Anda di halaman 1dari 26

Ulumul Hadist Dan Sejarah Perkembangan

Pemikiran Pada Periode Klasik, Pertengahan dan


Modern
Dosen Pengampu:
EJEN NURJANI, M.Pd

Disusun Oleh : Kelompok 5


Pelajaran : Ulumul Hadist
Semester 1
Nama : Hayla Wati
Erma Linda
Leny Lidya
Rika Susanti

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM AN NUR


LAMPUNG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.


Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad Saw, serta kepada keluarganya,
para sahabatnya, para tabi’in-tabi’at, dan In Sha Allah akan sampai
kepada kita selaku umatnya Nabi Muhammad Saw.
Dan tak lupa juga kami ucapkan terimakasih kepada Bpk
Ejen Nurjani, S.Pd., M.Pd. selaku dosen Pengantar Ilmu Hadits
yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini,
kepada teman-teman juga yang ikut serta mendukung dalam
penyusunan makalah yang kami lakukan, dan tak lupa juga kepada
orangtua kami yang selalu memberikan do’a kepada kami,
sehingga kami mendapatkan kemudahan dalam penyusunan
makalah ini.
Kami sadar dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan, untuk itu kami harap kepada pembaca yang budiman
untuk memberikan kritik dan saran mengenai makalah yang kami
susun.Mudah-mudahan Allah Swt melimpahkan Rahmat dan
Inayah-Nya kepada kita semua sehingga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua terutama bagi pembaca dan penyusun
makalah ini. Aamiin.......

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul……………………………………………………………..i

Kata Pengantar…………………………………………………………….ii

Daftar Isi……………………………………………………………………iii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………..4

1.1. Latar Belakang…………………………………………………. 4


1.2. Rumusan Masalah……………………………………………… 5
1.3. Tujuan Makalah………………………………………………....5

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………...….6

2.1. Proses Turunnya Al-Qur’an…………………………………....6


2.2. Sejarah Nuzulul Qur’an dan Cara Penurunan Al-Qur’an..….6
2.3. Ayat yang pertama kali di turunkan kepada Nabi Muhammad
SAW……………………………………………………………….8
2.4. Hikmah Al-Qur’an di Turunkan secara Berangsur-angsur….

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………….24
B. Saran…………………………………………………………...24

Daftar Pustaka…………………………………………………………….25
ii

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa permulaan Islam, umat Islam belum mengenal adanya


ulumul hadits atau ilmu hadits. Hal ini mungkin dikarenakan fokus
perhatian umat Islam pada waktu itu masih terpecah antar dakwah, jihad dan
pendalaman Al-Qur’an, sehingga perhatian terhadap hadits walaupun sudah
cukup intens namun belum segencar pada masa-masa berikutnya.
Sepeninggalnya nabi, terutama setelah bermunculan hadits-hadits
palsu barulah perhatian umat Islam terhadap nadist nabi meningkat pesat.
Ini ditandai dengan munculnya beberapa ulama yang mulai melakukan
penghimpunan hadits serta mulai merintis ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
hadits. Ilmu ini kemudian terus berkembang dari masa ke masa sampai
zaman sekarang.
Sebagai di ketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadits
sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan syari`at Islam. Ada Hadits
Shahih, Hadits Hasan, dan Hadits Dha`if. Masing-masing memiliki
persyaratan sendiri-sendiri. Persyaratan itu ada yang berkaitan dengan
persambungan sanad, kulitas para periwayat yang di lalui hadits, dan ada pula
yang berkaitan dengan kandungan hadits itu sendiri. Maka persoalan yang ada
dalam ilmu hadits ada dua. Pertama berkaitan dengan sanad, kedua berkaitan
dengan matan. Ilmu yang berkaitan dengan sanad akan mengantar kita
menelusuri apakah sebuah hadits itu bersambung sanadnya atau tidak, dan
apakah para periwayat hadits yang di cantumkan di dalam sanad hadits itu
orang-orang yang terpercaya aau tidak. Adapun Ilmu yang berkaitan dengan
matan akan membantu kita mempersoalkan dan akhirnya mengetahui apakah
informasi yang terkandung di dalamnya berasal dari Nabi atau tidak.
Misalnya, apakah kandungan hadits bertentangan dengan dalil lain atau tidak.
Secara garis besar ilmu hadits dibagi atas ilmu hadits riwayat dan ilmu
hadits dirayat. Jika ilmu hadits riwayat membahas materi hadits yang menjadi
kandungan makna, maka ilmu hadits dirayat mengambil pembahasan
mengenai kaidah-kaidahnya, baik yang berhubungah dengan sanad atau matan
hadits. Kedua pengetahuan tersebut sama-sama penting. Sebab dengan ilmu
yang pertama, setiap muslim yang ingin mengikuti jejak laku dan teladan
Rasulullah , harus menguasai ilmu tersebut. Sementara itu dengan menguasai
ilmu yang kedua, setiap muslim dan siapapun yang mempelajari dengan baik
akan mendapatkan informasi yang akurat dan akuntabel tentang hadits Nabi/
Rasulullah saw. Di bawah ini akan dibahas tentang pengertian ilmu hadits,
sejarah yang dilalui, dan cabang-cabang ilmu hadits, terurama ilmu hadits
yang berkaitan dengan kegiataan takhrij dan penelitian sanad hadit Nabi saw.
3

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Sejarah Ulumul Hadits ?
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Ulumul Hadits ?
3. Bagaimana Pemikiran Ulumul Hadits Pada Priode Klasik Dan
Pertengahan Modern ?
C. Tujuan Pembuatan Makalah
1. Untuk mengetahui pengertian sejarah Ulumul Hadits.
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan Ulumul Hadits.
3. Untuk mengetahui pemikiran Ulumul Hadits pada priode klasik
dan pertengahan modern.
4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Ulumul Hadits

1. Pengertian Ulumul Hadits

Istilah ilmu Hadis di dalam tradisi Ulama Hadis. (Arabnya: ‘Ulum al-
Hadits).‘Ulum al-Hadist terdiri atas dua kata, yaitu ‘ulum dan al-Hadist. Kata
‘ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti : “ilmu –
ilmu”; sedangkan al-Hadits dikalangan ulama hadits berarti “ segala sesuatu yang
disandarkan pada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan,taqrir,atau sifat.“ 1Dengan
demikian, gabungan kata ‘ulum al – Hadits mengandung pengertian “ilmu – ilmu
yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi SAW”.

