ABSTRAK
Oleh:
Arif Kusman (201955020400791), Sinta Nur Afidah (201955020400784)
Nazlifah Bunga Mayensi (201955020400805)
ii
DAFTAR ISI
Cover …………………………………………………………………....……….. i
Abstrak ………...………………………………………….........………… ii
Daftar Isi ……………………………………………………….........…..... iii
Kata Pengantar ………………………………..………….........………….. iv
BAB I PENDAHULUAN ……………………….…..........…..………….. 1
1. Latar Belakang ………………………………........………………... 1
2. Rumusan Masalah ……………………..……........………………… 2
3. Tujuan Pembahasan …………………….…….…………………..… 2
BAB II PEMBAHASAN……………………………………..........……… 3
1. Pentingnya Sanad Keilmuan Dalam Agama …………..….....…….. 3
2. Sanad Fiqih Aswaja dan Ulama NU ..…………………….…..…… 7
3. Sanad Fiqih Aswaja dan Ulama NU ..……….…........………..…… 11
4. Kebatilan Aliran Kebatinan ..………………..…........………..…… 15
iii
KATA PENGANTAR
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Penulis
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
1
Istilah qath’I dan Zhanny sering digunakan oleh para ulama dan pemikir Islam dalam
kaitannya dengan pembahasan kedudukan al Quran dan Sunnah nabi dilihat dari wurudnya
(kedatangannya) atau Tsubutnya (Penepannya), dan dilihat dari dhalalahnya (petunjuk
pengertiannya). Pembagian status kepad Qath’I dan Zhanny terhadap dalil-dalil Naqli (al Quran
dan al Sunnah) itu mereka lakukan dalam upaya merumuskan dan menentukan kawasan ajaran
Islam yang tidak dapat lagi dilakukan ijtihad dan yang masih dapat (bahkan ada yang harus)
dilakukan ijtihad. Pembagian secara dikotomo dalil-dalil naqli kepada qath’I dan zhanni tersebut
pada dasarnya bersifat ijtihadi, Lihat H.M.Syuhudi Ismail, Konsep Qath,I dan Zahnni dalam
kaitannyadengnan As Sunnah, (Uswah Edisi No 4; Ujungpandang: BPP-IKA IAIN Alauddin,1993)
h.,26
2
Lebih lengkap lihat, Ahmad AJ. Al-Showy, (et.al), Mukjizat Al-Qur’an dan Sunnah
Tentang IPTEK (cet.I;Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 56-63
3
Lihat Ibnu Abi Khatim Al-Raz, .Kitab al-Jarh Wa al-Ta’dil, (Juz II;Haidarabat: Darirah al
Ma’arif, 1952), h. 16.
1
1. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pentingnya sanad keilmuan dalam agama?
2. Bagaimana sanad fiqih aswaja dan ulama NU?
3. Bagaimana sanad tasawuf Aswaja?
4. Bagaimana kebatilan aliran kebatinan?
2. Tujuan
1. Untuk mengetahui secara baik pentingnya sanad keilmuan dalam agama.
2. Untuk mengetahui secara baik sanad aswaja dan ulama NU.
3. Untuk mengetahui secara baik sanad sanad tasawuf aswaja.
4. Untuk mengetahui secara baik kebatilan aliran kebatinan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
4
M.M.Azami, Memahami Ilmu Hadis (cet.II; Jakarta: Penerbit Lentera, 1995), h. 57
5
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jilid I; Jakarta: Bulan Bintang,
1981,) h. 49
3
orang yang meriwayatkan suatu hadist yang disertai dengan menyebutkan
sanad hadistnya.
3. Adapun musnad adalah isim maf’ul yang terbentuk dari kata sanada yang
mempunyai arti secara lughawi sesuatu yang dinisbatkan atau disandarkan.
Sedangkan menurut istilah ilmu hadist musnad mempunyai tiga pengertian
yaitu:
a. Kata musnad berarti kitab hadist yang didalamnya berisi koleksi
hadist-hadist yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain dalam bab
yang lain pula.
b. Kata musnad juga berarti hadis-hadis yang disebutkan saluruh
sanad dan bersambung sampai kepada Nabi.
c. Para Ulama hadis juga menggunakan musnad dalam arti sanad, ini
dapat dipahami karena musnad merupakan masdar dari sanad.
