Penyusun
i
DAFTAR ISI
Halaman Judul……………………………………………………………..i
Kata Pengantar…………………………………………………………….ii
Daftar Isi……………………………………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………..4
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………...….6
A. Kesimpulan…………………………………………………….24
B. Saran…………………………………………………………...24
Daftar Pustaka…………………………………………………………….25
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Sejarah Ulumul Hadits ?
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Ulumul Hadits ?
3. Bagaimana Pemikiran Ulumul Hadits Pada Priode Klasik Dan
Pertengahan Modern ?
C. Tujuan Pembuatan Makalah
1. Untuk mengetahui pengertian sejarah Ulumul Hadits.
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan Ulumul Hadits.
3. Untuk mengetahui pemikiran Ulumul Hadits pada priode klasik
dan pertengahan modern.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah ilmu Hadis di dalam tradisi Ulama Hadis. (Arabnya: ‘Ulum al-
Hadits).‘Ulum al-Hadist terdiri atas dua kata, yaitu ‘ulum dan al-Hadist. Kata
‘ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti : “ilmu –
ilmu”; sedangkan al-Hadits dikalangan ulama hadits berarti “ segala sesuatu yang
disandarkan pada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan,taqrir,atau sifat.“ 1Dengan
demikian, gabungan kata ‘ulum al – Hadits mengandung pengertian “ilmu – ilmu
yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi SAW”.
ِع ْل ٌم َي ْب َح ُث ِفْي ِه َع ْن َك ْي ِفَّيِة ِأ ِّت َص ا ِل اْل َح ِد ِيِث ِبَر ُسْو ِل اللِه َص َّلى اللُه َع َلْي ِه
َو َس َّلَم ِم ْن َح ْي ُث َأ ْح َو ا ِل ُر َو اِتِه َض ْب ًط ا َو َع َد اَلًة َو ِم ْن َح ْي ُث َك ْي ِفَّي ِة الَّس َن ِد
ِإِّت َص ا ًال َو ِإْن ِقَط ا ًع ا َو َغ ْي ِر َذ اِلَك
Kata ilmu hadits merupakan kata serapan dari bahasa arab, ‘ilmu al-
hadits” , yang terdiri atas dua kata, yaitu “ilmu “ dan “ Hadits “. Jika mengacu
kepada pengertian hadis, sebagaimana telah dibahas pada bab 1, maka kata ilmu
hadits, berarti ilmu pengetahuan yang mengkaji atau membahas tentang segala
yang disandarkan pada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
maupun lainnya.
1
Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits (Beirut: Dar Al-Qur’an al-
Karim,1979), h.14.
5
Adapun perintis pertama yang menyusun ilmu ini secara fak (spesialis)
dalam satu kitab khusus ialah Al-Qandi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy (360
H) yang diberi nama dengan Al-Muhaddisul Fasil Bainar Wari Was Sami’.
Menurut Ibn Manzhur, kata ‘hadis ‘ berasal dari bahasa arab, yaitu al-
hadist, jamaknya al-Ahadist , al-Hadistan dan al-hudtsan. Secara etimologis , kata
ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim
(yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita.
2
Ibid., h.10
6
Didalam surat al hujurat ayat 6, Allah SWT memerintahkan orang orang
yang beriman untuk meneliti dia mempertanyakan berita – berita yang datang dari
orang - orang yang fasik:
َياَأُّيَها اَّلِذ يَن َء اَم ُنوا ِإن َج آَء ُك ْم َفاِس ُُق ِبَنَبٍإ َفَتَبَّيُنوا َأن ُتِص يُبوا َقْو ًم ا ِبَج َهاَل ٍة
َفُتْص ِبُح وا َع َلى َم اَفَعْلُتْم َناِدِم يَن
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu
tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan (yang
sebenarnya) yang menyebabkan kamumenyesal atas perbuatanmu.
