Anda di halaman 1dari 22

i

ABSTRAK

SILSILAH KEILMUAN ASWAJA (AQIDAH, FIKIH DAN TASAWUF)

Oleh:
Arif Kusman (201955020400791), Sinta Nur Afidah (201955020400784)
Nazlifah Bunga Mayensi (201955020400805)

INSTITUT AGAMA ISLAM SUNAN GIRI


BOJONEGORO

Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas pada materi kelompok 1


tentang Silsilah Keilmuan Aswaja (Aqidah, Fikih dan Tasawuf). Adapun yang
menjadi latar belakang makalah ini adalah untuk mengetahui Silsilah Keilmuan
Aswaja (Aqidah, Fikih dan Tasawuf). Sanad hadis dipergunakan sejak para
Sahabat Nabi merupakan suatu tradisi ilmiah dan sistem periwayatan yang dapat
dipertahankan dan dipertanggung jawabkan. Unsur-unsur sanad dalam
periwayatan hadis adalah bagian yang sangat penting baik dalam menentukan
kualitas hadis maupun dari segi kuantitasnya.
Dalam tinjauan sejarah, sebelum Islam sanad telah digunakan oleh agama
Yahudi atau terdapat dalam kitab Yahudi, Mishnah, termasuk masyarakat
Jahiliyah dalam menuturkan silsila dan syair-syair mereka juga menggunakan
metode sanad. Namun setelah Islam datang sanad dalam hadis jauh lebih
metodologis dalam penggunaan periwayatan hadis. Pernyataan ini telah di tahqiq
oleh para ulama hadis “Sanad hadis merupakan bagian dari agama.”

Kata Kunci: Sanad, Hadis.

ii
DAFTAR ISI

Cover …………………………………………………………………....……….. i
Abstrak ………...………………………………………….........………… ii
Daftar Isi ……………………………………………………….........…..... iii
Kata Pengantar ………………………………..………….........………….. iv
BAB I PENDAHULUAN ……………………….…..........…..………….. 1
1. Latar Belakang ………………………………........………………... 1
2. Rumusan Masalah ……………………..……........………………… 2
3. Tujuan Pembahasan …………………….…….…………………..… 2

BAB II PEMBAHASAN……………………………………..........……… 3
1. Pentingnya Sanad Keilmuan Dalam Agama …………..….....…….. 3
2. Sanad Fiqih Aswaja dan Ulama NU ..…………………….…..…… 7
3. Sanad Fiqih Aswaja dan Ulama NU ..……….…........………..…… 11
4. Kebatilan Aliran Kebatinan ..………………..…........………..…… 15

BAB III PENUTUP………………………………………..........…………. 16


Kesimpulan ………………………………………...…….......…….……… 16
Saran …………………………………………………………..........……… 16
DAFTAR PUSTAKA …………………………………........………..…… 17

iii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillahirobbil‘alamin, Allah SWT yang telah memberikan kami


kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan
syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah dari mata kuliah Akhlaq
tasawuf dengan judul “Silsilah Keilmuan Aswaja (Aqidah, Fikih dan Tasawuf)”

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya


kepada Dosen Pembimbing kami yang telah membimbing dalam menulis makalah
ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bojonegoro, 30 Januari 2020

Penulis

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an, menempati


posisi yang sangat penting dan strategis dalam kajian keislaman. Keberadaan dan
kedudukannya tidak lagi diragukan. Namun karena pembukuan hadits baru
dilakukan ratusan tahun setelah Nabi Muhammad Saw wafat, Kenyataan sejarah
bahwa banyak hadis yang dipalsukan, maka keabsahan hadis-hadis yang beredar
dikalangan kaum muslimin diperdebatkan oleh para ahli. perbedaan yang paling
mendasar antara al Qur’an dengan Hadis adalah al Qur’an diterima secar Qath’i
sementara Hadis Zhanni al Wurud1. Itulah salah satu sebab sehingga tingkat
kehujjahan Hadis berada setingkat di bawah al-Qur’an .

Namun demikian, hadis mempunyai keunikan tersendiri yang tidak


dimiliki oleh informasi lain, termasuk al Qur’an, yaitu adanya sistim tranmisi
yang menghubungkan antara Nabi Muhammad sebagai sumber informasi dengan
generasi berikutnya sampai akhir informasi tersebut dihimpun dan di bukukan
oleh para Mukharrij alHadis2. Sistim tranmisi yang dikenal dengan sebutan sanad
atau isnad, memungkinkan dilakukan kritik terhadap kebenaran informasi
tersebut, apakah betul bersumber dari Nabi atau hanya dibuat-buat saja. Dari
sinilah letak urgensi sanad hadis, sebab tanpa adanya sanad, setiap orang bisa saja
mengaku dirinya pernah bertemu dengan Nabi SAW3. Yang menjadi pokok kajian
adalah bagaimana asal-usul dan kedudukan Sanad dalam periwayatan hadis.

