Anda di halaman 1dari 19

MANHAJ MUHAMMAD AL-ADLABI DI BIDANG NAQD AL-MATAN

DALAM KITAB MANHAJ NAQD MATN ‘INDA AL-ULAMA’

MAKALAH
Dibuat Menjadi Bahan Presentasi Serta Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pada Mata Kuliah Manhaj Al-Muhaddisin
Oleh:
Kelompok 1
MUH ASHABUL FIQHRI 30300119053

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Arifuddin Ahmad, M.Ag

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2023

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. Yang telah melimpahkan taufik, hidayah dan
inayah-Nya sehingga makalah dengan judul “Manhaj Muhammad Al-adlabi di bidang
Naqd Al-Matan dalam kitab Manhaj Naqd Matn’Inda Al-Ulama” sehingga dapat
diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad saw, yang dengan perantaraan perjuangan beliau kita
dapat merasakan nikmatnya hidup berlandaskan keimanan. Semoga sholawat dan salam
juga dilimpahkan kepada keluarga beliau, para sahabat, dan orang yang meneruskan
perjuangan beliau hingga akhir zaman.
Adapun makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah
Manhaj Al-Muhaddisin yang telah diberikan kepada kami. Selain itu, makalah ini
bertujuan untuk menambah pemahaman serta pengetahuan dan wawasan. Dalam
menyusun makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan
kekeliruan, karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun, agar kedepannya kami dapat
menyusun makalah dengan baik.
Kami ucapkan banyak terima kasih kepada bapak Prof. Dr. H. Arifuddin
Ahmad, M.Ag selaku dosen pengampuh mata kuliah Manhaj Al-Muhaddisin yang telah
mempercayai kami untuk membuat makalah dengan tema “Manhaj Muhammad Al-
Adlabi di bidang Naqd Al-Matan dalam kitab Manhaj Naqd Matn’Inda Al-Ulama”
yang mana makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Tak lupa pula kami ucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberi banyak manfaat bagi berbagai
kalangan.

Samata, 23 Mei 2023

Kelompok 8

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................1
C. Tujuan .........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Salah Ad-din Ibn Ahmad al-Ildlibi................................3
B. Metode Kritik Matan Hadits Menurut Al-Adlabi........................7
C. Analisis Terhadap Manhaj Naqd al-Matan Inda ulama
al-Hadis al-Nabawi
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................9
B. Saran............................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................10

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menjelang wafatnya Rasululah SAW telah memberikan petunjuk kepada para
pengikutnya tentang cara untuk melestarikan kelompok sosial yang telah dibangun.
Petunjuknya berisi ketentuan agar berpegang pada al-Qur’ān dan sunnah yang telah
ditinggalkannya agar umat tidak sesat. Suatu kenyataan penting, bahwa wujud sumber
ajaran yang sekarang bukan lagi dalam bentuk norma, melainkan sudah dalam bentuk
praktik kehidupan sosial yaitu masyarakat Islām di Madinah. 1Ahli akal dan naql dalam
Islām, telah bersepakat bahwa ḥadῑṡ merupakan dasar hukum Islām. Umat Islām
diwajibkan untuk mengikutinya sebagaimana kewajiban dalam mengikuti al-Qurān,
karena antara keduanya tidak terdapat perbedaan dalam garis besarnya.
Dilihat dari periwayatannya, ḥadῑṡ Nabi berbeda dengan al-Qurān, semua
periwayatan yang terdapat dalam al-Qurān berlangsung secara mutawatir, sedang ḥadῑṡ
Nabi sebagian besar periwayatannya berlangsung secara perorangan (āhād) pada bagian
yang lain. Oleh karenanya dilihat dari dari sisi ini, al-Qurān seluruhnya mempunyai
kedudukan qath„i al-wurūd , sedangkan ḥadῑṡ Nabi sebagian lagi bahkan yang lebih
banyak berkedudukan ẓanni al-wurūd. Perbedaan ini disebabkan adanya kesenjangan
yang cukup lama antara kodifikasi ḥadῑṡ Nabi saw.
Teks-teks ḥadῑṡ yang telah tertulis dalam kitab-kitab yang tersebar di tengah-
tengah masyarakat dan dijadikan sebagai pegangan umat Islām dalam hubungannya
dengan ḥadῑṡ sebagai sumber hukum Islām itu adalah kitab-kitab yang tersusun setelah
Nabi wafat (II H/632 SM). Jadi terdapat jarak yang lama, sehingga memungkinkan
adanya riwayat yang menyalahi apa yang sebenarnya datang dari Nabi saw. Dengan
demikian, untuk mengetahui apakah riwayat ḥadῑṡ yang terhimpun dalam berbagai kitab
ḥadῑṡ itu dapat dijadikan ḥujjah atau tidak perlu adanya penelitian. Selain itu, ḥadῑṡ
tidak dihimpun pada awal Islām, sebagaimana para ṣaḥabat melakukannya terhadap al-
Qurān. Tapi tidak semuanya terhimpun dan lebih banyak mereka himpun untuk koleksi
pribadi. Dalam kenyataannya cacatan ṣaḥabat juga tidak seragam. Sangat sedikit ḥadῑṡ
yang diriwayatkan secara mutawatir dan selebihnya diriwayatkan secara āḥād
Oleh karena itu, penelitian terhadap ḥadῑṡ-ḥadῑṡ Nabi saw sangat penting, baik
dari segi sanad maupun matan, penelitian penting artinya mengingat tujuan dari
penelitian ḥadῑṡ adalah untuk menilai apakah secara historis sesuatu yang dikatakan
sebagai hadis itu benar-benar dipertanggungjawabkan ke-ṣaḥῑiḥannya berasal dari Nabi
atau tidak. Hal ini sangat penting mengingat kedudukan kualitas ḥadῑṡ erat sekali
kaitannya dengan dapat atau tidak dapatnya suatu ḥadῑṡ dijadikan ḥujjah agama.
Dari segi matan, penelitian ḥadῑṡ akan memperkuat kualitas sanad ḥadῑṡ.
Perlunya penelitian matan ḥadῑṡ tak hanya karena matan tidak dapat dipisahkan dari

