻠﻨﺒﻰ ﺼﻞ ﺍﻠﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ ﻤﻦ ﻗﻮﻞ ﺍ ﻮﻔﻌﻞ ﺍﻮ ﺘﻗﺭﻴﺭ ﺍﻮ‬
‫ﺻﻔﺔ ﻮ ﻠﻛﻞ ﻤﺍ ﺍﻀﻴﻒ ﺍﻠﻰ ﺍﻠﺻﺤﺍﺒﺔ ﻮﺍﻠﺗﺍﺒﻌﻴﻦ‬.

Ilmu Hadis Riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti dan
berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan, dan maupun sifat serta segala sesuatu yang disandarkan kepada
sahabat dan tabi'in.1

Atau dalam pengertian yang lain yaitu ilmu yang mempelajari tentang segala perkataan
kepada Nabi SAW. segala perbuatan beliau, periwayatannya, batasan-batasannya, dan
ketelitian segala redaksinya. 2

Kedua definisi di atas memberi konotasi makna yang sama yakni objek pembahasannya
adalah perkataan Nabi atau perbuatannya dalam bentuk periwayatan tidak semata-mata
datang sendiri. Di sini berarti fokusnya pada matan atau isi berita hadis yang disandarkan
kepada Nabi atau juga disandarkan kepada sahabat dan tabi'in menurut definisi yang pertama
Oleh karena itu, ilmu ini disebut ilmu riwayah, karena semata hanya meriwayatkan apa yang
disandarkan kepada Nabi SAW.

Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah adalah Abu Bakar
Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51. 124 H), seorang imam dan ulama besar di Hedzjaz
(Hijaz) dan Syam (Suriah). Dalam sejarah perkembangan hadis, Az-Zuhri tercatat sebagai
ulama pertama yang menghimpun hadis Nabi SAW, ata perintah Khalifah Umar bin Abdul
Aziz atau Khalifah Umar 11 (memerintah 99 H/717 M-102 H/720).

1
As-Suyuthi, Jalal ad-Din al-Rahman, Tadrib ar Rawi fi Syarh Tqrib al-Nawawi, (Beirut : Darl al-Fikr : 1998) hlm. 40.
2
Subhi Ash-Shalih, Ulum Al-Hadist (Yogyakarta : Pustaka Firdaus, 1995) hlm. 107
Ilmu hadis riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulullah SAW bersamaan dengan
dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana diketahui, para sahabat menaruh
perhatian tinggi terhadap hadis Nabi Muhammad SAW. Mereka berupaya mendapatkannya
dengan menghadiri majelis Rasulullah SAW. dan mendengar serta menyimak pesan atau
nasihat yang disampaikan Nabi Muhammad SAW balah al-hadits, dan. Definisi yang paling
baik, seIlmu yang dengannya dapa adalah ilmu yang mahui hal ihwal sanad, matan. Mereka
juga memerhatikan dengan saksama apa yang dilakukan Rasulullah SAW, baik dalam
beribadah maupun aktivitas sosial, serta akhlak Nabi SAW. sehari-hari. Semua itu mereka
pahami dengan baik dan mereka pelihara melalui hapalan mereka. Selanjutnya, mereka
menyampaikannya dengan sangat hati-hati kepada sahabat lain atau tabiin. Para tabiin pun
melakukan hal yang sama, memahami hadis, memeliharanya, dan menyampaikannya kepada
tabi’in (generasi sesuda tabi’in).

Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan hadis Nabi SAW. berlangsung hingga usaha
penghimpunan yang dipelopori oleh Az-Zuhri. Usaha penghimpunan,mpenyeleksian,
penulisan, dan pembukuan hadis secara besar-besaran dilakukan oleh ulama hadis pada abad
ke 3 H, seperti Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan
ulama-ulama hadis lainnya melalui kitab hadis masing masing.