1
Istilah qath’I dan Zhanny sering digunakan oleh para ulama dan pemikir Islam dalam
kaitannya dengan pembahasan kedudukan al Quran dan Sunnah nabi dilihat dari wurudnya
(kedatangannya) atau Tsubutnya (Penepannya), dan dilihat dari dhalalahnya (petunjuk
pengertiannya). Pembagian status kepad Qath’I dan Zhanny terhadap dalil-dalil Naqli (al Quran
dan al Sunnah) itu mereka lakukan dalam upaya merumuskan dan menentukan kawasan ajaran
Islam yang tidak dapat lagi dilakukan ijtihad dan yang masih dapat (bahkan ada yang harus)
dilakukan ijtihad. Pembagian secara dikotomo dalil-dalil naqli kepada qath’I dan zhanni tersebut
pada dasarnya bersifat ijtihadi, Lihat H.M.Syuhudi Ismail, Konsep Qath,I dan Zahnni dalam
kaitannyadengnan As Sunnah, (Uswah Edisi No 4; Ujungpandang: BPP-IKA IAIN Alauddin,1993)
h.,26
2
Lebih lengkap lihat, Ahmad AJ. Al-Showy, (et.al), Mukjizat Al-Qur’an dan Sunnah
Tentang IPTEK (cet.I;Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 56-63
3
Lihat Ibnu Abi Khatim Al-Raz, .Kitab al-Jarh Wa al-Ta’dil, (Juz II;Haidarabat: Darirah al
Ma’arif, 1952), h. 16.
1
1. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pentingnya sanad keilmuan dalam agama?
2. Bagaimana sanad fiqih aswaja dan ulama NU?
3. Bagaimana sanad tasawuf Aswaja?
4. Bagaimana kebatilan aliran kebatinan?

2. Tujuan
1. Untuk mengetahui secara baik pentingnya sanad keilmuan dalam agama.
2. Untuk mengetahui secara baik sanad aswaja dan ulama NU.
3. Untuk mengetahui secara baik sanad sanad tasawuf aswaja.
4. Untuk mengetahui secara baik kebatilan aliran kebatinan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pentingnya Sanad Keilmuan Dalam Agama


Sanad berasal dari bahasa Arab artinya adalah penyandaran sesuatu pada
sesuatu yang lain sedangkan al sanad bisa berarti bagian depan atau bawah
gunung atau kaki gunung, karena dialah penyangganya. Adapun kata Isnad
dalam hadis berarti kita bersandar kepada para periwayat untuk mengetahui
pernyataan Nabi SAW., kadang istilah Thariq dipakai dalam menggantikan
Isnad, kadang pula Istilah Wajh digunakan untuk maksud yang sama4.
Penyandaran suatu hadis kepada perawi, adalah makna yang bersifat qiyas
(analogi)5. Adapula yang mengartikan sanad sama dengan Mu’tamad berarti
terpercaya atau dapat dijadikan pegangan. Sedangkan menurut Istilah ilmu
hadis sanad berarti silsilah periwayat hadis yang menghubungkan kepada
matan hadis dari periwayat terakhir sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Sehubungan dengan istilah sanad yang pengertiannya telah diuraikan di
atas, ada juga istilah-istilah yang terkait erat dengan sanad yang perlu untuk
di pahami yaitu, isnad, musnid dan musnad ketiga istilah tersebut berasal dari
kata sanad. Untuk memperjelas tentang pengertian term-trem tersebut, perlu
dibahasa lebih rinci sebagai berikut:
1. Kata isnad adalah bentuk masdar dari kata asnada, yang menurut arti
bahasanya adalah menyadarkan sesuatu kepada yang lain (sama dengan
pengertian sanad yang telah dijelaskan dalam pembahasan terdahulu)5.
Sedangkan menurt isltilah dalam ilmu hadist isnad berarti mengangkat
atau menyederhanakan suatu hadist kepada yang mengatakannya.
2. Sedangkan kata musnid adalah isim fa’il dari sanada yang secara bahasa
berarti orang yang menyandarkan, sedangkan secara istilah kata ini berarti

4
M.M.Azami, Memahami Ilmu Hadis (cet.II; Jakarta: Penerbit Lentera, 1995), h. 57
5
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jilid I; Jakarta: Bulan Bintang,
1981,) h. 49
3
orang yang meriwayatkan suatu hadist yang disertai dengan menyebutkan
sanad hadistnya.
3. Adapun musnad adalah isim maf’ul yang terbentuk dari kata sanada yang
mempunyai arti secara lughawi sesuatu yang dinisbatkan atau disandarkan.
Sedangkan menurut istilah ilmu hadist musnad mempunyai tiga pengertian
yaitu:
a. Kata musnad berarti kitab hadist yang didalamnya berisi koleksi
hadist-hadist yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain dalam bab
yang lain pula.
b. Kata musnad juga berarti hadis-hadis yang disebutkan saluruh
sanad dan bersambung sampai kepada Nabi.
c. Para Ulama hadis juga menggunakan musnad dalam arti sanad, ini
dapat dipahami karena musnad merupakan masdar dari sanad.