Setelah terjadi fitnah di dalam kehidupan umat Islam, Para Sahabat mulai
meminta keterangan tentang orang-orang yang menyampaikan Hadis atau Khabar
kepada mereka. Mereka menerima atau mengambil Hadis dari orang- orang yang
tetap berpegang kepada Sunnah Rasul SAW, dan sebaliknya mereka tidak
mengambil Hadis dari mereka para ahli bid’ah. 3
3
Mahmud al-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadits, h. 9
7
dilakukan penelitian terhadap sanad Hadis dengan mempraktikkan
ilmu al- jarah wa al-ta’dil,dan sekaligus mulai pulalah ilmu al-
jarah wa al-ta’dil ini tumbuh dan berkembang.
b. Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadits tentang hukum diyat, hukum
keluarga, dan lain-lain.
a. Secara lisan dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum laki laki.
b. Pengajian rutin dikalangan kaum wanita, setelah kaum wanita
memintannya.
8
c. Nabi menyampaikan haditsnnya melalui perbuatan seperti: shalat
berjamaah pada bulan Ramadhan, dua atau tiga malam.
d. Nabi menyampaikan hadits melalui “ teguran “ , yaitu terhadap seseorang
petugas yang telah melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadiah dari
masyarakat ketika bertugas mengumpulkan zakat ( amil ).
e. Untuk hal – hal sensitif, seperti soal keluarga dan kebutuhan biologis, ia
sampaikan melalui istri – istrinnya.
f. Cara lain yang dilakukan Rasul adalah melakukan ceramah atau pidato
ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah.
9
kepada Nabi karena beliau berada bersama, bergaul, dan bermuamalah
dengan mereka,8 sehingga bila terjadi kesalahan penukilan, kekeliruan
pengucapan, atau kekurangan- pahaman terhadap makna teks Hadis, dapat
dirujuk pada Nabi.9
Nabi muhammad menyampaikan Hadis-hadisnya dengan cara yang
beragam. Cara-cara ini ditempuhnya sesuai keadaan dimana Rasul berada
dan berhadapan dengan para sahabatnya.
1. Nabi menyampaikan sabdanya melalui majelis ilmu, yaitu pusat atau
tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para
jama’ah.
2. Dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan hadisnya
melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat-
sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain.
3. Nabi menyampaikan melalui isteri-isterinya terutama untuk hal-hal
sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan
biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri.
4. Rasulullah menyampaikan Hadis melalui ceramah atau pidato ditempat
terbuka, seperti ketika futuh Makkah dan haji wadah.10
5. Nabi menyampaikan hadis melalui perbuatan langsung yang
disaksikan para sahabatnya dengan jalan musyahadah,seperti yang
berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah.
Menurut ‘Abd al-Nasr, Allah telah memberikan keistimewaan
kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal.
Mereka dapat meriwayatkan Al-Qur’an, Hadis, syair, dan lain-lain
dengan baik. Seakan mereka membaca dari sebuah buku. 11 Rasulullah
tidak pernah memerintah sahabat tertentu untuk menulis Hadis dan
membukukannya sebagaimana Al-Qur’an yang ditulis secara resmi
oleh Zayd ibn Tsabit, sekretaris pribadi beliau. Bahkan, dalam suatu
kesempatan Nabi pernah melarang menulis Hadis sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Sa id al-Khudzri bahwa Nabi bersabda:
ال تكتبوا عني ومن كتب عني غير القران فليمحه وحدثوا عني وال
حرج ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
8
Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (Beirut:
al-Maktab al-Islami, 1985 M.), hlm.56.
9
Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2016), cet.3, hlm.31-32.
10
Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah..., hlm.61-62.
11
‘Abd al-Nasr Tawfiq al-‘Atta<r, Dustur..., hlm.71.
10
“Jangan kalian tulis dariku (selain Al-Qur’an) dan barang siapa yang
menulis dariku selain al-Qur’an, maka hapuslah. Riwayatkan Hadis
dariku tidak apa-apa. Barang siapa berdusta atas namaku –Himam
berkata, aku menyangka beliau bersabda-maka hendaklah ia
menempati tempat duduknya di neraka.”12
12
Muhyi al-Din ibn Syarf al-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi
(Indonesia: Maktabah Dahlan, 2001 M.),hlm.298.