B. Cabang-cabang Ilmu Hadist Riwayah


a. Ilmu Tahamul Wa Ada’
Yang dimaksud Tahammul Wa ‘Ada adalah syarat-syarat yang harus dimiliki oleh
seseorang untuk layak melakukan kegiatan tahammul dan ada' al-hadis atau dalam istilah
M. ‘Ajjaj al-Khatib disebut sebagai kelayakan tahammul dan ada' al-hadis.
a. Syarat tahammul al-hadis

Menurut pendapat yang shahih, para ulama tidak mensyaratkan secara ketat dalam
tahammul al-hadis sebagaimana persyaratan ada' al-hadis. Tahammul boleh dilakukan
oleh siapa saja asalkan sudah tamyiz, sehat akalnya dan terbebas dari berbagai faktor
yang dapat menghalangi penerimaan hadith dengan baik dan sempurna 3, sekalipun
dilakukan oleh non muslim dan belum baligh.

Jumhur ulama memperbolehkan anak kecil yang belum mukallaf menerima hadith, asal
sudah mumayyiz (kritis dan paham berkomunikasi) sekalipun sebagian kecil ulama ada
yang tidak memperbolehkannya. Pendapat jumhur tentunya lebih kuat, karena para
sahabat dan tabi'in menerima periwayatan para sahabat yang masih kecil seperti Hasan,
Husein, Ibnu Abbas, dan lain-lainnya tanpa membedakan antara tahammul sebelum
baligh atau sesudahnya.4

3
Muhammad bin Shalih Al-Utsmain, Ilmu Musthalah Al-Hadis, terj. Ahmad S. Marzuqi (Yogyakarta : Media
Hidayah, 2008), hal. 86
4
M. Ajjaj al-Khatib, al-Mukhtasar al-Wajiz fi Ulum al- Hadis (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1985) hal. 88
Sementara berkaitan dengan batas usia anak kecil untuk bisa dianggap mumayyiz terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pendapat-pendapat tersebut adalah:
1. Minimal berusia 5 tahun, pendapat jumhur ulama dan pen- dapat al-Qadli 'Tyadl serta
Ibnu al-Shalah berdasarkan perkataan seorang sahabat Mahmud bin al-Rabi' ra yang
artinya: Dari Mahmud al-Rabi' berkata: "Aku ingat Nabi Saw meludahkan sekali
ludah di mukaku dari air timba, sedang aku berusia lima tahun." (HR. Al-Bukhari)
2. Telah berusia 15 tahun, karena pada usia inilah seorang baru mampu berpikir kritis
dan memiliki ingatan yang tajam, demikian pendapat Imam Ahmad Bin Hambal.
3. Sudah bisa membedakan antara sapi dan keledai atau antara sapi dengan binatang
lainnya, sekitar berusia 4 sampai dengan 5 tahun, demikian pendapat Musa bin Harun
al-Ham- mal dan Ibn al-Maqarri.
4. Sudah mumayyiz (pandai berkomunikasi), dibuktikan ada- nya ketrampilan dalam
berkomunikasi dan mampu menjawab ketika ditanya sekalipun usianya di bawah 5
tahun. Ji- ka sifat tamyiz itu belum dimiliki maka belum dapat diteri- ma
tahammulnya sekalipun usianya lebih dari 5 tahun. Pendapat inilah yang terkuat
dibanding pendapat-pendapat lainnya.5
Sekalipun anak kecil yang mumayyiz diperbolehkan tahammul hadith, tapi para
ulama berbeda pendapat tentang usia terbaik dalam tahammul, yakni menurut
penduduk Syam, sebaiknya mulai tahammul berkisar usia 30 tahun, sedang menurut
penduduk Kuffah berusia 20 tahun, menurut penduduk Basrah berusia 10 tahun dan
menurut pendapat yang lain, bersegera mendengar hadith lebih baik, karena hadith
telah terbukukan."6
b. Syarat Ada' al-Hadith

Syarat untuk bisa melakukan kegiatan ada' al-hadith atau menyampaikan/meriwayatkan


sebuah hadith lebih ketat dibandingkan syarat tahammul al-hadith. Hal ini disebabkan
karena seorang perawi harus benar-benar dapat mempertanggungjawabkan keotentikan
dan kebenaran hadith yang disampaikannya. Syarat- syarat yang ditetapkan oleh para
ulama untuk bisa melakukan ada' al-hadith adalah Islam, Baligh, adil, dan dhabit.

1) Beragama Islam.

Periwayatan seorang kafir tidak dapat diterima secara ijma' ulama. Memang tidak
rasional jika dalam urusan sumber aga- ma Islam diperoleh dari seorang karir yang tidak
beriman kepadanya. Pemberitaan dari orang fasik saja harus diperiksa apalagi dari orang
kafir (lihat al-Hujurat : 6).