Sistem periwayatan terhadap suatu berita, cerita, sya’ir dan sisilah sudah
sangat kental dalam budaya Arab jauh sebelum Islam datang. Bangsa Arab
mempergunakan sistem periwayatan berantai, terhadap berita, cerita, sya’ir
dan sisilah mereka miliki. Mereka menghapal apa yang menjadi
kebanggaannya itu di luar kepala, khususnya tentang nasab mereka, karena
bangsa Arab terkenal dengan kekuatan hafalnnya.

Sistem periwayatan yang terjadi dalam masyarakat arab sebelum islam


memiliki perbedaan yang cukup prinsip, begitu juga halnya sistem
periwayatan yang sudah terjadi pada masyrakat yahudi dan Nasrani.
Terutama pada hal periwayatan kitab suci mereka. Tradisi periwayatan dalam
masyarakat arab sebelum islam atau pada masa jahiliah tidak mementingkan
kebenaran berita dari apa yang mereka terima. Sehingga mereka tidak kritis
terhadap siapa yang membawa berita itu. Tidak mementingkan kejujuran dan
kebenaran yang disampaikan apalagi terhadap penelusuran berita yang
diterimanya, karena kebanyakan apa yang mereka riwayatkan itu hanya hal-

4
hal yang bersifat kesenangan, kebanggaan dan juga untuk membakar
semangat dalam berperang6.

Namun urgensi metode sanad baru tampak dan lebih penting dalam Islam
khususnya periwayatan hadis, sehingga begitu berkembang sisitem sanad
ini, Ibnu Mubarak mengatakan bahwa metode sanad itu merupakan bagian
dari Agama Islam.

Ajaran islam sendiri yang memotivasi umatnya untuk mencari kebenaran,


pahala dan menghias diri dengan kejujuran dan mencari kepastian terhadap
apa yang didengar dan diriwayatkan oleh seseorang, misalnya firman Allah
Swt. :Q.S Al Hujurat ayat 6.

ِ ُ ‫َيَٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ َٰٓواْ ِإن َجا َٰٓ َء ُك ۡم فَا ِس ُۢ ُق ِبنَ َب ٖإ فَت َ َبيَّنُ َٰٓواْ أَن ت‬
َ ْ‫صيبُواْ قَ ۡو ُۢ َما ِب َج َهلَ ٖة فَتُصۡ بِ ُحوا‬
‫علَى َما‬
٦ َ‫َف َع ۡلت ُ ۡم نَد ِِمين‬

6. Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik


membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Dan Q.S. Al-Israa’ ayat 36

َٰٓ
َ َ‫ص َر َو ۡٱلفُ َؤادَ ُك ُّل أ ُ ْولَئِكَ َكان‬
‫ع ۡنهُ َم ۡسُٔٔ ا‬
‫وَل‬ َ َ‫سمۡ َع َو ۡٱلب‬
َّ ‫س لَكَ بِِۦه ِع ۡل ٌۚم ِإ َّن ٱل‬ ُ ‫َو ََل ت َۡق‬
َ ‫ف َما لَ ۡي‬
٣٦

36. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

Sistem yang membedakan periwayatan sanad dalam Islam dengan sebelum


Islam, adalah ancaman Nabi yang sangat berat terhadap orang-orang yang

6
Penggunaan sanad Masyarakat Jahiliyah bukan hal-hal yang bersifat sakral dan suci
serta tidak memiliki ketentuan-ketentuan yang ketat, lihat. Muhammad Abu Syuhbat, Fi Rihat al
Sunnat al Kutub al Shihal al sittah, Majma al-Buhut al-Islamiyah, Azhar Kairo,1989, h. 32.
5
berdusta atas nama Nabi, sehingga menjadikan para sahabat dalam
meriwayatkan hadis Nabi sangat hati-hati.

Berbekal dengan budaya yang sudah ada dan sikap mental yang dibangun
oleh Nabi Saw., Ketika Nabi masih hidup para sahabat tanpa ada dinding
pemisah antara mereka semua. Nabi bercampur dengan mereka itu di Mesjid,
di pasar, dalam perjalanan dan dalam perhentian. Perbuatan dan perkataan
nabi selalu menjadi pusat perhatian dan kekaguman mereka. Sebab
Rasulullah merupakan pusat keagamaan dan kedunian mereka sejak Allah
memberi petunjuk kepada mereka dan menyelamatkan dari kesesatan dan
kegelapan menuju hidayah dan cahaya7.