13
Hadis yang melarang menulis Hadis dan yang membolehkan dapat dilihat
dalam al-Bukhari,Sahih al-Bukhari, Juz I,hlm.32,Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih
Muslim,Juz II, hlm.988,Abu Dawud al-Sijiztani, Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar
al-Fikr, 2003 M.), juz III,hlm.318-319,juz IV,hlm.172, Ahmad ibn Hanbal,
Musnad Ahmad,, juz III,hlm.12,21,39.
14
M.Syuhudi Ismail,Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan
Bintang,1995), hlm.101-102.
11
kodifikasi formal sedangkan izin ditujukan untuk sekadar dalam
bentuk catatanyang dipakai sendiri. (g) Larangan berlaku ketika wahyu
masih turun, belum dihafal dan dicatat. Adapun ketika wahyu yang
turun sudah dihafal dan dicatat, maka penulis Hadis diizinkan. 15 (h)
Ada sebagian sahabat yang memiliki catatan yang disebut dengan
sahifah untuk mencatat sebagian Hadis yang diterima dari Nabi. Di
antara sahabat yang memiliki catatan Hadis dari Nabi adalah ‘Abd
Allah ibn’Amr ibn al-‘As, dengan catatannya yang diberi nama al-
sadiqah.16
Beberapa sahabat yang juga mempunyai catatan Hadis adalah ‘Ali
ibn Abi Talib (wafat 40 H./611 M.), Sumrah ibn Jundab (wafat 60
H./680 M.), ‘Abd Allah ibn ‘Amr ibn al-‘As (wafat 65 H./685 M.),
‘Abd Allah ibn ‘Abbas (wafat 69 H./689 M.), Jabir ibn ‘Abd Allah al-
Ansari (wafat 78H./697 M.), dan ‘Abd Allah ibn Abi Awfa’ (wafat 86
H.). Catatan-catatan Hadis ini di samping merupakan dokumen bahwa
pada masa Nabi telah terjadi aktivitas penulisan hadis juga dapat
digunakan sebagai sarana untuk periwayatan Hadis secara tertulis.
Meskipun jarang, periwayatan Hadis secara tertulis pada masa ini juga
pernah dilakukan. Kebanyakan penyebaran Hadis oleh para sahabat
dilakukan secara lisan.
12
besar,belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian para sahabat
masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan mereka
berusaha membatasi periwayatan Hadis tersebut.
Oleh karenanya, para sahabat khususnya al-Khulafa’al-Rasyidun dan
sahabat lain seperti al-Zubayr, ibn ‘Abbas, dan Abu Ubaydah berusaha
memperketat periwayatannya dan penerimaan Hadis. 18 Mereka
menyampaikan dan menjaga Hadis dengan Hati-hati agar tidak terjadi
kesalahan dengan cara tidak meriwayatkannya kecuali saat-saat
dibutuhkan melalui penelitian yang mendalam.19 Mereka sangat hati-hati
dalam meriwayatkan Hadis karena khawatir mengalami kekeliruan
baikketika menerima maupun menyampaikannya kepada sahabat lain atau
pun kepada generasi tabi’in.
Salah satu contoh kehati-hatian Abu Bakar terlihat pada riwayat Ibn
Syihab al-Zuhri dari Qabisah ibn Zuayb bahwa seorang nenek bertanya
kepada Abu Bakar soal bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia
menyatakan bahwa hal itu tidak ditemukan hukumnya, baik dalam al-
Qur’an maupun Hadis, al-Mughirah menyebutkan bahwa Rasulullah
memberinya seperenam. Abu Bakar kemudian meminta supaya al-
Mughirah mengajukan saksi lebih dahulu baru kemudian Hadisnya
diterima.20 Saksi yang diajukan oleh al-Mughirah bernama Muhammad ibn
Maslamah.21
Sebagian ahli Hadis mengemukakan bahwa Abu Bakar dan Umar
menggariskan bahwa Hadis dapat diterima apabila disertai saksi atau
setidaknya periwayat berani disumpah.22 Pendapat ini menurut al-Siba’i,
tidak benar karena ‘Umar menerima beberapa Hadis meskipun hanya
diriwayatkan oleh seorang periwayat Hadis.23 Menurut al-Siba’i ,sampai
‘Umar Wafat,Hadis belum banyak yang tersebar dan masih dalam keadaan
terjaga di hati para sahabat. Baru pada masa ‘Utsman
ibn’Affan,periwayatan Hadis diperlonggar.24
Kehati-hatian para sahabat tidak berarti bahwa mereka selamanya
mensyaratkan bahwa hadis dapat diterima bila diriwayatkan oleh dua
orang atau lebih atau periwayatan Hadis harus disertai dengan saksi dan
bahkan sumpah, tetapi maksudnya adalah mereka berhati-hati dalam
18
Muhammad ‘ Ajjaj al-Khatib, al-Sunnnah....., hlm. 92-93.