2) Dewasa (mukallaf/balig dan aqil)


5
Majid Khon dkk, Ulumul Hadis, (Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2005), hal. 59
6
Mahmud Tahhan, Ulumul Hadis, Studi Kompleksitas Hadis Nabi, Terj Zainul Muttaqin, (Yogyakarta: Titian Ilahi,
1997), hal. 185
Balig menjadi persyaratan dalam taklif atau mukallaf, maka tidak diterima periwayatan
seseorang yang belum mencapai usia mukallaf. Berdasar sabda Nabi saw :

‫عن الحسن البصرى عن على ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم الصبي حتي وعن قال رفع القلم عن ثالثة عن النا ثم‬
) ‫حتي يستيقظ يشب وعن المعتوه حتي يعقل (أخرجه الترمذي‬

Artinya :

Terangkat pena dari 3 perkara: orang tidur sehingga bangun, anak kecil sehingga mimpi
keluar air sperma, dan orang gila sehingga ia sadar akalnya." (HR. Turmudzi)

Seorang anak kecil yang belum mencapai usia dewasa tidak dapat diterima
periwayatannya, karena ditakutkan bohong. Hal ini berbeda dengan tahammul yang
dilakukan anak kecil diperbolehkan. Demikian juga periwayatan yang dilakukan oleh
seorang yang tak berakal, kurang akal, dan orang gila tidak dapat diterima, berdasarkan
hadith di atas dan ia tidak mukallaf.

3) Adil (Adalah)

Adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang melazimi taqwa dan
menjaga kehormatan dirinya (mu ru'ah). Sifat keadilan ini sebagai indikatornya dapat
dilihat dari kejujurannya, menjauhi dosa-dosa besar, tidak melaku kan dosa-dosa kecil
secara terus-menerus, tidak melakukan perbuatan mubah yang mencederai kehormatan
dirinya, se perti makan di jalanan, kencing di jalan, pergaulan dengan anak nakal dan
berlebihan dalam bercanda.

4) Ingatan Kuat (Dlabith)

Yang dimaksud dengan dlabith adalah kemampuan seorang perawi dalam memahami dan
mengingat apa yang ia de- ngar ketika tahammul, masih ingat atau hapal pada saat me
nyampaikan periwayatannya dengan hafalannya (dlabith shadr) dan terpelihara tulisannya
dari kesalahan, pergantian dan kekurangan (dlabith kitab). Sebagai indikator kedlabithan
seorang perawi dapat dilihat melalui penelitian hadith-hadith yang ia riwayatkan, jika
sesuai dengan periwayatan para perawi lain yang dlabith sekalipun secara makna, berarti
ia dlabith dan tidak apa sedikit berbeda. Jika banyak perbeda- annya, bahkan sedikit
persamaannya berarti ia tidak dlabith dan hadithnya tidak dapat dijadikan hujjah. 7

B. Metode Mempelajari Hadith (Tahammul wa Ada al- Hadith)

Metode mempelajari/menerima hadith yang dipakai oleh para ulama itu ada delapan.
Demikian juga metode ada yang diguna- kan ada 8 macam yang menyertai tahammul,
karena seseorang yang menyampaikan periwayatan (ada'), harus menjelaskan metode apa
yang digunakan ketika menerima hadith. Metode-metode itu adalah:
7
M. Ajjaj Al-Khatib, Al-Mukhtasar Al-Wajiz fi Ulum al-Hadis, (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1985) hal. 89-90
1. As-Sima

Metode as-Sima' yaitu guru membaca hadith di depan para muridnya. Bentuknya bisa
membaca hafalan, membaca dari kitab, tanya jawab dan dikte. Sedangkan murid
mendengar- kan, termasuk mendengar dari belakang hijab, bila yakin itu suara gurunya,
tapi Syu'bah bin Hajjaj tidak memboleh- kan mendengar dari belakang hijab. Metode ini
merupakan metode yang paling tinggi, karena di sini antara guru dan murid bertemu
langsung (liqa') dan berhadapan langsung (musyafahah). Bentuk ungkapan ada yang
digunakan dalam metode ini adalah sami'tu, dan haddatsana.