Sanad adalah sesuatu yang bersifat eksternal atau di luar matan hadis.
Berita tentang cara yang menyambungkan antara kita dengan matan hadis,
maka sudah barang tentu keberadaannya sangat penting. Dengan demikian
mustahil mendapatkan hadis tanpa melalui sanad, bahkan sebagian ulama
berpendapat bahwa sanad hadis merupakan bagian dari agama. Karena
pentingnya peranan sanad dalam hadis tersebut, maka para ulama ulumul
hadis mengklasifikasikan hadis, baik dari segi shahih dan maudhu’nya,
maqbul dan mardudnya maupun tingkat dan kualitas hadis lebih banyak
didasarkan pada kualitas sanadnya.

Berdasarkan defenisi dan batasan sanad yang telah dipaparkan, maka ada
tiga unsur penting dalam sanad hadis yang harus dijaga kevalidannya yaitu:

1. Rijal al Sanad
2. Ittishal al Ruwat
3. Tahammul wa al Adaa8

7
Kegairahan mereka untuk mengikuti nabi dalam sabda dan perbuatan itu sampai
kepada tingkat bahwa sebahagian dari mereka bergantian menyertai nabi sehari demi sehari .
Begitulah Umar ibn al Khattab, r.a misalnya, menurut penuturan al Bukhari dengan sanad yang
bersambung, berkata “ Dulu aku dan seorang tetanggaku dari golongan Anshar kalangan Bani
Umayyah ibn Zayd
8
Bandingkan M.Syhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis nabi, op.cit, h.23
6
Ketiga unsur sanad ini merupakan satu kesatuan yang mengantarkan
kepada matan hadis, sehingga tanpa adanya jaminan keadilan ketiganya,
maka matan hadis yang kita terima tidak dapat dipertanggung jawabkan
apakah matan hadis tersebut benar-benar dari Nabi. Dan inilah jawaban
pertanyaan dasar mengapa sanad hadis itu penting.9

2. Sanad Fiqih Aswaja dan Ulama NU

Sanad Ilmu Fikih Nahdlatul Ulama – Sanad Imam Syafi’i (w. 204 H)
kepada Rasulullah Shalla Allahu Alaihi wa Sallama memiliki 2 Jalur, Jalur
Imam Malik dan Jalur Imam Abu Hanifah.

1. Jalur Imam Malik

Imam Malik bin Anas (w. 179 H, Pendiri Madzhab Malikiyah) berguru

kepada ① Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124 H), ② Nafi’ Maula Abdillah bin

Umar (w. 117 H), ③ Abu Zunad (w. 136 H), ④ Rabiah al-Ra’y (w. 136H),

dan ⑤ Yahya bin Said (w. 143 H)

Kesemuanya berguru kepada ① Abdullah bin Abdullah bin Mas’ud (w. 94

H), ② Urwah bin Zubair (w. 94 H), ③ al-Qasim bin Muhammad bin Abu

Bakar (w. 106 H), ④ Said bin Musayyab (w. 94 H), ⑤ Sulaiman bin Yasar

(w. 107 H), ⑥ Kharihaj bin Zaid bin Tsabit (w.100 H), ⑦ dan Salim bin

Abdullah bin Umar (w.106 H).

9
Lihat M.Syuhudei Ismail, Kaedah Keshahiahan Hadis (Jakarta:Bulan Bintang, 1988) 105-
152
7
Kesemuanya berguru kepada ① Umar bin Khattab (w. 22 H), ② Utsman

bin Affan (w. 35 H),③ Abdullah bin Umar (w. 73 H), ④ Abdullah bin Abbas

(w. 68 H), dan ⑤ Zaid bin Tsabit (w. 45 H).

Kesemua Sahabat dari Rasulullah Shalla Allahu Alaihi wa Sallama

2. Jalur Imam Abu Hanifah

Imam Syafii berguru kepada Muhammad bin al-Hasan (w. 189 H), berguru
kepada Abu Hanifah (w. 150 H, Pendiri Madzhab Hanafiyah), berguru
kepada Hammad bin Abi Sulaiman (w. 120 H).

Berguru kepada ① Ibrahim bin Yazid al-Nakhai (w. 95 H), ② al-Hasan

al-Basri (w. 110 H), dan ③ Amir bin Syarahbil (w. 104 H).

Kesemuanya berguru kepada ① Syuraih bin al-Haris al-Kindi (w. 78 H),

② Alqamah bin Qais al-Nakhai (w. 62 H), ③ Masruq bin al-Ajda’ al-

Hamdani (w. 62 H), ④ al-Aswad bin Yazid bin Qais al-Nakhai (w. 95 H).

Kesemuanya berguru kepada ① Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H) dan ②

Ali bin Abi Thalib (w. 40 H)

Kesemua Sahabat dari Rasulullah Shalla Allahu Alaihi wa Sallama.