1
Asih Kurniasih dan Moh Alif, Metodologi Kritik Matan Hadits(Kajian terhadap Kitab Al-sunnah al-
Nabawiyyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-hadits karya Muhammad al-Gazaly), (Uin Sultan Maulana
Hasanuddin Baten, 2003).

1
pengaruh sanad, tetapi juga karena dalam periwayatkan ḥadῑṡ dikenal adanya Dari
segi matan, penelitian ḥadῑṡ akan memperkuat kualitas sanad ḥadῑṡ. Perlunya
penelitian matan ḥadῑṡ tak hanya karena matan tidak dapat dipisahkan dari
pengaruh sanad, tetapi juga karena dalam periwayatkan ḥadῑṡ dikenal adanya
periwayatan secara makna2.
Matan merupakan salah satu komponen pembentuk bangunan ḥadῑṡ yang
menduduki posisi penting dalam khazanah penelitian ḥadῑṡ. 3Sebab, tujuan akhir
dari penelitian ḥadῑṡ adalah untuk memperoleh validitas sebuah matan ḥadῑṡ.
Berangkat dari sulitnya penelitian matan ḥadῑṡ dan beragam masalah dalam
pendekatan dan pemahaman ḥadῑṡ Nabi Muḥammad saw, maka para ulama
berusaha menyusun beraragam kaidah-kaidah bagaimana seorang muslim
berinteraksi dengan ḥadῑs Nabi, dan di antara ulama tersebut adalah Salah ad-din al-
adhlibiperiwayatan secara makna.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi lengkap Salahuddin Al-adhlibi
2. Bagaimana Manhaj Muhammad Al-Adlabi di bidang Naqd al-Matan dalam
Kitab Manhaj Naqd Matan ‘Inda Al-Ulama’
3. Bagaimana analisis terhadap Manhaj Naqd al-Matan Inda ulama al-Hadis al-
Nabawi
C. Tujuan
1. Mengetahui biografi Salah ad-Din ibn Ahamd al-Idlibi
2. Mengenal Manhaj Muhammad Al-Adlabi di bidang Naqd al-Matan dalam Kitab
Manhaj Naqd Matan ‘Inda Al-Ulama’
4. Mengetahui Analisis terhadap Manhaj Naqd al-Matan Inda ulama al-Hadis al-
Nabawi

2
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis,.....p. 26.
3
M. M. Azami, Hadis dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Ya‟qub (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994), p. 538.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Salah Ad-din Ibn Ahmad al-Idlibi

Nama lengkapnya adalah Salah ad-Din Ibn Ahmad Ibn Muhammad Sa’id al-Idlibi
atau lebih dikenal dengan nama Salah ad-Din Ibn Ahmad al-Idlibi dan nama
panggilannya yaitu “al-Idlib³”, ia merupakan tokoh ahli hadis asal Syiria yang lahir di
kota Halab pada tahun 1367 H / 1948 M. Penyebutan nama “Idlibi³” merupakan
penisbahan dari kakeknya, karena ayahnya yang bernama Syekh Ahmad adalah putra
kesayangan Syekh Muhammad Sa’id al-Idlibi. merupakan ula Salah ad-Din al-Idlibi
merupakan Salaf abad 19 Masehi. dia adalah kaliber ulama yang banyak memberikan
membicarakan tentang pandangan mereka tentang masalah agama. Dia adalah anak
kedua dari delapan bersaudara setelah Muhammad Basyir yang juga merupakan doktor
dalam spesialis keilmuan tentang linguistic (Bahasa). Penyebutan al-Idlib yang terdapat
atas nama kakeknya adalah kelaziman yang biasa didengar ketika seorang ulama besar
lagi berpengaruh, namanya dinisbahkan dengan sebuah kota tempat dimana beliau ikut
dalam mengembangkan ilmunya, yaitu kota kecil seluas 2.354 m2 dimaksud, yang
terletak dekat dengan Aleppo dan sekitar 323 km jaraknya dari Damaskus yang terdapat
di Kota Syiria.