Sistem periwayatan terhadap suatu berita, cerita, sya’ir dan sisilah sudah
sangat kental dalam budaya Arab jauh sebelum Islam datang. Bangsa Arab
mempergunakan sistem periwayatan berantai, terhadap berita, cerita, sya’ir
dan sisilah mereka miliki. Mereka menghapal apa yang menjadi
kebanggaannya itu di luar kepala, khususnya tentang nasab mereka, karena
bangsa Arab terkenal dengan kekuatan hafalnnya.
4
hal yang bersifat kesenangan, kebanggaan dan juga untuk membakar
semangat dalam berperang6.
Namun urgensi metode sanad baru tampak dan lebih penting dalam Islam
khususnya periwayatan hadis, sehingga begitu berkembang sisitem sanad
ini, Ibnu Mubarak mengatakan bahwa metode sanad itu merupakan bagian
dari Agama Islam.
ِ ُ َيَٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ َٰٓواْ ِإن َجا َٰٓ َء ُك ۡم فَا ِس ُۢ ُق ِبنَ َب ٖإ فَت َ َبيَّنُ َٰٓواْ أَن ت
َ ْصيبُواْ قَ ۡو ُۢ َما ِب َج َهلَ ٖة فَتُصۡ بِ ُحوا
علَى َما
٦ ََف َع ۡلت ُ ۡم نَد ِِمين
َٰٓ
َ َص َر َو ۡٱلفُ َؤادَ ُك ُّل أ ُ ْولَئِكَ َكان
ع ۡنهُ َم ۡسُٔٔ ا
وَل َ َسمۡ َع َو ۡٱلب
َّ س لَكَ بِِۦه ِع ۡل ٌۚم ِإ َّن ٱل ُ َو ََل ت َۡق
َ ف َما لَ ۡي
٣٦
36. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
6
Penggunaan sanad Masyarakat Jahiliyah bukan hal-hal yang bersifat sakral dan suci
serta tidak memiliki ketentuan-ketentuan yang ketat, lihat. Muhammad Abu Syuhbat, Fi Rihat al
Sunnat al Kutub al Shihal al sittah, Majma al-Buhut al-Islamiyah, Azhar Kairo,1989, h. 32.
5
berdusta atas nama Nabi, sehingga menjadikan para sahabat dalam
meriwayatkan hadis Nabi sangat hati-hati.
Berbekal dengan budaya yang sudah ada dan sikap mental yang dibangun
oleh Nabi Saw., Ketika Nabi masih hidup para sahabat tanpa ada dinding
pemisah antara mereka semua. Nabi bercampur dengan mereka itu di Mesjid,
di pasar, dalam perjalanan dan dalam perhentian. Perbuatan dan perkataan
nabi selalu menjadi pusat perhatian dan kekaguman mereka. Sebab
Rasulullah merupakan pusat keagamaan dan kedunian mereka sejak Allah
memberi petunjuk kepada mereka dan menyelamatkan dari kesesatan dan
kegelapan menuju hidayah dan cahaya7.
Sanad adalah sesuatu yang bersifat eksternal atau di luar matan hadis.
Berita tentang cara yang menyambungkan antara kita dengan matan hadis,
maka sudah barang tentu keberadaannya sangat penting. Dengan demikian
mustahil mendapatkan hadis tanpa melalui sanad, bahkan sebagian ulama
berpendapat bahwa sanad hadis merupakan bagian dari agama. Karena
pentingnya peranan sanad dalam hadis tersebut, maka para ulama ulumul
hadis mengklasifikasikan hadis, baik dari segi shahih dan maudhu’nya,
maqbul dan mardudnya maupun tingkat dan kualitas hadis lebih banyak
didasarkan pada kualitas sanadnya.