3. Madzhab Syafiiyah terdiri dari beberapa generasi (Thabqah).

Thabqah I Murid-Murid Imam Syafi’i

Abdullah bin Zubair Abu Bakar al-Humaidi (w. 219 H), Abu Ya’qub
Yusuf bin Yahya al-Buwaithi (w. 231 H), Ishaq bin Rahuwaih (w. 238 H),
Abu Utsman al-Qadhi Muhammad bin Syafi’i (w. 240 H), Ahmad bin
Hanbal (w. 241 H, Pendiri Madzhab Hanbali), Harmalah bin Yahya bin

8
Abdullah al-Tajibi (w. 243 H), Abu Ali al-Husain bin Ali bin Yazid al-
Karabisi (w. 245 H), Abu Tsaur al-Kulabi al-Baghdadi (w. 246 H), Ahmad
bin Yahya bin Wazir bin Sulaiman al-Tajibi (w. 250 H), al-Bukhari (w.
256 H), al-Hasan bin Muhammad bin al-Shabbah al-Za’farani (w. 260 H).

Thabqah II

Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H), Ahmad bin al-
Sayyar (w. 268 H), al-Rabi’ bin Sulaiman (w. 270 H), Abu Dawud (w. 275
H), Abu Hatim (w. 277 H), al-Darimi (w. 280 H), Ibnu Abi al-Dunya (w.
281 H), Abu Abdillah al-Marwazi (w. 294 H), Abu Ja’far al-Tirmidzi (w.
295 H), Al-Junaid al-Baghdadi (w. 298 H).

Thabqah III

al-Nasai (w. 303 H), Ibnu Suraij (w. 306 H), Ibnu al-Mundzir (w. 318
H), Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H, Imam Ahlissunah Dalam Aqidah),
Ibnu al-Qash (w. 335 H), Abu Ishaq al-Marwazi (w. 340 H), al-Mas’udi
(w. 346 H), Abu Ali al-Thabari (w. 350 H), al-Qaffal al-Kabir al-Syasyi
(w. 366 H), Ibnu Abi Hatim (w. 381 H), Al-Daruquthni (w. 385 H).

Thabqah IV

Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H), Ibnu al-Mahamili (w. 415
H), Mahmud bin Sabaktakin (w. 422 H), Abu Muhammad al-Juwaini (w.
438 H), al-Mawardi (w. 458 H), Ahmad bin Husain al-Baihaqi (w. 458 H),
al-Qadhi al-Marwazi (w. 462 H), Abu al-Qasim al-Qusyairi (w. 465 H),
Abu Ishaq al-Syairazi (w. 476 H), Imam al-Haramain (w. 478 H), Al-
Karmani (w. 500 H).

Thabqah V

Al-Ghazali (w. 505 H), Abu Bakar al-Syasyi (w. 507 H), al-Baghawi
(w. 516 H), al-Hamdzani (w. 521 H), al-Syahrastani (w. 548 H), al-Amudi
(w. 551 H), Ibnu Asakir (w. 576 H), Ibnu al-Anbari (w. 577 H), Abu
Syuja’ al-Ashbihani (w. 593 H).
9
Thabqah VI

Ibnu al-Atsir (w. 606 H), Fakhruddin al-Razi (w. 606 H), Aminuddin
Abu al-Khair al-Tibrizi (w. 621 H), al-Rafii (w. 623 H), Ali al-Sakhawi
(w. 643 H), Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H), Ibnu Malik (w. 672 H),
Muhyiddin Syaraf al-Nawawi (w. 676 H), Al-Baidhawi (w. 691 H).

Thabqah VII

Ibnu Daqiq al-Id (w. 702 H), Quthbuddin al-Syairazi (w. 710 H),
Najmuddin al-Qamuli (w. 727 H), Taqiyuddin al-Subki (w. 756 H),
Tajuddin al-Subki (w. 771 H), Jamaluddin al-Asnawi (w. 772 H), Ibnu
Katsir (w. 774 H), Ibnu al-Mulaqqin (w. 804 H), al-Zarkasyi (w. 780 H).

Thabqah VIII

Sirajuddin al-Bulqini (w. 805 H), Zainuddin al-Iraqi (w. 806 H), Ibnu
al-Muqri (w. 837 H), Syihabuddin al-Ramli (w. 844 H), Ibnu Ruslan (w.
844 H), Ibnu Zahrah (w. 848 H), Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H),
Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 H), Kamaluddin Ibnu Imam al-Kamiliyah
(w. 874 H).

Thabqah IX

Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H), al-Qasthalani (w. 923 H), Zakariya
al-Anshari (w. 928 H), Zainuddin al-Malibari (w. 972 H), Abdul Wahhab
al-Sya’rani (w. 973 H), Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H), al-Khatib al-
Syirbini (w. 977 H), Ibnu al-Qasim al-Ubbadi (w. 994 H).