19
Muhammad ‘ Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits....,hlm.84.
20
Al-Hakim al-Naysaburi, Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits (Kairo: Maktabah
al-Matnabi,2000 M.),hlm. 15.
21
Muhammad ‘Ajjaj al-khatib, Usul al-Hadits.....,hlm. 89.
22
Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadits..., hlm.69.
23
Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah..., hlm. 66.
24
Ibd., hlm. 72.
13
menerima dan meriwayatkan Hadis.25 Kehati-hatian dan kecermatan
menjadi faktor yang sangat penting untuk menghindari kesalahan
periwayatan Hadis.
Dalam sejarah disebutkan, sebagaimana disepakati ulama Hadis,
bahwa telah terjadi pemalsuan Hadis (wad’ al-hadits) pada masa Ali ibn
Abi Talib (wafat 40 H./661 H.),khalifah yang keempat. Menurut Mustafa
al-Siba’I, pihak yang pertama kali membuat Hadis palsu adalah orang-
orang Syi’ah,26 ketika mereka merasa yakin bahwa ‘Ali dan keturunannya
yang paling berhak memegang jabatan khilafah.
Dengan demikian, sikap kehati-hatian keempat khalifah di atas, pada
satu sisi telah menyebabkan para sahabat Nabi menahan diri dari
memperbanyak periwayatan Hadis karena takut terjadi kesalahan, tetapi
pada sisi yang lain,ketika terjadi perpecahan umat islam masa ‘Ali ibn Abi
Talib, terjadi pemalsuan Hadis yang dilatar belakangi oleh faktor politik.
Adapun tokoh-tokohnya :
Sebagaimana para sahabat besar, para sahabat kecil dan tabi’in juga
cukup berhati-hati dalam periwayatan Hadis. Cara-cara yang ditempuh di
samping sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat besar juga
berbagai cara yang sesuai dengan hati nurani mereka dalam rangka untuk
menyampaikan Hadis pada generasi berikutnya secara benar dan tidak
25
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits..., hlm. 91.
26
Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah...., hlm.79.
14
keliru.27 Selain itu, pada masa akhir periode al-Khulafa al-Rasyidun (masa
khalifah ‘Utsman bin Affan) para sahabat ahli Hadis telah menyebar
kebeberapa wilayah kekuasaan islam.
Pada masa ini, daerah kekuasaan Islam semakin luas. Banyak sahabat
ataupun tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru
dikuasai, disamping banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan
Mekkah. Para sahabat pindah ke daerah baru disertai dengan membawa
perbendaharaan Hadis yang ada pada mereka sehingga Hadis-hadis
tersebar diberbagai daerah. Kemudian bermunculan sentra-sentra Hadis,
sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu Zahw, yaitu:
a. Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat ‘Aisyah,Abu
Hurayrah,Ibn ‘Umar,Abu Sa’id al-Khudzri, dan lain-lain. Tokoh dari
kalangan tabi’in antara lain Sa’id ibn Musayyib, ’Urwah ibn Zubayr,
dan Nafi’ mawla Ibn’Umar.
b. Mekkah, dengan tokoh Hadis dari kalangan sahabat adalah
Ibn’Abbas,’Abd Allah ibn Sa’id, dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in ,
tokoh Hadis antara lain Mujahid ibn Jabr,’Ikrimah Mawla Ibn ‘Abbas,
dan ‘Ata’ibn Abi Rabah.
c. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat antara lain ‘Abd Allah ibn
Mas’ud, Sa’ad ibn Abi Waqqas, Salman al-Farisi, dan lain-lain. Tokoh
dari kalangan tabi’in antara lain Masruq ibn al-Ajda’, dan Syuraikh ibn
al-Harits.
d. Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat ‘Utbah ibn
Gahzwan,’Imran ibn Husayn, dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in
dikenal tokoh al-Hasan al-Basri, Abu al-‘Aliyah, dan lain-lain.
e. Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat Mu’adz ibn Jabal, Abu al-
Darda’, ‘Ubbadah ibn Samit, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in
antara lain Abu Idris, Qabisah ibn Dzuayb,dan Makhul ibn Abi
Muslim.
f. Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat ‘Abd Allah ibn Amr ibn
al-‘As,’Uqbah ibn Amir, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in
Yazid ibn Abi Hubayb, Abu Basrah al-Ghifari, dan lain-lain.28
Menghadapi terjadinya kekeliruan dan pemalsuan Hadis diatas,para
ulama melakukan beberapa langkah:
1. Melakukan seleksi dan koreksi oleh tentang nilai Hadis atau para
periwayatnya.
2. Hanya menerima riwayat Hadis dari periwayat yang tsiqah saja.
27
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits..., hlm.92.
28
Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadits...., hlm. 101-107.
15
3. Melakukan penyaringan terhadap Hadis- hadis yang diriwayatkan
oleh periwayat yang tsiqah.
4. Mensyaratkan tidak danya syadz yang berupa penyimpangan
periwayat tsiqah terhadap periwayat lain yang lebih tsiqah.29
29
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits..., hlm. 57-60.
16
6. Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (w.104-188 H)
10. Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa’ad (w. 175 H).
Tokoh-tokoh dalam masa ini yaitu : ‘Ali Ibnul Madany, Abu Hatim Ar-
Razy, Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Muhammad Ibn Sa’ad, Ishaq Ibnu
Rahawaih, Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’I, Abu Dawud, At-Tirmidzi,
Ibnu Majah & Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri.
17
Di antara usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini
adalah: mengumpulkan hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab,
mengumpulkan hadits-hadits dalam enam kitab, mengumpulkan hadits-hadits
Pada priode ini hadits-hadits Nabi SAW mulai ditulis dan dikumpulkan
secara resmi. Umar ibnu ‘ Abd al-Aziz tahun 101 H, Salah seorang khalifah dari
dinasti umayah yang mulai memerintah di pengujung abad pertama hijriah,
merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan dan
penulisan hadits Nabi secara resmi, yang selama ini berserakan didalam catatan
dan hafalan para sahabat dan tabiin.
30
Barmawie Umarie. Op.cit.Hal. 78-88
18
Bin Ubaidillah Bin Abdullah Bin Syihab az Zuhri al-Madani(tokoh ulama hijaz
dan syam 124H).
Setelah kedua tokoh ini maka mulailah banyak yang mengikuti mereka
seperti Ibnu Juraij(150-H) dan Ibnu Ishaq(151-H) di Makkah;Ma’mar (153-H) di
Yaman;Al-Auza’i(156-H) di Syam; Malik(179-H), Abu Urubah (156-H) dan
Hammah Bin Salamah(176-H) di Madinah; Sufyan-ats Tsaurih(161-H) di
Kuppah;Abdullah bin Mubarak(181-H) di Khurasan; Husyiam(188-H) di Wasith;
Jarir bin abdul Hamid (188-H) di Ray,dan Abdullah ibnWahab (125 H) di Mesir.
Pada abad ke-3 di periode ini dikenal dengan periode penyaringan Hadits
atau seleksi hadits yang ketika itu pemerintah dipegang oleh Khalifah dari Bani
Umayyah. Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan
penyaringan Hadist, melalui kaidah-kaidah yang ditetapkan, mereka berhasil
memisahkan hadits-hadits yang dhaif dari yang shahih, dan hadits-hadits yang
mauquf dan maqthu’ dari yang marfu’.