Karakternya Salah ad-Din Ibn Ahmad al-Idlibi tidak berbeda dengan kebanyakan
ilmuan hadis lainnya, juga beliau coba secara akademisi dari pendidikan dasar sampai
kependidikan tinggi. Ia menimba pendidikan pada Madrasah Iftidaiyah, kemudian pada
madrasah setingkat dengan madrasah aliyah yang berbasis syari‘ah di Madinah tempat
kelahirannya, kemudian ia melanjutkan pendidikannya pada perguruan tinggi syari‘ah di
Damaskus, kemudian melanjutkannya pada perguruan Dar al-Hadis al-Hasaniyah yang
juga berhubungan dengan spesialisasi kajian yang sebelumnya ia geluti, hingga ia
meneyelesaikan pendidikan tingginya dengan mendapatkan gelar magister pada bidang
ilmu keislaman dan ilmu hadis yaitu pada tahun 1975 M/1395 H. Ia juga memperoleh
gelar Doktor dalam bidang Ilmu Islam dan hadis dengan predikat “Hasan Jiddan” yaitu
Dar al-Hadis al-Hasaniyah dari di Magribi pada tahun 1980 M/1401 H. Ia juga banyak
mengajar diberbagai perguruan tinggi islam terkemuka, seperti pada perguruan tinggi

3
al-Qarwain , ia di amanahi sebagai dosen bahasa Arab selama dua tahun di Maroko,
dosen hadis di Fakultas Dirasah Islamiyah Dubai selama empat tahun, sebagai dosen
hadis dan ilmu hadis di Universitas Muhammad ibn Su‘¬d Riyad selama sepuluh tahun
lamanya, ia juga sebagai pembimbing diperguruan Syari‘ah selama tiga tahun. Daurah
ke Kanada juga menjadi perjalanan pendidikan yang pernah dijalaninya dalam
melakukan penelitian dan kajian mendalam tentang hadis dan ilmu hadis.

Kapasitas ilmu yang dimilikinya memberikan makna penting bagi masyarakat,


sebagai tempat bertanya tentang persoalan yang terjadi ditengah kehidupan
bermasyarakat, kemudian ia juga dikatakan sebagai konsultan tentang kajian keagamaan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Dikatakan secara langsung ataupun tidak
langsung, karena dalam bentuk halaqah ia juga memberikan pengajian dengan metode
diskusi atau dengan kata lain ia memberikan kesempatan untuk bertanya kepada jamaah
yang ikut serta menyaksikan persentasi pembahasan yang disampaikannya. Kemudian
secara tidak langsung yaitu, diskusi dalam bentuk Tanya jawab melalui media sosial
yang dibuka dengan tanpa membatasi pengunjung dan pengomentar terhadap status
yang dimilikinya tersebut. Sebagai tokoh bermazhab Syafi‘iy yang tidak fanatik,Salah
ad-Din Ibn Ahmad al-Idlibi dikenal sebagai dosen dan juga da‘i yang memiliki
keilmuan mampu mempengaruhi terhadap kalangan ahli hadis kemudian terhadap
pentingnya kajian terhadap kritik hadis, terutama kritik pada matan hadis. Yang selama
ini perhatian terhadap matan tidak begitu dimarakkan, tetapi setelah munculnya karya
Ibn Qayyim (w 751 H) pada masa lalu, kemudian karya al-Idlibi di abad modern
mampu menaruh perhatian yang menilai betapa pentingnya kritik matan tersebut. 4

Salah ad-Din Ibn Ahmad al-Idlibi sebagai sosok ulama yang memiliki semangat,
ketekunan, kecerdasan dan keterampilan yang luar biasa dalam menulis buah pikiran
yang terlintas dibenaknya. Ketajaman pikiran yang dimiliki oleh al-Idlibi dibuktikan
dengan beberapa karya tulis yang dimilikinya. Selain dari karya tentang Manhaj Naqd
al-Matn ‘Ind ‘Ulama’ al-Hadis an-Nabawi, al-Idlibi juga memiliki karya dalam bentuk