Berdasarkan defenisi dan batasan sanad yang telah dipaparkan, maka ada
tiga unsur penting dalam sanad hadis yang harus dijaga kevalidannya yaitu:
1. Rijal al Sanad
2. Ittishal al Ruwat
3. Tahammul wa al Adaa8
7
Kegairahan mereka untuk mengikuti nabi dalam sabda dan perbuatan itu sampai
kepada tingkat bahwa sebahagian dari mereka bergantian menyertai nabi sehari demi sehari .
Begitulah Umar ibn al Khattab, r.a misalnya, menurut penuturan al Bukhari dengan sanad yang
bersambung, berkata “ Dulu aku dan seorang tetanggaku dari golongan Anshar kalangan Bani
Umayyah ibn Zayd
8
Bandingkan M.Syhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis nabi, op.cit, h.23
6
Ketiga unsur sanad ini merupakan satu kesatuan yang mengantarkan
kepada matan hadis, sehingga tanpa adanya jaminan keadilan ketiganya,
maka matan hadis yang kita terima tidak dapat dipertanggung jawabkan
apakah matan hadis tersebut benar-benar dari Nabi. Dan inilah jawaban
pertanyaan dasar mengapa sanad hadis itu penting.9
Sanad Ilmu Fikih Nahdlatul Ulama – Sanad Imam Syafi’i (w. 204 H)
kepada Rasulullah Shalla Allahu Alaihi wa Sallama memiliki 2 Jalur, Jalur
Imam Malik dan Jalur Imam Abu Hanifah.
Imam Malik bin Anas (w. 179 H, Pendiri Madzhab Malikiyah) berguru
kepada ① Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124 H), ② Nafi’ Maula Abdillah bin
Umar (w. 117 H), ③ Abu Zunad (w. 136 H), ④ Rabiah al-Ra’y (w. 136H),
H), ② Urwah bin Zubair (w. 94 H), ③ al-Qasim bin Muhammad bin Abu
Bakar (w. 106 H), ④ Said bin Musayyab (w. 94 H), ⑤ Sulaiman bin Yasar
(w. 107 H), ⑥ Kharihaj bin Zaid bin Tsabit (w.100 H), ⑦ dan Salim bin
9
Lihat M.Syuhudei Ismail, Kaedah Keshahiahan Hadis (Jakarta:Bulan Bintang, 1988) 105-
152
7
Kesemuanya berguru kepada ① Umar bin Khattab (w. 22 H), ② Utsman
bin Affan (w. 35 H),③ Abdullah bin Umar (w. 73 H), ④ Abdullah bin Abbas
Imam Syafii berguru kepada Muhammad bin al-Hasan (w. 189 H), berguru
kepada Abu Hanifah (w. 150 H, Pendiri Madzhab Hanafiyah), berguru
kepada Hammad bin Abi Sulaiman (w. 120 H).
al-Basri (w. 110 H), dan ③ Amir bin Syarahbil (w. 104 H).
② Alqamah bin Qais al-Nakhai (w. 62 H), ③ Masruq bin al-Ajda’ al-
Hamdani (w. 62 H), ④ al-Aswad bin Yazid bin Qais al-Nakhai (w. 95 H).
Abdullah bin Zubair Abu Bakar al-Humaidi (w. 219 H), Abu Ya’qub
Yusuf bin Yahya al-Buwaithi (w. 231 H), Ishaq bin Rahuwaih (w. 238 H),
Abu Utsman al-Qadhi Muhammad bin Syafi’i (w. 240 H), Ahmad bin
Hanbal (w. 241 H, Pendiri Madzhab Hanbali), Harmalah bin Yahya bin
8
Abdullah al-Tajibi (w. 243 H), Abu Ali al-Husain bin Ali bin Yazid al-
Karabisi (w. 245 H), Abu Tsaur al-Kulabi al-Baghdadi (w. 246 H), Ahmad
bin Yahya bin Wazir bin Sulaiman al-Tajibi (w. 250 H), al-Bukhari (w.
256 H), al-Hasan bin Muhammad bin al-Shabbah al-Za’farani (w. 260 H).
Thabqah II
Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H), Ahmad bin al-
Sayyar (w. 268 H), al-Rabi’ bin Sulaiman (w. 270 H), Abu Dawud (w. 275
H), Abu Hatim (w. 277 H), al-Darimi (w. 280 H), Ibnu Abi al-Dunya (w.