31
Drs. H. Mudasir. Ilmu Hadis. (Surabaya: Pustaka Setia). Hal. 109
19
yang shahih (otentik) setelah al-Qur’an. Dan diantara
Mukhtashar Bukhari ialah Tajridu al-Sharih dan Mukhtashar
Abi Jamrah, Masing-masing karangan Ibnu al-Mubarak dan
Ibnu Abi Jamrah.
b. Shahih al-Muslim,, karya al-Imam Muslim bin Hajjaj bin
Muslim al-Qusyairy al-Naisabury (204-261 H).
c. Sunan Abu dawud, karangan Abu Dawud Sulaiman bin
al-‘Asy’as bin Ishaq al-Sajastani (202-275 H )
d. Sunan al- Tirmidzi, Karangan Abu Isa Muhammad bin Isa bin
Surah al- Tirmidzi (200-279 H).
e. Sunan Nasa’i, karangan Abu Abdu al-Rahman bin Suaid Ibnu
Bahr al-Nasa’iy (215-302 H).
f. Sunan Ibnu Majah, karangan Abu Abdillah Ibnu Yazid Ibnu
Majah (207-273 H).
20
6.Perkembangan Hadits Pada Abad Ke V Sampai Dengan Sekarang
Usaha ulama ahli pada abad V dan seterusnya adalah ditujukan untuk
mengklasifikasikan al-Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis
kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits. Disamping itu
mereka ada men-syarahkan (menguraikan dengan luas) dan mengikhtishar
(meringkaskan) kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang
mendahuluinya. Seperti yang dilakukan oleh Abu ‘abdillah al-Humaidi (448 H.).
adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode ini antara lain:
22
Dan muncul pula Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib, seperti :
a. Al-Targhib wa al-Tarhib, karya al-Imam Zakiyuddin Abdul
‘Adzim al-Mundziry (656 H).
b. Dalailu al-falihin, karya al-Imam Muhammad Ibnu ‘Allan al-
Shiddiqy (1057 H). Sebagai kitab syarah Riyadu al-Shalihin,
karya al-Imam Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H).
32
Fatchur Rahman. Ikhtishar Musthalahul Hadits. (Bandung: PT. Al Ma’arif.
1974).Hal.57
33
Ibid.
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara Etimologis kata “ilmu hadits” merupakan kata serapan dari bahasa
arab, “Ilmu al-hadits” yang terdiri atas dua kata, yaitu ”ilmu” dan “hadits”. Jika
mengacu kepada pengertian hadits, berarti ilmu pengetahuan yang mengkaji atau
membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik
berupaperkataan, perbuatan, takrir maupun lainnya.
Apabila dilihat kepada garis besarnya, terbagi dalam dua
bagian. Pertama , Ilmu Hadits Riwayat (riwayah) kedua, Imu Hadits Dirayat
( dirayah).
Cabang-cabang Ilmu Hadits meliputi, Ilmu hadits Riwayah, . Ilmu Jarh
Wa Ta’dil, ’Ilmu ‘Ilal Al-Hadits, ‘Ilmu Ghorib Al-Hadits, Ilm Mukhtalif Al-
Hadits, Ilmu Nasikh wa Mansukh, ‘Ilmu Fann Al-Mubhamat, ‘Ilmu Asbab Wurud
Al-Hadits, Ilmu tashif wa Tahrif, Imu Mushalah Al-Hadits, Imu Tarikh al_Ruwah.
1. Ilmu Hadits Riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang tata cara
periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadits Nabi SAW.
Objek kajiannya adalah Hadits Nabi SAW dari segi periwayatan dan
pemeliharaannya.
2. Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang kumpulan kaidah-
kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi
di terima atau di tolaknya. Rawi adalah orang yang menyampaikan Hadits dari
satu orang kepada yang lainnya; Marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan,
yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW atau kepada Sahabat dan
Tabi`in. Ilmu Hadits Dirayah inilah yang selanjutnya disebut dengan Ulumul
Hadits.
B. Saran
Tiada gading yang tak retak dan tiada sungai yang tak bermuara, tidak ada di
dunia ini yang sempurna kecuali Allah SWT. Karena itu, jika ada kekurangan dan
kesalahan yang penyusun lakukan, kiranya dengan segala kekurang dan
kerendahan hati, penyusun memohon maaf, Kritik dan saran sangat penyusun
harapkan untuk mencapai kesempurnaan.
24
DAFTAR PUSTAKA
25