2. Al-'ardlu (Al-Qira'ah)

Metode Al-'Ardlu, yaitu seorang murid membaca hadith di depan guru, sedangkan guru
mendengarkan bacaannya, baik murid itu membaca sendiri atau mendengar murid lain
yang membaca di hadapannya, baik bacaan dari hafalannya atau dari tulisan (kitab).
Dalam metode ini seorang guru dapat mengoreksi hadith yang dibaca oleh muridnya.
Dalam meto- de pengajaran metode al-qira'ah disebut dengan metode so- rogan. Sedang
tingkatannya, ada yang berpendapat sama dengan as-sima', ada yang mengatakan lebih
rendah dan ada pula yang berpendapat lebih tinggi daripada as-sima'. Bentuk ungkapan
ada yang dipakai dalam metode ini adalah akhba- rana, qara'tu 'ala fulanin atau
haddatsana qiraatan 'alaihi. Hukum periwayatan hadith dengan menggunakan metode ini
menurut jumhur ulama diperbolehkan dan sah.

3. Al-Ijazah, yaitu pemberian izin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku
hadith tanpa membaca hadith tersebut satu demi satu. Dalam hal ini ada 3 bentuk,
yaitu ada kalanya Ijazah fi mu'ayyanin limu'ayyanin (Izin untuk me riwayatkan
sesuatu yang tertentu kepada orang yang ter tentu), Ijazah fi ghairi mu'ayyanin
limu'ayyanin (Izin untuk me riwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang
yang tertentu), dan Ijazah ghairi mu'ayyanin bighairi mu'ayyanin (Izin untuk
meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepa da orang yang tidak tertentu). Untuk
bentuk yang pertama jelas diperbolehkan oleh jumhur, sementara bentuk lainnya
masih diperselisihkan. Istilah yang dipakai untuk ada' adalah an-ba-ana.

4. Al-Munawalah, yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadith tanpa
menyuruh untuk meriwayatkannya. Metode munawalah ini adakalanya disertai dengan
Ijazah dan adakalanya yang tidak disertai dengan ijazah. Hukum riwayat untuk macam
pertama diperbolehkan, sementara untuk macam kedua, menurut Ibnu Shalah dan A-
Nawawy, tidak sah dan tidak diperbolehkan. Istilah yang dipakai dalam penyampaian
(ada') adalah an-ba-ana.

5. Al-Mukatabah, yaitu seorang guru menulis hadith untuk sese- orang, hal ini mirip
dengan metode ijazah. Metode ini ada kalanya yang disertai ijazah, adakalanya yang
tidak disertai ijazah. Untuk yang dibarengi ijazah, hukum periwayatannya sah dan
diperbolehkan. Sementara untuk yang tidak disertai ijazah, menurut Al-Mawardy, Al-
Amidy dan Ibnil Qaththan tidak sah tapi menurut ahli hadith yang masyhur adalah sah.
Lafadz yang digunakan dalam penyampaian (ada') adalah "kataba ilayya Fulanun" atau
"haddasana kitabatan."

6. I'lam as-Syaikh, yaitu pemberian informasi guru kepada mu- rid bahwa hadith dalam
kitab tertentu adalah hasil periwa- yatan yang diperoleh dari seseorang tanpa menyebut
namanya dan tanpa menyuruh meriwayatkannya, karena kemungkinan sang guru sudah
mengetahui adanya cacat dalam hadith itu. Hukum periwayatannya adalah tidak boleh.
Lafadz penyampaiannya: "a'lamani Syaikhi bikadza"

7. Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadith ke- pada muridnya sebelum
meninggal. Ibnu Sirin membolehkan. Jumhur tidak membolehkan, bila si penerima
wasiat tidak mempunyai ijazah dari pewasiat, inilah pendapat yang benar. Lafadz
penyampaiannya: "Ausha ilayya fulanun bikadza, atau haddasani fulanun washiyatan."

8. Al-Wijadah, yaitu seseorang yang menemukan catatan hadith seseorang tanpa ada
rekomendasi untuk meriwayatkannya. Hukum periwayatan dengan metode ini, para
Muhaddisin besar dan ulama Malikiyyah tidak memperkenankan, semen- tara As-Syafi'i
membolehkannya. Lafadz penyampaiannya adalah wajadtu bikhaththi fulanin atau qara’
tu bikhaththi fulanin.