4
Ahmad Ritonga, Ardiansyah, Sulaiman M. Amir, “Kontribusi pemikiran salah ad-din Ibn Ahmad Al-
Ildlibi dalam metode kritik matan hadis: Telaah terhadap manhaj naqd al-matn ‘Ind ‘Ulama’ al-hadis
an-nabawi”, Journal of Hadits Studies Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2017

4
B. Metode Kritik Matan Hadis Menurut Al-Adlabi

Harus di akui kitab- kitab tentang penelitian matan hadis masih sangat langka
Al-adhabi menyebut tiga factor sulitnya penelitian matan hadis. Pertama, kitab-kitab
kritik matan hadis yang lain seperti artikel atau tulisan lepas. dan metodenya sangat
langka. Kedua, pembahasan matan pada kitab-kitab tertentu termuat di berbagai bab
bertebaran sehingga sulit dikaji secara khusus. Ketiga, adanya kekhawatiran
menyatakan sesuatu sebagai bukan hadis, padahal hadis.

Perhatian ulama modern telah merumuskan metodologi kritik matan hadis


Salahuddin Al-adhabi memiliki peran besar dalam karya agungnya, Manhaj Naqd al-
Matan Inda Ulama al-Hadis al-Nabawi.

Al-Adhabi dalam karyanya Manhaj Naqd al-Matan Inda Ulama al-Hadis al-
Nabawi menjelaskan metode kritik matan hadis. Tolak ukur yang digunakan dalam
kritik matan tidak lepas dari unsur syadz dan ‘illah dalam kaedah kesahehan hadis.
Menurut al-Khatib al-Bagdadi (w. 463 H/ 1072 M) bahwa suatu matan hadis dapat
dinyatakan maqbul sebagai matan hadis yang sahih apabila memenui unsur-unsur
sebagai berikut:

1. Tidak bertentangan dengan akal sehat.

2. Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang telah muhkam (ketentuan hukum
yang telah tetap);

3. Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir;

4. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu
(ulama salaf);

5. Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti; dan 6. Tidak bertentangan dengan
hadis ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat. Tolok ukur yang dikemukakan di
atas, hendaknya tidak satupun matan hadis yang bertentangan dengannya. Sekiranya
ada, maka matan hadis tersebut tidak dapat dikatakan matan hadis yang sahih.5

5
Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.
63.

5
Hamzah Abu al-Fath mengemukakan beberapa kaedah-kaedah penting untuk
mengetahui kualitas kesahehan matan. Diantara kaedah tersebut adalah:

1. Membandingkan sunnah dengan Qur’an Al-Qur’an merupakan sumber hukum


pertama dalam Islam, sehingga apabila ditemukan hadis yang bertentangan dengannya
maka dinilai sebagai hadis dhaif dan ditolak. Kenyataan ini tidak menunjukkan adanya
pertentangan antara keduanya karena baik al-Qur’an maupun sunnah yang sahih sama-
sama berasal dari Allah sehingga tidak mungkin bertentangan. Ada beberapa faktor
yang menyebabkan munculnya pertentangan tersebut yakni:

a. Perawi keliru atau lupa dalam meriwayatkan hadis

b. Terdapat perawi yang hilang dalam meriwayatkan hadis

c. Tidak memahami maksud dari perkataan Nabi. Namun demikian, perlu dicatat
bahwa pertentangan tersebut merupakan pertentangan yang bersifat mutlak dimana
tidak terdapat jalan untuk mendamaikan antara nash al-Qur’an dan hadis dengan cara
jama’ atau lainnya.

2. Membandingkan sunnah dengan sunnah. Ada beberapa kemungkinan terjadinya


pertentangan antara satu hadis dengan lainnya, yakni:

a. Terjadinya kesalahan dalam periwayatan

b. Hadis tersebut diriwayatkan secara makna dan berlanjut pada beberapa


perawi selanjutnya sehingga jauh dari nash yang sesungguhnya diucapkan Nabi.

c. Perawi memarfu’kan perkataan seorang perawi lainnya.

3. Membandingkan beberapa riwayat hadis yang satu dengan lainnya. Upaya ini
dilakukan untuk mengetahui kualitas suatu hadis dengan cara mengamati berbagai jalur
sanad hadis, meneliti dan menetapkan kualitasnya. Dengan ini pula dapat diketahui
apakah pada hadis tersebut terdapat idhthirab, qalb, idraj, tashhif, tahrif atau ziyadah.

4. Membandingkan matan hadis dengan peristiwa dan fakta sejarah. Fakta sejarah
merupakan sarana yang sangat penting yang digunakan ulama hadis untuk mengetahui
kesahihan dan kedhaifan hadis. Ketika sejarah digunakan sebagai tolok ukur untuk

6
menilai kualitas kesahihan hadis maka fakta sejarah tersebut disyaratkan memiliki
tingkat kebenaran faktual dan meyakinkan.