Ilmu hadist menurut ulama mutaqaddimin adalah :

‫ِع ْل ٌم َي ْب َح ُث ِفْي ِه َع ْن َك ْي ِفَّيِة ِأ ِّت َص ا ِل اْل َح ِد ِيِث ِبَر ُسْو ِل اللِه َص َّلى اللُه َع َلْي ِه‬
‫َو َس َّلَم ِم ْن َح ْي ُث َأ ْح َو ا ِل ُر َو اِتِه َض ْب ًط ا َو َع َد اَلًة َو ِم ْن َح ْي ُث َك ْي ِفَّي ِة الَّس َن ِد‬
‫ِإِّت َص ا ًال َو ِإْن ِقَط ا ًع ا َو َغ ْي ِر َذ اِلَك‬

“ Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara–cara persambungan hadits


sampai kepada Rasul SAW dari segi hal ikhwal para perawihnnya, kedabittan,
keadilan, dan dari bersambung tidaknya sanat, dan sebagainya “.

Kata ilmu hadits merupakan kata serapan dari bahasa arab, ‘ilmu al-
hadits” , yang terdiri atas dua kata, yaitu “ilmu “ dan “ Hadits “. Jika mengacu
kepada pengertian hadis, sebagaimana telah dibahas pada bab 1, maka kata ilmu
hadits, berarti ilmu pengetahuan yang mengkaji atau membahas tentang segala
yang disandarkan pada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
maupun lainnya.

Sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah sebagian Muhadditsin mulai


merintis ilmu ini dalam garis-garis besarnya saja dan masih berserakan dalam
beberapa mushafnya. Diantara mereka adalah Ali bin Almadani (238 H), Imam
Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Turmudzi dan lain-lain.

1
Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits (Beirut: Dar Al-Qur’an al-
Karim,1979), h.14.

5
Adapun perintis pertama yang menyusun ilmu ini secara fak (spesialis)
dalam satu kitab khusus ialah Al-Qandi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy (360
H) yang diberi nama dengan Al-Muhaddisul Fasil Bainar Wari Was Sami’.

Kemudian bangkitlah Al-Hakim Abu Abdilah an-Naisaburi (321-405 H)


menyusun kitabnya yang bernama Makrifatu Ulumil Hadits. Usaha beliau ini
diikuti oleh Abu Nadim al-Asfahani (336-430 H) yang menyusun kitab kaidah
periwayatan hadits yang diberi nama Al-Kifayah dan Al-Jam’u Liadabis Syaikhi
Was Sami’ yang berisi tentang tata cara meriwayatkan hadits.

2. Pengertian Hadits secara etimologis

Menurut Ibn Manzhur, kata ‘hadis ‘ berasal dari bahasa arab, yaitu al-
hadist, jamaknya al-Ahadist , al-Hadistan dan al-hudtsan. Secara etimologis , kata
ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim
(yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita.

3. Pengertian Hadits Secara Terminologi

Secara terminologis, para ulama, baik muhaditsin, fuqaha, ataupun ulama


ushul, merumuskan pengertian hadits secara berbeda-beda. Perbedaan pandangan
tersebut lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing,
yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang di dalaminya.
Ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai berikut : “Segala sesuatu yang
diberitakan dari Nabi SAW baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat
maupun hal ihwal Nabi.”. Adapun menurut istilah para fuquha, hadis adalah:
“Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan
masalah-masalah fardhu atau wajib.”

D. Sejarah Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadis Pada Periode


Klasik, Pertengahan dan Modern

Pada dasarnnya ulumul hadits telah lahir sejak dimulainnya periwayatan


hadits didalam islam, terutama setelah Rasul SAW wafat, ketika umat merasakan
perlunnya menghimpun hadits hadits Rasul SAW dikarenakan adannya ke
khawatiran hadits – hadits tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai
giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadits. Mereka telah mulai
mempergunakan kaidah – kaidah dan metode – metode tertentu dalam menerima
hadits, namun mereka belum lah menuliskan kaidah – kaidah tersebut.2

2
Ibid., h.10

6
Didalam surat al hujurat ayat 6, Allah SWT memerintahkan orang orang
yang beriman untuk meneliti dia mempertanyakan berita – berita yang datang dari
orang - orang yang fasik:

‫َياَأُّيَها اَّلِذ يَن َء اَم ُنوا ِإن َج آَء ُك ْم َفاِس ُُق ِبَنَبٍإ َفَتَبَّيُنوا َأن ُتِص يُبوا َقْو ًم ا ِبَج َهاَل ٍة‬
‫َفُتْص ِبُح وا َع َلى َم اَفَعْلُتْم َناِدِم يَن‬
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu
tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan (yang
sebenarnya) yang menyebabkan kamumenyesal atas perbuatanmu.

Setelah terjadi fitnah di dalam kehidupan umat Islam, Para Sahabat mulai
meminta keterangan tentang orang-orang yang menyampaikan Hadis atau Khabar
kepada mereka. Mereka menerima atau mengambil Hadis dari orang- orang yang
tetap berpegang kepada Sunnah Rasul SAW, dan sebaliknya mereka tidak
mengambil Hadis dari mereka para ahli bid’ah. 3

Aktivitas para Sahabat terhadap Hadis Nabi SAW dan periwayatannya,


maka dapat disimpulkan beberapa ketentuan umum yang diberlakukan dan
dipatuhi oleh para Sahabat ,yaitu:

1. Penyedikitan Periwayatan Hadis (taqlil al-riwayat ) dan


pembatasannya untuk hal- hal yang diperlakukan saja.
Periwayatan yang banyak dan tanpa batas dapat menyebabkan
terjadinya kekeliruan akibat lupa atau lalai; dan hal ini dapat
menjerumuskan pelakunya ke dalam perbuatan dusta atas nama
Nabi SAW, yang tindakan ini sangat dikecam oleh beliau.
2. Ketelitian dalam periwiyatan, baik ketika menerima atau
menyampaikan riwayat. Ketelitian dalam menerima riwayat juga
dicontohkan oleh ‘Umar ibnu al-Khaththab. ‘Umar adalah seorang
Sahabat yang menuntut para perawi Hadis untuk bersikap teliti
dan hati- hati dalam meriwayatkan Hadis.
3. Kritik terhadap matan Hadis (naqd al-marwiyyat). Kritik terhadap
matan Hadis ini dilakukan oleh para Sahabat dengan cara
membandingkannya dengan nash Al-Qur’an atau kaidah-kaidah
dasar agama. Ketelitian dan sikap hati-hati para Sahabat tersebut
diikuti pula oleh para Ulama Hadis yang datang sesudah mereka;
dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama setelah
munculnya Hadis-Hadis palsu, yaitu sekitar tahun 41 H , setelah
masa pemerintahan khalifah Ali r.a. Semenjak itu mulailah

3
Mahmud al-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadits, h. 9
7
dilakukan penelitian terhadap sanad Hadis dengan mempraktikkan
ilmu al- jarah wa al-ta’dil,dan sekaligus mulai pulalah ilmu al-
jarah wa al-ta’dil ini tumbuh dan berkembang.