Dari delapan metode di atas, menurut jumhur metode yang tertinggi adalah metode al-
sima', kemudian baru al-qira'ah. Kedua metode di atas merupakan metode yang
diutamakan karena merupakan bentuk periwayatan secara langsung (musyafahah).
Metode ijazah, asal jelas hadith apa dan kepada siapa ijazah itu diberikan dapat diterima.
Metode al-kitabah dan munawalah dapat diterima asal dibarengi ijazah. Sedangkan
metode 3 terakhir, yaitu al-i'lam, al-washiyah dan al-wijadah menurut pendapat yang
shahih tidak dapat diterima periwayatannya.

Periwayat hadith ketika manyampaikan suatu hadith harus menyampaikan sedikitnya 2


hal, yaitu:

a. Cara atau metode tahammul yang digunakan


b. Nama-nama perawi hadith yang menyampaikan hadith kepadanya, yang berfungsi
sebagai pertanggungjawaban yang dipakainya.

b. Riwayah bi al-Ma’na

Bila disepakati bahwa kategori hadis yang meliputi (1) sifat- sifat Nabi, (2) perbuatan dan
akhlak Nabi, (3) perbuatan sahabat yang didiamkan/ditolak Nabi, (4) pendapat Nabi terhadap
masalah yang dihadapi sahabat, (5) sabda Nabi yang berkenaan dengan doa-doa dalam
ibadah, (6) hadis qudsi, dan (7) surat- surat Nabi yang dikirimkan kepada penguasa dan
sebagainya. Maka, tampak empat point pertama diriwayatkan dalam bentuk makna (ar-
riwayah bi al-ma'na), sedang tiga point terakhir diriwayatkan daengan lafal (ar-riwayah bi al-
lafzhi). Riwayah bi al-lafzhi adalah meriwayatkan hadis dengan redaksi matan yang telah
didengar tanpa perubahan, penam- bahan, dan pengurangan. Redaksi matan itu bila diteliti
sesuai dengan yang keluar dari ucapan Nabi Muhammad. Ulama yang berpegang teguh
dengan hadis Nabi: naddhara allâhu imra'an sami'a minna haditsan fabalaghahû kamâ
sami'a minnâ fainnahû rubba muballighin huwa au'à lahû min sâmi'in rawahu abû dawûd
wa at- tirmidzi."

Di samping hadis di atas, para ulama pendukung riwayat hadis dengan lafal juga berpegang
pada dalil kisah al-Bara yang menyatakan bahwa dirinya ketika mengganti bacaan doa tidur
dengan ucapan wa nibîka dari asalnya wa rasûlika didengar oleh Rasulullah maka beliau
mengingatkannya.8 Sejak saat itu, al-Bara tidak berani lagi mengulangi. Para ulama
mewajibkan periwayatan hadis dengan lafal, dan secara mutlak, mereka tidak membenarkan
riwayat dengan makna.9 Jadi, bila secara kukuh memegangi pendapat itu maka periwayatan
hadis hanya dapat dilakukan terhadap hadis-hadis Nabi yang sifatnya qaulan (ucapan) saja,
sedang hadis jenis yang lain (misalnya fi'l dan taqrir) tidak mungkin dapat diriwayatkan.
Karena itu, kebanyakan ulama hadis memperbolehkan periwayatan hadis dengan makna (ar-
riwâyah bi al-ma'na) dengan beberapa ketentuan sebagai berikut: (1) periwayat benar-benar
memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam, (2) periwayatan secara makna dilakukan
karena terpaksa, misalnya lupa susunan lafalnya, (3) bukan sabda Nabi tentang bentuk
bacaan ibadah, misalnya zikir, doa, azan, takbir, dan syahadat, serta bukan sabda Nabi dalam
bentuk jawâmi' al-kalim, (4) periwayatannya itu atau yang lupa akan susunan lafalnya
hendaknya ditambahkan kata aw kamâ qâla atau aw nahwa dzâlika atau yang semakna
dengan itu, (5) dibolehkan riwayah bi al-ma'nâ seperti ini hanya terbatas pada masa sebelum
dibukukannya hadis-hadis Nabi secara resmi. Sesudah masa kodifikasi hadis-hadis Nabi,
periwayatan harus dilakukan secara lafzhi (lafal).10