5. Mengamati lafal dan makna hadis. Dalam hal ini, ada beberapa aspek yang perlu
dikaji yakni:

a. Lafal dan makna hadis yang rusak

b. Pertentangan hadis dengan dasar hukum syar’i

c. Hadis memuat hal yang munkar dan mustahil

6. Aspek kognitif dalam periwayatan hadis. Dalam periwayatan hadis, aspek kognitif
digunakan dalam empat hal yakni:

a. Saat mendengar hadis, para ulama mensyaratkan agar seorang perawi dapat
membedakan dan memahami hadis yang ia dengar.

b. Saat meriwayatkan hadis, mereka melarang meriwayatkan hadis dhaif


terlebih maudhu’ kecuali menjelaskan letak kedhaifan dan kemaudhu’annya.

c. Saat menilai perawi, para ulama sering menilai jarh terhadap perawi yang
meriwayatkan hadis munkar.6

Saat menilai kualitas suatu hadis, dalam hal ini akal diberi porsi sebagaimana
mestinya.16 Ibn Qayyim (691 H-751 H) menguraikan lebih jauh kriteria ditolaknya
suatu matan hadis yang dengannya dapat diketahui kemaudhu’an hadis tersebut.
Beberapa kriteria ada yang sesuai dengan apa yang dikemukakan al-Bagdadi namun
sebagian besar lainnya merupakan kriteria yang berbeda. Kriteria tersebut adalah:

1. Memuat balasan dan ancaman yang berlebihan, yang tidak mungkin


disabdakan oleh Rasulallah saw.

2. Memuat hal-hal yang diingkari oleh indra

3. Terlalu longgar isinya dan membius

6
Hamzah Abu al-Fath bin Husain Qasim al-Na’imi, al-Manhaj al-‘Ilmy li al-Ta’amul ma’a al-Sunnah al-
Nabawiyyah ‘Inda alMuhadditsin, (Oyardon: Dar al-Nafais, 1999), h. 92.

7
4. Bertentangan secara nyata dengan sunnah yang sharih (menunjukkan arti
yang jelas)

5. Menunjukkan bahwa Nabi saw melakukan sesuatu yang jelas dihadapan


seluruh sahabat dan semuanya sepakat untuk menyembunyikannya, tidak
meriwayatkannya.

6. Hadis itu batal dalam dirinya sendiri. Hal ini jelas menunjukkan bahwa ia
bukan sabda Nabi saw

7. Redaksinya tidak mirip dengan sabda para nabi, apalagi sabda Nabi saw yang
merupakan wahyu

8. Di dalam hadis itu ada sejarah begini begini 9. Lebih mirip dengan
keterangan thabib

10. Dibatalkan isinya oleh sejumlah bukti kuat

11. Bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang sharih

12. Disertai oleh sejumlah indikasi yang menunjukkan kebatalannya.7

Dari beberapa kriteria yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim dan al-Bagdadi di
atas al-Adlabi kemudian meringkasnya dan mengajukan empat kriteria kritik matan
hadis yang maqbul yakni:

1. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an al-Karim

2. Tidak bertentangan dengan hadis dan sirah nabawiyah yang sahih

3. Tidak bertentangan dengan akal, indera dan sejarah

4. Mirip dengan sabda kenabian. Apabila disimpulkan, definisi kesahihan matan


hadis menurut mereka, adalah sebagai berikut: pertama, sanadnya sahih; kedua, tidak
bertentangan dengan hadis mutawatir atau hadis ahad yang sahih; ketiga, tidak
bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an; keempat, sejalan dengan alur akal sehat;

7
Shalah al-Din Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadis al-Nabawi, (Beirut: Dar
al-Afaq al-Jadid, 1983), h. 237-8.

8
kelima, tidak bertentangan dengan sejarah, dan keenam, susunan pernyataannya
menunjukkan ciriciri kenabian.8