Thabqah X

Syamsuddin al-Ramli (w. 1004 H), Abu Bakar al-Syinwani (w. 1019
H), Syihabuddin al-Subki (w. 1032 H), Ibnu ‘Alan al-Makki (w. 1057 H),
al-Raniri (w. 1068 H), Syihabuddin al-Qulyubi (w. 1070 H), Muhammad
al-Kaurani (w. 1078 H), Ibrahim al-Maimuni (w. 1079 H), Ali al-
Syibramalisi (w. 1078 H), Abdurrauf al-Fanshuri (w. 1094 H).

10
Thabqah XI

Najmuddin al-Hifni (w. 1101 H), Ibrahim al-Kaurani (w. 1101 H), Ilyas
al-Kurdi (w. 1138 H), Abdul Karim al-Syarabati (w. 1178 H), Jamaluddin
al-Hifni (w. 1178 H), Isa al-Barmawi (w. 1178 H), Athiyah al-Ajhuri (w.
1190 H), Ahmad al-Syuja’i (w. 1197 H).

Thabqah XII

Abdushomad al-Palimbani (w. 1203 H), Sulaiman al-Jamal (w. 1204


H), Sulaiman al-Bujairimi (w. 1221 H), Arsyar al-Banjari (w. 1227 H),
Muhammad al-Syinwani (w. 1233 H), Muhammad al-Fudhali (w. 1236
H), Khalid al-Naqsyabandi (w. 1242 H), Abdurrahman Ba’alawi al-
Hadhrami (w. 1254 H), Khatib al-Sanbasi (w. 1289 H), Ibrahim al-Bajuri
(w. 1276 H).

Thabqah XIII

Zaini Dahlan (w. 1303 H), al-Bakri Muhammad Syatha (w. 1310 H),
Nawawi al-Bantani (w. 1315 H), Shalih Darat (w. 1321 H), Muhammad
Amin al-Kurdi (w. 1332 H), Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1334
H), Mahfudz al-Tarmasi (w. 1338 H), Ahmad Khalil al-Bangkalani (w.
1345 H), Yusuf bin Ismail al-Nabhani (w. 1350 H).

Thabqah XIV

KH Hasyim Asy’ari (w. 1367 H), Pendiri Jamiyah Nahdlatul Ulama10

4. Sanad Fiqih Aswaja dan Ulama NU


Aswaja memiliki prinsip, bahwa hakikat tujuan hidup adalah
tercapainya keseimbangan kepentingan dunia-akherat dan selalu
mendekatkan diri kepada Allah Swt. Untuk dapat mendekatkan diri kepada
Allah, dicapai melalui perjalanan spiritual, yang bertujuan untuk
memperoleh hakikat dan kesempurnaan hidup manusia (insan kamil).

10
Tim aswaja NU center PWNU Jatim. Khazanah aswaja. 2016. Aswaja NU center PWNU
Jawa Timur. Surabaya: hal: 459

11
Namun hakikat yang diperoleh tersebut tidak boleh meniggalkan garis-
garis syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah Saw. Syari’at harus merupakan dasar untuk pencapaian
hakikat. Inilah prinsip yang dipegangi tashawuf (tasawuf) Aswaja.
Bagi penganut Aswaja, Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah
merupakan rujukan tertinggi. Tasawuf yang benar adalah yang dituntun
oleh wahyu, Al-Qur’an maupun As- Sunnah (Thariqah ar-Rasulullah
Saw).
Para sufi harus selalu memahami dan menghayati pengalaman-
pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama
kehidupannya. Demikian juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang
kemudian diteruskan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in sampai pada para ulama
sufi hingga sekarang. Memahami sejarah kehidupan (suluk) Nabi
Muhammad hingga para ulama waliyullah itu, dapat dilihat dari kehidupan
pribadi dan sosialnya. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-an
(kesederhanaan duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari perbuatan tercela)
dan dzikir yang dilakukan mereka. Demikian juga perilaku mereka dalam
bermasyarakat, seperti sopan santun, tawadlu’ (andab asor) dan sebagainya
harus selalu diresapi dan diteladani dengan penuh kesungguhan dan
kesabaran11.
Secara jama’ah, kaum Nahdliyin dapat memasuki kehidupan sufi
melalui cara-cara yang telah digunakan oleh seorang sufi tertentu dalam
bentuk thariqah (tarikat). Tidak semua tarikat yang ada dapat diterima.
Kaum Aswaja An-Nahdliyah menerima tarikat yang memiliki sanad
sampai dengan Nabi Muhammad, sebab beliau pemimpin seluruh perilaku
kehidupan umat Islam. Dari Nabi, seorang sufi harus merujuk dan
meneladani. Apabila ada tarikat yang sanadnya tidak sampai kepada Nabi
Muhammad, maka kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima
sebagai thariqah mu’tabarah.