C. Objek Kajian Ilmu Hadis Riwayah

Objek kajian ilmu hadis riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW.,
sahabat, dan tabiin, yang meliputi:

a. Cara periwayatannya, yakni cara penerimaan dan penyampaian hadis dari seorang
periwayat (rawi) kepada periwayat lain,
b. Cara pemeliharaan, yakni penghapalan, penulisan, dan pembukuan hadis. Ilmu ini tidak
membicarakan hadis dari sudut kualitasnya, seperti tentang adalah (ke-'adil-an) sanad,
syadz (kejanggalan), dan 'illat (kecacatan) matan.11

8
M. Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis ( Jakarta : Bulan Bintang, 1999) hlm.71
9
Muhammad Ajjaj al-Khatib Al-Mukhtasar Al-Wajiz fi Ulum al-Hadis, (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1985) hlm 251
10
Ibnu al-Asir al-Jazari, op. cit., hlm. 71
11
Ilmu Hadist hlm. 107
Objek pembahasan ilmu ini adalah diri Nabi (dzâtiyat ar-rasul) baik dari segi perkataan,
perbuatan, maupun persetujuan beliau, dan bahkan sifat-sifat beliau yang diriwayatkan secara
teliti dan berhati-hati, tanpa membicarakan nilai shahih atau tidaknya. Periwayatan hadis dari
Nabi atau dapat dikatakan dari fokus pembicaraan hanya pada periwayatan yang menyangkut
diri Nabi dari segala aspek tersebut. Tentunya kata periwayatan menyangkut siapa yang
menjadi perawi (râwi) dari siapa ia meriwayatkan suatu berita (marwi 'anhu), dan apa isi
berita yang diriwayatkan (marwi). Dengan demikian ilmu hadis riwayah mempelajari
periwayatan yang mengakumulasi apa, siapa, dan dari siapa berita itu diriwayatkan tanpa
mempersyaratkan shahih atau tidaknya suatu periwayatan. Ilmu yang membahas diterima
atau tidaknya suatu periwayatan, shahih atau tidaknya suatu periwayatan. Ilmu yang
membahas diterima atau tidaknya suatu periwayatan, shahih atau tidaknya suatu periwayatan
bukan bagian Ilmu Hadis Riwayah.

Fokus pembahasan Ilmu Hadis Riwayah atau penekanan pembahasannya memang matan
yang diriwayatkan itu sendiri, karena memang perkataan dan perbuatan Rasul itu adanya
pada matan. Namun matan ini tidak mungkin muncul dengan sendirinya tanpa ada sanadnya,
bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa rukun hadis itu terdiri dari sanad dan matan. Jika
ada redaksi matan saja tanpa disertai sanad bukan dinamakan hadis, demikian juga
sebaliknya. Dengan demikian perkembangan Ilmu Hadis Riwayah tidak bisa lepas dari Ilmu
Hadis Dirayah.12

D. Urgensi Mempelajati Ilmu Hadist Riwayah

Pendiri Ilmu Hadis Riwayah adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (w. 124 H) yakni orang
pertama melakukan penghimpunan Ilmu Hadis Riwayah secara formal berdasarkan intruksi
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (sebagaimana pada bab yang lalu sejarah pembinaan hadis).
Sedang kegunaan dan manfaat mempelajari Ilmu Hadis Riwayah di antaranya :

1. Memelihara hadis secara berhati-hati dari segala kesalahan dan kekurangan dalam
periwayatan.

2. Memelihara kemurnian Syari'ah Islamiyah karena sunnah atau hadis adalah sumber hukum
Islam setelah Alquran.

3. Menyebarluaskan sunnah kepada seluruh umat Islam sehingga sunnah dapat diterima oleh
seluruh umat manusia.

4. Mengikuti dan meneladani akhlak Nabi, karena tingkah laku dan akhlak beliau secara
terperinci dimuat dalam hadis.

12
Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, (Bogor : Ghalia Indonesia 2010) hlm. 70
5. Melaksanakan hukum-hukum Islam serta memelihara etika-etikanya, karena seseorang
tidak mungkin mampu memelihara hadis sebagai sumber syari'at Islam tanpa mempelajari
Ilmu Hadis Riwayah ini.