C. Analisis Terhadap Manhaj Naqd al-Matan Inda ulama al-Hadis al-Nabawi

Dalam bukunya Naqd al-Matan Inda ulama al-Hadis al-Nabawi (Metodologi


Kritik Matan Hadî£) Dr. Salah al-Dîn Ibn Ahmad al-Idlibî berupaya memperjelas
metode kritik matan ( intern critics ), yang sejak dini kaum muslimin telah
mempraktekannya dan telah meletakkan dasar-dasar metodologinya. Dalam bukunya
tersebut beliau menjelaskan tentang latar belakang perlunya menggunakan Kritik
Matan, kemudian beliau juga memaparkan fakta-fakta bahwa kritik matan sudah dipakai
Para sahabat dan Ulama Hadîs, kemudian beliau menarik sebuah pemahaman dan
desain tentang prinsip-prinsip kritik matan menurut ulama Hadîs. Kalau kita pelajari
ilmu hadî£ Khusunya Ilmu Jarh wa Ta’dîl maka kita akan melihat bahwa Sepintas kritik
sanad sudah cukup untuk menilai sahihtidaknya sebuah hadî£, sebab periwayatan
seorang periwayat £iqah dari periwayat £iqah lainnya, yakni dari awal sampai akhir
sanad, mengandung arti bahwa kita mempercayai kesahihan riwayat para periwayat
£iqah itu. Jika tidak demikian, maka penilaian £iqah terhadap para periwayat tidak ada
artinya. Kritik sanad memang cukup, tetapi bersifat elementer saja, sebab setelah
dilakukan kajian terhadap periode periwayatan, dimana hadî£-hadî£ beralih dari seorang
periwayat ke periwayat lain sampai ketangan para penulis kitab hadî£ ( Mukharrij) , ada
dua fenomena yang mencolok, yaitu fenomena pemalsuan hadis dan fenomena
kekeliruan para periwayat. Yang pertama lahir dari kesengajaan, sedang yang kedua
dari ketidak sengajaan

Dari latar belakang tersebut lah, ada semacam usaha yang dilakukan olch al-
Idlibi untuk membantah tuduhan tersebut dengan menclurkan karya yang diberi judul
Manhaj Naqd al-Matn 'Inda 'Ulama al-Hadis al-Nabawi. Dalam buku tersebut
dipaparkan dengan rinci deskripsi kritik matan hadis mulai dari zaman Rasulullah
sampai pada masa Muhaddisin. Setelah deskripsi tersebut, al- Idlibi mendeskripsikan
kembali metodologi kritik matan hadis menurut Muhaddisin yang bisa dikatakan masih

8
Shalah al-Din Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn, h 277-8.

9
berserakan dan belum dalam satu tulisan utuh yang komprehensif. Tidak hanya sebatas
memaparkan, pada kajian berikutnya tersebut (bagian dua dalam buku), al-Idlibi juga
menelaah dan menganalisis metodologi kritik matan hadis menurut Muhaddisin tersebut
disertai contoh-contohnya hingga menjadi bangunan keilmuwan yang rapi dan
komprehensif. Dari hasil telaah dan analisis al-Idibi, maka kesahihan matan hadis
menurut ulama' yang telah digali al-Idlibi adalah:

1. Kriteria : Tidak berttentangan dengan Al-Qur’an dan hadis


Kerangka : Al-Qur’an dan hadis adakalanya qat’iy dan zanni al-wurud. Untuk
memastikan terjadinya pertentangan di antara nass al-Qur’an dan hadis, keduanya
haruslah sama-sama tidak mengandung kemungkinan takwil. Jika salah satunya atau
keduanya mengandubg kemungkinan untuk takwil, dan selanjutnya memungkinkan
untuk dikumpulkan (al-jam’uh) maka di antara keduanya jelas tidak ada hujjah untuk
menolak hadis yang bersangkutan semata karena hanya dengan nass Al-Qur’an
kemungkinan untuk takwil, dan selanjutnya memungkinkan untuk dikumpulkan (al-
jam`u), maka diantara keduanya tidak terjadi pertentangan dan tidak ada hujjah untuk
menolak hadis yang bersangkutan semata karena hanya dengan bertentangan dengan
nass Al Qur`an
2. Kriteria : Tidak bertentngan dengan hadis sahih dan sirah nabawiyah
Kerangka : Tidak ada kemungkinan untuk Al jam`u jika memang tidak ada
kemungkinan untuk dipadukan maka tidak dipaksakan, yang dilakukan berikutnya
adalah tarjih tanda-tanda kepalsuannya jelas mengitari riwayat yang ada dilihat dari
sisi spirit syariah dan apa yang sudah dikenal berdasarkan Al-Sunnah dan Al- sirah dan
ditambah pertentangannya dengan hadis Ahad yang lain maka hadis ini dikatakan
tidak shahih. jika riwayat bertentangan dengan riwayat yang mutawatir, maka riwayat
yang bertentangan tersebut adalah maudu`.
3. Kriteria : Hadis tidak bertentangan dengan akal, Indra, dan sejarah
Kerangka : Bertentangan dengan akal membingungkan akal berbelit-belit dan
mengada-ngada. Tidak sembarang akal tetapi akal, yang sudah dituntun oleh Al-
Qur’an dan Sunnah. Bertentangan dengan panca indera hadis yang tidak dapat di
raba dengan panca indera tidak mesti ditolak dan suatu hadis tidak mungkin
bertentangan dengan pasca Indera. Bertentangan dengan sejarah hadits Ahad yang
bertentangan dengan sejarah yang dapat dipastikan kebenarannya. Karena hadis Ahad

10
memiliki ekstensi eksistensi yang relatif. Sedangkan sejarah yang benar bersifat pasti.
Maka yang relatif tidak bisa mengalahkan yang pasti.
4. Kriteria : Hadis-hadis yang tidak sesuai dengan perkataan nabi itu ditolak.
Kerangka : Hadis yang mengandung keserampangan, makna yang rendah dan istilah
baru yang belum ada pada masa nabi Muhammad SAW.