11
Tim aswaja NU center PWNU Jatim. Khazanah aswaja. 2016. Aswaja NU center PWNU
Jawa Timur. Surabaya: hal: 464
12
Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para
pewarisnya adalah jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah
syari’at. Karena itu, kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima
jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban syari’at, seperti
yang terdapat dalam tasawuf Al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya
“ana al-haqq” atau tasawuf Ibnu ‘Arabi (ittihad; manunggaling kawula
gusti). Dalam bidang tasawuf, golongan Ahlussunnah Waljama’ah
(Aswaja) memegang teguh prinsip-prinsip dari dua tokoh besar sufi, yaitu
Imam al Junaid al Baghdadi dan Imam al Ghazali. Namun dalam hal ini,
penulis akan memaparkan empat alasan mengapa aliran Aswaja
mengambil konsep sufistik dari imam besar al Junaid al Baghdadi yang
dijuluki Syaikh at Tha’ifah as Sufiyyah wa Sayyiduha (Tuan Guru dan
pemimpin kaum sufi)
Nama lengkapnya adalah Abu al Qasim al Junaid bin Muhammad
bin al Junais al Khazzaz al Qawariri al Nahawandi al Baghdadi. Dari
namanya bisa diketahui bahwa Imam Junaid berasal dari Baghdad dan
diketahui wafat pada 297 H/910 M. Dalam kesehariaannya Imam Junaid
bekerja sebagai pedagang kain sutera. Ia mendapat kedalaman ilmu di
bidang tasawuf dari gurunya, yaitu Sari bin al Mughallis al Saqathi (w.
253 H/876 M), seorang tokoh sufi terkemuka yang juga saudara kandung
dari ibunya, alias pamannya.
Sejak usia 20 tahun ia mampu mengeluarkan fatwa, dan bahkan
jauh sebelum itu, ketika berusia tujuh tahun, ketika ditanya tentang definisi
syukur, secara tepat ia menjawab: “Jangan sampai anda berbuat maksiat
dengan nikmat yang diberikan Tuhan.”
Menurut sejarawan, terdapat empat faktor mengapa madzhab sufi
yang dibangun Imam al Junaid dijadikan sebagai acuan dan standar dalam
konsep tasawuf ahlussunnah waljama’ah. Diantaranya:
1. Konsistensi terhadap Al Quran dan as Sunnah
2. Konsistensi terhadap syari’at
3. Kebersihan dalam akidah
4. Ajaran tasawuf yang moderat.
13
Pertama, konsistensi terhadap Al Quran dan as Sunnah.
Kecerdasannya di bidang studi ilmu Al Quran, hadis dan fikih memang
tidak perlu diragukan lagi. Ia membawa pengaruh positif terhadap
perkembangan ilmu keagamaan pada saat itu. Di antara perkataan al
Junaid yang terkenal dan dijadikan kaidah kalangan sufi adalah kalimatnya
yang berbunyi: “Ilmu kami ini (tasawuf) dibangun dengan pondasi al
Kitab dan Sunnah. Barangsiapa yang belum hafal Al Quran, belum
menulis hadis dan belum belajar ilmu agama secara mendalam, maka ia
tidak bisa dijadikan panutan dalam tasawuf.”

Kedua, konsistensi terhadap syari’at. al Junaid membangun konsep


tasawufnya di atas pondasi konsistensi terhadap syari’at yang selalu
dipegang teguh dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, tasawuf tidak
bisa diikuti sebagian saja sementara sebagian yang lain tidak. Tasawuf
harus diikuti secara komprehensif.

Konsistensi pada syari’at juga dicontohkan sendiri oleh al Junaid.


Abu bakar al ‘Athawi berkata, “Al Junaid tidaklah berhenti shalat dan
membaca Al Qu’an, sedang beliau dalam keadaan sakit keras, hingga pada
waktu beliau menghembuskan nafas yang terakhir, telah dibacanya 70 ayat
dari surat al Baqarah sebagai ulangan membaca Al Quran kesekian
kalianya dalam keadaan sakit.”

Ketiga, kebersihan akidah. Imam al Junaid membangun madzhab di


atas pondasi akidah yang bersih, yakni akidah Ahlussunnah Waljama’ah.
Tidak sedikit orang pada masanya yang terjerumus pada akidah
menyimpang seperti akidah hululiyah (tuhan menempati makhluk-Nya),
akidah mubahiyyah (membolehkan semua larangan syari’at, yang luarnya
Islam namun batinnya menyimpang dari pokok-pokok agama).

Akidah yang diajarkan dalam tasawuf al Junaid merupakan ajaran


akidah yang simpel, mudah dicerna, dan bersih dari tajsim, tasybih, hulul
dan ibahi. Salah satu pernyataan al Junaid yang populer dalam soal akidah
adalah salah satunya ketika ditanya tentang tauhid, ia menjawab, “Tauhid
14
ialah membedakan Dzat yang tidak mempunyai permulaan dari
menyerupai makhluk-Nya yang baru.” Jawaban ini mengisyaratkan bahwa
akidah Ahlussunnah Waljama’ah menganut tanzih (menyucikan Tuhan
dari menyerupai makhluk-Nya) dan jauh dari tajsyim dan tasybih.