Setelah munculnya kegiatan pemalsuan Hadis dari pihak- pihak yang


tidak bertanggung jawab, maka beberapa aktivitas tertentu dilakukan oleh
para Ulama Hadis dalam rangka memelihara kemurnian Hadis,yaitu
seperti:

1. Melakukan pembahasan terhadap sanad Hadis serta penelitian terhadap


keadaan setiap para perawi Hadis, hal yang sebelumnya tidak pernah
mereka lakukan.
2. Melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber Hadis agar dapat
mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat
tersebut melaluinya.
3. Melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat
perawi lain yang lebih tsiqat dan terpercaya dalam rangka untuk
mengetahui ke dha’if-an atau kepalsuan suatu Hadis.
1. Hadits Pada Priode Rasul
Rasul hidup ditengah – tengah masyarakat sahabatnnya. Mereka
dapat bertemu dan bergaul dengan beliau sevara bebas, tanpa protocol –
protcolan, yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk
kerumah Nabi dikala beliau tidak ada dirumah. Berbicara dengan para istri
Nabi tanpa hijab, dilarang.Seluruh perbuatan Nabi,demikian juga seluruh
ucapan dan tutur kata beliau menjadi tumpuan dan perhatian para sahabat.
Segala gerak gerik beliau, mereka jadikan pedoman hidup.

Periode ini disebut ‘Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin’ (masa


turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam). Tokoh-tokohnya yaitu:

a. Abdullah Ibn Amr Ibn Al-’Ash, shahifah-nya disebut Ash-


Shadiqah.

b. Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadits tentang hukum diyat, hukum
keluarga, dan lain-lain.

c. Anas Ibn Malik

Berikut ini dikemukakan beberapa cara Nabi menyampaikan


haditsnnya:

a. Secara lisan dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum laki laki.
b. Pengajian rutin dikalangan kaum wanita, setelah kaum wanita
memintannya.
8
c. Nabi menyampaikan haditsnnya melalui perbuatan seperti: shalat
berjamaah pada bulan Ramadhan, dua atau tiga malam.
d. Nabi menyampaikan hadits melalui “ teguran “ , yaitu terhadap seseorang
petugas yang telah melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadiah dari
masyarakat ketika bertugas mengumpulkan zakat ( amil ).
e. Untuk hal – hal sensitif, seperti soal keluarga dan kebutuhan biologis, ia
sampaikan melalui istri – istrinnya.
f. Cara lain yang dilakukan Rasul adalah melakukan ceramah atau pidato
ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah.

2. Hadis pada masa Nabi


Sejarah Hadis pada masa Nabi dikenal dengan ‘asr al-wahy wa al-tak-
win (masa wahyu dan pembentukan) karena pada masa ini wahyu Al-
Qur’an masih turun dan masih banyak Hadis-hadis Nabi yang datang
darinya. Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi menjadi penyejuk,
sumber kebahagiaan, dan pedoman para sahabat nabi yang tidak pernah
mereka temukan pada masa Jahiliyah. Para sahabat sangat mencintai
Rasulullah melebihi cinta mereka kepada keluarga bahkan diri mereka
sendiri. Mereka selalu berusaha menghafal ajaran-ajaran islam melalui Al-
Qur’an, juga selalu rindu bertemu Rasulullah untuk mendapatkan ajaran
agama,4 termasuk Hadis-hadisnya. Mereka menyadari betapa penting
kedudukan Hadis Nabi dalam agama islam, bahwa Sunnah Nabi
merupakan pilar kedua setelah Al-Qur’an, orang yang meremahkan dan
mengingkarinya akan celaka dan orang yang mengamalkannya akan
mendapat kebahagiaan.5
Periwayatan segala yang dikatakan atau dilakukan Nabi baik yang
terkait dengan masyarakat umum maupun yang khusus berkenaan dengan
hal-hal pribadi telah terjadi semenjak awal islam. 6 Kebiasaan menghargai
segala yang berasal dari Nabi terlihat pada banyaknya para sahabat, di
tengah-tengah kesibukan mereka memenuhi kebutuhan hidup, menghadiri
majelis Nabi, sebagian tinggal beberapa saat atau dalam waktu yang lama
bersamanya, mendiskusikan dan menelaah secara kritis Hadis-hadis yang
mereka terima.7 Jika terjadi persoalan yang menyangkut kebenaran Hadis
yang mereka terima, mereka dapat langsung mengecek kebenarannya
4
‘Abd al-Nasr Tawfiq al-‘Attar, Dustur al-Lammah wa ‘Ulum al-Sunnah
(Kairo: Maktabah Wahhab,tth.), hlm.71.
5
Muhammad- Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun (Mesir:
Syirkah Sahimah Misriyyah,1987), hlm.48.
6
Fazlur Rahman,”The Living Sunnah and al-Sunnah wa al-Jama’ah”,dalam
P.K. Hoya (ed.), Hadits and Sunnah :Ideals and Realities (Kuala Lumpur:
Islamic Book Trust, 1996M.), hlm.150.
7
Ibid.,hlm.57-59.

9
kepada Nabi karena beliau berada bersama, bergaul, dan bermuamalah
dengan mereka,8 sehingga bila terjadi kesalahan penukilan, kekeliruan
pengucapan, atau kekurangan- pahaman terhadap makna teks Hadis, dapat
dirujuk pada Nabi.9
Nabi muhammad menyampaikan Hadis-hadisnya dengan cara yang
beragam. Cara-cara ini ditempuhnya sesuai keadaan dimana Rasul berada
dan berhadapan dengan para sahabatnya.
1. Nabi menyampaikan sabdanya melalui majelis ilmu, yaitu pusat atau
tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para
jama’ah.
2. Dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan hadisnya
melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat-
sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain.
3. Nabi menyampaikan melalui isteri-isterinya terutama untuk hal-hal
sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan
biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri.
4. Rasulullah menyampaikan Hadis melalui ceramah atau pidato ditempat
terbuka, seperti ketika futuh Makkah dan haji wadah.10
5. Nabi menyampaikan hadis melalui perbuatan langsung yang
disaksikan para sahabatnya dengan jalan musyahadah,seperti yang
berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah.
Menurut ‘Abd al-Nasr, Allah telah memberikan keistimewaan
kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal.
Mereka dapat meriwayatkan Al-Qur’an, Hadis, syair, dan lain-lain
dengan baik. Seakan mereka membaca dari sebuah buku. 11 Rasulullah
tidak pernah memerintah sahabat tertentu untuk menulis Hadis dan
membukukannya sebagaimana Al-Qur’an yang ditulis secara resmi
oleh Zayd ibn Tsabit, sekretaris pribadi beliau. Bahkan, dalam suatu
kesempatan Nabi pernah melarang menulis Hadis sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Sa id al-Khudzri bahwa Nabi bersabda:

‫ال تكتبوا عني ومن كتب عني غير القران فليمحه وحدثوا عني وال‬
‫حرج ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار‬

8
Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (Beirut:
al-Maktab al-Islami, 1985 M.), hlm.56.
9
Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2016), cet.3, hlm.31-32.
10
Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah..., hlm.61-62.
11
‘Abd al-Nasr Tawfiq al-‘Atta<r, Dustur..., hlm.71.

10
“Jangan kalian tulis dariku (selain Al-Qur’an) dan barang siapa yang
menulis dariku selain al-Qur’an, maka hapuslah. Riwayatkan Hadis
dariku tidak apa-apa. Barang siapa berdusta atas namaku –Himam
berkata, aku menyangka beliau bersabda-maka hendaklah ia
menempati tempat duduknya di neraka.”12

Nabi melarang menulis Hadis karena khawatir tercampur dengan


Al-Qur’an dan pada kesempatan lain ia membolehkannya.13 Adanya
larangan tersebut berakibat banyak hadis yang tidak ditulis dan
seandainya Nabi tidak pernah melarang pun tidak mungkin Hadis
dapat ditulis. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagaimana
dijelaskan oleh M. Syuhudi ismail,yaitu: (a) Hadis disampaikan tidak
selalu dihadapan sahabat yang pandai menulis Hadis, (b) Perhatian
Nabi dan para sahabat lebih banyak tercurah pada Al-Qur’an , (c)
Meskipun Nabi mempunyai beberapa sekretaris tetapi mereka hanya
diberi tugas menulis wahyu yang turun dan surat-surat Nabi, (d)
Sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir,dan hal ihwal orang
yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi
dengan peralatan yang sangat sederhana.14
Menghadapi dua Hadis yang tampak bertentangan di atas,ada
beberapa pendapat berkenaan dengan ini, yaitu: (a) Larangan menulis
Hadis terjadi pada periode permulaan,sedangkan izin penulisannya
diberikan pada periode akhir kerasulan. (b) Larangan penulisan Hadis
itu ditujukan bagi orang yang kuat hafalannya dan tidak dapat menulis
dengan baik,serta dikhawatirkan salah dan bercampur dengan Al-
Qur’an. (c) Larangan itu ditujukan bagi orang yang kurang pandai
menulis dikhawatirkan tulisannya keliru,sementara orang yang pandai
menulis tidak dilarang menulis Hadis. (d) Larangan menulis Hadis
dicabut (di-mansukh) oleh izin menulis Hadis karena tidak
dikhawatirkan tercampurnya catatan Hadis dengan Al-Qur’an. (e)
Larangan itu bersifat umum, sedangkan izin menulis Hadis bersifat
khusus kepada para sahabat yang dijamin tidak akan mencampurkan
catatan Hadis dan catatan Al-Qur’an. (f) Larangan ditujukan untuk

12
Muhyi al-Din ibn Syarf al-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi
(Indonesia: Maktabah Dahlan, 2001 M.),hlm.298.
13
Hadis yang melarang menulis Hadis dan yang membolehkan dapat dilihat
dalam al-Bukhari,Sahih al-Bukhari, Juz I,hlm.32,Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih
Muslim,Juz II, hlm.988,Abu Dawud al-Sijiztani, Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar
al-Fikr, 2003 M.), juz III,hlm.318-319,juz IV,hlm.172, Ahmad ibn Hanbal,
Musnad Ahmad,, juz III,hlm.12,21,39.
14
M.Syuhudi Ismail,Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan
Bintang,1995), hlm.101-102.

11
kodifikasi formal sedangkan izin ditujukan untuk sekadar dalam
bentuk catatanyang dipakai sendiri. (g) Larangan berlaku ketika wahyu
masih turun, belum dihafal dan dicatat. Adapun ketika wahyu yang
turun sudah dihafal dan dicatat, maka penulis Hadis diizinkan. 15 (h)
Ada sebagian sahabat yang memiliki catatan yang disebut dengan
sahifah untuk mencatat sebagian Hadis yang diterima dari Nabi. Di
antara sahabat yang memiliki catatan Hadis dari Nabi adalah ‘Abd
Allah ibn’Amr ibn al-‘As, dengan catatannya yang diberi nama al-
sadiqah.16
Beberapa sahabat yang juga mempunyai catatan Hadis adalah ‘Ali
ibn Abi Talib (wafat 40 H./611 M.), Sumrah ibn Jundab (wafat 60
H./680 M.), ‘Abd Allah ibn ‘Amr ibn al-‘As (wafat 65 H./685 M.),
‘Abd Allah ibn ‘Abbas (wafat 69 H./689 M.), Jabir ibn ‘Abd Allah al-
Ansari (wafat 78H./697 M.), dan ‘Abd Allah ibn Abi Awfa’ (wafat 86
H.). Catatan-catatan Hadis ini di samping merupakan dokumen bahwa
pada masa Nabi telah terjadi aktivitas penulisan hadis juga dapat
digunakan sebagai sarana untuk periwayatan Hadis secara tertulis.
Meskipun jarang, periwayatan Hadis secara tertulis pada masa ini juga
pernah dilakukan. Kebanyakan penyebaran Hadis oleh para sahabat
dilakukan secara lisan.

3. Hadis Pada Masa Sahabat Besar (al-Khulafa’ al-Rasyidun)

Periode ini disebut Ashr-At-Tatsabbul wa Al-Iqlal min Al Riwayah


(masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW, wafat pada tahun 11
H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi
pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah) yang harus dipegangi
dalam seluruh aspek kehidupan umat.