A. PANDANGAN ULAMA MENGENAI MANHAJ NAQD AL-MATAN INDA ULAMA


AL-HADIS AL-NABAWI

Dalam menentukan kesahihan hadis, para muhadditsin menetapkan tiga


kriteria kesahihan pada sanad dan dua kriteria kesahihan matan. Dua kriteria
kesahihan hadis pada matan tersebut adalah terbebasnya matan hadis dari unsur
syadz dan ‘illah. 5Dalam hal syadz, ulama berbeda dalam mendefinisikannya.
Setidaknya ada tiga ulama yang memiliki definisi berbeda mengenai istilah syadz
yakni al-Syafi’, al-Hakim dan al-Khalili. Imam al-Syafi’i mendefinisikannya sebagai
hadis yang diriwayatkan oleh seorang tsiqah yang bertentangan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh orangorang (perawi tsiqah lainnya). Al-Hakim mendefinisikannya
dengan ‘hadis yang diriwayat oleh seorang tsiqah secara menyendiri tanpa perawi
tsiqah lainnya dan hadis tersebut tidak memiliki mutabi’ sama sekali’.

Sementara Abu Ya’la al-Khalili mendefinisikan dengan ‘hadis yang tidak


punya sanad kecuali hanya satu yang periwayatnya menyendiri dengan sanad itu,
baik ia berstatus siqah atau tidak. Jika tidak siqah maka disebut hadis matruk tidak
diterima, kalau statusnya siqah maka tawaqquf dan tidak berhujjah dengannya’.
Ketiga definisi tersebut, secara esensial sangat berbeda. Al-Syafi’i menekankan
syadz pada pertentangan dua jalur periwayatan antara rawi siqah dengan para
perawi yang lebih siqah sementara al-Hakim dan al-Khalili menekankan pada
tafarrudnya perawi atau penyendirian perawi secara mutlak. Konsekwensinya, Al-
Syafi’i tidak memandang syadz hadis fard atau ahad sedang alHakim dan al-Khalili
memutlakkannya sebagai syadz. Para ulama belakangan, mayoritas mengikuti

11
definisi al-Syafi’i dalam menilai hadis syadz. Sedang ‘illah hadis berarti ilmu yang
membahas sebab-sebab tersembunyi yang dapat mencacatkan kesahihan hadis
baik dikarenakan mewashalkan yang munqathi’, memarfu’kan yang mauquf atau
memasukkan hadits pada hadis lainnya dan lainnya.

Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa ‘illah hadis memiliki dua syarat
yakni ketersembunyian dan dapat mencacatkan hadis yang shahih. Jika salah satu
dari syarat tersebut tidak ditemukan, seperti cacat yang terdapat pada hadis
tersebut sangat jelas atau tidak mencacatkan hadis, maka tidak dapat disebut
dengan ‘illah. Arifuddin Ahmad menyebutkan unsur kaidah minor syadz dan ‘illah
pada matan hadis.

Kaedah minor terbebasnya matan dari unsur syadz, diantaranya adalah 1.


Sanad hadis bersangkutan tidak menyendiri; 2. Matan hadis bersangkutan tidak
bertentangan dengan matan hadis yang sanadnya lebih kuat; 3 matan hadis
bersangkutan tidak bertentangan dengan al-Qur’an; dan 4. Matan hadis
bersangkutan tidak bertentangan dengan akal dan fakta sejarah.10 Sedang kaidah
minor bagi matan hadis yang mengandung ‘illah adalah 1. Matan hadis
bersangkutan tidak mengandung idraj (sisipan); 2. Matan hadis bersangkutan tidak
mengandung ziyadah (tambahan); 3. Tidak terjadi maqlub (pergantian lafal atau
kalimat) bagi matan hadis bersangkutan; 4. Tidak terjadi idhthirab (pertentangan
yang tidak dapat dikompromikan) bagi matan hadis bersangkutan; dan 5. Tidak
terjadi kerancuan lafal dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis
bersangkutan.