Keempat, Tasawufnya yang moderat. Tasawuf yang dibangunnya


ialah tasawuf moderat, yang merupakan ciri khas ajaran Ahlussunnah
Waljama’ah. Dalam hadis dikatakan, “Sebaik-baiknya perkara adalah yang
moderat (khair al umur ausathuha)”. Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra juga
mengatakan: “Ikutilah kelompok yang bersikap moderat, yang dapat
diikuti orang-orang dibelakangnya dan menjadi rujukan orang-orang yang
berlebihan (ekstrim).”

Berdasarkan keempat alasan tersebut, menunjukkan bahwa tasawuf


Aswaja dari tasawufnya Imam al Junaid tidak hanya berkonsentrasi pada
perlakuan syariat saja, namun juga berkontribusi aktif dalam memberikan
kemanfaatan kepada sesama manusia.

4. Kebatilan Aliran Kebatinan


1. Aspek Akidah
a. Konsep ketuhanan yang terdapat dalam aliran kebatinan seperti Allah
Isywara dan Allah purusha menununjukkan adanya penyelewengan
mendasar dari akidah tauhid.
b. Hampir semua aliran kebatinan mempercayai adanya wahyu Tuhan yang
diterima oelh pendiri atau pemimpinnya. Hal ini bertentangan dengan
akidah Islam bahwa wayu hanya diturunkan kepada nabi-nabi dan rosul-
rosul Allah SWT
c. Reinkarnasi yang dipercayai beberapa aliran kebatinan berasal dari ajaran
Hindu.
d. Persekutuan tuhan dalam posisi sujud, racut, penyerahan total dijadikan
sebagai tujuan akhir, merupakan pencemaran dan penodaan terhadap
akidah Islam.
e. Asal kejadian manusia yang dipandang sebagai penjelmaan dewa atau
percikan yang terpancar dari Allah sehingga manusia sehakekat dengan
Allah jelas jelas bertentangan dengan akidah Islam.
2. Aspek Syari’ah

15
a. Tata cara peribadatan dalam bentuk sujud atau posisi duduk bersila dengan
penghayatan dan rasa Eling kepada Tuhan YME merupakan pebuatan
bid’ah
b. Adanya 4 macam sholat dalam bratakesawa merupakan pengelabuan untuk
memberdayakan masyarakat.
c. Latihan kejiwaan yang dilaksanakan oleh aliran kebatinan dalam berbagai
cara dapat membawa pada kesesatan.12

12
DR. H. Ali Yaqub. Seminar kebatinan rantau. Penyelewengan akidah dan syariah dalam aliran
kebatinan di Indonesia. 2000. KUIM. Malsyia. Hal 14-15
16
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
1) Sanad adalah sesuatu yang bersifat eksternal atau di luar matan hadis.
Berita tentang cara yang menyambungkan antara kita dengan matan hadis,
maka sudah barang tentu keberadaannya sangat penting.
2) Sanad Ilmu Fikih Nahdlatul Ulama – Sanad Imam Syafi’i (w. 204 H)
kepada Rasulullah Shalla Allahu Alaihi wa Sallama memiliki 2 Jalur, Jalur
Imam Malik dan Jalur Imam Abu Hanifah yang semuanya sampai kepada
Rasulullah SAW.
3) Dalam bidang tasawuf, golongan Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja)
memegang teguh prinsip-prinsip dari dua tokoh besar sufi, yaitu Imam al
Junaid al Baghdadi dan Imam al Ghazali.
4) Kebatilan aliran kebatinan meliputi du aspek yaitu aspek akidah dan aspek
syari’ah
2. Saran

Pentingnya sanad dalam keilmuan menjadikan seseorang jelas


keilmuannya. Ketiga unsur sanad merupakan satu kesatuan yang
mengantarkan kepada matan hadis, sehingga tanpa adanya jaminan keadilan
ketiganya, maka matan hadis yang kita terima tidak dapat dipertanggung
jawabkan apakah matan hadis tersebut benar-benar dari Nabi. Dan inilah
jawaban pertanyaan dasar mengapa sanad hadis itu penting

17
DAFTAR PUSTAKA

DR. H. Ali Yaqub. Seminar kebatinan rantau. Penyelewengan akidah dan syariah
dalam aliran kebatinan di Indonesia. 2000. KUIM. Malsyia

Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jilid I; Jakarta: Bulan


Bintang, 1981).

M.M.Azami, Memahami Ilmu Hadis (cet.II; Jakarta: Penerbit Lentera, 1995)

Tim aswaja NU center PWNU Jatim. Khazanah aswaja. 2016. Aswaja NU center
PWNU Jawa Timur. Surabaya

18

Anda mungkin juga menyukai