281 H), Abu Abdillah al-Marwazi (w. 294 H), Abu Ja’far al-Tirmidzi (w.
295 H), Al-Junaid al-Baghdadi (w. 298 H).
Thabqah III
al-Nasai (w. 303 H), Ibnu Suraij (w. 306 H), Ibnu al-Mundzir (w. 318
H), Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H, Imam Ahlissunah Dalam Aqidah),
Ibnu al-Qash (w. 335 H), Abu Ishaq al-Marwazi (w. 340 H), al-Mas’udi
(w. 346 H), Abu Ali al-Thabari (w. 350 H), al-Qaffal al-Kabir al-Syasyi
(w. 366 H), Ibnu Abi Hatim (w. 381 H), Al-Daruquthni (w. 385 H).
Thabqah IV
Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H), Ibnu al-Mahamili (w. 415
H), Mahmud bin Sabaktakin (w. 422 H), Abu Muhammad al-Juwaini (w.
438 H), al-Mawardi (w. 458 H), Ahmad bin Husain al-Baihaqi (w. 458 H),
al-Qadhi al-Marwazi (w. 462 H), Abu al-Qasim al-Qusyairi (w. 465 H),
Abu Ishaq al-Syairazi (w. 476 H), Imam al-Haramain (w. 478 H), Al-
Karmani (w. 500 H).
Thabqah V
Al-Ghazali (w. 505 H), Abu Bakar al-Syasyi (w. 507 H), al-Baghawi
(w. 516 H), al-Hamdzani (w. 521 H), al-Syahrastani (w. 548 H), al-Amudi
(w. 551 H), Ibnu Asakir (w. 576 H), Ibnu al-Anbari (w. 577 H), Abu
Syuja’ al-Ashbihani (w. 593 H).
9
Thabqah VI
Ibnu al-Atsir (w. 606 H), Fakhruddin al-Razi (w. 606 H), Aminuddin
Abu al-Khair al-Tibrizi (w. 621 H), al-Rafii (w. 623 H), Ali al-Sakhawi
(w. 643 H), Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H), Ibnu Malik (w. 672 H),
Muhyiddin Syaraf al-Nawawi (w. 676 H), Al-Baidhawi (w. 691 H).
Thabqah VII
Ibnu Daqiq al-Id (w. 702 H), Quthbuddin al-Syairazi (w. 710 H),
Najmuddin al-Qamuli (w. 727 H), Taqiyuddin al-Subki (w. 756 H),
Tajuddin al-Subki (w. 771 H), Jamaluddin al-Asnawi (w. 772 H), Ibnu
Katsir (w. 774 H), Ibnu al-Mulaqqin (w. 804 H), al-Zarkasyi (w. 780 H).
Thabqah VIII
Sirajuddin al-Bulqini (w. 805 H), Zainuddin al-Iraqi (w. 806 H), Ibnu
al-Muqri (w. 837 H), Syihabuddin al-Ramli (w. 844 H), Ibnu Ruslan (w.
844 H), Ibnu Zahrah (w. 848 H), Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H),
Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 H), Kamaluddin Ibnu Imam al-Kamiliyah
(w. 874 H).
Thabqah IX
Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H), al-Qasthalani (w. 923 H), Zakariya
al-Anshari (w. 928 H), Zainuddin al-Malibari (w. 972 H), Abdul Wahhab
al-Sya’rani (w. 973 H), Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H), al-Khatib al-
Syirbini (w. 977 H), Ibnu al-Qasim al-Ubbadi (w. 994 H).
Thabqah X
Syamsuddin al-Ramli (w. 1004 H), Abu Bakar al-Syinwani (w. 1019
H), Syihabuddin al-Subki (w. 1032 H), Ibnu ‘Alan al-Makki (w. 1057 H),
al-Raniri (w. 1068 H), Syihabuddin al-Qulyubi (w. 1070 H), Muhammad
al-Kaurani (w. 1078 H), Ibrahim al-Maimuni (w. 1079 H), Ali al-
Syibramalisi (w. 1078 H), Abdurrauf al-Fanshuri (w. 1094 H).