Jika ‘illah hadis itu mengandung pertentangan dengan hadis lain yang lebih
kuat, maka matan hadis tersebut sekaligus mengandung syudzudz. Al-Adlabi sendiri
ketika meneliti kaedah ke‘illahan hadis yang diuraikan oleh al-Hakim dalam kitab al-
Ma’rifahnya berkenaan dengan kritik matan menyatakan bahwa dari kesepuluh

12
jenis ‘illah yang disebut al-Hakim semua merujuk kepada sanad dan bukan matan.
‘Illah-‘illah tersebut, menurutnya tidak mencacatkan kesahehan matan kecuali ‘illah
yang kesepuluh, yaitu memarfu’kan yang mauquf. Sedang unsur kritik matan dalam
kaedah syadz hadis, ketika ia meneliti contoh syadz yang dikemukakan al-Hakim,
menyatakan bahwa dari tiga contoh syadz hanya ada dua yang berkenaan dengan
kritik matan. Pertama, karena unsur pertentangannya dengan hadis yang lebih
sahih dan lebih tsiqah dan kedua, karena adanya kalimat yang berbeda dengan
riwayat lain.

Kalimat tersebut pun ternyata tidak bertentangan dengan riwayat para


tsiqah namun justru sejalan. Berdasarkan pandangan di atas, al-Adlabi
sesungguhnya ingin menyatakan bahwa meski ulama hadis memuat teori tentang
kritik matan dalam penelitian kesahihan hadis terutama pada kaedah syadz dan
‘illah namun dalam prakteknya tidak ditemukan secara tegas metode kritik matan
hadis. AlAdlabi kemudian menyebutkan sembilan kajian dalam ilmu hadis yang
berkenaan dengan kaedah kritik matan menurut ulama hadis yakni; hadis syadz,
hadis munkar, hadis mu’all, hadis mudhtharib, hadis mudraj, hadis maqlub, hadis
maudhu’ dan tanda-tandanya, perkataan sahabat mengenai masalah yang tidak
menjadi wilayah akal dan mengetahui orang yang diterima riwayatnya dan yang
ditolak.

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Nama lengkapnya adalah Salah ad-Din Ibn Ahmad Ibn Muhammad Sa’id al-Idlibi
atau lebih dikenal dengan nama Salah ad-Din Ibn Ahmad al-Idlibi dan nama
panggilannya yaitu “al-Idlib³”, ia merupakan tokoh ahli hadis asal Syiria yang lahir di
kota Halab pada tahun 1367 H / 1948 M. Penyebutan nama “Idlibi³” merupakan
penisbahan dari kakeknya, karena ayahnya yang bernama Syekh Ahmad adalah putra
kesayangan Syekh Muhammad Sa’id al-Idlibi.

Al-idlibi berpendapat bahwa kritik matan hadis sudah dilakukan pada masa sahabat,
diantaranya adlaah ‘Aisyah r.a. ‘Aisyah r.a. memiliki banyak riwayat. Ia juga
menafsirkan hadis Rasulullah SAW. Kepada sahabat-sahabat wanita lain yang tidak
paham. Hal ini terjadi di hadapan Rasulullah SAW sendiri.

B. Implikasi

14
Demikianlah makalah yang peniliti dapat sajikan sesaui dengan batas kemampuan
peneliti, dengan harapan mudah-mudahan apa yang peneliti buat ini dapat memberikan
manfaat dan wawasan bagi para pembaca dan bagi peneliti tentunya sehingga nantinya
dapat menjadi bahan pembelajaran ketika menyusun makalah yang serupa dikemudian
hari.
Peneliti juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah masih banyak
kekurangan dan kesalahan bahkan sangat jauh dari standar penulisan karya ilmiah
sehingga penulis mengharapkan ada feed back atau umpan balik dari para pembaca
berupa kritikan, saran, pemikiran, dan ide-ide yang sifatnya membangun guna
memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan pengetahuan peneliti. Demikianlah
semoga bernilai ibadah disisi-Nya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Al-Munawar, S. A. H. (2016). Metode kritik matan hadis menurut pandangan


muhadditsin mutaqaddimin. Ushuluna, 2(1), 148-165

Kurniasih, A. (2018). Metodologi kritik matan hadis (Kajian Terhadap Kitab Al-
Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl al-Hadis karya
Muhammad al-Gazaily) (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri"
Sultan Maulana Hasanuddin" Banten).

Kusnandar, E. (2020). Studi Kritik Matan Hadis (Naqd al-Matn): Kajian Sejarah dan
Metodologi. Jurnal Studi Hadis Nusantara, 2(1).

Ritonga, A. (2017). KONTRIBUSI PEMIKIRAN'ALA'AD-DIN IBN AHMAD AL-


IDLIBI DALAM METODE KRITIK MATAN HADIS. AT-TAHDIS:
Journal of Hadith Studies, 1(1).

Suryadi, S. (2015). Rekonstruksi Kritik Sanad Dan Matan Dalam Studi Hadis.
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 16(2), 177-186.

16

Anda mungkin juga menyukai