Periwayatan Hadis semenjak itu mengalami perkembangan dan


melibatkan banyak pihak. Para sahabat tidak ada yang mendustakan Nabi. Mereka
orang-orang yang rela mengorbankan jiwa dan raga demi menegakkan agama dan
membantu dakwah islam.17

Periwayatan Hadis pada masa sahabat terutama masa al-Khulafa’ al-


Rasyidun sejak tahun 11 H. Sampai 40 H., yang disebut juga masa sahabat
15
Muh. Zuhri,Hadis Nabi: Sejarah dan Metodologinya (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya,1997), hlm.34 juga M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad
Hadis (Jakarta: Bulan Bintang ,1995 M.), hlm.89
16
Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah...., hlm.60
17
Salah al-Din ibn Ahmad al-Adabi, Manhaj Naqd al-Matn’Ind ‘Ulama al-
Hadits al-Nabawi (Beirut: Dar al-Aflaq al-Jadidah, 1983 M.), hlm. 47.

12
besar,belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian para sahabat
masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan mereka
berusaha membatasi periwayatan Hadis tersebut.
Oleh karenanya, para sahabat khususnya al-Khulafa’al-Rasyidun dan
sahabat lain seperti al-Zubayr, ibn ‘Abbas, dan Abu Ubaydah berusaha
memperketat periwayatannya dan penerimaan Hadis. 18 Mereka
menyampaikan dan menjaga Hadis dengan Hati-hati agar tidak terjadi
kesalahan dengan cara tidak meriwayatkannya kecuali saat-saat
dibutuhkan melalui penelitian yang mendalam.19 Mereka sangat hati-hati
dalam meriwayatkan Hadis karena khawatir mengalami kekeliruan
baikketika menerima maupun menyampaikannya kepada sahabat lain atau
pun kepada generasi tabi’in.
Salah satu contoh kehati-hatian Abu Bakar terlihat pada riwayat Ibn
Syihab al-Zuhri dari Qabisah ibn Zuayb bahwa seorang nenek bertanya
kepada Abu Bakar soal bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia
menyatakan bahwa hal itu tidak ditemukan hukumnya, baik dalam al-
Qur’an maupun Hadis, al-Mughirah menyebutkan bahwa Rasulullah
memberinya seperenam. Abu Bakar kemudian meminta supaya al-
Mughirah mengajukan saksi lebih dahulu baru kemudian Hadisnya
diterima.20 Saksi yang diajukan oleh al-Mughirah bernama Muhammad ibn
Maslamah.21
Sebagian ahli Hadis mengemukakan bahwa Abu Bakar dan Umar
menggariskan bahwa Hadis dapat diterima apabila disertai saksi atau
setidaknya periwayat berani disumpah.22 Pendapat ini menurut al-Siba’i,
tidak benar karena ‘Umar menerima beberapa Hadis meskipun hanya
diriwayatkan oleh seorang periwayat Hadis.23 Menurut al-Siba’i ,sampai
‘Umar Wafat,Hadis belum banyak yang tersebar dan masih dalam keadaan
terjaga di hati para sahabat. Baru pada masa ‘Utsman
ibn’Affan,periwayatan Hadis diperlonggar.24
Kehati-hatian para sahabat tidak berarti bahwa mereka selamanya
mensyaratkan bahwa hadis dapat diterima bila diriwayatkan oleh dua
orang atau lebih atau periwayatan Hadis harus disertai dengan saksi dan
bahkan sumpah, tetapi maksudnya adalah mereka berhati-hati dalam

18
Muhammad ‘ Ajjaj al-Khatib, al-Sunnnah....., hlm. 92-93.
19
Muhammad ‘ Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits....,hlm.84.
20
Al-Hakim al-Naysaburi, Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits (Kairo: Maktabah
al-Matnabi,2000 M.),hlm. 15.
21
Muhammad ‘Ajjaj al-khatib, Usul al-Hadits.....,hlm. 89.
22
Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadits..., hlm.69.
23
Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah..., hlm. 66.
24
Ibd., hlm. 72.

13
menerima dan meriwayatkan Hadis.25 Kehati-hatian dan kecermatan
menjadi faktor yang sangat penting untuk menghindari kesalahan
periwayatan Hadis.
Dalam sejarah disebutkan, sebagaimana disepakati ulama Hadis,
bahwa telah terjadi pemalsuan Hadis (wad’ al-hadits) pada masa Ali ibn
Abi Talib (wafat 40 H./661 H.),khalifah yang keempat. Menurut Mustafa
al-Siba’I, pihak yang pertama kali membuat Hadis palsu adalah orang-
orang Syi’ah,26 ketika mereka merasa yakin bahwa ‘Ali dan keturunannya
yang paling berhak memegang jabatan khilafah.
Dengan demikian, sikap kehati-hatian keempat khalifah di atas, pada
satu sisi telah menyebabkan para sahabat Nabi menahan diri dari
memperbanyak periwayatan Hadis karena takut terjadi kesalahan, tetapi
pada sisi yang lain,ketika terjadi perpecahan umat islam masa ‘Ali ibn Abi
Talib, terjadi pemalsuan Hadis yang dilatar belakangi oleh faktor politik.

4. Hadis Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in

Periode ini disebut ‘ashr intisyar al-riwayah ila al-amshar’ (masa


berkembang dan meluasnya periwayatan hadis).

Adapun tokoh-tokohnya :

• Abu hurairah, menurut ibn al-jauzi, beliau meriwayatkan


5.374 hadits, sedangkan menurut al-kirmany, beliau meriwayatkan
5.364 hadits.

• Abdullah ibn umar meriwayatkan 2.630 hadits.

• Aisyah, istri Rasul Saw. Meriwayatkan 2.276 hadits.

• Abdullah ibn abbas meriwayatkan 1.660 hadits.

• Jabir ibn ‘Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits.

• Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadits.

Sebagaimana para sahabat besar, para sahabat kecil dan tabi’in juga
cukup berhati-hati dalam periwayatan Hadis. Cara-cara yang ditempuh di
samping sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat besar juga
berbagai cara yang sesuai dengan hati nurani mereka dalam rangka untuk
menyampaikan Hadis pada generasi berikutnya secara benar dan tidak

25
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits..., hlm. 91.
26
Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah...., hlm.79.