10
Thabqah XI
Najmuddin al-Hifni (w. 1101 H), Ibrahim al-Kaurani (w. 1101 H), Ilyas
al-Kurdi (w. 1138 H), Abdul Karim al-Syarabati (w. 1178 H), Jamaluddin
al-Hifni (w. 1178 H), Isa al-Barmawi (w. 1178 H), Athiyah al-Ajhuri (w.
1190 H), Ahmad al-Syuja’i (w. 1197 H).
Thabqah XII
Thabqah XIII
Zaini Dahlan (w. 1303 H), al-Bakri Muhammad Syatha (w. 1310 H),
Nawawi al-Bantani (w. 1315 H), Shalih Darat (w. 1321 H), Muhammad
Amin al-Kurdi (w. 1332 H), Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1334
H), Mahfudz al-Tarmasi (w. 1338 H), Ahmad Khalil al-Bangkalani (w.
1345 H), Yusuf bin Ismail al-Nabhani (w. 1350 H).
Thabqah XIV
10
Tim aswaja NU center PWNU Jatim. Khazanah aswaja. 2016. Aswaja NU center PWNU
Jawa Timur. Surabaya: hal: 459
11
Namun hakikat yang diperoleh tersebut tidak boleh meniggalkan garis-
garis syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah Saw. Syari’at harus merupakan dasar untuk pencapaian
hakikat. Inilah prinsip yang dipegangi tashawuf (tasawuf) Aswaja.
Bagi penganut Aswaja, Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah
merupakan rujukan tertinggi. Tasawuf yang benar adalah yang dituntun
oleh wahyu, Al-Qur’an maupun As- Sunnah (Thariqah ar-Rasulullah
Saw).
Para sufi harus selalu memahami dan menghayati pengalaman-
pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama
kehidupannya. Demikian juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang
kemudian diteruskan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in sampai pada para ulama
sufi hingga sekarang. Memahami sejarah kehidupan (suluk) Nabi
Muhammad hingga para ulama waliyullah itu, dapat dilihat dari kehidupan
pribadi dan sosialnya. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-an
(kesederhanaan duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari perbuatan tercela)
dan dzikir yang dilakukan mereka. Demikian juga perilaku mereka dalam
bermasyarakat, seperti sopan santun, tawadlu’ (andab asor) dan sebagainya
harus selalu diresapi dan diteladani dengan penuh kesungguhan dan
kesabaran11.
Secara jama’ah, kaum Nahdliyin dapat memasuki kehidupan sufi
melalui cara-cara yang telah digunakan oleh seorang sufi tertentu dalam
bentuk thariqah (tarikat). Tidak semua tarikat yang ada dapat diterima.
Kaum Aswaja An-Nahdliyah menerima tarikat yang memiliki sanad
sampai dengan Nabi Muhammad, sebab beliau pemimpin seluruh perilaku
kehidupan umat Islam. Dari Nabi, seorang sufi harus merujuk dan
meneladani. Apabila ada tarikat yang sanadnya tidak sampai kepada Nabi
Muhammad, maka kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima
sebagai thariqah mu’tabarah.
11
Tim aswaja NU center PWNU Jatim. Khazanah aswaja. 2016. Aswaja NU center PWNU
Jawa Timur. Surabaya: hal: 464
12
Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para
pewarisnya adalah jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah
syari’at. Karena itu, kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima
jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban syari’at, seperti
yang terdapat dalam tasawuf Al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya
“ana al-haqq” atau tasawuf Ibnu ‘Arabi (ittihad; manunggaling kawula
gusti). Dalam bidang tasawuf, golongan Ahlussunnah Waljama’ah
(Aswaja) memegang teguh prinsip-prinsip dari dua tokoh besar sufi, yaitu
Imam al Junaid al Baghdadi dan Imam al Ghazali. Namun dalam hal ini,
penulis akan memaparkan empat alasan mengapa aliran Aswaja
mengambil konsep sufistik dari imam besar al Junaid al Baghdadi yang
dijuluki Syaikh at Tha’ifah as Sufiyyah wa Sayyiduha (Tuan Guru dan
pemimpin kaum sufi)
Nama lengkapnya adalah Abu al Qasim al Junaid bin Muhammad
bin al Junais al Khazzaz al Qawariri al Nahawandi al Baghdadi. Dari
namanya bisa diketahui bahwa Imam Junaid berasal dari Baghdad dan
diketahui wafat pada 297 H/910 M. Dalam kesehariaannya Imam Junaid
bekerja sebagai pedagang kain sutera. Ia mendapat kedalaman ilmu di
bidang tasawuf dari gurunya, yaitu Sari bin al Mughallis al Saqathi (w.