6. Menghindari adanya penukilan yang salah. Dari yang beredar pada umat Islam bukan
hanya hadist, melainkan juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan dari Nabi atau
bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.13

BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

13
Sohari Sahrani, Ulumul Hadist (Bogor: Ghalia Indonesia 2010) hlm. 73
Menurut bahasa, riwayah berasal dari akar kata rawa, yarwi, riwayatan yang berarti an-naql
(memindahkan dan penukilan), adz-zikr (penyebutan), dan al-fatl (pemintalan). Ilmu Hadis
Riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti dan berhati-hati
bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan,
persetujuan, dan maupun sifat serta segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan
tabi'in. Cabang-cabang Ilmu Hadist Riwayah diantaranya Ilmu Tahamul Wa Ada’, yang
dimaksud Tahammul Wa ‘Ada adalah syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang untuk
layak melakukan kegiatan tahammul dan ada' al-hadis atau dalam istilah M. ‘Ajjaj al-Khatib
disebut sebagai kelayakan tahammul dan ada' al-hadis. Para ulama mewajibkan periwayatan
hadis dengan lafal, dan secara mutlak, mereka tidak membenarkan riwayat dengan makna
(riwayah bi al ma’na). Objek kajian ilmu hadis riwayah adalah segala sesuatu yang
dinisbatkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabiin, yang meliputi: Cara periwayatannya,
yakni cara penerimaan dan penyampaian hadis dari seorang periwayat (rawi) kepada
periwayat lain, dan cara pemeliharaan, yakni penghapalan, penulisan, dan pembukuan hadis.
Ilmu ini tidak membicarakan hadis dari sudut kualitasnya, seperti tentang adalah (ke-'adil-an)
sanad, syadz (kejanggalan), dan 'illat (kecacatan) matan. Urgensi mempelajari ilmu hadis
riwayah : Memelihara hadis secara berhati-hati dari segala kesalahan dan kekurangan dalam
periwayatan, memelihara kemurnian Syari'ah Islamiyah karena sunnah atau hadis adalah
sumber hukum Islam setelah Alquran, menyebarluaskan sunnah kepada seluruh umat Islam
sehingga sunnah dapat diterima oleh seluruh umat manusia, mengikuti dan meneladani
akhlak Nabi, karena tingkah laku dan akhlak beliau secara terperinci dimuat dalam hadis,
melaksanakan hukum-hukum Islam serta memelihara etika-etikanya, karena seseorang tidak
mungkin mampu memelihara hadis sebagai sumber syari'at Islam tanpa mempelajari Ilmu
Hadis Riwayah ini, menghindari adanya penukilan yang salah. Dari yang beredar pada umat
Islam bukan hanya hadist, melainkan juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan dari
Nabi atau bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.14

B. Saran

Demikianlah makalah yang dapat kami susun, kami penyadari masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharap kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pemakalah khususnya, dan kita semua pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Suyuthi As, al-Rahman Jalal ad-Din, 1998. Tadrib ar Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Beirut :
Darl al-Fikr
Ash-Shalih Subhi, 1995. Ulum Al-Hadist. Yogyakarta : Pustaka Firdaus

14
Sohari Sahrani, Ulumul Hadist (Bogor: Ghalia Indonesia 2015) hlm. 73
Shalih Al-Utsmain Muhammad bin, 2008. Ilmu Musthalah Al-Hadis, terj. Ahmad S. Marzuqi.
Yogyakarta : Media Hidayah
Al-Khatib M. Ajjaj, 1985. al-Mukhtasar al-Wajiz fi Ulum al- Hadis. Beirut: Mu’assasat al-
Risalah
Khon Majid, dkk, 2005. Ulumul Hadis, Jakarta: PSW UIN Jakarta
Tahhan Mahmud, 1997. Ulumul Hadis, Studi Kompleksitas Hadis Nabi, Terj Zainul Muttaqin.
Yogyakarta: Titian Ilahi
Ismail M. Syuhudi,1999. Cara Praktis Mencari Hadis . Jakarta : Bulan Bintang
Sahrani Sohari, 2010. Ulumul Hadis. Bogor : Ghalia Indonesia

Anda mungkin juga menyukai