14
keliru.27 Selain itu, pada masa akhir periode al-Khulafa al-Rasyidun (masa
khalifah ‘Utsman bin Affan) para sahabat ahli Hadis telah menyebar
kebeberapa wilayah kekuasaan islam.
Pada masa ini, daerah kekuasaan Islam semakin luas. Banyak sahabat
ataupun tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru
dikuasai, disamping banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan
Mekkah. Para sahabat pindah ke daerah baru disertai dengan membawa
perbendaharaan Hadis yang ada pada mereka sehingga Hadis-hadis
tersebar diberbagai daerah. Kemudian bermunculan sentra-sentra Hadis,
sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu Zahw, yaitu:
a. Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat ‘Aisyah,Abu
Hurayrah,Ibn ‘Umar,Abu Sa’id al-Khudzri, dan lain-lain. Tokoh dari
kalangan tabi’in antara lain Sa’id ibn Musayyib, ’Urwah ibn Zubayr,
dan Nafi’ mawla Ibn’Umar.
b. Mekkah, dengan tokoh Hadis dari kalangan sahabat adalah
Ibn’Abbas,’Abd Allah ibn Sa’id, dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in ,
tokoh Hadis antara lain Mujahid ibn Jabr,’Ikrimah Mawla Ibn ‘Abbas,
dan ‘Ata’ibn Abi Rabah.
c. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat antara lain ‘Abd Allah ibn
Mas’ud, Sa’ad ibn Abi Waqqas, Salman al-Farisi, dan lain-lain. Tokoh
dari kalangan tabi’in antara lain Masruq ibn al-Ajda’, dan Syuraikh ibn
al-Harits.
d. Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat ‘Utbah ibn
Gahzwan,’Imran ibn Husayn, dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in
dikenal tokoh al-Hasan al-Basri, Abu al-‘Aliyah, dan lain-lain.
e. Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat Mu’adz ibn Jabal, Abu al-
Darda’, ‘Ubbadah ibn Samit, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in
antara lain Abu Idris, Qabisah ibn Dzuayb,dan Makhul ibn Abi
Muslim.
f. Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat ‘Abd Allah ibn Amr ibn
al-‘As,’Uqbah ibn Amir, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in
Yazid ibn Abi Hubayb, Abu Basrah al-Ghifari, dan lain-lain.28
Menghadapi terjadinya kekeliruan dan pemalsuan Hadis diatas,para
ulama melakukan beberapa langkah:
1. Melakukan seleksi dan koreksi oleh tentang nilai Hadis atau para
periwayatnya.
2. Hanya menerima riwayat Hadis dari periwayat yang tsiqah saja.

27
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits..., hlm.92.
28
Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadits...., hlm. 101-107.

15
3. Melakukan penyaringan terhadap Hadis- hadis yang diriwayatkan
oleh periwayat yang tsiqah.
4. Mensyaratkan tidak danya syadz yang berupa penyimpangan
periwayat tsiqah terhadap periwayat lain yang lebih tsiqah.29

5. Perkembangan Hadits Pada Abad ke II,III, Dan IV Hijriah

Pada periode ketiga ini, mulai muncul usaha pemalsuan hadits


oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi
setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-
pecah menjadi beberapa golongan : Pertama, golongan ‘Ali Ibn
Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan syi’ah. Kedua,
golongan khawarij, yang menentang ‘Ali, dan golongan
Mu’awiyah, dan ketiga, golongan jumhur (golongan pemerintah
pada masa itu).

Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa At-Tadwin (masa


penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan & pembukuan
secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau asas inisiatif
pemerintah. Adapun yang atas perseorangan, sebelum abad II H
hadits sudah banyak di tulis, baik pada masa tabi’in, sahabat kecil,
sahabat besar, bahkan masa Nabi Saw. Masa pembukuan secara
resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan
Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz tahun 101 H. Pada saat itu banyak
perowi hadits yang meninggal, sehingga Khalifah Umar Ibn Aziz
berinisiatif untuk membukukan & mengumpulkan hadits-hadits
dalam satu buku dari para perowinya langsung.

Sekalipun demikian, yang dapat ditegaskan sejarah sebagai


pengumpul hadits adalah :

1. Pengumpul pertama di kota Mekkah, Ibnu Juraij (80-


150 H)
2. Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w.
150 H)
3. Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi’ Ibn
Shabih (w. 160 H)
4. Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w.
161 H)

5. Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza’i (w. 95 H)

29
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits..., hlm. 57-60.

16
6. Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (w.104-188 H)

7. Pengumpul pertama di Yaman, Ma’mar Al-Azdy (95-153 H)

8. Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)

9. Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11-181 H)

10. Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa’ad (w. 175 H).

Abad ketiga Hijriyah merupakan puncak usaha pembukuan hadits.


Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa’ – Al-Malik tersebar dalam
masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan enghapal hadits,
mengumpulkan, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli
ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain
untuk mencari hadits.Para ulama pada mulanya menerima hadits dari para rawi
lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya
dan tidak memperhatikan shahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan
hadits dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadits, para
ulama pun melakukan hal-hal berikut.
a. membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat
kediaman, masa, dan lain-lain.
b. memisahkan hadits-hadits yang shahih dari hadits yang dha’if yakni dengan
men-tashih-kan hadits.

Tokoh-tokoh dalam masa ini yaitu : ‘Ali Ibnul Madany, Abu Hatim Ar-
Razy, Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Muhammad Ibn Sa’ad, Ishaq Ibnu
Rahawaih, Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’I, Abu Dawud, At-Tirmidzi,
Ibnu Majah & Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri.

Periode ini dinamakan ‘Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa


Al-Jami’.
Ulama-ulama hadits yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari
mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadits semata-mata atas usaha sendiri &
pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya di berbagai pelosok
negeri.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat yang
degelari ‘mutaakhirin’. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan itu petikan
dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikityang dikumpulkan dari usaha
mencari sendiri kepada para penghapalnya.

17
Di antara usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini
adalah: mengumpulkan hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab,
mengumpulkan hadits-hadits dalam enam kitab, mengumpulkan hadits-hadits

yang terdapat dalam berbagai kitab, mengumpulkan hadits-hadits hukum


& menyusun kitab-kitab ‘Athraf.

Priode ini disebut Ashr Al-Kitabah Wa Al-Tadwin (masa penulisan dan


pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang
diselenggarakan oleh inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorang,
sebelum abad ke II Hijriah hadits sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin,
sahabat kecil, sahabat besar, bahkan Nabi SAW.30

Pada priode ini hadits-hadits Nabi SAW mulai ditulis dan dikumpulkan
secara resmi. Umar ibnu ‘ Abd al-Aziz tahun 101 H, Salah seorang khalifah dari
dinasti umayah yang mulai memerintah di pengujung abad pertama hijriah,
merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan dan
penulisan hadits Nabi secara resmi, yang selama ini berserakan didalam catatan
dan hafalan para sahabat dan tabiin.

Terdapat beberapa faktor-faktor yang mendorong pengumpulan dan


pengkodifikasian hadits pada priode ini diantarannya adalah

a. Tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan


hadits, yaitu ke khawatiran bercampurnnya hadits dan al qur’an.
Karena la-qur’an ketika itu telah dibukukan dan disebarluaskan.
b. Munculnnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnnya hadits kaena
banyaknnya para sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut da
karena seringnya terjadi peperangan.
c. Semakin maraknya kegiatan pemalsuan hadits yang dilatarbelakangi
oleh perpecahan politik dan perbedaan mahzab dikalangan umat islam.
d. Semakin luasnya daerah kekuasaan islam disertai dengan semakin
banyak banyak dan kompleknya permasalahan yang dihadapi umat
islam.