253 H/876 M), seorang tokoh sufi terkemuka yang juga saudara kandung
dari ibunya, alias pamannya.
Sejak usia 20 tahun ia mampu mengeluarkan fatwa, dan bahkan
jauh sebelum itu, ketika berusia tujuh tahun, ketika ditanya tentang definisi
syukur, secara tepat ia menjawab: “Jangan sampai anda berbuat maksiat
dengan nikmat yang diberikan Tuhan.”
Menurut sejarawan, terdapat empat faktor mengapa madzhab sufi
yang dibangun Imam al Junaid dijadikan sebagai acuan dan standar dalam
konsep tasawuf ahlussunnah waljama’ah. Diantaranya:
1. Konsistensi terhadap Al Quran dan as Sunnah
2. Konsistensi terhadap syari’at
3. Kebersihan dalam akidah
4. Ajaran tasawuf yang moderat.
13
Pertama, konsistensi terhadap Al Quran dan as Sunnah.
Kecerdasannya di bidang studi ilmu Al Quran, hadis dan fikih memang
tidak perlu diragukan lagi. Ia membawa pengaruh positif terhadap
perkembangan ilmu keagamaan pada saat itu. Di antara perkataan al
Junaid yang terkenal dan dijadikan kaidah kalangan sufi adalah kalimatnya
yang berbunyi: “Ilmu kami ini (tasawuf) dibangun dengan pondasi al
Kitab dan Sunnah. Barangsiapa yang belum hafal Al Quran, belum
menulis hadis dan belum belajar ilmu agama secara mendalam, maka ia
tidak bisa dijadikan panutan dalam tasawuf.”
15
a. Tata cara peribadatan dalam bentuk sujud atau posisi duduk bersila dengan
penghayatan dan rasa Eling kepada Tuhan YME merupakan pebuatan
bid’ah
b. Adanya 4 macam sholat dalam bratakesawa merupakan pengelabuan untuk
memberdayakan masyarakat.
c. Latihan kejiwaan yang dilaksanakan oleh aliran kebatinan dalam berbagai
cara dapat membawa pada kesesatan.12
12
DR. H. Ali Yaqub. Seminar kebatinan rantau. Penyelewengan akidah dan syariah dalam aliran
kebatinan di Indonesia. 2000. KUIM. Malsyia. Hal 14-15
16
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
1) Sanad adalah sesuatu yang bersifat eksternal atau di luar matan hadis.
Berita tentang cara yang menyambungkan antara kita dengan matan hadis,
maka sudah barang tentu keberadaannya sangat penting.
2) Sanad Ilmu Fikih Nahdlatul Ulama – Sanad Imam Syafi’i (w. 204 H)
kepada Rasulullah Shalla Allahu Alaihi wa Sallama memiliki 2 Jalur, Jalur
Imam Malik dan Jalur Imam Abu Hanifah yang semuanya sampai kepada
Rasulullah SAW.
3) Dalam bidang tasawuf, golongan Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja)
memegang teguh prinsip-prinsip dari dua tokoh besar sufi, yaitu Imam al
Junaid al Baghdadi dan Imam al Ghazali.
4) Kebatilan aliran kebatinan meliputi du aspek yaitu aspek akidah dan aspek
syari’ah
2. Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
DR. H. Ali Yaqub. Seminar kebatinan rantau. Penyelewengan akidah dan syariah
dalam aliran kebatinan di Indonesia. 2000. KUIM. Malsyia
Tim aswaja NU center PWNU Jatim. Khazanah aswaja. 2016. Aswaja NU center
PWNU Jawa Timur. Surabaya
18