Dengan tersebarnya islam,terpecahnya sahabat dan sebagian wafat, maka


mulai terasa perlunya pembukuan hadist. Hal ini menggerakan khalifah Umar Bin
Abdul Aziz (menjabat th 99 H-101H) untuk memerintahkan para ulama untuk
menghimpun dan mengumpulkan hadis terutama pada Abu Bakar Bin
Muhammad Bin Amr Bin Hazm (Qdhi Madinah) dan Muhammad Bin Muslim

30
Barmawie Umarie. Op.cit.Hal. 78-88

18
Bin Ubaidillah Bin Abdullah Bin Syihab az Zuhri al-Madani(tokoh ulama hijaz
dan syam 124H).

Setelah kedua tokoh ini maka mulailah banyak yang mengikuti mereka
seperti Ibnu Juraij(150-H) dan Ibnu Ishaq(151-H) di Makkah;Ma’mar (153-H) di
Yaman;Al-Auza’i(156-H) di Syam; Malik(179-H), Abu Urubah (156-H) dan
Hammah Bin Salamah(176-H) di Madinah; Sufyan-ats Tsaurih(161-H) di
Kuppah;Abdullah bin Mubarak(181-H) di Khurasan; Husyiam(188-H) di Wasith;
Jarir bin abdul Hamid (188-H) di Ray,dan Abdullah ibnWahab (125 H) di Mesir.

Kitab yang mahsyur pada saat itu adalah :

a. Mushannaf oleh Syu’bah bin al-Hajjaj (160-H)


b. Mushannaf oleh Al-Laits bin sa’ad (175-H)
c. Al-Muwaththa’ oleh Malik bin Anas al-Madani, Imam Darul
Hijrah (179-H).
d. Mushannaf oleh Sufyan bin Uyainah (198-H)
e. Al-Musnad al-Syafi’i oleh Imam asy-Syafi’i (204-H)
f. Al-Sirat an Nabawiyah oleh Ibn Ishaq.

Pada abad ke-3 di periode ini dikenal dengan periode penyaringan Hadits
atau seleksi hadits yang ketika itu pemerintah dipegang oleh Khalifah dari Bani
Umayyah. Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan
penyaringan Hadist, melalui kaidah-kaidah yang ditetapkan, mereka berhasil
memisahkan hadits-hadits yang dhaif dari yang shahih, dan hadits-hadits yang
mauquf dan maqthu’ dari yang marfu’.

Meskipun begitu berdasarkan penelitian masih ditemukan beberapa hadits


dhaif yang terselip di kitab hadits shahih mereka. 31 Maka pada pertengahan abad
ketiga ini, mulai muncul kitab-kitab hadits yang hanya memuat hadits-hadits
shahih, dan pada perkembangannya di kenal dengan “al-Kutubu al-Sittah” yaitu:

a. Shahih al-bukhari atau al-Jami’u al-Shahih. Karya Muhammad


bin Ismail al-Bukhari (194-256 H). Menurut penelitian Ibnu
Hajar (852 H), seperti yang disebutkan dalam pendahuluan
kitabnya “Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari”, kitab shahih itu
berisi 9.082 hadits yang terdiri dari 2602 buah hadits yang
tidak terulang-ulang ,dan 159 matan hadits marfu’. Namun
Ibnu Hajar tidak menghitung hadits marfu’ dan maqthu’ yang
terdapat dalam Bukhari. Kitab tersebut merupakan kitab hadits

31
Drs. H. Mudasir. Ilmu Hadis. (Surabaya: Pustaka Setia). Hal. 109

19
yang shahih (otentik) setelah al-Qur’an. Dan diantara
Mukhtashar Bukhari ialah Tajridu al-Sharih dan Mukhtashar
Abi Jamrah, Masing-masing karangan Ibnu al-Mubarak dan
Ibnu Abi Jamrah.
b. Shahih al-Muslim,, karya al-Imam Muslim bin Hajjaj bin
Muslim al-Qusyairy al-Naisabury (204-261 H).
c. Sunan Abu dawud, karangan Abu Dawud Sulaiman bin
al-‘Asy’as bin Ishaq al-Sajastani (202-275 H )
d. Sunan al- Tirmidzi, Karangan Abu Isa Muhammad bin Isa bin
Surah al- Tirmidzi (200-279 H).
e. Sunan Nasa’i, karangan Abu Abdu al-Rahman bin Suaid Ibnu
Bahr al-Nasa’iy (215-302 H).
f. Sunan Ibnu Majah, karangan Abu Abdillah Ibnu Yazid Ibnu
Majah (207-273 H).

Abad ke empat merupakan abad pemisahan antara ulama


Mutaqaddimin, yang dalam menyusun kitab hadits mereka
berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabi’in atau tabi’in
yang menghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri,
dengan ulama mutaakhirin yang dalam usahanya menyusun
kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab- kitab yang
disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-
banyaknya hadits yang telah di kodifikasikan, sehingga tidak
mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal beratus-
ratus ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam
gelar keahlian dalam ilmu hadits, seperti gelar al-Hakim dan al-
Hafidz. Adapun kitab-kitab yang masyhur hasil ulama abad ke-
empat, antara lain :
a. Mu’jamu al-Kabir, M’jamu al-Awsath, Mu’jamu al-
Shaghir, karya al-Imam Sulaiman bin Ahmad al-Tabrany
(360 H).
b. Sunan al-Daruquthny, karya al-Imam Abdul Hasan Ali bin
Umar bin Ahmad al-Daruquthny (306-385 H).
c. Shahih bin ‘Auwanah, karya Abu ‘Auwanah Ya’qub bin
Ishaq bin Ibrahim al-Asfayainy (354 H).
d. Shahih Ibnu Khudzaimah, Karya Ibnu Khudzaimah
Muhammad bin Ishaq (316 H).

20
6.Perkembangan Hadits Pada Abad Ke V Sampai Dengan Sekarang

Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke


XVII Al-Mu’tashim (w. 656 H) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu
As-Sarhi wa Al-Jami’ wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan,
penghimpunan, pen-takhrij-an, dan pembahasan.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah


menerbitkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya dan menyusun kitab enam
takhrij, serta membuat kitab-kitab Jami’ yang umum.

Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-


ulama hadits yang menyusun kitab ‘Athraf.

Tokoh-tokoh hadits yang terkenal pada masa ini adalah : Adz-Dzahaby


(748 H), Ibnu Sayyidinnas (734 H), Ibnu Daqiq Al-’Ied, Mughlathai (862 H), Al-
Atsqalany (852 H), Ad-Dimyati (705 H), Al-’Ainy (855 H), As-Suyuthi (911 H),
Az-Zarkasy (794 H), Al-Mizzy (742 H), Al-’Alay (761 H), Ibnu Katsir (774 H),
Az-Zaily (762 H), Ibnu Rajab (795 H), Ibnu Mulaqqin (804 H), Al-Bulqiny (805
H), Al-’Iraqy (w. 806 H), Al-Haitsamy (807 H), dan Abu Zurah (826 H).

Usaha ulama ahli pada abad V dan seterusnya adalah ditujukan untuk
mengklasifikasikan al-Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis
kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits. Disamping itu
mereka ada men-syarahkan (menguraikan dengan luas) dan mengikhtishar
(meringkaskan) kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang
mendahuluinya. Seperti yang dilakukan oleh Abu ‘abdillah al-Humaidi (448 H.).
adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode ini antara lain:

a. Al-Kubra, karya abu Bakar Ahmad bin Husain ‘Ali al-Baihaqy


(384-458 H).
b. Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652 H).
c. Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, karya Ibnu Hajar al-‘Asqolany
(852 H).
d. Nailu al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam
Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172-1250 H).

22
Dan muncul pula Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib, seperti :
a. Al-Targhib wa al-Tarhib, karya al-Imam Zakiyuddin Abdul
‘Adzim al-Mundziry (656 H).
b. Dalailu al-falihin, karya al-Imam Muhammad Ibnu ‘Allan al-
Shiddiqy (1057 H). Sebagai kitab syarah Riyadu al-Shalihin,
karya al-Imam Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H).

Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits


untuk mencari pentakhrij suatu hadits atau untuk mengetahui
dari kitab hadits apa suatu hadits didapatkan,misalnya :
a. Al-jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir, karya
al-Imam Jalaluddin al-Suyuthy (849-911 H).32
b. Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i al-
Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul
Ghani al-Maqdisy al-Nabulisy.33
c. Al-Mu’jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-
Nabawy, karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F.Mensing.
d. Miftahu al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc.

32
Fatchur Rahman. Ikhtishar Musthalahul Hadits. (Bandung: PT. Al Ma’arif.
1974).Hal.57

33
Ibid.

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara Etimologis kata “ilmu hadits” merupakan kata serapan dari bahasa
arab, “Ilmu al-hadits” yang terdiri atas dua kata, yaitu ”ilmu” dan “hadits”. Jika
mengacu kepada pengertian hadits, berarti ilmu pengetahuan yang mengkaji atau
membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik
berupaperkataan, perbuatan, takrir maupun lainnya.
Apabila dilihat kepada garis besarnya, terbagi dalam dua
bagian. Pertama , Ilmu Hadits Riwayat (riwayah) kedua, Imu Hadits Dirayat
( dirayah).
Cabang-cabang Ilmu Hadits meliputi, Ilmu hadits Riwayah, . Ilmu Jarh
Wa Ta’dil, ’Ilmu ‘Ilal Al-Hadits, ‘Ilmu Ghorib Al-Hadits, Ilm Mukhtalif Al-
Hadits, Ilmu Nasikh wa Mansukh, ‘Ilmu Fann Al-Mubhamat, ‘Ilmu Asbab Wurud
Al-Hadits, Ilmu tashif wa Tahrif, Imu Mushalah Al-Hadits, Imu Tarikh al_Ruwah.

1. Ilmu Hadits Riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang tata cara
periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadits Nabi SAW.
Objek kajiannya adalah Hadits Nabi SAW dari segi periwayatan dan
pemeliharaannya.
2. Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang kumpulan kaidah-
kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi
di terima atau di tolaknya. Rawi adalah orang yang menyampaikan Hadits dari
satu orang kepada yang lainnya; Marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan,
yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW atau kepada Sahabat dan
Tabi`in. Ilmu Hadits Dirayah inilah yang selanjutnya disebut dengan Ulumul
Hadits.

B. Saran
Tiada gading yang tak retak dan tiada sungai yang tak bermuara, tidak ada di
dunia ini yang sempurna kecuali Allah SWT. Karena itu, jika ada kekurangan dan
kesalahan yang penyusun lakukan, kiranya dengan segala kekurang dan
kerendahan hati, penyusun memohon maaf, Kritik dan saran sangat penyusun
harapkan untuk mencapai kesempurnaan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Fatchur Rahman. Ikhtishar Musthalahul Hadits,Bandung: PT. Al Ma’arif. 1974


Drs. H. Mudasir. Ilmu Hadis,Surabaya: Pustaka Setia.
Al-Hakim al-Naysaburi, Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits,Kairo: Maktabah al-
Matnabi,2000
M
Salah al-Din ibn Ahmad al-Adabi, Manhaj Naqd al-Matn’Ind ‘Ulama al-Hadits
al-Nabawi,Beirut: Dar al-Aflaq al-Jadidah, 1983 M.
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis,Jakarta: Bulan Bintang ,1995
M.
Muh. Zuhri,Hadis Nabi: Sejarah dan Metodologinya,Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya,1997
Abu Dawud al-Sijiztani, Sunan Abi Dawud Hadis yang melarang menulis Hadis
dan yang membolehkan dapat dilihat dalam al-Bukhari,Sahih al-Bukhari, Juz
I,hlm.32,Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim,Juz II, hlm.98,Beirut: Dar al-Fikr,
2003 M
Muhyi al-Din ibn Syarf al-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi,Indonesia:
Maktabah Dahlan, 2001 M.
Idri, Studi Hadis,Jakarta: Kencana, 2016
Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami,Beirut: al-
Maktab al-Islami, 1985 M.
Fazlur Rahman,”The Living Sunnah and al-Sunnah wa al-Jama’ah”,dalam P.K.
Hoya (ed.), Hadits and Sunnah :Ideals and Realities,Kuala Lumpur: Islamic Book
Trust, 1996M.
Muhammad- Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun,Mesir:
Syirkah Sahimah Misriyyah,1987
Abd al-Nasr Tawfiq al-‘Attar, Dustur al-Lammah wa ‘Ulum al-Sunnah,Kairo:
Maktabah Wahhab,tth.
Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits,Beirut: Dar Al-Qur’an al-
Karim,1979

25

Anda mungkin juga menyukai